Thursday, February 25, 2010

Bahasa Indonesia Lepas dari Peran Negara

JAKARTA, KOMPAS - Perubahan konstelasi politik dari Orde Baru ke era reformasi serta terjadinya euforia otonomi daerah ternyata mengubah kebijakan berbahasa. Bahasa Indonesia lepas dari peran dan tekanan negara yang sebelumnya menempatkan bahasa Indonesia sebagai pengikat keanekaragaman suku dan sebagai pemersatu.

”Sekarang, bahasa Indonesia agak bebas kontrol kekuasaan. Begitu juga bahasa-bahasa daerah dan bahasa asing punya ruang tersendiri,” kata Guru Besar dari Universitas Nanzan di Nagoya, Jepang, Mikihiro Moriyaama, pada peluncuran buku Geliat Bahasa Selaras Zaman (Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), Rabu (24/2) di Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta.

Mikihiro adalah salah seorang penggagas lokakarya Perubahan Konfigurasi Kebahasaan di Indonesia Pasca-Orde Baru, Juni 2008 di Kampus UI Depok.

Menurut Mikihiro, bahasa asing telah memasuki kehidupan sehari-hari masyarakat. Pemakaian kata-kata asing semakin menonjol dan bahasa baru pun dikreasi. ”Bahkan, dalam siaran televisi, bahasa daerah, seperti bahasa Jawa, Sunda, dan Bali, sudah dipakai untuk acara warta berita dan acara-acara lainnya. Tidak hanya bahasa daerah, bahasa Inggris dan Mandarin juga mulai dipakai untuk program berita,” ujarnya.

Jan van Der Putten, peneliti dan pengajar di Universitas Nasional Singapura, mengatakan, institusi dalam berbahasa, yakni pihak pengguna atau penutur serta pengatur, akan berhadapan dan berbenturan. ”Kedua belah pihak akan saling menuduh dan saling menuding dalam penentuan pihak mana yang paling bertanggung jawab atas ’perusakan bahasa’ yang sedang berlangsung dan dirasakan semakin keras mendera,” ujarnya.

Untung Yuwono, peneliti dan pengajar di Universitas Indonesia, mengatakan, saat ini berkembang ”bahasa gaul” yang penyebarluasannya didukung industri penerbitan, televisi, dan berbagai media lainnya. (NAL)


Sumber: Kompas, Kamis, 25 Februari 2010

No comments: