MESKI sejak 1980-an banyak sepeda motor yang telah dihiasi dengan berbagai stiker, tetapi stiker yang lebih menampilkan teks agaknya baru terjadi tiga atau dua tahun belakangan ini. Umumnya di era 1980-an stiker sepeda motor lebih menampilkan gambar atau lambang, dari mulai universitas sampai lambang institusi. Sementara stiker teks lebih banyak dijumpai dalam angkutan kota dengan berbagai ragamnya, semisal, ”Sekarang Bayar Besok Gratis”, ”Gadis Cantik Duduk Dekat Pak Supir”, atau ”Pijitlah Bel dengan Mesra”.
Munculnya stiker sepeda motor dengan berbagai ungkapan agaknya juga berhubungan dengan kian meningkatnya pengguna sepeda motor. Tingkat kemacetan dan manajemen transportasi di kota-kota besar bisa menjadi sebab dari hal ini. Belum lagi kian murah dan mudahnya syarat kredit untuk memiliki merek sepeda motor. Gaya hidup bermotor akhirnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari mobilitas masyarakat urban.
Munculnya sejumlah lapak-lapak atau toko aksesori sepeda motor merupakan bagian dari hal itu. Tak hanya helm, jas hujan, sarung tangan, tetapi juga berbagai desain stiker dengan ungkapan yang menarik. Mungkin seperti juga kaus oblong, lewat stiker, sepeda motor di situ menjadi medium untuk mengekspresikan berbagai ungkapan.
Selain di toko-toko aksesori sepeda motor, stiker semacam ini juga mudah ditemui di kaki lima. Biasanya dilapisi plastik yang dibentangkan di sebuah tembok. Para pembeli leluasa memilih sambil satu per satu membacanya. Di sinilah umumnya kita dengan mudah menemukan stiker-stiker ungkapan bahasa Sunda yang penuh dengan ”Aing” dan yang konyol-konyol itu. Meskipun demikian, kita tidak akan menemukannya di sejumlah toko stiker di kawasan Jln. Dewi Sartika Bandung, kecuali stiker-stiker bobotoh Persib.
Memperhatikan sejumlah calon pembeli yang asyik memperhatikan sejumlah stiker di tepi jalan di kawasan Gunung Batu Bandung diam-diam sebuah pertanyaan muncul, hasrat apa sebenarnya yang membuat mereka merasa perlu menghiasi sepeda motornya dengan stiker ungkapan yang baong semacam itu?
Dengan polos, Haris (23) mengatakan, ia merasa membutuhkan stiker semacam itu karena dia menyukai ungkapannya. ”Bukan cuma buat lucu-lucuan, tetapi juga kata-katanya asyik dan saya suka,” ujarnya sambil menempel stiker di sepatbor belakang sepeda motornya.
Pemuda dengan knalpot sepeda motor yang mengeluarkan suara keras itu tak bisa menjelaskan lebih jauh mengapa ia menyukai ungkapan-ungkapan dalam stiker semacam itu. Akan tetapi, tampaknya hal itu sudah cukup untuk menjelaskan bagaimana dalam ungkapan stiker itu ia menemukan identifikasi dan upaya untuk mengidentifikasi dirinya. ”Resep we (Suka saja),” katanya pendek.
**
Akan tetapi, sejumlah pedagang mengaku tak tahu siapa dan di mana stiker itu dibuat. Stiker itu mereka dapat lewat pemasok (supplier) yang datang dua atau sepekan sekali. Demikian pula sejumlah pelayan dan pemilik toko stiker di kawasan Jln. Dewi Sartika Bandung mengaku tak tahu asal-muasal stiker semacam itu, di samping memang mereka tak menyediakannya.
Kemungkinan bahwa stiker itu diproduksi sebagai usaha rumahan tampaknya masuk akal. Bukan hanya karena mencermati desain, bahan, dan teknik pembuatannya yang lebih sederhana ketimbang stiker yang dipajang di toko-toko, tetapi juga karena kuantitas produksinya yang tidak tetap.
Demikian pula pengakuan Usep (22), pegawai pabrik di kawasan Moh. Toha Bandung. Bersama teman-temannya dulu ia pernah memproduksi stiker kecil-kecilan dengan menyewa sebuah kontrakan. Tentang ungkapan dalam stiker, mereka dapat dengan meniru apa yang sudah ada. Ia malah menyebut stiker itu sebagai stiker underground.
”Ya, kami niron (meniru) saja dari yang sudah ada. Tidak bikin banyak. Banyak yang bikin stiker kayak gitu, ada di Cihampelas dan Cibaduyut. Anak-anak undergrond banyak juga yang bikin,” ujarnya seraya menambahkan usaha stiker bangkrut gara-gara sebagian hasil penjualannya habis buat biaya berobat salah seorang temannya yang mengalami kecelakaan lalu lintas.
Seperti penuturan Usep, dari rumah-rumah kontrakan stiker dengan ungkapan bahasa Sunda yang baong dan garihal itu memasuki publik. Teks yang berkomunikasi di jalanan dengan gaya berbahasanya yang khas. Meminjam penutup dalam buku ”Stiker Kota”, kita dengan mudah bisa membaca stiker-stiker itu di sepatbor sepeda motor dengan senyum atau mungkin mengurut dada karena bahasa Sundanya yang liar dan kasar. Namun begitu Anda menyudahi tulisan ini, stiker-stiker di jalanan itu akan terus bertambah dan berubah. (Ahda Imran)
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 7 Februari 2010
No comments:
Post a Comment