Sunday, December 21, 2008

[Persona] Membangun Jembatan

SITI Musdah Mulia (50) dikenal sebagai salah satu feminis Muslim terkemuka di Asia. Ahli Peneliti Utama itu terus mengkaji teks literatur Islam secara kritis untuk menghapuskan ketimpangan jender dalam ajaran pokok Islam. Itulah salah satu caranya memperjuangkan kesetaraan dan keadilan antarsesama manusia dan sesama ciptaan-Nya. Buku-buku karyanya terus bermunculan.

Musdah dikenal sebagai tokoh perdamaian dan nirkekerasan yang secara konsisten membangun jembatan antariman, keyakinan, dan budaya di Indonesia dan memiliki komitmen kuat pada kemanusiaan tak bersekat. Ia termasuk satu dari sedikit tokoh yang berani membela agama-agama lokal dan mereka yang dituduh menghina agama resmi.

Kerja besar itu bukan tak menuai kontroversi. Dia menjadi sasaran terdepan dari mereka yang memiliki motif politik tertentu. Namun, Musdah tak mau ditundukkan rasa takut. Bagi dia, membela keberagaman Indonesia seharusnya dilakukan oleh setiap warga negara yang memahami sejarah negeri ini.

Dia juga berani membela korban yang secara politik terus mengalami stigmatisasi karena pernah mengalami situasi yang sama ketika ayahnya menjadi anggota DI/TII. ”Dalam politik selalu ada yang harus dirugikan,” katanya.

Terus berproses

Dilahirkan sebagai anak kedua dari enam bersaudara, Musdah kecil bercita-cita menjadi dokter. ”Tetapi, mana mungkin karena sejak kecil saya harus belajar agama di madrasah,” kenangnya.

Kakek dan neneknya sangat tradisional. Ia sempat dilarang ikut MTQ setelah kelas IV SD, karena kata kakeknya, perempuan itu suaranya aurat. Ia dilarang ikut lomba baca puisi Arab waktu kuliah di Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab dengan alasan sama. Setelah lulus kuliah, ia dilarang bekerja di BKKBN yang dikatakan kakeknya sebagai lembaga sekuler.

Neneknya melarangnya tertawa keras. ”Katanya, suara tawa perempuan mengundang setan,” kenang Musdah. ”Nenek juga melarang makan beberapa jenis ikan yang mengandung hormon tinggi supaya tidak genit,” kenang ibu dari dua anak itu.

Sejak berusia 14 tahun, setiap malam ia harus mengenakan setagen 2 meter supaya pinggangnya tetap kecil. Karena khawatir tingginya menjulang seperti tiang listrik, setiap Jumat malam sang nenek menyuruhnya menjinjing lesung mengelilingi rumah tujuh kali sambil membaca selawat. Neneknya menunggu di depan rumah.

Sang nenek ini mengirim ibunya ke pesantren tradisional di kota. ”Ibu saya adalah perempuan pertama yang keluar dari desa. Nenek tak peduli kata tetangga,” kenang Musdah.

”Mertua saya adalah Tuan Guru dari Bima yang tidak berpoligami. Beliau sangat bijak. Ucapan dan tindakannya seirama,” ujarnya tentang ayah dari sang suami, Prof Dr Ahmad Thib Raya, MA.

Hobinya berkebun dan mendengarkan Mozart serta instrumen piano dari Richard Clayderman di kala senggang tak pernah boleh dirusak oleh suasana di luar. Ia senantiasa melindungi diri dengan keyakinannya akan kebenaran, kebahagiaan, dan cinta karena dukungan yang terus mengalir dan menguatkan, khususnya dari keluarga. (MH/NMP)

Sumber: Kompas, Minggu, 21 Desember 2008

No comments: