AKSI demo 28 Januari lalu di Jakarta, yang juga diikuti mahasiswa, belum terasa gemanya, kecuali ingatan akan ribuan orang memenuhi depan Istana Merdeka, gedung DPR, dan kantor Komisi Pemberantasan Korupsi.
Hal itu memunculkan pandangan kritis terhadap gerakan mahasiswa, antara lain dari Wakil Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Prof Lukman Hakim, PhD. Ketua Umum Dewan Mahasiswa UI 1977-1978 itu berpendapat, gerakan mahasiswa sekarang menjadi massal, tidak terlihat kepemimpinan yang jelas, tidak punya figur, dan peran sentral tidak jelas karena penentu isu justru pihak di luar kampus.
Lukman yang pernah setahun dipenjara karena ikut menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden setelah Pemilu 1977 itu juga menggugat hilangnya peran intelektual gerakan mahasiswa saat ini dan munculnya ciri kekerasan.
Anggota DPR dari PDI-P dan salah satu pendiri Partai Rakyat Demokratik pada 1994, Budiman Sudjatmiko, menyebut menyurutnya peran sentral mahasiswa karena saat ini saluran demokrasi telah berjalan. Partai politik, media massa, dan organisasi masyarakat sipil juga melakukan peran yang dulu dilakukan mahasiswa, yaitu melakukan riset, menganalisis situasi, tinggal bersama masyarakat yang dibela, dan menyusun pengetahuan itu sebagai agenda aksi. Kini, informasi mudah didapat melalui media, sementara dulu harus dicari melalui penelitian dan bahkan tinggal bersama masyarakat, seperti buruh, petani, dan nelayan.
Lukman menengarai, tidak sentralnya lagi peran mahasiswa merupakan akibat diberangusnya kebebasan kampus setelah dewan mahasiswa dilarang pada 21 Januari 1978 dan diganti dengan konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/ BKK). Kegiatan mahasiswa yang diizinkan di kampus sifatnya lebih rekreatif. Situasi itu mendorong mahasiswa mencari bentuk kegiatan sehingga antara lain memunculkan kelompok diskusi kampus berbasis agama. Di sisi lain, penangkapan dan pemenjaraan aktivis mahasiswa juga membuat mahasiswa bergerak bersama tanpa sosok tokoh.
”Latihan kepemimpinan yang dapat diterima semua pihak, lintas suku dan agama, hilang dengan hilangnya dewan mahasiswa,” cetus Lukman. Ciri lain adalah munculnya berbagai kelompok mahasiswa intrakampus yang bersaing. ”Sama-sama antikebijakan pemerintah, tetapi tidak satu isu,” tambah dia.
Posisi sentral mahasiswa menyurut juga karena perguruan tinggi bermunculan dengan mudah dan kualitasnya dipertanyakan. Globalisasi dan kapitalisme yang melahirkan masyarakat konsumsi juga ikut menjadikan mahasiswa sebagai konsumen informasi, tetapi tertatih-tatih memproduksi ide orisinal.
Peran baru
Meskipun kini saluran demokrasi telah terbuka, Lukman dan Budiman berpendapat peran mahasiswa tetap penting, terutama karena mahasiswa bagian dari kelompok intelektual dan ikut melakukan peran kontrol sosial.
Tantangannya, demikian Lukman dan Budiman, mahasiswa dituntut menemukan peran strategis baru yang kualitatif. Jalurnya tetap pada peran intelektual dan kreatif mahasiswa, antara lain melakukan riset sendiri agar dapat melahirkan gagasan yang lebih orisinal.
Setelah memasuki alam demokrasi, menurut Profesor Riset Ilmu Politik LIPI Syamsuddin Haris, gerakan mahasiswa tidak tertarik isu-isu strategis yang membenahi masa depan. Mahasiswa lebih berorientasi jangka pendek, melihat sosok eksekutif dan politisinya dan karenanya isu yang diusung adalah pemakzulan. Mahasiswa luput mempertanyakan isu strategis, seperti kenapa para politisi di DPR dan lembaga eksekutif tidak dapat berperan sesuai fungsinya, apakah sistem presidensial sudah cocok, dan bagaimana sistem pemilu yang lebih baik.
”Seolah-olah demokrasi sesuatu yang bersifat final, padahal demokrasi harus dirawat dan dikembangkan,” kata Syamsudin di sela acara diskusi Pusat Kajian Politik UI pekan lalu. (NMP)
Sumber: Kompas, Jumat, 12 Februari 2010
No comments:
Post a Comment