-- Bambang K Prihandono
KEMENANGAN Barack Obama dalam pemilihan presiden Amerika Serikat telah melahirkan antusiasme dan harapan baru di seluruh dunia. Kemenangan Obama tak hanya bermakna politik, namun juga sebuah kejayaan simbolik.
/ Kompas Images
Kulit hitam, bernama tengah Husein, masa kecil di Indonesia dan ”minoritas” telah menjadikan Barack Husein Obama tampil sebagai sosok yang mengisi imaji tentang multikulturalisme. Sebuah imaji yang menjadi impian dan sekaligus tujuan di zaman yang diliputi konflik berbau etnik dan agama.
Tak mengherankan, banyak orang senang dan berharap, dengan naiknya Obama sebagai pimpinan tertinggi AS, negeri adidaya tersebut akan mampu membina hubungan yang lebih baik dengan negara-negara lain.
Antusiasme dan harapan serupa juga terjadi di Indonesia. Banyak kalangan pun berharap, Obama, yang memiliki memori dunia kanak-kanaknya di Jakarta, akan mampu membangun politik luar negeri dan menjalin relasi yang lebih baik dengan kita. Harapannya, memori itu mengembangkan emosi kedekatan dan peluang kerja sama yang lebih adil.
Harapan demikian tentu mulia dan baik, namun hal itu bukan berarti mengabaikan realitas ”politik internasional”. Hubungan antarnegara bukanlah sekadar hubungan pribadi sehingga meskipun pemimpin sebuah negara memiliki ikatan masa kecil dengan negara tertentu, bisa saja pemerintahnya berpendirian lain.
Lagi pula, suatu hubungan antarnegara tidak cukup jika dasarnya adalah nostalgia dan ikatan batin. Suatu hubungan antarnegara yang sehat seharusnya didasarkan pada posisi tawar yang sejajar, sikap saling menghormati dan kehendak untuk saling menguntungkan.
Persoalannya, bagaimanakah mewujudkan politik diplomasi yang serba baik itu? Buku karya Baskara T Wardaya ini, kiranya, menawarkan bahan refleksi dan belajar yang baik tentang perjuangan menciptakan politik internasional yang adil.
Tempat khusus
Indonesia, semasa pemerintahan Soekarno, pun menorehkan catatan historis tentang perjuangan menciptakan hubungan sejajar yang dilandasi sikap saling hormat dan saling menguntungkan dalam fora politik internasional. Pada masa itu Bung Karno dan pemerintahannya gigih memperjuangkan hubungan diplomatik yang setara, yang saling menghormati, sekaligus yang saling menguntungkan sebagai sesama warga dunia.
Sikap-sikap semacam itu dibangun oleh para pemimpin Indonesia dalam relasi dengan negara mana pun, termasuk Amerika Serikat. Sebagaimana terurai dengan jelas dalam buku Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin 1953-1963, apa yang diharapkan oleh para pemimpin itu memang tidak selalu tercapai, tetapi mereka pantang menyerah dalam memperjuangkan prinsip-prinsip luhur dalam pergaulan antarbangsa.
Fokus pada periode 1953-1963, ketika AS berada di bawah pemerintahan Presiden Eisenhower dan Presiden Kennedy, buku karya sejarawan Baskara T Wardaya ini menunjukkan, di tengah hiruk-pikuk dan tegangnya Perang Dingin, Indonesia tetap sadar diri sebagai sebuah negara berdaulat yang penuh martabat di antara bangsa-bangsa lain. Tak ada rasa rendah diri, tak ada relasi yang didasarkan pada harapan akan ikatan batin nostalgis dengan pemimpin negara tertentu.
Ditunjukkan, di tengah makin meningkatnya perseteruan antara Blok Kapitalis di bawah pimpinan AS dan Blok Sosialis-Komunis di bawah pengaruh Uni Soviet, Indonesia tetap berupaya membangun relasi yang baik dengan keduanya, tetapi tanpa mau menjadi kaki-tangan blok mana pun. Di bawah kepemimpinan Soekarno-Hatta, Indonesia tetap konsisten menjalankan prinsip ”bebas aktif” dalam politik luar negerinya.
Dengan tinjauan deskriptif-analisis yang memikat, buku ini memperlihatkan bagaimana di tengah berbagai ketegangan internasional, Pemerintah Indonesia tetap tenang dan penuh percaya diri, bahkan mampu menggunakan ketegangan di antara dua blok Perang Dingin untuk mendukung kepentingan Indonesia sendiri.
Misalnya dalam soal perebutan Irian Barat. Secara sengaja Bung Karno mendekat pada Uni Soviet, tetapi dengan maksud utama untuk mendesak Pemerintah AS agar mau menekan Belanda supaya segera hengkang dari wilayah yang dinyatakan sebagai bagian dari Republik Indonesia itu. AS pun lantas berpikir ulang atas dukungannya terhadap Belanda. Negosiasi digelar, dan hasil akhirnya adalah Irian Barat menjadi bagian dari Indonesia (hal 229-287).
Berkaitan dengan pemberontakan daerah tahun 1956-1957 yang didukung oleh AS, pemerintahan Bung Karno berhasil memadamkan pemberontakan tersebut, tetapi sengaja tanpa mau mempermalukan AS di mata dunia. Dengan begitu, setelah pemberontakan usai, Indonesia dapat tetap membina hubungan diplomatik yang wajar dengan AS (hal 153-226).
Bung Karno sadar, Uni Soviet sedang ingin menarik Indonesia agar berada di bawah pengaruhnya, sementara AS juga berusaha melakukan hal yang sama. Uni Soviet berharap Indonesia menjadi negara antikapitalis yang condong ke Moskwa, sedangkan AS mengkhawatirkan makin kuatnya gerakan kiri prorakyat di Indonesia.
Sadar akan hal itu, Bung Karno justru memanfaatkannya untuk menaikkan peran dan pengaruh Indonesia di dunia internasional. Ia ingin Indonesia berada di garis depan dalam memimpin negara-negara yang menolak kedua blok itu.
Hal ini tampak, misalnya, dalam kepemimpinan Indonesia selama Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung yang berlangsung sukses. Berkat konferensi itu nama Indonesia menjadi harum di panggung dunia, dan bangsa Indonesia mendapat tempat khusus di hati masyarakat internasional.
Makna lebih luas
Buku ini mendeskripsikan dengan jelas dan bagus tentang peran Bung Karno dan para pemimpin lainnya yang tak pernah merasa minder manakala harus berhadapan dengan para pemimpin dunia lain. Bahkan, tatkala Indonesia sebagai negara merdeka yang baru berusia belasan tahun.
Secara rinci, buku ini membeberkan berbagai kebijakan tentang Indonesia yang diolah di Kedubes AS di Jakarta maupun di Gedung Putih di Washington. Dilukiskan betapa sengitnya pro dan kontra dalam penyusunan kebijakan terhadap Indonesia, tetapi pada akhirnya semuanya tetap demi kepentingan AS sendiri.
Tak mengherankan Philip Naylor, penulis buku France and Algeria: A History of Decolonization and Transformation (2000), memandang buku ini sebagai sumbangan penting bagi kajian-kajian atas politik luar negeri AS dan atas sejarah Indonesia. Lewat buku ini kita disadarkan, banyak dinamika politik yang terjadi di Indonesia kurun waktu 1950-an dan 1960-an ternyata sangat ditentukan oleh faktor-faktor dari luar.
Sebagai bahan refleksi, buku ini mengajak kita melihat sejarah Indonesia dari sisi lain, yakni dimensi dinamika internasional. Keindonesiaan bukan melulu dibentuk oleh dinamika politik dalam negeri, namun juga hasil dari diplomasi internasional. Maka, jika kini kita menghadapi aneka problem, dari Aceh, Papua, sampai tragedi politik 1965, serta arah kebijakan politik dan ekonomi Indonesia setelah itu, buku ini menjelaskan secara gamblang akar-akar persoalannya.
Catatan kaki yang begitu banyak dan njelimet berikut penggunaan istilah-istilah yang terasa kurang pas membuat buku ini kadang terasa berat dan membosankan. Itu semua karena buku ini merupakan terjemahan Baskara Wardaya dari disertasinya yang dipertahankan pada Marquette University, Milwaukee, Wisconsin, AS.
Meskipun demikian, secara umum gagasan dan analisis yang disampaikan amat berguna. Buku ini tergolong unik karena dalam memahami sejarah Indonesia, pembaca diajak untuk memandangnya dari sisi dinamika internasional. Dengan demikian, diharapkan bahwa pembaca akan dapat melihat sejarah Indonesia dari perspektif yang lebih luas. Menempatkan politik nasional dalam pusaran global. Sehingga, kita pun tak berpikir bak katak dalam tempurung.
* Bambang K Prihandono, Alumnus Westfaelische Wilhelms-Universitaet Muenster, Jerman, dan Pengajar di FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Sumber: Kompas, Minggu, 7 Desember 2008
No comments:
Post a Comment