-- Bagus Takwin
IMAJINASI lebih penting dari pengetahuan.” Begitu lelaki rambut-semrawut itu menyatakan. Hal tak biasa karena rambut-semrawut itu adalah genius terbesar abad ke-20 yang berkhidmat pada ilmu yang menawarkan kepastian, matematika dan fisika. Tapi, Einsten, jemawut itu tidak main-main. Sesuatu tersembunyi di balik pernyataan itu.
Dalam penuturannya tentang bagaimana ia sampai kepada rumus E = mc, tampak peran imajinasi memang besar. Imajinasilah yang membawanya kepada pemahaman tentang relativitas gerak yang sudah jadi persoalan ahli fisika dan kimia sejak zaman Newton. Perumusan sebuah teori bagi Einstein (1915) adalah tindakan kreatif. Kelahiran ide teoretis memang tidak lepas dari pengalaman, tetapi juga tidak melulu turunan logis dari pengalaman. Imajinasi berperan menghubungkan pengalaman dengan rangkaian proposisi logis yang menyusun teori. Ide teoretis baru yang melampaui keterbatasan teori-teori sebelumnya adalah hasil penjelajahan di dunia imajiner.
Penilaian tinggi terhadap imajinasi itu disambut banyak sastrawan. Buat penyair seperti TS Eliot, Einstein mengagumkan dan mengundang pujian. Eliot menyebut pemenang hadiah Nobel Fisika tahun 1921 itu sebagai ”The Great”.
Sebagai ilmuwan, Einstein adalah figur inspiratif untuk para sastrawan. The Waste Land, karya utama Eliot, bisa dibaca sebagai puisi tentang relativitas. Pengaruh teori relativitas juga bisa kita temukan dalam puisi-puisi Wallace Stevens. Obyek-obyek yang berubah-ubah sesuai dengan cara melihatnya secara intens tampil dalam karya-karya penyair Amerika pemenang Pulitzer Prize dan the National Book Award 1954 itu.
Sebelum Einstein, Eliot, dan Stevens, kita temukan juga hubungan antara seni, terutama puisi modern, dan sains dalam karya-karya Ezra Pound. Penekanan Pound pada fakta puisi sebagai pemampatan (Inggris: condensation; Jerman: dichten) mengingatkan kita kepada sains yang juga berusaha untuk menemukan ungkapan ringkas dan padat bagi realitas. Hubungan itu juga jadi kajian menarik bagi para penyair dan ilmuwan setelahnya.
Biolog pemenang hadiah Nobel tahun 1960, Peter Medawar, contohnya, menjadikan perbandingan sains dan puisi sebagai salah satu obyek pemikirannya. Menurutnya, sains adalah seni dari yang ”terpecahkan”, sedangkan puisi adalah seni dari ”yang-tak-terpecahkan”.
Prosedur kebenaran
Dalam hal yang esensial, kedua hal itu sama-sama hasil kerja dari pikiran yang tak linear, pikiran lateral. Untuk menghasilkan baris-baris kalimat yang bernas, keduanya mengambil jalan pikiran yang tak umum dilalui orang. Imajinasi membimbing langkah-langkah di jalan itu. Bedanya, sains harus dapat merumuskan kembali secara ketat jalan itu agar orang lain dapat juga melaluinya dengan derajat kepastian tertentu menuju tempat lain yang lebih baik.
Sementara puisi hanya menyisakan jejak-jejak keindahan yang menggoda orang untuk menikmati jalan itu tanpa harus mencapai tempat lain. Bagi penyair, tersesat di jalan itu pun merupakan kenikmatan sebab ia tersesat di jalan yang benar, sedangkan bagi ilmuwan jalan itu adalah perantara menuju kesejahteraan. Lepas dari perbedaan antarkeduanya, sains dan puisi sama-sama menawarkan jalan baru, terobosan kreatif.
Dari Badiou (2005), kita bisa paham lebih jauh hubungan antara puisi dan sains: keduanya sama-sama berposisi sebagai prosedur kebenaran; trayek yang disusuri untuk menemukan kebenaran. Puisi dan sains sejak awalnya adalah interupsi terhadap status quo, tindakan memutus rutinitas agar alur baru dapat dibentangkan. Dengan kesetiaan kepada alur baru yang dikenali cuma dari jejak-jejaknya, selangkah demi selangkah jejak-jejak itu terhubungkan, setahap demi setahap alur itu menegaskan bedanya dari alur lain.
Tapi, alur baru itu semula hanya tampak sebagai hamparan obyek centang-perenang, sesuatu yang tak jelas. Namun, sebuah kejadian, peristiwa tak terduga, sesuatu yang pernah datang dan segera menghilang, telah memberikan gugahan kepada sang ilmuwan dan sang penyair untuk merunut centang-perenang itu. Intuisi keduanya dapat memastikan, ada kebenaran di situ. Obyek atau kejadian itu adalah bagian dari dunia, bagian yang semestinya diindahkan oleh kemanusiaan.
Maka, dibayangkanlah bentuk lengkap alur baru itu; diandaikan keberadaannya yang utuh dengan imajinasi. Lalu, citra utuh itu dibuktikan adanya dalam wujud konkret, disodorkan prosesnya kepada siapa saja yang hendak mengenalinya, dinyatakan sebagai ”kebenaran”: kebaruan yang memutus rantai pengulangan pada status quo. Di sini perbandingan imajinasi dan pengetahuan menegaskan diri: imajinasi adalah sumber kebaruan, dan kemudian kebenaran, sedangkan pengetahuan pengulangan apa yang sudah dikenal.
Spekulasi sains dan seni
Kita bisa paham, puisi dan sains sama-sama spekulasi yang merangkai jejak-jejak kejadian di dunia. Hamparan luas dunia yang masih tak terbayangkan batasnya tentu mengandung banyak sekali ihwal yang belum dipahami. Dan itu adalah lahan tak terbatas untuk spekulasi, juga bagi penyair dan ilmuwan. Sebuah puisi, juga sebuah teori, selalu bersifat spekulatif. Selalu ada yang melampaui pengalaman di dalamnya. Seperti penyair mengakui sifat spekulatif dalam puisinya, Einstein mengakui sifat spekulatif dari teori relativitas. Dan itu bukan masalah sebab baginya setiap teori adalah spekulatif. Dalam artikelnya di Scientific American tahun 1950 berjudul ”On the Generalized Theory of Gravitation”, ia memaklumkan,
”Ketika konsep dasar dari sebuah teori secara komparatif ’dekat dengan pengalaman’ (contohnya konsep gaya, tekanan, dan massa), karakter spekulatifnya tidak mudah dikenali. Tapi, jika sebuah teori mensyaratkan aplikasi proses-proses logis yang rumit agar dapat memperoleh kesimpulan dari premis-premis yang dapat diperlawankan dengan pengamatan, setiap orang jadi sadar akan kodrat spekulatif dari teori.”
Imajinasi adalah bahan baku spekulasi. Imajinasi mendahului pengetahuan, membawa spekulasi menerobos chaos (ketakhadiran aturan) untuk menjajaki kemungkinan cosmos (kehadiran aturan).
Tak ada pengetahuan tanpa imajinasi. Tak ada kebenaran tanpa imajinasi. Sebagai prosedur kebenaran, puisi dan sains mengindahkan imajinasi. Para penyair dan ilmuwan yang sungguh-sungguh setia kepada kebenaran memahami keniscayaan imajinasi.
* Bagus Takwin, Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok
Sumber: Kompas, Sabtu, 6 Desember 2008
No comments:
Post a Comment