Saturday, March 31, 2012

Diam sebagai Puncak Perlawanan

-- Tjahjono Widarmanto


"Kita telah melawan,
Nak, Nyo, sebaik-baiknya,
sehormat-hormatnya"


PEREMPUAN itu bernama Nyai Ontosoroh ia telah melakukan perlawanan hampir sepanjang hidupnya. Perlawanan melawan nasib dantakdirnya. Dengan penuh kesadaran mencoba mengubah nasibnya melawan berbagai kemungkinan. Saat nasib mengantarkannya menjadi gundik Mellema, seorang amtenar Belanda ia hanya pasrah menerima takdirnya.

Namun, dibalik sikap pasrahnya, berbekal ambisi dan dendam sekaligus sedikit diuntungakan dengan politik etis tuannya, ia mengubah nasibnya menjadi seorang pengusaha partikulir yang besar. Perlawanan yang dilakukan adalah perlawanan yang diam-diam, tidak hiruk pikuk, namun dilakukannya sepanjang hidupnya. Dia berhasil memunculkan dirinya sebagai sosok yang baru, dari sekedar perempuan dusun biasa menjadi sosok penentu dalam pengambilan keputusan besar bersangkut paut dengan investasi, produksi, dan distribusi. Dia berhasil memunculkan identitasnya yang baru walaupun harus melakoni bahkan melampaui segala citra busuk seorang Nyai.

Perlawanan yang dilakukannya bukanlah perlawanan yang frontal, namun sebuah perlawanan yang mengalir bersama sebuah penerimaan pada takdir. Pasrah tak sekedar diam dan menangisi nasib, namun dalam pasrah muncul sebuah perlawanan yang diam .

Diamnya Nyai Ontosoroh sebagai seorang perempuan Jawa yang memunculkan perlawanan dibalik sikap pasrah, barangkali bisa dipahami saat kita melihat sosok Gendhari (Gendari) dalam cerita pewayangan. Ketika ia diperdaya oleh Bhisma untuk diperistri seorang Deatarata yang buta, seorang yang lemah, seorang yang ringkih dibawah bayang-bayang keagungan Bhisma dan keperkasaan Pandu. Gandhari tak bisa menolak takdir itu. Dan tak bisa menggugat suratan tangannya. Gandhari dalam pasrahnya menanggung kesewenang-wenangan nasib dan sejarah, menemukan satu cara melawan. Ia memutuskan untuk selamanya menutup kedua matanya dengan seuntai kain hitam, sampai mati agar tak melihat apa-apa.

Namun, sejak itu, Gandhari bersama adiknya, Sengkuni, dengan cerdiknya disusunnya sebuah skenario baru, muslihat yang halus, yang kelak akan melahirkan episode-episode sedih bagi anak-anak Pandu serta membentangkan kematian Bhisma dalam sebuah pertempuran maha dahsyat. Dalam diri manusia Jawa memang selalu muncul kontradiksi-kontradiksi, dalam diri manusia Jawa selalu muncul kontras dan tumpang tindih.

Di balik diam ada perlawanan, di balik kelembutan muncul kekejian. Sebuah serat bernama Centhini menggambarkan ketumpangtindihan itu. Di dalam Centhini bisa dilihat betapa manusia Jawa itu penuh kontras, tumpang tindih antara raga dan roh, antara yang sensual dan spiritual, antara lembut dan tajam, antara yang alim dan alami, antara Jawa dan Islam.

Pada Centhini melalui pengembaraan Amongraga dari Giri, kita bisa melihat deskripsi ajaran sufistik, deskripsi cara ibadah, deskripsi makanan, hinga deskripsi seks yang gila. Kontras yang paling mencolok ada pada pupuh 362, bait-bait saat Amongraga bersama istrinya, Tembang Raras, berada di biliknya yang tertutup. Ada adegan para santri yang menyanyi dan menari seakan-akan memberikan latar musik pada adegan ranjang Amongraga dan Tembang Raras.

Dan, di bilik itu tak ada yang erotik. Hari itu, sama seperti 39 malam lainnya kedua suami istri itu tak bersenggama sama sekali. Pria alim itu hanya nembang mewejang istrinya. Namun diluar ada Jayengraga, lelaki tampan yang merasakan desakan libido yang dahsyat.Dalam situasi ereksi luar biasa ia gagal meniduri isteri dan selirnya yang sedang datang bulan, dan akhirnya melampiaskan nafsunya ke pantat dua pemuda penggiringnya. Ia orgasme dan subuh tiba, adegan homoseksual itu berpindah, Jayengraga mandi. Mengambil wudhu, dan shalat bersama santri lainnya.

Pada akhirnya dapat dilihat bahwa Centhini menampakkan penggambaran situasi kejiwaan yang kontras dan tumpang tidih pada manusia jawa. Persis kita jumpai pada Nyai Ontosoroh dan Gendhari yang memunculkan sebuah kontras yaitu : diam dan sebuah perlawanan. Sebuah pasrah dan sebuah dendam!


Tjahjono Widarmanto
, Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Alumnus IKIP Negeri Surabaya (sekarang UNESA). Pendidikan Pascasarjananya diselesaikan tahun 2006. Tulisan-tulisannya burapa essai budaya, sosial, pendidikan, dan puisi dimuat diperbagai media antara lain Kompas, Republika, Jawa Pos, Surya, Suara Karya, Kedaulatan Rakyat,Pikiran Rakyat ,Harian SINDO, Bernas, Suara Pembaruan, Harian Sindo, Bahana (Brunai), Perisa (Malaysia) dan Horizon


Sumber: Suara Karya, Sabtu, 31 Maret 2012

Thursday, March 29, 2012

RSBI Jangan Kesampingkan Bahasa Ibu

-- Lusia Kus Anna
|
Kompas.com - Pengelola Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional dan sekolah internasional diharapkan tidak mengesampingkan pembelajaran bahasa ibu, baik bahasa daerah maupun bahasa nasional.

Hal tersebut disampaikan kepala balai bahasa Semarang, Pardi Suratno, dalam seminar "Kebahasaan dan Kesastraan Dalam Rangka Hari Bahasa Ibu Internasional: Peran Bahasa Ibu Dalam Pendidikan Karakter" di Semarang, Jawa Tengah, Kamis (29/3/12).
    
Ia mengakui, saat ini memang ada semacam pandangan bahwa sekolah berlabel internasional meminggirkan bahasa daerah dan nasional, karena lebih mementingkan pembelajaran dan penguasaan bahasa asing, yakni Inggris.
    
Padahal, kata dia, pembelajaran bahasa daerah dan nasional di sekolah menjadi langkah pelestarian kebudayaan lokal, mengingat bahasa merupakan wadah kehidupan, cerminan kebudayaan, dan kehidupan masyarakat.
    
"Kalau sampai bahasa hilang, kebudayaan akan hilang. Karena itu, tidak seharusnya kualitas pembelajaran di RSBI maupun sekolah berlabel internasional semata-mata diukur dari penguasaan bahasa asing," katanya.
    
Berkaitan dengan bahasa ibu, ia berpandangan bahwa bahasa ibu merupakan bahasa yang pertama diterima anak ketika lahir, karena itu tidak harus selalu bahasa daerah, namun bisa saja bahasa ibu adalah bahasa nasional.
    
Menurut dia, Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu bisa saja terjadi pada pasangan perkawinan campuran lintas suku, misalnya suku Jawa dengan Papua yang biasanya dalam percakapan sehari-hari menggunakan Bahasa Indonesia.
    
"Baik bahasa daerah maupun bahasa nasional tidak boleh dikesampingkan dalam pembelajaran di sekolah, termasuk sekolah-sekolah berlabel internasional," katanya.
    
Ia menjelaskan, pemaknaan bahasa seharusnya ditempatkan semestinya, yakni bahasa daerah untuk membangun identitas kedaerahan, bahasa nasional untuk membangun identitas nasional dan semangat cinta tanah air.
    
"Bahasa internasional harus dimaknai sebagai langkah mempersiapkan untuk menjelajah dunia internasional, terkait posisi sebagai bagian dari warga negara dunia. Ketiganya harus dimaknai dalam porsi seimbang," kata Pardi.
    
Sementara itu, Kepala Seksi Kurikulum Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Jawa Tengah Hari Wuljanto pada kesempatan sama mengungkapkan pentingnya pembelajaran bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa.
    
Pendidikan, kata dia, sebagai proses pemberdayaan, pembudayaan, dan pemanusiaan dipandang penting ikut dalam upaya mempertahankan dan melestarikan bahasa yang ditegaskan pula dalam sistem pendidikan nasional.

Sumber: Edukasi, Kompas.com, Kamis, 29 Maret 2012

Tuesday, March 27, 2012

Kebijakan Sekolah RSBI dan SBI Tanda Tidak Percaya Diri

-- Ester Lince Napitupulu & Robert Adhi Ksp

JAKARTA, KOMPAS.com - Kebijakan rintisan sekolah-sekolah bertaraf internasional (RSBI/SBI) di Indonesia yang mengikuti standar kompetensi negara-negara maju yang tergabung dalam negara-negara OECD merupakan bentuk pengingkaran terhadap watak dan peradaban bangsa yang bermartabat.

Ini sekaligus juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak percaya diri terhadap kemampuan yang kita miliki sendiri. "Aneh, kalau sekolah-sekolah unggul Indonesia lebih berorientasi mengikuti standar yang ditetapkan oleh negara asing. RSBI jelas-jelas tidak sesuai dengan tujuan pendidikan nasional," kata Raihan Iskandar, Anggota Komisi X DPR, di Jakarta, Selasa (27/3/2012).

Raihan mengatakan tujuan SBI seperti dinyatakan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 78 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah adalah untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi sesuai standar kompetensi lulusan dan diperkaya dengan standar kompetensi pada salah satu sekolah terakreditasi di negara anggota OECD atau negara maju lainnya.

Selain itu, untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan bersaing dalam lomba internasional yang dibuktikan dengan perolehan medali emas, perak, perunggu dan bentuk penghargaan internasional lainnya.

"Tujuan SBI dalam Permendiknas tersebut tidak sesuai dengan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertulis dalam Pasal 3 UU Sisdiknas, yang menyatakan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab," jelas Raihan.

Menurut Raihan, Indonesia harus percaya diri dengan potensi dan kemampuan mengembangkan sistem pendidikan nasionalnya sendiri. "Bukan malah lebih berorientasi mengikuti standar yang ditetapkan oleh negara asing," ujar Raihan. 

Sumber: Edukasi, Kompas.com, Selasa, 27 Maret 2012

Sunday, March 25, 2012

[Buku] Upaya Memperjuangkan Keadilan

Data Buku

Busyro Muqoddas, Penyuara Nurani Keadilan. Elza Faiz & Nur Agus Susanto. Erlangga, Jakarta, 2011. 314 hlm.

SOSOK Muhamad Busyro Muqoddas tentu tidak asing lagi diranah penegak hukum. Mas Bus, sapaan akrab Busyro Muqoddas, terlahir pada 17 Juli 1952 di Kampung Notoprajan, Yogyakarta.

Ia merupakan salah satu putra terbaik asli Yogyakarta yang memiliki karier gemilang di dunia hukum. Sebut saja, menjabat sebagai Ketua Komisi Yudisial (KY) periode 2005—2010 hingga menjabat sebagi Ketua Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) mengantikan Antasari Azhar.

Dalam perjalananya menapaki karier di dunia hukum, Busyro mengawalinya sebagai pengacara "jalanan". Busyro berupaya memperjuangkan keadilan bagi masyarakat korban represi rezim pada masa Orde Baru. Berbagai perjuangannya itu, di antaranya adalah kasus penembakan misterius (Petrus), Komando Jihad, pengeboman Candi Borobudur, kasus kuningisasi yang menimpa Moedrick M. Sangidoe. Pada pengujung Orde Baru, Busyro turut mendampingi para pedagang pasar tradisional menggugat Bupati Wonosobo, dan pada awal-awal Reformasi ia menangani kasus yang menimpa Mozes Gatotkaca, mahasiswa yang tewas akibat kekerasan aparat dalam aksi demonstrasi di Yogyakarta.

Fragmen kisah perjuangan di atas merupakan bagian dari rekam jejak perjalanan hidup Busyro Muqoddas yang tersaji dalam buku ini. Buku ini mengisahkan riwayat hidup dan kiprah Busyro Muqoddas dalam mewarnai kariernya di negeri ini, khususnya dalam ranah yang digelutinya: Hukum.

Di dalam dunia hukum, Busyro dikenal dengan hukum profetiknya yang bersendi pada tiga poros, yaitu humanisasi, liberalisasi, dan transedensi. Ketiga poros ini ia manifestasikan dengan tindakan nyata kala menjadi pengacara “jalanan” yang berpihak pada masyarakat korban represi rezim pada masa Orde Baru. Sikapnya ini merupakan suatu pilihan langka dengan risiko sangat tidak sederhana di zaman rezim Presiden Soeharto.

Pada periode 2011—2014 ini sosok Busyro Muqoddas memangku amanah sebagai wakil ketua KPK. Bagi Busyro, memberantas korupsi di tubuh Indonesia bukanlah semudah membalikkan kedua telapak tangan. Korupsi di negeri ini perlahan tumbuh subur, sesubur tanah Indonesia.

Meski demikian, Busyro bertekad setiap laku lampah yang salah dan menyengsarakan masyarakat, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, wajib ditindak sesuai prosedur undang-undang. Langkah ini sangat urgen digalakkan sebagai manifestasi jihad kemanusiaan dalam menegakkan keadilan di seantero negeri ini.

Hadirnya biografi bertajuk Busyro Muqoddas: Penyuara Nurani Keadilan menurut pandangan Elza Faiz dan Nur Agus Susanto merupakan bentuk cerita kegelisahan dan perjuangan seorang anak bangsa (Busyro Muqoddas) yang merasa tergeretak hatinya melihat penindasan dan ketidakadilan yang merajalela. Biografi ini menjadi "saksi" yang mengafirmasi bahwa adanya mafia hukum dan mafia peradilan di negeri ini adalah nyata dan bukan isapan jempol belaka.

Terlebih, biografi ini merupakan penyempurnaan dari buku biografi sebelumnya yang ditulis Binhad Nurrohmat dan Eva Dewi yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial pada 2010. Dibandingkan buku sebelumnya, buku ini telah mengalami perubahan berarti di semua bagian untuk memberi cerita utuh tentang sejarah perjalanan hidup Busyro Muqoddas.

Melalui buku ini, kita bisa melihat kepribadian Busyro Muqoddas yang menanamkan sikap hidup sederhana, ringan tangan, peduli terhadap sesama, dan sangat benci terhadap segala bentuk ketidakadilan. Nilai-nilai yang terkandung dalam biografi Busyro Muqoddas ini sangat patut dijadikan teladan bagi generasi penerus bangsa agar senantiasa peka dalam memperjuangkan segala bentuk ketidakadilan yang mendera bangsa ini. n

Aris Hasyim
, mahasiswa Sosiologi FUSAP, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 Maret 2012

Memberantas Korupsi dengan Sastra

(Sebuah Upaya Meminimalisir Korupsi dengan Pendekatan Sastra)

-- Jumardi

KORUPSI kian eksis menjadi ‘artis’ Indonesia. Hampir semua media cetak maupun elektronik memuat tentang ‘artis’ tersebut. Karena semakin banyak yang memberitakannya, maka ia semakin terkenal. Tidak terkecuali anak-anak pun mengetahuinya, minimal mendengar pembicaraan tentang ‘artis’ itu. Dengan semakin terkenalnya, sang ‘artis’ pun kerap menjadi topik utama pembicaraan. Apakah itu dari kalangan ‘tinggi’ maupun dari kalangan ‘rendah’. Tak terkecuali para sastrawan.

Maret 2011 lalu, misalnya, saat diadakan bedah novel 86 karya Okky Madasari, Koordinator Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Febridiansyah mengatakan: ‘’Tidak cukup hanya hakim, jaksa, KPK dan penegak hukum lainnya yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi, bila tidak ada peran dari masyarakat. Peran masyarakat melalui karya sastra ini cukup baik,’’ katanya saat jadi pembicara acara bedah novel 86 dengan tema “Melawan Korupsi Melalui Sastra” di Universitas Paramadina, Jakarta.

Sepertinya kalau kita mengambil apa yang diucapkan Febridiansyah, sastra bisa menjadi senjata memberantas korupsi. Dalam novel 86 misalnya, bagaimana si pengarang memberi sumbangsih untuk menyadarkan para koruptor dengan membongkar segala siasat buruk mereka dalam novelnya. Setidaknya, kalaupun sang koruptor tidak sadar secara langsung, minimal membuat dia kaget dan merasa tertekan karena mungkin siasat-siasat para koruptor yang disebutkan dalam novel itu adalah benar-benar siasat yang digunakannya.

Bagaimana sebenarnya peran sastra dalam meminimalisir korupsi? Di beberapa dekade sejarah, karya sastra ‘seburuk’ apapun bisa mendidik pembacanya bersikap kritis dalam memilih dan memihak nilai-nilai moral yang disajikannya. Individu-individu maupun komunal yang dicuci otaknya melalui moralitas karya sastra sebenarnya merupakan aset besar bangsa untuk memperbaiki sistem dan struktural. Itu bisa disebut sebagai sisi unik dari sastra. Sastra bisa digunakan sebagai salah satu alat untuk melawan korupsi.

Ketika sastra melawan korupsi maka akan terbayang teks-teks estetika, sebuah keindahan kata yang berperang melawan sebuah bentuk kejahatan. Ini bisa juga disebut sebagai pertempuran klasik antara hitam dan putih. Sastra dengan gayanya yang khas mewakili wilayah gagasan, ranah ide dan moralitas di satu kubu lalu di kubu lainnya, korupsi yang mewakili dunia hedonisme. Sastra bisa tampil sebagai pemujuk, perayu, bahkan sebagai orator. Bentuk ini bisa ditemui dalam puisi-puisi sendu, menuai perasaan terdalam, protes dan semacamnya. Di waktu yang lain, sastra bisa muncul sebagai teks-teks pencerahan yang secara tak langsung mempengaruhi pola pikir secara halus.

Sastra dengan berbagai latar ideologi penulisnya ternyata sejak lama telah menyumbangkan energi perlawanan tegas terhadap korupsi. Pada dua dasawarsa abad ke-20, novel Hikayat Kadiroen telah ditulis oleh Semaoen. Dalam novel bergaya realisme-sosial ini terdapat ide-ide dasar komunis tentang perlawanan terhadap kaum Borjuis dan upaya menuju kesetaraan kelas. Sebuah penuntutan akan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Jauh sebelumnya dari ideologi berbeda, pada tahun 1859 Multatuli pun ternyata telah menulis Max Havelaar of de Aoffieveilingen der Nederlandsche Handelmaatschappiij (Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda) yang memuat kisah tentang para penguasa pribumi maupun kolonial yang korup. Melalui itu Multatuli alias Douwes Dekker akhirnya berhasil membukakan mata politisi dan masyarakat Belanda saat itu tentang kebobrokan di negeri jajahannya, Nusantara. Perlahan tapi pasti ada kesadaran tersendiri yang dirasakan mereka.

Pada tahun 1960 Pramoedya Ananta Toer menulis novel berjudul Korupsi yang berlatar belakang rezim Orde Lama. Novel ini diterbitkan pertama kali tahun 1954 dan diterbitkan ulang tahun 2002 oleh Hasta Mitra. Novel ini terdiri dari 14 bab dan bercerita tentang seorang pegawai negeri bernama Bakir. Tapi sayang sekali, generasi muda Indonesia tak banyak mengenal karya Pramoedya dibanding pembacanya di luar negeri.

Di zaman Orde Baru muncul Ahmad Tohari dengan novel Orang-Orang Proyek. Tentang kisah seorang insinyur bernama Kabul yang tak bisa menguraikan dengan baik hubungan antara kejujuran dan kesungguhan dalam pembangunan sebuah proyek dengan keberpihakan pada masyarakat miskin. Apakah kejujuran dan kesungguhan sejatinya adalah perkara biasa bagi masyarakat berbudaya, dan harus dipilih karena keduanya merupakan hal yang niscaya untuk menghasilkan kemaslahatan bersama?

Memahami proyek pembangunan jembatan di sebuah desa bagi Kabul, insinyur yang mantan aktivis kampus, sungguh suatu pekerjaan sekaligus beban psikologis yang berat. “Permainan” yang terjadi dalam proyek itu menuntut konsekuensi yang pelik. Mutu bangunan jadi taruhannya dan masyarakat kecillah yang akhirnya jadi korban. Akankah Kabul bertahan pada idealismenya? Akankah jembatan baru itu mampu memenuhi dambaan lama penduduk setempat?

Setelah beberapa daftar karya sastra itu lalu tak terhitung lagi karya-karya lainnya yang membicarakan, mengkritik maupun secara tidak langsung menghipnotis pembacanya untuk memusuhi korupsi, mencerca koruptor dan membenci ketidakjujuran. Di berbagai zaman akan selalu terbit novel, cerpen, esai, puisi, drama dan sebagainya yang menentang korupsi melalui estetika sastra.

Tentunya peran sastrawanlah yang sangat diperlukan melalui cara ini. Sastrawan hendaknya tak lagi terjebak perasaan pribadi, melainkan harus mulai memasukkan nilai anti ketidakjujuran dalam tiap karyanya. Sastrawan harus bersatu menyuarakan perlawanan terhadap korupsi. Biar semua orang setiap membaca karya sastra akan menemukan kata dan makna perlawanan terhadap korupsi.

Dengan demikian, setelah semua orang terbius oleh sastra dan mereka serentak membenci korupsi dan koruptor, maka perlahan tapi pasti korupsi kian menghilang. Setidaknya menghilangkan generasi koruptor. Ayo bersastra, lawan korupsi!

Jumardi, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Suska Riau. Tercatat sebagai Koordinator Kaderisasi FLP Pekanbaru dan Ketua Umum PK KAMMI Komisariat Sultan Syarif Kasim.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 25 Maret 2012

Romantisme Kolonial dalam Sastra

-- Bayu Agustari Adha

PENGALAMAN menjajah dan terjajah meninggalkan kenangan tersendiri. Demikian juga yang dialami Belanda dan Indonesia. Sejarah kedua bangsa ini memiliki hubungan emosional tersendiri karena waktu 350 tahun tentunya menyisakan cerita yang tak sedikit. Bahkan sampai saat inipun romantisme keduanya belum juga hilang, sampai-sampai Belanda seperti tak rela atau belum mengakui Indonesia sebagai negara lain. Cerita-cerita ini tak hanya dibingkai oleh tuturan atau dokumen sejarah, namun juga banyak terukir di karya sastra.

Beberapa dekade terakhir memang muncul karya sastra post kolonial yang umumnya disuguhkan para penulis dari dunia ketiga. Ada yang coba kembali menghadirkan rekonstruksi dan bahkan dekonstruksi peristiwa untuk menghadirkan perspektif berbeda. Di Indonesia juga banyak cerita yang kembali memaparkan sejarah berkaitan dengan Belanda. Namun kebanyakan karya itu hadir dari perspektif Indonesia. Sedang dari perspektif seorang Belanda tercatat ada beberapa. Satu di antaranya adalah Hella S Haasse. Dalam karya pertamanya berbentuk roman tahun 1948, dia menyuguhkan suatu romantisme atau kerinduan akan kenangan indah masa lalu terhadap pengalaman Belanda di Indonesia dengan judul Oeroeg.

Dalam cerita roman ini sendiri terdapat beberapa representasi antara Belanda dan Indonesia atau pribumi. Itu meliputi hal-hal yang bersifat fisik, kepribadian, mindset atau pola pikir, nilai-nilai yang dianut dan cara pandang. Disini juga terlihat kegamangan dan kegagapan, serta perubahan dalam memaknai identitas masing-masing sehingga banyak melibatkan konflik batin. Terutama pada tokoh ‘’Aku’’ yang Belanda dan Oeroeg sebagai pribumi. Dalam hal fisik, dijelaskan bagaimana adanya perbedaan yang mendasar antara Belanda dan pribumi. Saat berumur enam tahun, si Aku yang Belanda memiliki tubuh yang lebih tinggi dari Oeroeg pribumi. Namun perspektif yang dihadirkan dalam roman ini malah mengungkapkan sebenarnya Belanda iri pada pribumi. Ini terlihat dari pernyataan ketika si Aku memaparkan kebenciannya pada tubuhnya yang memiliki bintik-bintik, tidak seperti pribumi yang walaupun hitam tapi mulus dan kulitnya memerah ketika terkena sinar matahari. Dalam ketangkasan tubuh pun dia memuji pribumi yang bergerak lincah saat bermain.

Dalam hal kepribadian, sang Belanda ini juga memberi pandangan lain, namun tetap saja ada pandangan tradisi Barat yang mengukuhkannya sebagai kaum civilized atau berperadaban dibanding Timur. Si Aku memuji sifat periang dan ramah yang ada pada pribumi seperti ibu si Oeroeg. Perempuan ini tak menyimpan rasa benci walau itu adalah orang asing dan selalu bisa menerima orang lain. Sedang Oeroeg sendiri, selain memiliki ketangkasan sebagai bocah, juga memiliki kepribadian tersendiri. Bila tertawa tak terlalu terbahak-bahak dan mulut terbuka seperti Belanda. Ekspresi Oeroeg juga lebih terlihat tenang. Itu terlihat saat menangkap ikan dimana Oeroeg hanya memperlihatkan senyum keberhasilan. Di lain sisi, ekspresi si Aku terlihat berlebihan dengan bersorak-sorak. Ini mengindikasikan bagaimana seorang Eropa yang ekspresif dan seorang pribumi yang pasif.

Satu lagi nilai sebagai Eropa yang diperlihatkan adalah semangat kemanusiaan sebagai kaum beradab. Ini terlihat dari keheranan si Belanda terhadap Oeroeg yang senang beradu binatang. Nilai ini dikukuhkan ketika dia berkata: ‘’Oeroeg tidak kejam.’’ Ia hanya tidak memiliki perasaan orang Barat yang sering ingin menolong dan menghargai binatang. Oeroeg juga tak suka membaca, dia baca buku kalau hanya ada gambar. Beda dengan si Aku yang gemar membaca, yang tentunya lambang intelektualitas. Dari sini terlihat ada niat untuk menguatkan bahwa derajat peradaban pribumi masih di bawah Eropa. Namun di sini si Aku sendiri masih bisa memaklumi karena memang dia rela melakukan adaptasi. Beda dengan Eropa lainnya yang egois memaksakan nilai-nilainya. Begitulah si Aku yang coba menghadirkan perspektifnya bahwa sesunguhnya Barat juga mengagumi hal-hal yang dimiliki Timur disamping juga mempertahankan beberapa nilai Barat yang ‘’berperadaban’’.

Ada seorang tokoh di roman ini bernama Gerrard Stokman. Dia salah seorang pegawai di perkebunan di Kebon Jati, Pariangan dimana ayah si Aku jadi petugas administrasi. Gerrard memiliki semangat frontier seperti halnya orang Eropa. Dia menyukai petualangan dan alam liar. Dia rela bergaul dengan pribumi tanpa merendahkan sedikitpun. Disini terlihat dia memiliki prinsip persamaan, tak ada perbedaan antara Barat dan Timur. Itu juga terlihat ketika dia bicara dengan si Aku mengenai hirarki Belanda dan pribumi. Berikut kutipan percakapan mereka: ‘’Apakah Oeroeg lebih rendah daripada kita?’’ Kukeluarkan unek-unekku.

‘’Apakah dia berbeda?’’

‘’Tidak! Gila itu,’’ kata Gerrard tenang tanpa melepaskan cangklong dari bibir. ‘’Siapa yang bilang begitu?’’

‘’Macan kumbang berbeda dari monyet,’’ kata Gerrard. ‘’Tapi apakah yang satu lebih rendah dari yang lain? Bagimu ini pertanyaan bodoh dan kau benar. Pertanyaan ini juga sama bodohnya bila menyangkut manusia. Perbedaan itu biasa. Setiap orang berbeda. Aku juga berbeda darimu. Tapi lebih tinggi atau lebih rendah karena kulit wajahmu atau karena siapa ayahmu, itu omong kosong. Oeroeg kawanmu kan? Kalau memang ia kawanmu, bagaimana bisa ia lebih rendah dibanding kau atau yang lain?’’

Beda dengan si Aku dan Gerrard, ayahnya sendiri adalah sosok konvensional yang masih mempertahankan superioritas Belanda atas pribumi. Pola pikirnya menyampaikan keunggulan Barat yang harus terus ditancapkan atas kerendahan pribumi. Ini terlihat bagaimana penekanannya pada si Aku untuk tak bermain dengan Oeroeg. ‘’Anak ini tidak pantas berada di kampung. Tidak bagus untuknya. Bahasa Belandanya tidak santun sama sekali. Kau dengar tidak? Dia akan jadi anak kampung. Mengapa kau tidak melarangnya?’’ Begitulah petikan perkataannya pada istrinya. Terlihat jelas bagaimana arogansi seorang Belanda yang tak ingin menyamakan diri dengan anak kampung pribumi. Terdapat kecemasan akan pudarnya identitas Belanda yang lebih tinggi daripada Indonesia. Apalagi dengan ucapannya seperti ini: ‘’Oeroeg kan anak inlander.’’ Label inlander seakan-akan seperti sesuatu yang rendah karena memang saat itu inlander merupakan golongan keempat setelah Belanda, Indo dan Cina. Tak hanya pada masa kanak-kanak, saat sekolah pun ayah si Aku tetap mengupayakan agar anaknya menjaga identitas Eropa. Beberapa ungkapan mengenai hal itu seperti: ‘’Kau tidak berkembang dengan cara begini, nanti kau mirip pribumi. Itu yang kucemaskan.’’ Dan ‘’Kau pasti mengerti nak. Kau orang Eropa.’’

Dalam hal nilai-nilai yang dianut pun, ayah si Aku sangat tak berkompromi. Ini terlihat pada perbedaan dimana dia tak mempercayai mistis dan pribumi yang meyakini kekuatan gaib. Di roman ini diceritakan suatu telaga gunung di Pariangan yang dihuni nenek gombel, vampir berwujud wanita tua yang mengintai anak-anak yang telah mati. Suatu hari beberapa orang Belanda datang dan minta untuk bermain di telaga gunung dan ditemani beberapa pribumi termasuk ayah Oeroeg, Deppoh. Karena hanya seorang mandor, Deppoh mengikuti saja kehendak para Belanda walau dalam pikirannya ini tindakan berbahaya. Dalam perjalanan, keacuhan Belanda mengenai hal mistis ini sangat nyata terlihat. Mereka tertawa terbahak-bahak tanpa menjaga sikap. Saat sampai di telaga pun, mereka tetap riang menjadi-jadi. Dengan menggunakan rakit ke tengah telaga, para Belanda terus bersuka ria, berenang dan berkejar-kejaran. Deppoh sempat mengingatkan, tapi tetap diacuhkan sampai akhirnya si Aku terjatuh ke telaga dan Deppoh coba mencari. Malangnya Deppoh tak muncul-muncul sedang si Aku selamat. Untuk menebus rasa bersalah, ayah si Aku memberi kesempatan untuk Oeroeg sekolah di HIS bersama si Aku di Sukabumi dengan seorang pengasuh bernama Lida. Dengan perasaan keberatan akhirnya sang ayah harus merelakan anaknya yang Belanda melanjutkan kebersamaan dengan Oeroeg yang pribumi.

Selama bersekolah, mereka makin akrab dan selalu melakukan sesuatu bersama-sama. Di sini memang terlihat bagaimana tak semua orang Belanda gengsi bergabung dengan pribumi. Bahkan si Aku dan Lida pun mengagumi Oeroeg yang memiliki catatan bagus di sekolah. Lida mampu bersifat toleran dengan menyarankan Oeroeg melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Tokoh Lida mewakili karakter Eropa yang suka memberi apresiasi terhadap kehebatan seseorang walaupun sebenarnya itu dipengaruhi oleh latar belakangnya yang keibuan tapi belum menikah. Di satu sisi juga terlihat bahwa dia mengagumi sesuatu yang bersifat eksotis yang diidentikkan dengan Timur walaupun dia tak menyadari.

Selanjutnya si Aku melanjutkan sekolah ke HBS Batavia dan Oeroeg di MULO yang sama-sama berlokasi di Batavia. Walau beda sekolah mereka sering bersama. Si Aku tak tertarik untuk berteman sesama Belanda, ia lebih memilih berkunjung ke tempat Oeroeg. Selama bersekolah, dalam perspektif si Aku, ada perubahan pada diri Oeroeg. Kini Oeroeg telah memakai polo shirt dan sepatu linen, tak lagi memakai kopiah. Bahkan dengan mendecak Oeroeg berkata: ‘’Aku bukan muslim.’’ Gaya bicara pun sudah seperti Indo dan mulai merokok, hanya berbicara bahasa Belanda serta selalu bergaya dengan rambut tebal disisir rapi. Disini terlihat suatu metamorfosa identitas pada pribumi yang mengecap pendidikan. Seakan-akan Oeroeg ingin menghapus segala identitasnya sebagai pribumi. Si Aku merasakan suatu yang lain dan tak menyukai Oeroeg yang sekarang. Logikanya sebagai seorang Eropa, si Aku mungkin senang bila pribumi mulai meninggalkan identitasnya. Namun tidak demikian dengan si Aku. Dia menjadi merasa kehilangan Oeroeg yang dikenalnya. Inilah satu sudut pandang yang juga harus diperhatikan dimana ada juga Belanda yang menginginkan pribumi tetap seperti adanya karena menjadi pribumi bukanlah sesuatu yang buruk.

Perubahan Oeroeg menjadi Barat membuat si Aku kurang simpatik dengannya. Si Aku merasa kasihan kepada pribumi yang coba menjadi orang lain seakan-akan malu menjadi pribumi. Lama kelamaan apa yang dilakukan Oeroeg untuk menjadi salah satu dari bagian Barat tak berhasil. Bagaimanapun dia tetaplah pribumi dan tak bisa menyamakan diri dengan anak Belanda. Karena tak berhasil, dalam diri Oeroeg pun muncul suatu anggapan pada si Aku sebagai seorang Eropa. Perbedaan yang dulunya tak berarti apa-apa kini jadi kerikil yang menjarakkan mereka akibat kegagalan Oeroeg untuk menjadi Eropa. Si Aku yang tak mempermasalahkan status ini terimbas pada konflik yang tak diperbuatnya. Dalam hal ini terlihat bahwa si Aku tulus untuk membaur dengan Oeroeg, namun karena perilaku Oeroeg, hubungan itu harus terpisah. Romantisme yang dulu tercipta antara pribumi dan Belanda menuju jurang akhir.

Karena gagal menjadi Eropa, Oeroeg mengubah haluan dengan membenci segala hal yang berbau Belanda. Dia mulai mengkritik semua yang dilakukan pemerintah Belanda. Terlebih lagi hal ini lambat laun memunculkan kebenciannya pada si Aku sebagai orang Belanda. Si Aku semakin pusing dengan Oeroeg yang sekarang sok kritis padahal dalam mengatakan sesuatu dia banyak menggunakan kata-kata orang lain. Di sini si Aku merasa kasihan melihat Oeroeg sekarang yang terkesan hanya ikut-ikutan saat gelombang nasionalisme juga berkembang. Disinilah konflik batin yang dirasakan oleh si Aku sebagai Belanda membuncah. Seakan-akan karena dia Belanda, dia dicap sebagai musuh pribumi. Oeroeg baginya adalah segalanya, tak peduli kalau dia pribumi. Dalam keputusasaannya bahkan si Aku sampai menggugat mengapa dia dilahirkan sebagai Belanda. Si Aku makin terpojok ketika berbincang pelik dengan Oeroeg dan Lida yang juga memihak Oeroeg. Benar-benar tak terbayang oleh si Aku akan menerima pembedaan yang dilakukan Oeroeg. Terlihat jelas dalam penggalan ini: ‘’Aku tak ingin meminta pada pemerintah Belanda,’’ jawabnya dingin. ‘’Aku tidak butuh bantuan kalian,’’ kataku, sementara darah naik ke kepalaku, karena kini kata-katanya tertuju padaku.

‘’Cara berpikir Lida sama dengan kami,’’ kata Oeroeg bangga. Hal yang satu menyusul yang lainnya, lalu terjadilah debat di mana si Aku harus bersikap defensif karena masalah ini terasa aneh baginya. Si Aku tahu sedikit atau tak sama sekali tentang aliran-aliran nasionalisme, sekolah-sekolah liar, tentang proses munculnya keresahan yang terjadi di berbagai lapisan masyarakat pribumi. Yang ia tahu hanyalah Oeroeg sebagai bagian dari hidupnya. Tanpa sepatah katapun, si Aku mendengar hujan tuduhan dan celaan yang sekarang ditujukan Oeroeg dengan berapi-api, terhadap pemerintah, terhadap orang Belanda, terhadap orang kulit putih pada umumnya. Si Aku percaya bahwa banyak pernyataan mereka tidak berdasar, tidak adil, namun si Aku’ tak punya argumen untuk menerangkannya. Kekagetan makin bertambah ketika dia melihat Oeroeg menjadi orator dalam lingkungan baru yang terdiri atas para mahasiswa progresif dan agiator muda.

Si Aku akhirnya meninggalkan tanah kelahirannya, bersekolah di Eropa. Beberapa tahun kemudian setelah Jepang menyerah, si Aku membulatkan niatnya lagi untuk kembali ke Indonesia. Dia tak peduli akan suasana dan hubungan Belanda dengan pribumi setelah kemerdekaan. Dia melamar dan bekerja di Indonesia, tak peduli dengan istilah ‘’pikiran kolonial’’ yang melekat pada Belanda yang sama sekali asing baginya. Kerinduan si Aku kembali ke Indonesia karena perasaan mengakar dan menyatu pada tanah kelahirannya. Waktu yang dijalaninya di Belanda tak berarti baginya dibanding waktu-waktu di Indonesia bersama-sama Oeroeg. Si Aku datang bertepatan dengan agresi militer Belanda. Dengan mudah dia kembali ke Pariangan untuk mengurus perbaikan-perbaikan jembatan.

Nostalgia dengan Pariangan telah didapatnya. Hanya satu lagi yang dia inginkan yakni bertemu Oeroeg. Suatu saat si Aku pergi ke telaga gunung untuk mengenang sambil berharap bertemu Oeroeg. Benar, setelah itu seorang pemuda memegang revolver datang dan dengan mudah si Aku langsung mengenali Oeroeg. Tapi Oeroeg melayangkan senjata padanya sambil berkata ‘’pergi’’ beberapa kali tanpa mau mendengarkan si Aku. Sesaat setelah itu suara patrol pasukan Belanda berbunyi dan dengan sekejap Oeroeg pun menghilang. Si Aku takkan lagi menjumpai Oeroeg. Inilah petikan terakhir perasaannya: ‘’Apakah aku sudah terlambat? Apakah aku selamanya menjadi orang asing di tanah kelahiranku, di bumi yang tak pernah ingin kutinggalkan? Waktu yang akan menjawabnya.’’ Begitulah perspektif seorang Belanda mengenai Indonesia. Tak semuanya menganggap Indonesia sebagai sesuatu yang rendah, inferior dan pasif. Banyak yang memiliki kekaguman dan perasaan menyatu sehingga melahirkan romantisme tersendiri atau kerinduan akan kenangan yang indah masa kolonial.

Bayu Agustari Adha
, Lahir pada 15 Augustus 1986. Bekerja sebagai tutor bahasa Inggris di Easy Speak.


Sumber: Riau Pos, Minggu, 25 Maret 2012

[Jejak] Puisi, Puncak Misteri Kehidupan Ibrahim Sattah

PENYAIR Ibrahim Sattah mulai kita kenal ketika puisi-puisinya dimuat dalam majalah sastra Horison sekitar tahun 70-an. Kemudian dalam acara Pertemuan Sastrawan Indonesia 1974, ia lekas menarik perhatian karena penampilannya dalam membaca puisi secara unik dan segar. Dari karya-karyanya dan cara pembacaannya menimbulkan kesan kepada kita bahwa Sattah memiliki ciri-ciri tersendiri. Sementara itu juga menumbuhkan kesan yang mendalam, bahwa karya-karya Sattah banyak mengingatkan kita pada karya-karya Sutardji Calzoum Bachri.

Ibrahim Sattah yang tercatat sebagai anggota Polri ini adalah seorang penyair yang telah mengangkat nama daerah Riau ke jenjang nasional dan internasional. Ia lahir pada 1943 di Tarempa, Pulau Tujuh (Riau). Tahun 1975, Ibrahim Sattah membacakan puisi-puisinya di Den Haag, Belanda. Di musim panas 1976 ia terpilih menjadi peserta Festival Puisi Antar Bangsa di Rotterdam, mengikuti program ASEAN Poetry Reading International.

Dandandid adalah kumpulan puisinya yang pertama (1975), di antaranya telah diterjemahkan oleh Jan Eijkelboom ke dalam bahasa Belanda dan oleh Sapardi Djoko Damono bersama McGlinn ke dalam bahasa Inggris. Kumpulan puisinya yang berjudul Ibrahim terbit tahun 1980. Kumpulan puisi ini disiapkan dalam perjalanannya ke Semarang, Jogjakarta, Singapura dan Malaysia. Kemudian Haiti kumpulan puisinya yang terakhir terbit pada tahun 1983.

Pada tahun 2006, penerbit Unri Press menerbitkan kembali kumpulan sajak-sajak Dandandid, Ibrahim dan Haiti dalam buku bertajuk Sansauna. Ibrahim Sattah meninggal pada usia 45 tahun pada Selasa pagi 19 Januari 1988.

Meskipun tidak secara jelas-jelas Sattah menyatakan kembali pada mantera, tapi sumber penciptaannya tidak lain dari kekuatan yang terkandung dalam mantera itu. Menurut pengakuannya (1974) menulis puisi bermula dari ‘main-main’ dan berakhir dengan tertegun, sebagaimana ia melihat sesuatu dengan kebencian, tetapi berakhir dengan rasa cinta yang mendalam, intens dan akrab. Ia juga mengatakan bahwa menulis puisi memindahkan sesuatu dalam ‘kata-kata’ -sesuatu yang mungkin tidak mudah dimengerti dan dengan ‘kata’ sesuatu telah terjadi.

Tentang puisi dia berpendapat bahwa puisi tidak hanya sekadar suasana hati, bukan sekadar cangkir untuk menuang sesuatu dalam diri manusia. Dan manusia yang menemukan puisi adalah manusia yang berada pada pucuk yang paling punca dari misteri kehidupan itu sendiri. Dengan kata lain Sattah hendak meninggalkan paham tentang kesadaran antara bentuk dan isi dalam karya puisi. Meninggalkan pengertian antara wadah dan idenya sendiri. Pendirian semacam ini sesungguhnya tidak baru. Namun, perlu kita perhatikan juga. Sebab apa yang dikemukakan di atas mungkin sejajar dengan apa yang dikemukakan Pierre Reverdy dalam tulisannya ‘’Di Mana Puisi Kutemui’’ (dimuat dalam Gelanggang Siasat). Pierre Reverdy mengemukakan: ‘’Dalam seni juga seperti dalam alam, bentuk tidak mungkin jadi tujuan.

Kita tidak melangkahkan kaki untuk sesuatu bentuk yang tertentu, tapi kita menemuinya, kita berhadapan dengannya dengan tidak disangka-sangka terlebih dahulu. Ia adalah suatu konsekuensi, semacam hasil yang sudah seharusnya dari suatu tindakan yang digerakkan untuk kepentingan mencapai puncak dalam perwujudan. Suatu benda yang tertentu dikerjakan dengan cara tertentu akan beroleh bentuk lain. Bentuk lahir dari dirinya sendiri.’’

Kesan yang kuat yang kita kemukakan tadi bahwa Sattah juga bersumber dari mantera (seperti halnya pada Sutardji) ialah terletak pada kenyataan bahwa puisi itu mengandung ciri-ciri yang biasa dimiliki oleh puisi mantera. Umpamanya, kaya bunyi (vokal) sebagai kekuatan puisi. Kekuatannya terasa kalau dibacakan. Unsur-unsur magis. Dan seolah-olah tidak mempunyai makna apa-apa kecuali untuk mempengaruhi. Mantera sihir tidak mengandung makna (puisi) apa-apa kecuali apabila dibacakan mengandung kekuatan tertentu. Apabila Sutardji menyatakan bahwa kata tidak mewakili pengertian tapi kata itu sendiri, pada Sattah kata hanya untuk menuangkan sesuatu.

Sattah memilih kata jejak, adam, langit, gerak, laut dan lain sebagainya, lahir dari suatu kesadaran berimprovisasi ketika ia hendak menjawab masalah misteri dirinya, hidup dan maut. Puisinya kaya dengan irama (bunyi) yang mengandung daya kekuatan yang mengguguh kesadaran kita bila dibacakan. Seperti halnya sajak ‘’Sembilu’’. Ia mempertanyakan dirinya secara intens.

Benda-benda seperti mawar, bumi, batu, langit, laut dan lain lain itu menyatu dalam kesadaran ketika ia mempertanyakan namaku dan aku. Kata-kata itu sendiri tidak mengandung perlambangan. Juga tidak membangkitkan asosiasi tertentu. Semuanya menyatu dalam kesadaran dirinya. Termasuk ketidak-tahuannya terhadap semesta dan kehidupan dengan hanya menyebutkan a i u e o dan sebagainya.(fed).


Sumber: Riau Pos, 25 Maret 2012

Saturday, March 24, 2012

Memahami Sastra Anak di Indonesia

-- Y Alprianti

BAGAIMANA perkembangan gaya pandang anak-anak terhadap dunia sastra? Di negeri ini ada kecenderungan kalangan orangtua menganggap remeh bahkan melarang putra-putrinya meminati dunia sastra. Akibatnya, di antara duaratus tigapuluh juta lebih penduduk, tradisi 'lekat aksara' hanya dilakukan (dinikmati) segelintir orang saja. Itu pun dilakukan oleh kalangan dewasa.

Padahal, harus dipahami, pendidikan yang gagal dibarengi dengan pemahaman psikologi anak yang keliru menyebabkan budaya baca hampir tak ada. Kekeliruan pemahaman terhadap psikologi anak misalnya: "anak kecil itu orang dewasa yang kecil", atau anggapan bahwa anak-anak adalah kumpulan manusia yang mirip dan serupa satu sama lain dan kehidupannya bersifat statis.

Orang dewasa banyak yang beranggapan bahwa dunia anak merupakan dunia yang sama dengan masa kecilnya sehingga orang dewasa cenderung mendikte terhadap anak seolah-olah mereka jauh lebih tahu dari anak (Purbani, 2003:2). Kekeliruan pemahaman orang dewasa misalnya, tercermin dengan masih banyaknya anak-anak yang dibiarkan nonton televisi sampai berlarut-larut, atau malah sebaliknya melarang anak-melakukan kegiatan kreatif dengan dalih 'asal orangtua nyaman, tidak curiga, dan tidak khawatir'.

Pengekangan semacam inilah yang mesti dilawan sebab hidup manusia merupakan proses untuk menjadi diri sendiri secara utuh. Proses individuasi merupakan salah satu pertumbuhan kekuatan dan integrasi kepribadian individualnya. Dunia anak-anak tentu sewarna dengan pengalaman dan pengetahuan mereka yang belum menumpuk sehingga masih diperlukan mediasi untuk mengembangkan daya kreatifnya (Nurgiyantoro). Maka yang paling penting dalam hal ini adalah pemenuhan hak anak. Hal yang dimaksud adalah proses belajar, menjadi individu yang subjektif, perkembangan pengalaman dan pengetahuan, yang semuanya berada dalam bingkai dunia anak.

Membaca dan menulis misalnya, merupakan hak anak sebab di sana terdapat adanya 'proses menjadi diri sendiri secara utuh', bukan senjadi seperti gurunya, seperti orantuanya, atau seperti orang lain.

Penjelasan mengenai hak membaca bagi anak adalah kebutuhan (bukan kewajiban) saya analogikan dengan fenomena mengenai pulsa (telepon seluler) yang ada saat ini. Sepuluh tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya, pulsa bukanlah kebutuhan masyarakat, ia mewah dan eksklusif. Lama-kelamaan dengan alasan perkembangan teknologi dan kemajuan zaman, kaum kapitalis kemudian mengondisikan komoditi (pulsa) tersebut menjadi kebutuhan. Ternyata sukses dengan cepat. Pulsa menawarkan material dan ketergantungan di kemudian hari, tapi tidak demikian dengan membaca dan menulis yang umurnya lebih tua. Apa sebabnya? Karena pulsa memberikan kekayaan pada segelintir orang, sedangkan membaca dan menulis hanya akan melahirkan manusia merdeka yang bebas dari ketergantungan (sebagai lawan kapitalisme).

Maka tidak kaget ketika kita mendapati betapa siswa, mahasiswa, dan masyarakat umum lebih suka membeli pulsa ketimbang membeli buku. Membaca dan menulis pada mulanya tidak dikondisikan dalam sebuah ruang kebutuhan. Ia yang 'seolah mewah dan eksklusif' bermula dari nihilnya pemenuhan kebutuhan anak akan buku, pembiasaan anak terhadap keberaksaraan.

Sebagai bandingan, akan berbeda halnya dengan tradisi Belanda ketika menjajah Indonesia, mereka sadar akan 'masa depan melek-aksara' tersebut. Pada saat itu di Belanda tumbuh kesadaran mengenai sejarah nasional yang juga tercermin dalam buku-buku bacaan anak Hindia (Indische kinderboeken).

Menengok sejarahnya, buku-buku yang diperuntukkan bagi anak Hindia dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu buku yang berisi keperluan pengenalan anak-anak Belanda mengenai negara jajahannya dan buku bagi keperluan anak-anak Belanda dan Indo yang tinggal di Hindia Belanda. Sebagai cikal bakal buku anak-anak di Indonesia tentu saja buku-buku yang kedua. Buku tersebut walaupun ditulis bagi keperluan anak-anak Belanda dan Indo tetapi tidak menutup kemungkinan dibaca juga oleh anak-anak pribumi yang saat itu memperoleh kesempatan memasuki sekolah anak-anak Eropa.

Buku yang berjudul Oost-Indische Bloempjes; Gedichtjesvoor de Nederlandsch-Indische Jeugd (Bunga-bunga Kecil Hindia Timur; Syair-syair untuk Remaja Hindia Belanda) yang ditulis Johannes van Soest pada tahun 1846 merupakan buku pertama bagi anak-anak Belanda dan Indo yang tinggal di Hindia Belanda. Buku kedua berjudul De Lotgevallen van Djahidin (Pengalaman Djahidin) ditulis J.A Uilkens pada tahun 1873, bercerita mengenai petualangan anak laki-laki Sunda di pulau Jawa, Singapura, Jepang, dan Papua Nugini. Buku tersebut kemudian diterjemahkan dalam Bahasa Jawa, Melayu, dan Sunda. Buku ketiga berjudul Indisch Kinderleven (Kehidupan Anak-anak Hindia) ditulis Nittel de Wolf van Westerrode pada tahun 1920.

Buku itulah yang kemudian mengilhami diadakan lomba mengarang bacaan anak-anak oleh Balai Pustaka. (Bunanta, 1998:37-38).

Sastra anak di Indonesia selama ini dianggap 'bawang kosong' semata, sebagai 'bagian kecil' dari sastra Indonesia. Ia seolah 'sastra dewasa yang dianggap kecil', sastra anak sebagai anak sastra. Sementara, sastra Indonesia yang kentara angker menjadikan dirinya eksklusif dan makin menjauh dari ruang kebutuhan. Demikian pula sastra anak, yang seharusnya berada dalam keberterimaan, ia tidak diajarkan sesuai dengan perkembangan anak yang semestinya dulce et utile (Horatius), yaitu yang menyenangkan dan memberikan pencerahan. Artinya, sastra bagi anak sebenarnya adalah batu loncatan agar mereka terbiasa membaca sehingga ia selanjutnya tidak gagap ketika membaca buku-buku lain di luar buku sastra, tidak kaget dan gumun ketika mendapati dunia begitu gegap.

Maka dalam kondisi menyenangkan dan tercerahkan, anak akan tumbuh menjadi manusia merdeka yang memungkinkan adanya proses tumbuhnya kekuatan dan integrasi, penguasaan terhadap alam, akal budi, dan tumbuhnya solidaritas terhadap orang lain (Fromm).

Jadi wajar jikalau seorang guru SD bertanya tentang bagaimana sebenarnya pengajaran sastra kepada anak sebab selama ini pendidikan kita berada dalam kegagalan.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 24 Maret 2012

Wednesday, March 21, 2012

RSBI Mendiskriminasi Anak Bangsa

-- Ester Lince Napitupulu & Marcus Suprihadi

JAKARTA, KOMPAS.com — Kebijakan pemerintah tentang rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dituding sebagai kebijakan diskriminatif. Sekolah unggulan yang diwujdukan menjadi RSBI membuat sekolah berkualitas baik menjadi mahal sehingga akses terbatas pada kelompok siswa mampu.

Ilustrasi (Shutterstock)

Bagus Takwin, psikolog sosial dari Universitas Indonesia di Jakarta, Rabu (21/3/2012), mengatakan, layanan pendidikan seperti diwujudkan dalam RSBI merupakan praktik yang mengkotak-kotakkan masyarakat lewat pendidikan. Hal ini bisa membuat generasi muda bangsa semakin kuat dengan anggapan bahwa untuk mendapatkan yang diinginkan dalam hidup cukup dengan uang.

Di tengah kondisi akses pendidikan dan kesetaraan yang masih bermasalah di dalam negeri, pemerintah justru melegalkan praktik sekolah publik yang berkualitas baik menjadi eksklusif. Pendidikan bermutu yang harusnya menjadi hak setiap anak bangsa harus dibayar dengan biaya yang semakin mahal.

Menurut Bagus, sekolah unggulan yang sekarang diwujdukan sekolah RSBI memang diburu banyak orang tua. Meskipun sekolah jauh dari tempat tinggal, sekolah RSBI tidak kehilangan peminat.

Padahal, harusnya pemerintah mengembangkan sekolah-sekolah yang berkualitas di mana-mana. "Jika sekolah baik tersebar merata, anak-anak bisa bersekolah tidak jauh dari tempat tinggal. Ini juga bisa menciptakan interaksi orang tua dan guru yang baik dan kuat," kata Bagus.

Sekarang, ujar Bagus, pendidikan itu jadi beban buat semua orang. Bukan hanya beban secara ekonomi dengan biaya pendidikan yang mahal, juga biaya transportasi, karena sekolah bagus yang jauh dari rumah.

Anak-anak juga menjadi lelah karena jarak tempuh sekolah yang jauh, waktu yang semakin sedikit sehingga bisa memengaruhi hubungan orang tua dan anak, hingga minimnya keterlibatan orang tua di sekolah.

"Ini menunjukkan Indonesia tidak punya tujuan pendidikan yang jelas. Konsep manusia yang mau dihasilkan tidak jelas. Semestinya kita bisa mencontoh Jepang yang tidak minder dengan apa yang dipunyainya, namun tetap mampu menjadi negara maju," kata Bagus.

Retno Listiyarti, guru RSBI SMAN 13 Jakarta, mengatakan, kebijakan RSBI bukan hanya mendiskriminasi antara sekolah reguler dan sekolah RSBI. Di dalam sekolah RSBI sendiri tetap ada diskriminasi layanan dan fasilitas pendidikan untuk anak-anak yang sanggup membayar biaya tinggi.

Menurut Retno, di sekolahnya ada kelas RSBI dan kelas internasional. Layanan dan fasilitas pendidikan berbeda meskipun berada dalam satu sekolah. Siswa kelas RSBI membayar uang sekolah sekitar Rp 600.000 per bulan dan uang masuk Rp 7 juta.

Adapun siswa kelas internasional membayar biaya pendidikan Rp 31 juta per tahun per siswa. Praktik ada uang ada kualitas, sungguh dirasakan siswa. "Layanan dan fasilitas istimewa diberikan untuk anak di kelas internasional yang biaya pendidikannya lebih mahal," kata Retno.

Sumber: Edukasi, Kompas.com, Rabu, 21 Maret 2012

Tuesday, March 20, 2012

Selain Mahal, RSBI Tak Hasilkan Apa-apa

-- Indra Akuntono & Lusia Kus Anna

JAKARTA, KOMPAS.com - Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dinilai tidak menghasilkan apa-apa kecuali biaya yang lebih mahal dan kesenjangan antar peserta didik. Jika alasannya untuk meningkatkan mutu pendidikan, RSBI justru tidak mencerminkan hal itu. Lantaran, sekolah reguler unggulan tetap akan menjadi unggulan tanpa harus berganti label menjadi RSBI.

Koalisi Anti Komersialisasi Pendidikan (KAKP) menggelar aksi di depan Gedung Mahkama Konustitusi (MK), Jakarta, Rabu (28/12/2011), untuk menyerahkan naskah gugatan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). (INDRA AKUNTONO)

Guru SMAN 13 Jakarta, Retno Listyarti mengatakan, dirinya tidak menemukan hasil yang terlalu istimewa pada setiap lulusan sekolahnya. Baginya, hasil yang baik bukan ditentukan pada status RSBI, melainkan semua tergantung pada individu siswa yang bersangkutan.

"Ada beberapa siswa yang melanjutkan studi ke Jerman, tapi saya rasa itu bukan karena RSBI-nya, melainkan karena mereka mampu. Dari jaman saya sekolah juga banyak yang lanjut ke luar negeri," kata Retno, seusai menjadi saksi dalam sidang judicial review UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (20/3/2012).

Ia melanjutkan, hal lain yang mencolok dalam RSBI adalah mengenai biaya. Dari tahun ke tahun tren kenaikan biaya di RSBI selalu meningkat. Dijelaskannya, di era dirinya menjadi siswi SMAN 13, biaya perbulan hanya Rp 5 ribu. Kemudian menjadi Rp 150 ribu pada tahun 2000, dan melonjak ke angka Rp 600 ribu per bulan pada tahun ini.

"Biaya naik tentu wajar, tapi menurut saya naiknya terlalu tinggi, khususnya setelah sekolah ini menjadi RSBI. Mutunya juga biasa saja, sama seperti jaman saya sekolah dulu," ujarnya. Ia menegaskan, tanpa perlu di RSBI-kan, sekolahnya akan tetap unggul. "Siswa pandai itu ibarat mutiara, ditaruh dimana pun warnanya akan tetap cemerlang. Tidak harus di RSBI," pungkasnya.

Ditemui bersamaan, pakar pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Soedijarto mengungkapkan hal senada. Baginya, kurikulum dalam RSBI tidak membawa pengaruh banyak pada peningkatan mutu. Karena pada dasarnya setiap siswa cerdas dapat berkembang di sekolah apapun, dengan catatan ada perhatian khusus khususnya dari pemerintah, dan bukan sekadar memaksakan semua siswa cerdas ke RSBI.

"Saya pikir itu hanya soal kemauan, RSBI tidak menjamin apapun, kecuali jurang antara si miskin dan si kaya," pungkasnya.


Standar Pendidikan Seharusnya Sama di Seluruh Daerah

-- Indra Akuntono & Lusia Kus Anna

Jakarta, Kompas.com - Demi memenuhi amanat Undang-Undang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, pemerintah seharusnya menyelanggaran pendidikan yang adil dan bermutu. Itu berarti kualitas pendidikan di seluruh sekolah di Indonesia seharusnya sama.

Namun saat ini pendidikan yang diberikan pemerintah belum merata dan hanya terputas di beberapa daerah yang umumnya kota besar. Pakar pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Soedijarto mengatakan, pemerintah harus betul-betul menyiapkan anggaran pendidikan yang mampu menutupi beban operasional pendidikan nasional.

"Pemerintah harus menyamakan kualitas pendidikan," kata Soedijarto, saat ditemui Kompas.com seusai menghadiri judicial review UU Sistem Pendidikan Nasional tentang Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (20/3/2012).

Menurutnya, pemerintah harus mampu memberikan standar pendidikan yang sama merata di seluruh sekolah di Indonesia. Mulai dari standar isi, sarana pendukung lainnya seperti laboratorium praktik, perpustakaan, sarana olahraga, dan prasarana lainnya. "Pemerintah harus serius dengan ini. Penuhi dan ratakan semua kebutuhan pendidikan nasional. Termasuk kantin dan sarana olahraga," ujarnya.

Sebelumnya, Guru Besar Emiritus UNJ itu menjadi saksi ahli dalam sidang judicial review UU Sisdiknas tentang RSBI. Dalam paparannya, ia banyak menyampaikan tentang penyelenggaraan RSBI yang tidak berkeadilan. Menurutnya, RSBI hanya menciptakan jurang antara siswa yang mampu secara finansial dengan siswa yang berasal dari golongan kurang mampu.


Pemerintah Jangan Habis-habisan untuk RSBI

-- Ester Lince Napitupulu & Robert Adhi Ksp

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah semestinya fokus dan habis-habisan untuk memberikan layanan pendidikan bermutu bagi semua anak bangsa di seluruh penjuru negeri. Dengan kondisi dan layanan pendidikan yang berkualitas di semua sekolah, anak-anak bangsa mampu menjadi manusia unggul di kancah nasional dan internasional.

"Untuk apa pemerintah ngotot dan habis-habisan membangun satu RSBI di tiap jenjang? Yang masuk juga terbatas dan anak kaya. Pemerintah seharusnya membuat setiap sekolah memenuhi delapan standar nasional pendidikan. Kalau itu dipenuhi, pendidikan nasional Indonesia tidak kalah dengan internasional," kata Soedijarto, pemerhati pendidikan saat tampil sebagai saksi ahli pemohon dalam kasus Kebijakan RSBI/SBI di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (20/3/2012).

Soedijarto menyayangkan sikap pemerintah yang tidak fokus mengembangkan hal-hal mendasar dalam pendidikan nasional. Selain harus terpenuhinya delapan standar nasional pendidikan di tiap sekolah, pemerintah harus menjamin supaya pendidikan dilaksanakan untuk mengembangkan bakat, minat, dan potensi anak.

"Anehnya, dari pasal-pasal soal pendidikan dalam UU Sisdiknas, kok pemerintah begitu berambisi menjadikan sekolah-sekolah RSBI/SBI," kata Soedijarto.

Menurut Soedijarto, jika pendidikan bermutu menjadi sasaran pemerintah, semestinya tidak membebani masyarakat dengan biaya yang semakin mahal. "Tidak perlu juga pakai label internasional," kata Soedijarto.


Sekolah Swasta Juga Kembangkan RSBI

-- Ester Lince Napitupulu & Robert Adhi Ksp

JAKARTA, KOMPAS.com - Sekolah-sekolah swasta juga dikembangkan menjadi rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI). Program internasionalisasi pendidikan di sekolah swasta ini dinamakan RSBI mandiri.

Sekolah tidak dapat bantuan dari pemerintah. Sekolah mencari dana sendiri dari orang tua atau wali siswa.
-- Suprapto

"Sekolah tidak dapat bantuan dari pemerintah. Sekolah mencari dana sendiri dari orang tua atau wali siswa," kata Suprapto, Kepala SMP Muhamadiyah 2 Yogyakarta, yang hadir sebagai saksi ahli dari pemerintah dalam sidang soal Kebijakan RSBI/SBI di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (20/3/2012).

Suprapto mengatakan sekolahnya tertarik mengembangkan RSBI karena ingin memberikan pilihan bagi siswa untuk mendapat pendidikan yang berdaya saing di tingkat nasional dan internasional. Di sekolah ini, RSBI belum diterapkan di semua sekolah, tetapi sistem per kelas.

Ketika penerimaan siswa baru usai, sekolah menawarkan kelas RSBI kepada siswa yang dinilai memenuhi syarat akademis dan nonakademis. Siswa harus punya nilai rata-rata minima 7,00 dan kesanggupan orang tua membiayai.

Menurut Suprapto, sekolah yang ikut RSBI mandiri tidak mendapat bantuan dana apapun dari pemerintah. Namun, kesempatan pelatihan saja yang diberikan pemerintah.

Siswa RSBI membayar SPP lebih mahal yakni Rp 250.000 per bulan, sedangkan siswa reguler Rp 200.000. Pengeluaran bisa bertambah besar ketika siswa harus berkunjung ke luar negeri untuk acara pertukaran pelajar, antara lain ke Malaysia dan Australia.

"Dalam pikiran saya sederhana saja kenapa memilih RSBI mandiri. Kami mau anak-anak dari sekolah kami bisa sukses di skala lokal hingga nasional," kata Suprapto.


Hari Ini, "Judicial Review" RSBI Hadirkan Saksi Ahli

-- Indra Akuntono & Latief

JAKARTA, KOMPAS.com - Sidang judicial review Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) tentang Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (20/3/2012). Sidang hari ini diagendakan akan menghadirkan keterangan saksi ahli dan korban-korban dari pihak pemohon.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas.com, para saksi yang akan memberikan keterangan adalah Prof Winarno, Prof HAR Tilaar, Prof Sudjiarto, perwakilan guru, serta komite sekolah. Seperti diberitakan, eksistensi RSBI terus menuai perdebatan. Terakhir, Koalisi Anti Komersialisasi Pendidikan (KAKP) meminta MK melakukan judicial review terhadap UU Sisdiknas. Permohonan tersebut dilandasi penilaian KAKP jika satuan RSBI bertentangan dengan semangat dan kewajiban negara mencerdaskan kehidupan bangsa, serta berpotensi menimbulkan dualisme sistem pendidikan di Indonesia.

Dua pekan lalu, agenda sidang mendengarkan keterangan dari pemerintah. Dalam kesempatan itu, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dirjen Dikdas Kemdikbud) Suyanto, yang mewakili pihak Kemdikbud, bersikukuh jika RSBI tidak bertentangan dengan semangat mencerdaskan kehidupan bangsa. Suyanto menampik semua tudingan yang dilayangkan oleh pihak pemohon.

Suyanto beralasan, RSBI tidak diskriminatif karena sejak awal dibentuk satuan RSBI memang diperuntukkan bagi mereka, para siswa dengan kecerdasan di atas rata-rata. Selain itu, guna mencetak lulusan di atas standar nasional, ia menilai penggunaan dan penguasaan bahasa asing sangat lumrah diterapkan di sekolah-sekolah berlabel RSBI. Alasan lainnya, RSBI merupakan upaya meningkatkan daya saing bangsa di kancah global, khususnya melalui pendidikan.

Sumber: Edukasi, Kompas.com, Selasa, 20 Maret 2012

Catatan Buku: Palagan Hamka dan Lentera "Pram"

-- Rama Prabu

PECAHNYA peperangan Bintang Timur-“Lentera”/Pramoedya Ananta Toer sebagai salah satu panglimanya di medio 1962-1964 dengan HAMKA itu memercikan darah polemik baru berlabel Plagiasi pada karya Tenggelamnya Kapal van der Wijk. Dan ketika membaca buku Aku Mendakwa Hamka Plagiat karya Muhidin M Dahlan (2011) kembali kita diingatkan bahwa prilaku tidak terpuji itu ternyata di Indonesia sudah dimulai jauh-jauh hari. Dan akhir-akhir ini banyak kasus Plagiat baik soal Cerpen sampai pada Karya Ilmiah di beberapa Universitas yang dilakukan oleh mereka yang ingin disebut penulis dan peneliti itu tidak terlepas dari lemahnya negara memberi batasan dan ukuran serta takaran dalam mendefinisi mana saduran, mencontek atau mencontoh hingga plagiat dalam beragam ukuran.

Seorang pemerhati sastra Indonesia A. Teeuw pernah menulis “bahwa di Indonesia dari dahulu masalah keorisinilan dalam penciptaan sastra belum ada; perbedaan antara pencipta, penyadur, penerjemah, penjiplak adalah perbedaan yang modern; menulis seringkali adalah menulis kembali dengan varian-varian yang terserah pada pengarang, dan yang penilaiannya terserah pada pendengar atau pembaca. Demikian pula naskah seringkali bersifat anonim, atau seandainya ada nama penulis tidak jelas apakah dia penulis “asli” atau “penyadur” atau pula “penyalin” pertanyaan semacam itu dianggap kurang relevan. Perkara ini sangat sensitif bahkan cenderung banyak yang akhirnya dianggap “kampanye hitam” untuk membunuh karir seseorang.

Tapi untuk soal Hamka, saya sependapat dengan buku Aku Mendakwa Hamka Plagiat (AMHP) bahwa buku “ini menjadi semacam pengantar ala kadarnya untuk niat Pram dan kawan-kawan “Lentera” yang buru-buru sejarahnya disembelih oleh Gestok 1965 dan diantara mere di-Buru-kan. Buku ini menyambung niat yang tenggelam bersama kapal sejarah sastra Indonesia yang muda usia oleh politik dan fraksi militer yang kemudian diwariskan dengan perasaan was-was bergenerasi-gererasi”.

Dan yang paling penting dari buku ini adalah, Muhidin (Gus Muh) kembali mengingatkan pada khayalak bahwa pernah ada polemik/palagan dalam istilahnya yang harus diketahui oleh generasi sekarang. Buku yang layak dan harus menjadi bacaan wajib para penggiat sastra ini salah satunya telah menggiring saya pribadi sebagai kolektor untuk kembali “gerilya” mencari semua buku-buku tentang Hamka dan buku yang Hamka tulis, ini salah satu dampak ikutan yang baik terlebih karena kepentingan Sidang Buku Indonesia Buku. Dan setelah membaca Magdalena (Terjemahan A.s. Alatas dan M. Junus Amir Hamzah) dari karya Majdulin Al-Manfaluthi dimana beliau terjemahkan dari Karya Alphonse Karr berjudul Sous les Tilleus, kemudian membaca naskah yang menjadi polemik Tenggelamnya Kapak van der Wijk –Hamka serta setelah mengengok detail-detail yang coba dibuktikan dalam buku Aku Mendakwa Hamka Plagiat (Gus Muh) saya berkesimpulan bahwa karya Hamka ini memang terlalu naif dan terlalu tidak jujur jika Hamka tidak mengakui bahwa bukunya memang sangat dekat, bahkan bisa dikatakan lebih dekat dari urat lehernya karya terjemahan Manfaluthi. Untuk tidak merendahkan beliau yang diakui sebagai seorang agamawan dan pengarang dengan karya yang banyak, saya lebih setuju buku Tenggelamnya Kapal van der Wijk itu dikategorikan sebagai saduran.

Hamka telah mengakui dalam pendaluan untuk cetakan keempat bahwa “di dalam usia 31 tahun (1938), masa darah muda cepat alirnya dalam diri, dan khayal serta sentimen masih memenuhi jiwa, di waktu itulah “ilham” Tenggelamnya Kapan Van der Wijk ini mulai kususun dan dimuat berturut-turut dalam majalah yang kupimpin, Pedoman Masyarakat”. Sepertinya “ilham dan kata sentimen” inilah yang hendak dijadikan pembela karangannya, walau dengan tulisannya (maka ketika membacanya kembali, jalan cerita dan perasaan pengarang, yang menjadi inti buku, tidaklah diubah-ubah. Sebab dia adalah puncak kekayaan jiwa yang dapat diciptakan di zaman muda dan di zaman sebelum suasana merdeka) Hamka seperti sedang menampar muka sendiri dari pada kata “bercermin air”.

Walau H.B Jassin menjadi salah satu pembela Hamka dengan mengatakan “pada Hamka ada pengaruh al-Manfaluthi. Ada garis-garis tema, plot, dan buah pikiran, tapi jelas bahwa Hamka menimba dari sumber pengalaman hidup dan inspirasinya sendiri. Anasir pengalaman sendiri dan pengungkapannya sendir demikian kuat, hingga tak dapat orang bicara tentang jiplakan, kecuali kalau tiap hasil pengaruh mau dianggap jiplakan. Maka terlalu gegabah untuk menuduh Hamka Plagiat seperti meneriaki tukang copet di Senen”. Tapi dari tulian ini saya meyakini Jassin tak sepenuh hati membela dan mempelajari polemik yang terjadi, karena Jassin juga bukan orang yang memakai kacamata kuda dalam menilai walau dia bilangbahwa Hamka adalah gurunya, yang sangat di hormati. Dia sudah baca semua bukunya, ikuti dan menyimpan semua tulisannya dalam majalah dan surat kabar. Tapi dalam hal kesusastraan mengenai fungsi pengarang, kebebasan mencipta, dan fungsi karya sastra, antara Jassin dan Hamka ada beberapa perbedaan pendapat.

Satu kasus, kerasnya Jassin dalam membela perkara “Langit Makin Mendung” (Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia, H.B. Jassin, 1983) menilai bahwa Hamka mengatakan melihat cerita itu seolah-olah suatu laporan sejarah dan pelajaran agama, yang karena dan berbeda atau bertentangan dengan kenyataannya dan kaidah agama, ditolaknya. Hal ini bisa Jassin mengerti, karena beliau adalah orang yang telah memilih karier sebagai ahli agama dan mubalig. Ia tidak bisa lain dari keyakinannya dan kalau ia hendak menikmati suatu hasil karya, haruslah yang konform dengan keyakinannya. Ini adalah hak beliau. akan tetapi tak dapat dibantah bahwa imajinasi manusia bebas, sekalipunn ia mempunyai suatu keyakinan. Dan kebebasan imajinasi inilah yang hendak dikekang oleh Hamka pada ajaran-ajaran agama. Jassin tidak berpendirian demikian. Sebagai manusia beragama, punya keyakinan. Tapi juga mengakui adanya imajinasi yang bebas.

Jassin pun mengatakan bahwa “Inilah bahayanya kalau pikiran kita sudah terarah dengan mutlak dalam menghadapi suatu karya. Kita kita hanya mencari apa yang cocok dengan kita dan tidak coba mengerti kemungkinan-kemungkinan lain dari dari apa yang kita kehendaki. Dengan demikian dunia ini tetap sempit saja. Inilah caranya orang mengganggap hasil sastra sebagai dogma. Sebagai ulama, Hamka katanya metasa tersinggung oleh cerita “Langit Makin Mendung” dan menganggap dosa si pengarang begitu besar, sehingga sepantasnya ia dibunuh; halal darahnya menurut Islam, katanya. Hamka membantah hasil imajinasi pengatang dengan mengutip ayat-ayat dan hadis-hadis, seolah-olah pengarang adalah seorang ulama yang telah memberikan fatwa-fatwa agama yang keliru dan akan menyesatkan umat.
Jassin mengerangkan, bahwa pengarang bukanlah ulama, tapi orang awam dalam hal agama, namun dengan imajinasinya yang awam mencoba mendekatkan diri kepada Tuhan. Kalau seorang penghuni planet Senen sampai pada imajinasi Tuhan dengan caranya sendiri, saya menaruh hormat. Bagi Hamka seorang pengarang haruslah menggambar manusia dan peristiwa-peristiwa sesuai dengan keyakinannya.

Hamka memestikan tokoh-tokohnya menganut pikiran-pikiran dan melakukan perbuatan-perbuatan yang cocok dengan Hamka sebagai orang yang taat beragama. Maka akan didapatlah tokoh-tokoh yang stereotip, gagasan-gagasan yang stereotip, peristiwa-peristiwa yang stereotip, jalan pikiran yang stereotip, jalan cerita yang stereotip. Tokoh-tokohnya bukan tokoh-tokoh merdeka, tapi tokoh-tokoh yang telah terbelenggu oleh pikiran-pikiran pengarang atau pembaca yang menginginkan mereka demikian. Hamka hendak membelenggu imajinasi kepada akidah, meskipun dia tahu bahwa imajinasi sifatnya bebas. Imajinasi tidak terikat pada akidah, seperti mimpi tidak terikat kepada hukum lazim dalam kenyataan.

Dan buku AMHP menghimpunnya dengan cukup baik untuk soal bukti-bukti pragiat ini dari berbagai macam sudut pandang dan cara menakar, kegundahan Ki. Harkono Kamajaya (Pemimpin Umum UP. Indonesia) yang salah satu petinggi Majelis Luhur Tamansiswa yang menerbitkan cetakan ketiga (1985) buku Magdalena yang mengatakan bahwa “polemik itu niscaya tidak akan mencapai penyelesaian, sebab orang tidak dapat membenarkan atau membantah tuduhan plagiat tersebut sebelum membaca buku Majdulin” dan buku AMHP melengkapi pembenaran ini.
Seharusnya Hamka pun melakukan hal yang sama seperti Manfaluthi ‘tawadhu” dalam berkarya, walau kata Teeuw “Teks adalah milik bersama, bebas untuk dimanipulasi, dicocokkan, diciptakan kembali, sesuai dengan keperluan dan kemampuan para penyusun yang menganggap dari pencipta (seringkali juga sekaligus menjadi penyanyi dan penggelarnya), dan dengan minat pendengar dan penonton. Tapi kosep teks sebagai milik pencipta pertamanya, yang harus dihormati dan diabadikan dalam bentuk aslinya, pada umumnya tidak diketahui di Indonesia.

Manfaluthi mengatakan “saya menjaga jiwa aslinya sepenuh-penuhnya dan mengikat diri saya sekeras-kerasnya. Saya tidak menyimpang kecuali dalam membuang beberapa kalimat yang tidak penting, menambah beberapa kalimat yang terpaksa saya tambahkan karena kaharusan terjemahan, pengolahan, penyesuaian tujuan dan maksud-maksud tanpa mengurangi nilai aslinya atau keluar dari lingkungannya”. Jadi saya kembali berharap kedepan tak ada lagi karya sastra yang kembar identik seperti yang terjadi pada karya Tenggelamnya Kapal Van der Wijk-Hamka dengan Majdulin/terjemahan Manfaluthi dari [Sous les Tilleus karya alphonse Karr] karena itu selain merendahkan proses penciptaan pada akhirnya juga menghinakan diri didepan sidang pembaca buku di seluruh dunia.

Rama Prabu
, Direktur Dewantara Institute

Sumber: Oase, Kompas.com, Selasa, 20 Maret 2012

Membaca "Kata" Malik Mahmud

-- Mariska Lubis

“Semua pihak dan seluruh elemen masyarakat Aceh dapat memahami dengan jelas semangat MoU Helsinki dan eksistensi serta jiwa UU Pemerintahan Aceh sebagai langkah penting dalam mengakhiri permusuhan dan menciptakan perdamaian Aceh. Dengan memahami kedudukan, eksistensi, serta semangat tersebut maka tidak akan ada lagi bias tafsir dan bias implementasi dalam kehidupan bermasyarakat dengan titik tolak pembangunan Aceh ke arah lebih maju, lebih demokratis, dan lebih bermartabat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.” - Tgk Malik Mahmud Al-Haytar yang disampaikan pada Seminar Konstruksi Perdamaian Aceh dan diselenggarakan oleh Aceh Sepakat di Medan, 17 Maret 2012.

Kalimat-kalimat di atas sangat menarik perhatian saya, terutama karena yang menyampaikannya adalah seorang Malik Mahmud yang sangat terhormat dan dihormati. Menjadi keprihatinan yang mendalam karena dari kalimat pertama di atas, maka jelas sekali beliau pun memiliki kekhawatiran atas pemahaman dari MoU Helsinsky. Sedangkan dari kalimat yang kedua, bagi saya menjadi pernyataan penting bahwa memang masyarakat Aceh belum memahami kedudukan dan eksistensinya sendiri.

Sebagai seorang tokoh yang saya anggap “sangat Aceh” dan tentunya sangat mengerti tentang Aceh tentunya tidak akan pernah sembarangan bicara. Selain itu, sebagai salah satu tokoh yang memiliki peranan penting di dalam diplomasi perdamaian, sudah tidak perlu lagi disangsikan kemampuannya di dalam berpikir dan berbicara. Oleh karena itulah, saya sangat menghargai pernyataan beliau di atas. Ini menjadi sebuah bukti kuat bagi saya bahwa beliau memiliki jiwa yang besar untuk mengakui kekurangan rakyatnya sendiri. Di sisi lain, juga saya salut karena jiwa besar inilah yang dapat menjadi pendorong dan penggerak perbaikan segala kekurangan yang ada demi terwujudnya cita-cita dan keinginan bersama.

Mengapa saya sangat menghargainya?! Tidak mudah untuk menemukan seseorang yang berani mengatakan apa yang sebenarnya, apalagi kekurangannya. Tidak mudah juga mendapatkan seseorang yang mampu berbahasa dengan kualitas yang baik untuk mengatakannya dengan cara yang elegan dan berkelas. Lebih banyak yang mengaku-aku hebat dan melakukan cara-cara yang sangat tidak etis dan tidak sopan untuk mendapatkan pengakuan.

Saya tidak melebih-lebihkan hal ini. Sudah berulang kali saya menulis tentang kualitas daya baca dan bahasa yang masih sangat rendah di Indonesia, termasuk di Aceh. Jika kualitas daya baca dan bahasa masyarakat tinggi, maka tidak akan ditemukan kendala untuk dapat memahami MoU Helsinsky itu dengan baik dan benar sesuai dengan teks dan konsteksnya. Kebanyakan masyarakat Indonesia hanya mampu membaca teks dan tidak mengerti serta paham atas konteks tulisan yang dimaksud, sehingga menimbulkan banyak masalah atas persepsi yang ditimbulkan.

Saya juga sudah sering menulis bagaimana keprihatinan saya terhadap jati diri masyarakat Aceh yang saya anggap sudah sirna dan hampir hilang. Bila seseorang sudah mengenal dirinya dengan baik dan memiliki jati diri yang kuat, maka orang tersebut akan tahu persis apa dan siapa dirinya. Segala sesuatu yang dipikirkan dan dilakukan akan sesuai dengan posisi (kedudukan), waktu, dan tempatnya. Tidak lagi berkutat soal pengejaran eksistensi yang berlebihan, karena sudah tahu juga bagaimana eksistensi diri yang sebenarnya dan seutuhnya.

Aceh adalah sebuah wilayah yang menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia memiliki peranan yang sangat besar dan kuat baik secara regional, nasional, maupun internasional. Jika tidak demikian, tidak mungkin Aceh menjadi pusat perhatian dan terus dipantau setiap gerak gerik dan langkahnya. Siapa yang tidak ingin menguasai Aceh?! Siapapun yang dapat menguasai Aceh, sama artinya dengan menguasai perekonomian Indonesia dan memiliki pengaruh besar di dalam dunia perekonomian Internasional. Oleh karena itu, pastilah selalu diperebutkan.

Begitu juga dalam hal agama. Aceh menjadi panutan sekaligus “bintang fajar” bagi masyarakat Indonesia di dalam hal agama Islam. Aceh yang mendapat julukan kehormatan “Serambi Mekah”, bukanlah diperoleh sembarangan. Tentunya ada banyak hal yang hebat dan luar biasa sehingga membuat Aceh demikian. Sehingga bukanlah sesuatu yang aneh bila apa yang terjadi dan dilakukan di Aceh dalam hal yang berhubungan dengan agama, akan dikaitkan atau berhubungan dengan wilayah lain baik di Indonesia maupun Internasional. Termasuk di dalamnya adalah politisasi agama dan agama yang dipolitisir.

“Di Aceh, setelah Belanda berhasil menaklukkan Aceh (tahun1902) melalui peperangan panjang dan melelahkan, serdadu Belanda masih menghadapi pemberontakan yang dilakukan oleh pejuang Aceh.Perang Aceh telah melambungkan nama-nama para pahlawan –yang kemudian diakui sebagai pahlawan nasional Indonesia-- seperti Tgk Chik Di Tiro, Panglima Polem, Cut Meutia, Cut Nyak Dhien, Teuku Umar dan lain-lain. Kehadiran Belanda di Aceh selalu terusik dengan politik anti penjajah dari kalangan masyarakat Aceh dengan memberi stigma “kaphe” atau kafir kepada Belanda.

Dari stigma inilah kemudian tersemai di setiap sanubari orang Aceh bahwa memerangi Belanda adalah sebuah ibadah bernama Perang Sabil, sehingga siapa pun yang meninggal melawan Belanda mendapat pahala syahid. Maka cukup banyak para syuhada Aceh yang rela tewas di ujung bedil serdadu Belanda karena mereka memang secara ikhlas maju ke medan pertempuran sebagai bagian dari ibadah. Dalam semangat itulah kemudian muncul kesimpulan kolektif bahwa siapa pun yang membantu penjajah adalah kafir dan halal untuk diperangi.”

Alangkah indahnya bila Aceh menyadari hal ini. Banyak sekali yang dapat dilakukan dan terwujud bila semua sama-sama mau belajar untuk mengerti dan paham akan hal ini. Kualitas daya baca dan bahasa adalah sebuah ukuran “real” yang menunjukkan kualitas “didikan” seseorang. Mereka yang bersekolah tinggi dan memiliki sederet gelar, memiliki jabatan tinggi, dan setumpuk harta, bahkan yang mengaku rajin membaca dan menulis pun belum tentu memiliki kualitas daya baca dan bahasa yang tinggi. Bila benar berkualitas, maka tidak sulit untuk dapat mengerti dan memahami MoU Helsinsky dan demikian juga di dalam penerapannya.

Saya dapat membayangkan bagaimana Aceh di masa depan nanti bila masyarakatnya sadar penuh akan apa dan siapa dirinya yang sebenarnya. Tidak lagi perlu labil ataupun harus “terjajah” karena sudah mampu menjadi pribadi yang kuat dan memiliki jiwa yang merdeka. Kemenangan Aceh adalah karena kemampuannya di dalam berpikir dan menerapkan strategi dan tentunya ini semua berawal dari tahu benar apa dan siapa dirinya. Penempatan posisi yang sesuai dengan waktu dan tempatnya akan dapat mengubah segala sesuatu yang buruk sekarang ini menjadi lebih baik lagi.

Selain itu juga, jika Aceh sudah menemukan kembali dirinya maka tidak akan mudah dipengaruhi oleh yang lain. Tidak perlu juga membutuhkan simbolik dalam bentuk materi dan fisik hanya untuk pengakuan dan pengukuhan, apalagi sekarang ini konteks situasi dan kondisi sudah berubah. Aceh seharusnya dapat menjadi tolak ukur dan acuan nasional dan internasional di dalam berbagai bidang, terutama yang menyangkut masalah perekonomian, perdagangan, dan Islam.

“Untuk menindaklanjuti MoU Helsinki Pemerintah telah mengeluarkan sebuah undang undang yang disebut dengan UU nomor 11 tahun 2006 dan lebih populer dengan istilah UUPA (Undang Undang Pemerintahan Aceh). Undang undang ini pada intinya ialah mengakhiri konflik dan memberi hak-hak khusus bagi Aceh. Dalam salah satu konsideran menimbang disebutkan: “…… serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada dasarnya UU ini memberi ruang bagi Aceh untuk memajukan berbagai sektor kehidupan di antaranya bidang agama, budaya, demokrasi, pertanian, kelautan, pertambangan, pendidikan, ekonomi untuk kemaslahatan masyarakat Aceh yang berkeadilan, sejahtera dan amanah. Secara tegas dapat kita katakan bahwa UU ini telah memberi hak kepada Aceh di bidang pemerintahan dengan otonomi seluas-luas, hak politik dengan pendirian partai lokal, pengelolaan kekayaan alam, pembagian hasil bumi antara Aceh dengan Indonesia, mempertahankan nilai-nilai dan lembaga lokal, serta terbentuknya lembaga baru yang bernama Wali Naggroe.”

Aceh sendiri sudah Islam, sehingga tidak perlu lagi harus berlebihan di dalam memperkukuh eksitensi ke-Islamannya. Semua tari-tarian, lagu, hadih madja, ilmu pengetahuan, dan bahkan cara berpikir serta tulisan Hasan Tiro dan pidato Malik Mahmud sekarang ini pun sudah sangat Islami. Silahkan membandingkan pola konstruksinya dengan pola konstruksi tulisan di dalam Al-Quran terutama Surat Al Fatihah. Amat sangat persis sekali pola konstruksinya. Saya memang bukan ahli kitab ataupun ahli agama, namun saya sangat memperhatikan pola konstruksi dan alur dari sebuah tulisan termasuk yang ada di dalam kitab suci. Bagi saya, itulah pola konstruksi yang paling hebat dan sudah sepatutnya saya pelajari dan terapkan.

Sementara apa yang “nampak” dikenakan dan ditampilkan di dalam budaya Aceh merupakan perpaduan dari berbagai unsur budaya yang membentuk Aceh, yaitu Arab Cina, Eropa, dan Hindia. Inilah yang menjadi keunikan dari Aceh dan merupakan jati diri Aceh yang sebenarnya, yang juga telah membuat Aceh hebat sehingga mampu melakukan penetrasi yang sangat luas ke berbagai wilayah nasional maupun Internasional. Islam Aceh bukan pada soal fisik dan materi tetapi pada jiwa dan pemikirannya. Eksistensinya sudah jelas dan tak perlu takut dan tidak yakin lagi.

Membaca akhir kalimat pidato Malik Mahmud, saya pun menjadi terharu. Inlah kata-kata penting yang patut dibaca, dipahami, dimengerti secara teks dan konteksnya bila memang Aceh dan cinta pada Aceh: “Marilah secara tulus dan ikhlas sama-sama kita memperkuat kestabilan perdamaian Aceh serta membangun semangat saling menghormati dalam menangani persoalan-persolan penghambat kesangsungan tersebut dengan arif dan bijaksana. Kepada Allah kita berlindung, dan kepada Allah pula kita berserah diri.”

Sumber: Oase, Kompas.com, Selasa, 20 Maret 2012

Monday, March 19, 2012

IKJ Beri Penghargaan kepada Dunia Seni Peran

-- Buyung Wijaya Kusuma & Robert Adhi Ksp

JAKARTA, KOMPAS.com — Institut Kesenian Jakarta sebagai perguruan tinggi seni yang berusia 42 tahun memberi apresiasi kepada tokoh yang memberikan perhatian khusus kepada dunia seni peran, dalam hal ini akting. Penghargaan diberikan kepada sutradara, produser, wartawan, dan institusi, seperti televisi.

Tokoh yang mendapat penghargaan dinilai sungguh sangat mewarnai dunia seni peran dalam industri hiburan Indonesia (teater, film, sinetron). Hal ini dapat dilihat dari pencapaian beberapa aktor Indonesia yang pernah menekuni kuliah seni peran di Jurusan Teater IKJ, seperti Didi Petet, Mathias Muchus, Eeng Saptahadi, Fanny Fadilla, Yadi Timo, Cok Simbara, Edi Riwanto, Derry Drajat, Sys NS, Agus PM TOH, Epy Kusnandar, Yayu AW Unru, Anna Pinem, Eno TB, Jose Rizal, Edwin, dan Jody.

Pada saat yang sama lahir juga para pemain yang terkesan "dikarbit" dan dipaksakan.

"Tentu kita bisa lihat sendiri di media televisi banyak pemain instan yang aktingnya karbitan. Nah, kami memberi apresiasi kepada siapa saja yang masih peduli serta memberikan perhatian khusus kepada dunia seni peran dalam hal ini akting. Baik itu sutradara, produser, wartawan, institusi, seperti televisi, dll " ujar Egy Massadiah, anggota Teater Mandiri, yang bertindak sebagai penasihat teknis dalam acara "Penghargaan IKJ" 2012 kepada wartawan.

Penghargaan IKJ ini dilatar belakangi perkembangan industri media hiburan Film, Sinetron, Teater di Indonesia yang saat ini secara kuantitas sangat pesat dan dinamis. Pertumbuhan industri hiburan kreatif ini tidak dimbangi perkembangan unsur Seni Peran yang merupakan etalase utama dari media hiburan ini.

Sebuah produksi film, sinetron, teater, akan melahirkan bintang dan itu didapat dari permainan akting. "Perkembangan industri hiburan tumbuh sangat pesat dan pertumbuhan produksi ini melahirkan konsekuensi hilangnya 'jiwa seni peran' para pemain dan salah satu penyebabnya adalah profit orientation yang berlebihan dari produsen," tutur Egy.

Dalam pelaksanaan acara ini, Institut Kesenian Jakarta akan memberikan penghargaan kepada pekerja seni yang berkontribusi langsung kepada perkembangan Seni Peran dalam setiap karyanya dan ini menjadi basis penilaian setiap kategori Penghargaan IKJ.

Untuk menjaga independensi, penghargaan ini tidak diberikan kepada alumni, mahasiswa, dan dosen Institut Kesenian Jakarta, tetapi diberikan kepada pekerja seni yang mendedikasikan hidupnya untuk perkembangan seni peran di Indonesia melalui media film, televisi, teater.

Adapun jenis kategori penghargaan adalah sutradara, aktor, akrtis, pengamat/penulis, pengabdian sepanjang masa, pendukung kegiatan seni peran, media pendukung ekspresi seni peran. Komitmen pemberian penghargaan ini diharapkan dapat mendorong apresiasi masyarakat terhadap perkembangan seni peran sehingga melahirkan permainan akting artis yang melahirkan "soul acting" di media film, sinetron, dan panggung yang dapat dinikmati penonton. Penyelenggaraan acara Penghargaan IKJ ini direncanakan pada 18 April 2012 di Gedung Graha Bhakti Budaya, Kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.

Acara pemberian Penghargaan IKJ ini dikemas dalam bentuk pertunjukan kolaborasi berbagai seni, seperti akting, musik, tari, visualisasi puisi, wayang, dan pantomim, yang dikemas secara unik dan hangat serta penuh totalitas juga kejutan. Para penampil antara lain adalah 1.000 Ekspresi Akting, Standing Comedy oleh Epy Kusnandar, Pantomim oleh Yayu AW Unru, PM TOH oleh Agus Nur Amal, Hip Hop Dance oleh JeckoSDANCE, Visualisai Puisi oleh Yose Rizal, DikDoang, Naif Band, dan Ubiet; Wayang Suket oleh Slamet Gundono, dan Orasi Akting oleh Sys NS.

"Kami ingin membagi edukasi kepada masyarakat serta penonton film, sinetron, dan teater tentang permainan seni peran yang benar juga tepat sebagai bagian dari unsur terpenting produksi film, sinetron, dan teater," tutur Egy.

Sumber: Oase, Kompas.com, Senin, 19 Maret 2012

Sunday, March 18, 2012

Spirit Toleransi untuk Kerukunan

Data Buku

Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama. Irwan Masduqi. Pengantar: M. Dawam Rahardjo. Mizan, Bandung, Desember 2011. Xxxi + 310 halaman

BANGSA Indonesia masih belum lupa pada berbagai kasus yang sangat mencederai kerukunan umat beragama. Berbagai kasus itu, antara lain penutupan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor, bom bunuh diri di Mapolresta Cirebon, pengeboman gereja di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIJ) Kepunton, Solo, dan yang terbaru pengrusakan pesantren Syiah di Sampang Madura, merupakan bukti kerukunan umat beragama masih timpang.

Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Jalaluddin Rahmat bahkan menilai konflik sunni-syiah di Jawa Timur sudah sering terjadi. Jalaluddin menyebutkan pada 2007 terjadi banyak penyerangan terhadap umat Syiah di Bondowoso, Bangil, dan Sampang. Empat tahun terakhir umat Syiah mendapatkan banyak serangan di Jawa Timur .

Konflik sosial antarumat beragama bahkan antarintern umat seagama merupakan bukti hubungan beragama masyarakat Indonesia masih dipenuhi dentuman kekerasan dan antitoleran. Masyarakat agama di Indonesia masih menggunakan kacamata kuda dalam menilai orang lain sehingga yang lahir adalah model keberagamaan yang sempit dan sepihak. Setiap terjadi perbedaan, selalu menjadi pemicu lahirnya konflik sosial. Tragisnya, berbagai konflik sosial keagamaan itu banyak diseret dalam ruang politik kekuasaan, sehingga makin memperumit dan memperuncing keharmonisan dan kerukunan umat beragama. Bukannya kerukunan yang terjadi, melainkan kecemasan dan ketakutan yang terus menghantui.

Dalam konteks inilah, buku bertajuk Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama karya Irwan Masduqi tepat hadirnya untuk memberikan perspektif baru bagi kukuhnya toleransi untuk meneguhkan kerukunan umat beragama di Indonesia. Bagi penulis, toleransi adalah rasa hormat, penerimaan, dan apresiasi terhadap keragaman budaya dan ekspresi kita. Toleransi adalah harmoni dalam perbedaan, yang membuat perdamaian menjadi mungkin. Dengan mengutip Al-Kindi, penulis menjelaskan bahwa seyogianya kita tidak malu mengambil kebenaran dari mana pun datangnya, walaupun dari umat yang berbeda agama. Sesungguhnya, tidak ada yang lebih utama bagi pencari kebenaran selain kebenaran itu sendiri.

Spirit toleransi sejatinya berdiri tegak dalam doktrin ajaran Islam. Secara tegas Alquran menyatakan bahwa “tidak ada paksaan dalam agama” (Al-Baqarah: 2: 256). Menjelaskan sebab turunnya Ayat ini, penulis menjelaskan bahwa ayat ini terkait seorang lelaki bernama Abu Al-Husain dari keluarga Bani Salim Ibnu Auf mempunyai dua orang anak lelaki yang telah memeluk agama Nasrani sebelum Nabi Muhammad saw. diutus Tuhan sebagai Nabi.

Kemudian, kedua anak itu datang ke Madinah (setelah datangnya agama Islam), maka ayah mereka selalu meminta agar mereka masuk agama Islam dan ia berkata kepada mereka, "Saya tidak akan membiarkan kalian berdua, hingga kalian masuk Islam." Mereka lalu mengadukan perkaranya itu kepada Rasulullah saw. dan ayah mereka berkata, "Apakah sebagian dari tubuhku akan masuk neraka?" maka turunlah ayat ini, lalu ayah mereka membiarkan mereka itu tetap dalam agama semula. Jadi, tidak dibenarkan adanya paksaan. Kewajiban kita hanyalah menyampaikan agama Allah kepada manusia dengan cara yang baik dan penuh kebijaksanaan serta dengan nasihat-nasihat yang wajar sehingga mereka masuk agama Islam dengan kesadaran dan kemauan mereka sendiri.

Spirit toleransi tertera dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari yang mengabarkan bahwa Nabi ditanya: "Agama yang manakah yang paling dicintai Allah?" Beliau menjawab "agama asal mula yang toleran (al-hanîfiyyatus samhah). Dalam Al-Jami' As-Shaghir, Imam al-Suyuti menjelaskan bahwa Nabi bersabda, "seutama-utama keimanan adalah sabar dan toleransi" (afdlalu aliman al-shabru wa al-samhah). Kesabaran dan toleransi bersanding sangat dekat karena pribadi yang sabar pastilah menebarkan etos toleransi kepada sesama. Toleransi tanpa kesabaran hanyalah uapan gas yang membahayakan. Kesabaran yang berwujud dalam toleransi termanifestasikan dalam pribadi agung, Muhammad saw.

Spirit toleransi telah ditegakkan Nabi kala beliau mendirikan negara Madinah. Beliau bersama seluruh pendidikan Madinah membuat Piagam Madinah yang berisi konstitusi dalam membangun tata kelola kehidupan masyarakat Madinah yang plural. Baik Islam, Yahudi, Nasrani, dan suku-suku dalam Madinah bersama-sama Nabi Muhammad menyepakati konstitusi yang saling menjaga, melindungi, menyayangi, dan toleran dengan sesama. Semua penduduk Madinah dibebaskan menjalankan agamanya masing-masing. Semua mendapatkan perlakuan dan pengakuan yang sama dalam menjalankan ritual agama masing-masing.

Semangat toleransi yang terekam dalam buku sangat tepat untuk diaktualisasikan di Indonesia. Kegelisahan penulis buku ini tidak jauh beda dengan kegelisahan Mukti Ali, kala menjabat sebagai Menteri Agama 1971—1978. Mukti Ali (1923—2004) merasa galau dengan konflik antaragama kerap menimbulkan ketegangan yang serius, bahkan sering terjadi konflik sampai tingkat fisik. Terlebih lagi antara umat Islam dan Kristen yang sampai mengarah pada pembakaran masjid dan gereja. Melihat kondisi demikian, Mukti Ali menggulirkan gagasan trilogi kerukunan yang meliputi kerukunan intern umat beragama, kerukunan antarumat beragama, dan kerukunan antarumat beragama dan pemerintah.

Gagasan Mukti Ali tersebut dalam babakan sejarah kerukunan umat beragama di Indonesia terbukti mampu membangun kalimatun sawa (common denominator) sehingga tersedia landasan persamaan di tengah beragam perbedaan umat beragama di Indonesia. Dari trilogi kerukunan itu, Mukti Ali terbukti mampu menjadikan agama tidak tergiring pada proses “pengguruan iman” (desertion of faith) sehingga dalam perjalanannya agama lebih tampak pemantapan keimanan dan keyakinan, bukan peristiwa politik yang besar dan spektakuler.

Berbagai konflik keagamaan, pelan tapi pasti bisa dieliminasi sehingga kala Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara, semua ormas keagamaan menyetujuinya dengan gembira dan lapang dada. Buku ini hadir memberikan harapan besar bagi bangsa Indonesia untuk menegakkan dan mengaktualisasikan kembali kerukunan beragama di Indonesia. n

Siti Muyassarotul Hafidzoh, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 Maret 2012

"Musim Bermula", Kesejatian Perempuan

-- Hang Kafrawi

PEREMPUAN; maka yang akan terbayang oleh lelaki tentang kelembutan, kecantikan, keharuman, pokoknya mengarah kepada kegairahan nafsu. Lelaki dibawa ke angan-angan yang dapat mengikat perempuan dalam benaknya; lekat tak terpisahkan. Di bentangan waktu lelaki, perempuan menjadi objek yang selalu hadir menyemburkan semangat lelaki untuk menguasainya. Sosok perempuan sumber cahaya yang tak pernah lelah menerangi dan lelaki senantiasa ingin memiliki jelaga cahaya itu dengan apapun caranya.

Keinginan yang mengebu-ngebu bagi lelaki, menyebabkan perempuan dipandang tidak memiliki kekuatan, sehingga lelaki berdiri tegak sebagai superior mendominasi perempuan. Pandangan lelaki lebih kuat dibandingkan perempuan mengakibatkan kaum hawa terus menerus menjadi objek penderitaan. Kaum lelaki berada di atas angin ingin menguasai perempuan, sementara perempuan seakan patah semangat untuk menunjukkan mereka juga memiliki kekuatan.

Untuk itulah perlu mematahkan pandangan lelaki lebih perkasa dibandingkan perempuan. Citra yang terbangun selama ini, lelaki lebih dibandingkan dengan perempuan, secara psikologis membangkitkan keinginan lelaki lebih besar lagi untuk menguasai perempuan. Maka lelaki pun melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap perempuan, terjadilah pelecehan seksual, kekerasan rumah tangga, bahkan perempuan dieksploitasi untuk kepentingan perempuan.

Mengatasi masalah perempuan makhluk lemah dibandingkan lelaki, membuka mata para pejuang perempuan melakukan gerakan menyetaraan perempuan sama dengan lelaki. Bermunculanlah pendapat tentang sebab perempuan ditindas oleh lelaki. Sistem patriarki meletakkan perempuan sebagai kelompok lain, sehingga lelaki dengan kekuasaannya menindas perempuan. Kelompok Feminis Marxis menganggap kapitalisme-lah penyebab utama dari ketertindasan perempuan; dominasi lelaki terhadap perempuan sama seperti dominasi modal terhadap buruh. Sementara Feminis Liberal memandang penindasan perempuan oleh lelaki disebabkan prasangka lelaki terhadap perempuan yang terlembaga dalam hukum partikular masyarakat yang menganggap perempuan itu lemah.

Gerakan perempuan sama dengan lelaki terus berlangsung. Dalam karya sastra, perbedaan gender ini menjadi inspirasi yang tidak pernah kering. Banyak penulis perempuan mengekspresikan kegundahan ataupun keinginan mereka dalam karya sastra. Mereka (penulis perempuan) terus ‘meledakkan’ pikiran bahwa perempuan sama dengan lelaki. Semangat perempuan ingin ‘terbang’ bersama lelaki semakin gencar ‘diproduksi’ dalam karya sastra. Herlela Ningsih, salah seorang penyair perempuan Riau, yang terus mengibarkan kesamaan gender di Tanah Melayu ini melalui karya-karya sastra, terutama puisi.

Salah satu puisi Herlela Ningsih yang mengibarkan kebesaran perempuan berjudul ‘’Musim Bermula’’. Puisi ini telah dibukukan dalam Kumpulan Puisi Penyair Perempuan se-Sumatera dengan judul yang sama, Musim Bermula. Buku yang memuat 18 penyair perempuan asal Sumatera ini, diterbitkan oleh Himpunan Perempuan Seni Budaya Pekanbaru (HPSBP) pada tahun 2001.

Dalam puisi ‘’Musim Bermula’’, Herlela Ningsih memperlihatkan bahwa perempuan merupakan makhluk Tuhan yang memiliki ketabahan dan tidak mudah putus asa berjuang. Mereka (perempuan) terus menancapkan keinginan di bentangan keadaan. Perjuangan masa lalu, masa kini dan masa akan datang, tidak pernah pudar, selalu ada harapan.

Setelah musim berganti
musim bermula kami bentangkan
jadi kanvas musim ke musim

Bait pertama puisi ‘’Musim Bermula’’ ini, memperkokoh keinginan memposisikan perempuan sebagai makhluk yang optimis, berharap dan terus berharap dengan keikhlasan. Perempuan juga tidak pernah takut berhadapan dengan masalah apapun, karena perempuan yakin, kerelaan menjadi senjata dalam menyelesaikan masalah. Kerelaan menjadi modal dasar untuk membangun kesejatian. Pada baris pertama puisi ini, kata musim mewakili keadaan yang sudah selesai dilalui, namun harapan masih belum tuntas. Maka pada baris kedua, recupan harapan terus mekar. Waktu kini menjadi jalan untuk mewujudkan keinginan yang belum tuntas itu. Dengan membentang harapan pada hari ini, secara tidak langsung akan menghasilkan keyakinan untuk masa akan datang.

Ketabahan menjadi kata kunci untuk membongkar kekuatan perempuan. Mereka (perempuan) mampu tetap bertahan menghadapi segala macam cobaan hidup dan ketabahan inilah yang membentuk citra perempuan itu kelihatan lemah. Padahal bertahan dengan ketabahan merupakan strategi mengungkai masalah sampai masalah tersebut benar-benar terselesaikan. Sederhana memang, namun untuk tetap bertahan dalam ketabahan itu diperlukan energi ekstra.

Kanvas sederhana namun sarat warna
Ketika menemui kesia-siaan
Semakin bersemangat untuk mencari

lalu rinai hujan mengalir membasahi kalbu
puisi pun merimbun di telaga kasih
kelopaknya memekarkan cinta dan kesetiaan
memecah kefanaan misteri di lubuk nurani
mengabadikan cinta dalam mahkota paling mawar
menggugurkan kabut asap di genangan bathin

aduhai
di musim bermula
kusiram benih hati yang melayu
di bakar kemarau
tersenyum kembang abadi
yang tak akan layu musim ke musim
kejora di matamu
membeningkan musim bermula

‘Apa adanya’ yang datang dari keikhlasan merupakan jalan menuju ketabahan. Jalan ini membuka alternatif untuk terus berbuat, sehingga segala macam persoalan menjadi terang. Pandangan makhluk lemah yang selama ini melekat pada sosok perempuan, terpatahkan. Perempuan tidak kenal kata menyerah, walaupun berhadapan dengan kebuntuan, mereka tetap berjuang mencari dan terus mencari untuk menemukan hakikat perjuangan, yaitu; menyelesaikan masalah dengan kesetiaan.

Mengedepankan perasaan bukanlah sesuatu kelemahan. Sensitivitas yang datang dari mata batin akan merecupkan cahaya dalam mengarungi segala macam ketidakjelasan hidup ini. Perasaan membentuk hipotesis yang harus diselesaikan dengan tindakan. Inilah gaya elegan perempuan dalam menyelesaikan masalah. Mereka tetap mengedepankan nilai keutuhan cinta, kesetiaan dalam mengambil sikap, walaupun duka mendera mereka.

Menjunjung cinta dan kesetiaan merupakan kelebihan perempuan. Kelembutan menjadi senjata untuk tetap bertahan. Kata puisi yang terdapat dalam baris kedua bait ketiga, mewakili perasaan perempuan yang terpendam dan pada akhirnya membuahkan rimbunan kasih. Kasih sayang menjadi perekat untuk tetap bertahan. Setelah rasa cinta cinta memunculkan kesejatian, segala kegelisahan perempuan mengembang keikhlasan. Perbuatan yang berdasarkan keikhlasan inilah yang dilihat sebagai kelemahan, padahal keikhlasan merupakan pondasi untuk membangun penyelesaian yang lebih arif.

Puisi Herlela Ningsih ini juga terasa aneh. Metafora yang digunakan terlalu dipaksakan, sehingga memunculkan kesan keliaran. Disaat membicarakan ‘keperkasaan’ perempuan secara universal, Herlela menarik permasalahan perempuan ke wilayah sempit mengenai perempuan Melayu. Seharusnya Herlela tidak memaksa ‘kehendaknya’, biarlah perempuan hadir di dalam puisinya secara umum tidak terpilah-pilah. Bukankah semua perempuan di dunia ini, menganggap dirinya tertindas oleh hegemoni lelaki?

Herlela sudah mencoba. Tidak banyak perempuan menyuarakan perlawanan melalui karya sastra. Di Riau, penulis perempuan masa kini dapat dihitung dengan jari. Herlela telah mengumpulkan kegelisahan itu dengan kumpulan puisi Musim Bermula.***

Hang Kafrawi, Ketua Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Unilak dan dosen AKMR

Sumber: Riau Pos, 18 Maret 2012