-- Teuku Kemal Fasya*
WAJAH perguruan tinggi Indonesia kembali biru-lebam. Seorang guru besar Jurusan Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan dituduh melakukan plagiarisme atau penjiplakan tulisan Carl Ungerer, penulis asal Australia.
Menurut pernyataan The Jakarta Post, artikel ”RI as a New Middle Power” adalah copy-paste dari tulisan yang diterbitkan di sebuah jurnal politik dan sejarah di Australia, ”Middle Power: Concept in Australian Foreign Policy” (The Jakarta Post, 4/2). Kasus ini memang akhirnya membongkar praktik plagiarisme sang profesor yang telah dilakukan enam kali (Kompas, 10/2).
Bukan pertama
Penjiplakan adalah dosa besar dalam dunia pengetahuan, seni, dan sastra. Penjiplakan menunjukkan bahwa otoritas keilmiahan seseorang dikangkangi dengan brutal demi kepentingan pribadi. Namun, apakah yang pantas disebut sebagai plagiat?
Menurut Ajib Rosidi, plagiat adalah pengumuman sebuah karya pengetahuan atau seni oleh ilmuwan atau seniman kepada publik atas semua atau sebagian besar karya orang lain tanpa menyebutkan nama sang pengarang yang diambil karyanya. Sikap ini agar publik mengakui bahwa karya yang diambil sebagian atau semua karya orang lain itu sebagai karyanya (Kompas, 26/8 2006). Di negeri ini, praktik plagiat telah banyak ditemukan sebelum ini.
Di samping sejarah kontroversial plagiarisme penyair angkatan 45, Chairil Anwar, yang dituduh mencomot karya-karya berbahasa Inggris dari penulis Achibald MacLeish, John Cornford, Conrad Aiken, dan lain- lain, ada praktik yang sebenarnya lebih tercela dilakukan oleh para akademisi—yang kebetulan semuanya berasal dari perguruan tinggi di era sekarang. Menurut saya, tindakan Chairil Anwar tidak cukup tepat dianggap plagiasi. Ia bukanlah penjiplak buta (copy cat). Ia hanya mengambil ”inti cahaya” bacaan-bacaan besar yang berbahasa Inggris dan ”menyinarinya” ke dalam bahasa Indonesia. Tentu saja itu sebentuk kreativitas.
Namun, tak ada yang menolak jika tindakan seorang doktor politik lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2000 dianggap plagiat. Disertasinya tentang sejarah petani di era Orde Baru mengambil 80 persen data dan narasi dari skripsi seorang peneliti LIPI, yang anehnya baru ketahuan ketika disertasi itu diterbitkan jadi buku.
Atau apa yang dilakukan seorang doktor FISIP Universitas Indonesia pada 1997 yang melakukan tindakan menghalalkan cara, menganibalisasi makalah mahasiswa dan dosen yang lalu dipublikasi sebagai syarat pengurusan guru besar. Tindakan sang doktor ini bahkan termasuk spektakuler, dengan mengambil hampir seratus persen karya orang lain dan hanya mengubah nama pengarang. Tidak kurang dari 22 karangan dijiplak.
Semakin birokratis
Penjiplakan yang semakin panjang ekornya ini—sebagian besar dilakukan akademisi—menunjukkan rapuhnya bangunan intelektual perguruan tinggi. Perguruan tinggi tidak lagi mencetak seorang yang bisa menjadi brahma kumaris ishawariya vishwa vidyalaya atau seorang intelektual yang menjaga perilakunya dari kerusakan moral. Perguruan tinggi hanya organisasi, seperti organisasi pemerintahan dan birokrasi pada umumnya, yang sibuk dengan rutinitas formal, serta kalah cepat merespons perubahan sosial-budaya dan teknologi di luar lingkungannya.
Tumbuh suburnya kasus plagiarisme ini menunjukkan dunia perguruan tinggi semakin sepi dari tindakan ilmiah: meneliti dan menulis. Kampus hanya menjalankan satu fungsi minimalnya dan tidak produktif, yaitu mengajar. Mengajar hanya tindakan formalitas, dilakukan hampir tanpa kesadaran menginovasi modul, membuat hand out, hanya memfotokopi buku-buku dari pengarang otoritatif. Dosen menjadi cepat sensitif apabila ada bacaan-bacaan lain yang ditawarkan mahasiswa atau ketika menerima pertanyaan kritis.
Perguruan tinggi seharusnya memperbarui kultur akademik dengan mempromosikan dosen- dosen yang dianggap memiliki dedikasi pada pengembangan daya nalar (dalam bahasa Immanuel Kant, Vernunft) dengan menulis ke tempat yang layak. Yang kerap terjadi, dosen-dosen kritis dianggap ancaman, harus disingkirkan, dijauhi, dan difitnah. Otoritas kekuasaan kampus merasa terancam jika memilih dosen-dosen yang brilian.
Pimpinan kampus lebih senang mempromosikan dosen yang kompromis, tidak terlalu kritis, gemar petatah-petitih, dan menjilat. Realitas menunjukkan bahwa jabatan struktural lebih sering diisi oleh dosen yang berwatak birokrat dibandingkan dengan populis. Hal ini tentu akan berlangsung terus jika mekanisme pemilihan rektor, dekan, dan ketua jurusan tidak melibatkan semua unsur sivitas akademika. Selama ini, kekuasaan hanya ada di senat yang terbentuk dari tangan status quo.
Situasi tanpa energi ini tentu saja berbau pesing. Ketika tiba waktunya menulis karena kepentingan kepangkatan, sang dosen mulai panik. Jalan paling mudah adalah plagiasi. Atau jika pun menerbitkan karya, kualitas ilmiah dipertanyakan, hanya muncul pada jurnal di kampus sendiri yang dicetak terbatas dan tidak menjadi media komunikasi pengetahuan. Berkas terbitan hanya disisip sebagai lampiran pengurusan pangkat. Oleh karena dasar pengetahuan lemah dan metode rigoris tidak dimiliki, banyak dosen tak berani mengirimkan tulisannya ke media massa. Kemampuan untuk berwacana, mengontekstualisasi disiplin teoretis, dan menganalisis masalah adalah bahan utama menulis, di samping kemampuan berbahasa.
Seperti korupsi dan pelacuran anak, kasus plagiarisme di Universitas Parahyangan adalah puncak gunung es, yang apabila dicermati juga ditemui di semua perguruan tinggi. Hukuman dari universitas itu cukup tepat dengan mencopot gelar fungsional sang profesor. Bahkan, jika perlu memecatnya agar penyakit ini tidak menjadi kanker akademis yang semakin kronis.
* Teuku Kemal Fasya, Dosen FISIP Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam
Sumber: Kompas, Jumat, 19 Februari 2010
No comments:
Post a Comment