Sunday, December 07, 2008

Buku: Cintailah Sastra

-- Abdullah Khusairi

LAMBERTUS L Hurek pernah menulis makalah Kiat Menulis Enak ala Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos Groups. Menurut Lambertus, Dahlan memiliki kekuatan bahasa sehingga mempunyai pembaca fanatik. Jika ada tulisan muncul di koran, pasti dibaca tuntas.

Bagaimana kekuatan bahasa itu? Dahlan Iskan membangun kalimat pendek yang aktif. Bersepakat dengan penerima nobel sastra, Ernest Hemingway: Less is more. Sedikit itu banyak. Jauhi kata sifat, akrabkan kata kerja. Bangun kalimat aktif, usir kalimat pasif.

Kiat berikutnya, banyaklah membaca. Harus kutu buku. Karena membaca sebuah proses mengasah dan mengisi sampai memori otak penuh. Jika sudah penuh maka ia akan jadi sugesti penalaran.

Langkah berikutnya, mengasah ingatan agar tidak mudah lupa. Dahlan Iskan tak perlu banyak mencatat kalau sedang wawancara. Ia mencatat yang perlu saja. Tetapi ketika dia tuliskan semua yang diingatkannya, maka cespleng dibandingkan dengan tulisan wartawan lain.

Energi lain yang dimiliki Dahlan Iskan adalah logika yang sederhana. "Terakhir, cintai sastra!" kata Lambertus.

Poin terakhir terakhir ini paling menarik. Karena tidak semua orang mau dan akrab dengan sastra. Kadang tak ada waktu untuk dekat atau sekedar untuk menikmati. Apalagi mau masuk berkecimpung di dalamnya. Makanya, dunia sastra dunia orang yang sedikit.

Oleh karenanya, jarang sekali orang jatuh cinta dengan sastra. Karena kenal pun tidak, akrabpun apalagi. Konon, untuk sampai jatuh cinta, memang harus benar-benar akrab. Level sampai jatuh cinta tentu melewati kenal dan akrab. Tak kenal maka tak sayang, begitu kata orang.

Sudah pun begitu, malas pula membaca ---apa saja. Alamat keringlah sebuah karya. Menurut Arswendo Atmowiloto dalam buku Mengarang Itu Gampang, menulis adalah sebuah kerajinan membangun kata jadi kalimat. Kemudian membacanya berulang-ulang. Merasakan kembali apa yang telah dituangkan ke dalam tulisan. Proses ini membutuhkan ketekunan.

Sayangnya, proses ini belum pernah sampai matang diajarkan di bangku sekolah. Karena guru bahasa Indonesia mengejar penyelesaian kurikulum tepat waktu. Ketika sampai pada point belajar mengarang, sepertinya tidak begitu digalakkan. Guru bahasa Indonesia pun jarang menulis. Kecuali untuk kenaikan pangkat dan motivasi lain. Tidak pernah tumbuh karena panggilan hati untuk menuangkan pemikirannya ke dalam bentuk tulisan tetapi lebih karena dorongan sesuatu. Pamrih.

Pikiran positif agaknya perlu diungkapkan, bisa jadi guru bahasa Indonesia kita pada hari ini sangat sibuk untuk muatan pelajaran berkaitan dengan pengetahuan bahasa saja. Tidak termasuk dalam bagian sastra. Walaupun sebenarnya, bahasa dan sastra beda kamar dalam satu rumah. Cuma beda kamar. Sastra juga bersebelahan dengan filsafat. Jadi, bahasa, sastra, filsafat, adalah satu rumah. Bukankah bahasa lahir dari akal budi? Bahasa menunjukkan bangsa? Bahasa menunjukkan budaya?

Tetapi berbahasa, khususnya bahasa tulisan memang harus mengalami proses. Proses latihan dari tiga unsur tadi. Lalu diolah pula dengan rasa.

Persoalannya, bagaimana bisa mencintai sastra? Sehingga bisa menghasilkan tulisan yang enak dibaca banyak orang?

"Kadar orang untuk jatuh cinta dengan sastra tergantung bagaimana cara pertama berkenalan, lalu akrab, setelah itu merindukan. Namun semua orang sudah tahu itu bahasa sastra, cuma kadarnya yang berbeda-beda," begitu kata guru bahasa Indonesia.

Membaca buku Jurnalisme Sastrawi (Kumpulan Reportase Sastrawi, Pantau, 2004), Badak Jawa Sebuah Introspeksi Diri (Kumpulan Resonansi Parni Hadi, Republika, 1996). Juga sesekali membaca tulisan Emha Ainun Nadjib. Tentu saja, tulisan-tulisan Dahlan Iskan.

Kesimpulan yang didapat adalah, semuanya renyah dibaca dan punya gaya individual yaang kuat. Sepertinya tulisan lahir karena bakat dan minat yang berjodoh ke dalam diri seseorang.

"Kalau cuma minat, tidak pula serius maka jadi petaka. Kalau berbakat tidak pula berminat maka tak ada karya. Membaca dan mencintai sastra salah satu trik agar tulisan punya gaya," tegas guru bahasa Indonesia itu kepada saya.

"Kepada sastra saya tak pernah jatuh cinta. Apalagi menyatakan cinta kepadanya. Mungkin sastralah yang pernah bercinta dengan saya," kata saya. Guru bahasa Indonesia itu cengengesan saja mendengar saya belajar bersastra.

Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 30 November 2008

No comments: