Mojokerto, Kompas - Hasil penerjemahan naskah Kakawin Gadjah Mada atau Nyanyian Gadjah Mada mengungkap fakta baru, antara lain, Sumpah Palapa Gadjah Mada tidak diucapkan pada zaman Raja Hayam Wuruk, tetapi pada zaman raja Majapahit sebelumnya, yakni Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi.
Naskah itu juga mengungkapan, Majapahit menyerbu Bali bukan pada zaman Raja Sri Kresna Kepakisan, tetapi pada zaman Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi, ibu dari Raja Hayam Wuruk. Adapun Sri Kresna Kepakisan bukanlah Raja Majapahit, melainkan orang yang dipersiapkan untuk menjadi raja di Bali.
”Banyak fakta baru dari hasil penerjemahan naskah Kakawin Gadjah Mada,” kata Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur I Made Kusumajaya, Jumat (26/12). Ia adalah Ketua Tim Penerjemahan Kakawin Gadjah Mada, sedangkan penerjemahan dilakukan guru besar Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali, Prof Dr I Ketut Riana.
Informasi lainnya yang juga terungkap dalam naskah itu adalah peran Arya Wiraraja yang tidak banyak diketahui orang. ”Peran Arya Wiraraja jarang diungkap, padahal ia adalah penasihat ulung pada Kerajaan Majapahit,” kata Made Kusumajaya.
Tak ada peminat
Meski naskah asli yang tertulis pada 93 lembar daun lontar itu sudah diterjemahkan, menurut Made Kusumajaya, belum ada pihak yang berminat untuk membiayai penerbitannya dalam bentuk buku.
”Sudah diajukan ke Bupati (Mojokerto), swasta, dan (Dinas) Parsenibud Provinsi (Jatim),” urai Made. Namun, ia menyatakan, hingga saat ini belum ada pihak atau instansi yang tertarik menerbitkan naskah tersebut.
Made berharap, jika pada perkembangan selanjutnya ada pihak-pihak yang berminat untuk menerbitkan naskah tersebut menjadi buku, diharapkan bisa menjalin komitmen lebih serius.
Wakil Bupati Mojokerto Wahyudi Iswanto yang dikonfirmasi mengenai telah diselesaikannya naskah terjemahan ulang Kakawin Gadjah Mada mengaku pihak Pemkab Mojokerto belum mengetahui soal tersebut.
Sementara itu, guru besar Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali, Prof Dr I Ketut Riana tidak terlalu memusingkan soal royalti apabila naskah itu diterbitkan. Ketut adalah penerjemah naskah asli Kakawin Gadjah Mada yang ditulis dalam bahasa Bali Kuno dan ditulisnya ulang kembali dalam bahasa Indonesia lengkap dengan nyanyiannya.
”Saya tidak terlalu memikirkan royalti, yang penting adalah bagaimana masyarakat bisa tahu,” kata Ketut saat dihubungi pada hari yang sama.
Naskah yang sama, imbuh Ketut, memang pernah diterjemahkan pertama kali pada 1984 oleh Prof Dr Partini Sarjono Prodotokusomo dengan bantuan penerjemah I Ketut Ginarsa.
Karya ilmiah yang dijadikan disertasi doktoral itu dipertahankan di depan sidang terbuka Senat Guru Besar Universitas Indonesia di bawah pimpinan Prof Dr Nugroho Notosusanto di Jakarta pada 21 Januari 1984. Namun, ada beberapa koreksi terhadap terjemahan terdahulu. (INK)
Sumber: Kompas, Sabtu, 27 Desember 2008
No comments:
Post a Comment