OMI Intan Naomi, Ugo Untoro, dan seni rupa merupakan tiga hal yang jadi perdebatan sengit ketika narasumber budayawan Nirwan A Arsuka, kritikus seni Hendro Wiyanto, dan kurator Enin Supriyanto membahas buku The Sound of Silence and Colors of the Wind Between the Tip of a Cigarette and Fire of The Lighter (17 Years of Ugo Untoro’s Fine Art, 1989-2006), Selasa (9/12) di Bentara Budaya Jakarta.
Sekitar 20 hadirin kurang bisa terlibat dalam debat karena selain belum membaca buku yang didiskusikan, juga sebagian belum mengenal penulis Omi Intan Naomi dan Ugo Untoro yang jadi subyek penulisan Omi. Adapun pembicaraan narasumber lebih menjurus soal Omi, Ugo Untoro, dan masalah seni rupa serta buku Omi yang belum bisa dikategorikan sebagai buku apakah gerangan.
Dalam pikiran Nirwan, selama 17 tahun perjalanan kesenirupaan Ugo, sebagaimana diterakan pada judul buku, ia akan dibawa ke wacana bagaimana pada periode-periode tertentu Ugo dalam berkarya bisa menyikapi atau bahkan melampaui zamannya. Bagaimana Omi menelaah perkembangan karya seorang senirupawan yang terentang sepanjang 17 tahun. Akan tetapi, Nirwan mengaku dari pembacaannya ia tak mendapatkan hal itu.
”Karangan Omi adalah ruang yang tak tertata dengan seimbang dan disesaki oleh berbagai informasi yang bertumpuk. Omi mungkin pengumpul informasi yang tekun, tapi ia peramu informasi yang kurang berdisiplin, yang dengan enteng menyetarakan nilai intan dan nilai kerikil,” kata Nirwan.
Kurator Enin Supriyanto mengatakan, setelah mengikuti berbagai kisah dan hujah dalam buku itu, sering kali jaringan saraf dalam gumpalan abu-abu di balik tempurung kepalanya jadi kusut masai didera beberapa pertanyaan sekaligus: ”Apakah naskah ini sebenarnya bercerita tentang Ugo secara pribadi, sebagai teman si penulis, sebagai seniman? Atau mencoba menghubungkan keduanya?”
Walaupun Enin lebih banyak mempertanyakan, diakui masih ada dua bagian yang menurutnya paling seru dalam buku yang ditulis Omi tersebut. Pertama, bagian yang membanding-bandingkan dan meneriakkan karya antarbeberapa seniman. Kedua, ada bagian yang bagai menonton film komedi yang cukup lucu karena berhasil menghadirkan berbagai ironi, saat si penulis menyentil, menyikut, atau mencubit.
Beda dengan Nirwan dan Enin yang terkesan kritis, Hendro Wiyanto malah sangat memuji buku yang ditulis Omi ini. ”Buku ini ditulis dengan bahasa yang sangat baik, struktur yang sangat jelas, dan kosakata yang jernih. Beberapa bagian ia dengan cermat menggambarkan Ugo dan sebagian besar saya setuju,” katanya. (NAL)
Sumber: Kompas, Kamis, 11 Desember 2008
No comments:
Post a Comment