Solo, Kompas - Situs cagar budaya yang masih tertinggal di Kota Solo, Jawa Tengah, termasuk Benteng Vastenburg, harus dipertahankan karena menyangkut identitas kota sekaligus cerminan roh budaya Jawa.
Hal itu dikemukakan sejarawan dan pengajar Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Negeri Sebelas Maret (FSSR UNS) Solo, Soedarmono SU, dalam seminar ”Refleksi Perdagangan Benda- benda Cagar Budaya di Solo” yang diadakan FSSR UNS, Selasa (23/12).
Menurut Soedarmono, banyak bangunan cagar budaya dan kawasan bersejarah di Kota Solo mengalami degradasi karena kalah oleh kepentingan ekonomi. Cagar budaya digantikan bangunan modern seperti hotel atau pusat perbelanjaan. ”Bangunan cagar budaya nyaris tidak kita temukan lagi di sepanjang Jalan Slamet Riyadi. Saat ini tinggal Jalan Jenderal Sudirman yang masih menyisakan bangunan warisan, termasuk Benteng Vastenburg,” ujarnya.
Pembicara lain adalah pengajar Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana UNS, Dr I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani; pengajar Fakultas Ilmu Budaya UGM, Prof Marsono; pengajar FSSR UNS, Christiana Dwi Wardhana; dan wartawan Ayu Prawitasari.
Menurut Soedarmono, keberadaan situs cagar budaya merupakan identitas orang Solo, misalnya, Alun-alun Keraton. Karena itu, jangan sampai menjadi bancakan (santapan bersama). Begitu pula Benteng Vastenburg yang kini beralih ke tangan swasta. ”Situs-situs itu memberi roh terhadap ekologi budaya Jawa,” katanya.
Handayani menyatakan, sesuai Undang-Undang Benda Cagar Budaya No 5/1992, semestinya Benteng Vastenburg dikuasai pemerintah dengan mengedepankan fungsi sosial. Namun, pihak swasta akan membangun hotel berlantai 13 berikut pusat perbelanjaan modern di benteng yang dibangun Belanda tahun 1775.
HM Sungkar dari Komunitas Peduli Cagar Budaya Nusantara mempersoalkan hasil amdal tim dari UNS yang antara lain menyebutkan, ditinjau dari aspek hukum positif, rencana pembangunan hotel dan mal di situs yang dilindungi UU Benda Cagar Budaya itu tidak melanggar norma.
Handayani menyatakan, UNS hanya melakukan kajian pada aspek ekonomi, sosial, kesehatan, kondisi udara dan air. Kajian pada aspek arkeologi tidak dilakukan. Yang melaksanakan adalah Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala Jateng. (asa)
Sumber: Kompas, Rabu, 24 Desember 2008
No comments:
Post a Comment