Jakarta - Dalam budaya masyarakat Indonesia yang masih menganut feodalisme, seorang pemimpin identik dengan atribusi garis keturunan darah biru, keistimewaan perlakuan, dan elitisme ruang interaksi.
Damien Dematra, yang menulis novel berjudul Si Anak Kampoeng, mencoba mengangkat kisah hidup Ahmad Syafii Maarif, tokoh pluralisme yang dimiliki Indonesia saat ini. ”Novel ini hadir mengisi kekeringan inspirasi dan kemandulan kearifan dalam kehidupan berbangsa kita saat ini,” ujar Damien pada peluncuran novel Si Anak Kampoeng, di Jakarta, Kamis (11/2) malam.
Dia mengaku, ada dua tokoh yang menjadi idolanya, yakni KH Abdurahman Wahid alias Gus Dur (alm) dan Buya Ahmad Syafii Maarif. Menurutnya, kedua tokoh ini telah menanamkan pluralisme dan toleransi bagi bangsa Indonesia.
Dia mengatakan, kisah kehidupan tokoh pemenang penghargaan Ramon Magsaysay ini dapat menjadi sumber inspirasi yang dapat memberikan pencerahan bagi siapa pun. ”Saya tidak ragu menempatkan Gus Dur dan Buya Syafii sebagai guru bangsa. Meski demikian, sudah saatnya kita menyiapkan generasi yang siap menjadi guru bangsa,” lanjut Damien.
Dia juga menegaskan bahwa royalti dari novel ini akan digunakan untuk gerakan peduli pluralisme. Hal ini penting dilakukan untuk mencari sosok-sosok generasi muda yang cinta akan pluralisme hingga ke pelosok desa. ”Pluralisme harus tetap hidup di negara kita,” tandasnya. Bukan hanya itu, Si Anak Kampoeng ini juga akan diangkat ke layar lebar dalam waktu dekat ini.
Dari sebuah kisah kehidupan, Ahmad Syafii Maarif, yang juga Penasihat PP Muhammadiyah itu, diharapkan dapat memberikan inspirasi kepada setiap anak bangsa bahwa menjadi seorang pemimpin haruslah menjadi ”manusia biasa”. Kesehajaan, kejujuran, berani, dan konsistensi dalam bersikap serta memiliki spirit perjuangan untuk melalui kerasnya kehidupan merupakan pelajaran penting yang coba diangkat melalui novel ini.
Pengembaraan
Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin mengatakan, perjalanan hidup Buya Syafii layak diangkat dalam novel dan film. Menurutnya, perjalanan hidup Syafii adalah anak kampung yang melakukan pengembaraan. ”Mengembara dan mendaki bagaikan mendaki kelok 44 dari Maninjau ke Bukit Tinggi,” ujarnya. Din menilai, novel Si Anak Kampoeng ini merupakan novel yang humanis yang kaya akan pesan moral.
Sementara itu, Ketua Umum Persatuan Gereja Indonesia (PGI) AA Yewangoe mengatakan, dunia tidak setiap hari melahirkan negarawan dan guru bangsa. Syafii Maarif merupakan sosok guru bangsa dan sosok yang langka karena kesalehannya pada agama dan keterbukaannya.
Syafii, lanjut Yewangoe, tidak melihat perbedaan sebagai ancaman, tetapi melihat bahwa perbedaan jika dapat dikelola dengan baik, dapat menjadi kekayaan dalam peradaban bangsa. Dia menilai Syafii sebagai tokoh nasionalis tulen, tetapi bukan tanpa kritik. ”Dia seorang tokoh demokrat yang tidak hanya bisa mengkritik, tetapi dia juga senang dikritik,” tandasnya. (stevani elisabeth)
Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 13 Pebruari 2010
No comments:
Post a Comment