BANDUNG, KOMPAS - Di balik kontroversi yang mencuat setelah mantan Wakil Presiden Adam Malik disebut sebagai agen biro intelijen Amerika Serikat (CIA) dalam buku Tom Weiner yang berjudul Membongkar Kegagalan CIA, tersirat kerapuhan bangsa Indonesia dan ketidakjelasan ideologi bangsa. Kebenaran pernyataan buku itu pun semestinya tak lagi perlu diperdebatkan.
Kesimpulan itu terungkap dalam diskusi yang diselenggarakan Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Jawa Barat, Sabtu (6/12) di Bandung.
”Hadirnya buku itu seharusnya tidak membuat kita terjebak dalam pembunuhan karakter dan kemudian menghujat pihak lain. Sebab, buku itu justru menunjukkan betapa setiap orang di negeri ini bisa menjadi antek siapa pun, baik dia sadari maupun tidak,” kata Kepala Pusat Penelitian Kebijakan Publik dan Pengembangan Wilayah Lemlit Unpad Dede Mariana.
Hal itu membawa kesadaran bahwa negeri ini begitu rapuh dan mudah diintervensi oleh pihak asing melalui berbagai macam cara, baik intelijen militer, pendidikan, ekonomi, politik, maupun kehidupan sosial-budaya.
Kerapuhan itu, kata Dede, antara lain disebabkan tidak adanya kejelasan ideologi bangsa. ”Tidak jelas apakah ideologi negeri ini Pancasila, Islam, Sosialisme, atau paham lainnya. Hal itu menjadikan ketidakajekan berpijak dan ketidakjelasan tujuan,” katanya.
Ketidakjelasan ideologi itu pun mengaburkan antara kawan dan lawan. ”Anehnya, orang-orang Indonesia yang dulunya bersekolah di AS kini justru menjadi corong utama menentang negara itu, kemudian di manakah lawan dan siapakah kawan?” tutur Ketua DPP HTI Farid Wadjdi.
Pengajar Ilmu Pemerintahan FISIP Unpad, Muradi, mengatakan, praktik intelijen begitu halusnya, bahkan menyusup melalui lembaga-lembaga donor di bidang penelitian dan pendidikan. Siapa pun dengan demikian bisa menjadi ”agen” asing tanpa disadari.
Praktik intelijen pun, lanjutnya, bisa dua arah. Dalam kasus Adam Malik, misalnya, tidak bisa langsung disimpulkan bahwa ia adalah agen CIA. Sebab, kemungkinan pada zamannya terdapat kebutuhan untuk memanfaatkan pihak asing demi mencapai cita- cita.
”Persoalannya, siapa memanfaatkan siapa selalu tidak jelas dalam dunia intelijen. Karenanya, benar atau tidaknya tulisan Tom Weiner menjadi tidak terlalu relevan diperdebatkan,” ujar Muradi.
Buku itu juga menyadarkan tentang lemahnya dunia intelijen Indonesia. ”Militer Indonesia yang aktif melakukan praktik intelijen nyatanya lebih sibuk dengan urusan ekstrem kanan dan ekstrem kiri di dalam negeri. Mereka asyik menyelidiki bangsa sendiri, sementara buta dengan kekuatan asing yang mengancam,” tutur mantan Kepala Biro Humas Departemen Dalam Negeri Kolonel (Purn) Herman Ibrahim.
Pada akhirnya, reideologisasi bangsa adalah solusi untuk keluar dari kerapuhan. Pemimpin negara yang tegas dan memegang teguh ideologi negara Pancasila, kata Herman, adalah panutan dan langkah awal reideologisasi.(REK)
Sumber: Kompas, Selasa, 9 Desember 2008
No comments:
Post a Comment