Sunday, February 21, 2010

”Miindung ka Waktu Mibapa ka Zaman”

-- Toni Heryadi T.

SETIAP tanggal 21 Februari, frase "Bahasa Ibu" mulai menjadi akrab lagi bagi kita. Setelah di tahun 1999 UNESCO menetapkan 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional (International Mother Language Day), tahun demi tahun berikutnya setiap entitas bangsa--yang masih memiliki kepedulian terhadap bahasa ibunya-- menjadikan hari tersebut sebagai momentum untuk merefleksikan kembali segala hal yang berkaitan dengan bahasa ibunya masing-masing.

Kata kuncinya tentu "pelestarian". Hal ini terkait dengan fakta objektif bahwa dinamika zaman, khususnya di zaman informasi globalisasi ini, potensi luntur dan hilangnya bahasa ibu --disulih oleh bahasa nasional atau bahasa pergaulan internasional--sangat niscaya untuk terjadi.

Berdasarkan pengamatan para ahli, di planet Bumi ini ada lebih kurang 6.000 bahasa. Pada akhir abad ini, diprediksikan akan tersisa setengahnya, dengan kata lain kurang lebih 3.000 bahasa akan punah pada akhir abad ke-21.

Data di Indonesia sendiri terdapat lebih kurang 746 bahasa. Diprediksikan sekitar 44 persen atau 160-an lebih bahasa kini terancam punah karena penuturnya yang makin sedikit antara 2 sampai 90 orang saja.

Dalam lingkup keseharian kita di Jawa Barat, kita sendiri tentu merasakan betapa bahasa Sunda--sebagai bahasa ibu kita-- tahap demi tahap mulai terdegradasi baik oleh bahasa nasional maupun oleh bahasa pergaulan internasional.

Pelunturan ini seiring dengan perkembangan zaman, bagaimanapun perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi begitu kuat pengaruhnya pada bergesernya perilaku masyarakat dalam berbahasa. Para pemerhati kebudayaan sendiri telah menyadari hal ini. Sering dikemukakan para pengamat bahwa kehadiran teknologi informasi di Indonesia ditandai dengan mulai masifnya televisi sebagai sarana hiburan dan informasi di sekitar 1960-an, bisa diamati bahwa pola hidup masyarakat pra-1960-an relatif lambat. Namun, pasca-1960-an perubahan masyarakat sangat pesat yang mungkin bisa beberapa kali lipat. Berubah dan senantiasa akan terus berubah, termasuk perubahan dalam berbahasa.

Situasi ini tentunya tidak membuat kita harus pesimistis, tetapi justru membuat kita harus lebih optimistis, optimistis tidak dalam arti dengan menjadikan objek kaku yang bertahan dari segala benturan, tetapi harus menjadikan bahasa Sunda sebagai sebuah perangkat komunikasi yang lentur yang bisa fleksibel berakulturasi dengan bahasa lain sehingga akan menjadi sebuah bahasa yang berkembang sesuai dengan perubahan zaman. Filosofi miindung ka waktu mibapa ka zaman dari Ki Sunda sangat bermkana untuk dipakai sebagai filosofi dasar kita dalam rangka melestarikan bahasa Sunda. Filosofi ini memprasyaratkan kita untuk tetap jeli memetakan situsi dan mengambil langkah-langkah konkret sesuai dengan perkembangan zaman supaya bahasa Sunda tetap lestari.

Secara sederhana, peta dari strategi pelestarian bahasa ibu kita bisa dilihat dari adanya subjek penutur bahasa itu sendiri yang secara sederhana bisa kita bagi menjadi tiga generasi dengan segala tipikalnya.

Generasi pertama sebut saja generasi penutur primer dengan tipikal usia antara 40-100 tahun. Generasi ini memiliki intensitas yang lebih kuat dengan bahasa Sunda sehingga lebih fasih dan lebih memiliki kepedulian untuk melestarikan bahasa Sunda pada generasi penerusnya.

Generasi kedua adalah generasi penutur sekunder dengan tipikal usia rata-rata 20 sampai dengan 40 tahunan. Generasi ini adalah generasi pertengahan yang pada masa kecilnya merasakan intensitas yang kuat dengan bahasa Sunda. Namun, seiring perkembangan zaman yang pesat, intensitas pemakaian bahasa Sundanya meluntur.

Mereka inilah yang melahirkan generasi ketiga, yaitu penutur tersier. Generasi ini adalah generasi yang sedikit intensitasnya dalam bahasa Sunda. Bahkan, ada kemungkinan karena dilahirkan oleh generasi sekunder, mereka tidak merasa bahasa Sunda sebagai bahasa ibunya. Bahasa Sunda tak lebih dari sekadar bahasa geografis semata yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari di sekitar tempat tinggal mereka.

Pemilahan tiga generasi tersebut tentunya tidak hitam-putih. Masih sangat gradatif sifatnya, tetapi dari pembagian tersebut setidaknya kita bisa memperkirakan bahwa problematika utama adalah bagaimana mentransformasikan tuturan dari generasi primer atau sekunder kepada generasi tersier? Secara pragmatis, bagaimana menjadikan generasi tersier ini nantinya menjadi generasi primer? Hal ini disebabkan merekalah yang akan mewariskan lagi bahasa Sunda kepada generasi-generasi berikutnya.

Proses transformasi ini perlu didukung oleh semua entitas, termasuk institusi pendidikan formal dan juga keluarga. Proses transformasi yang dilakukan juga harus kreatif. Bagaimana bahasa Sunda tidak hanya dianggap objek kering secara akademik belaka, tetapi juga dijadikan ruh yang meresap dalam alam batin generasi-generasi tersier. Penerbitan komik bahasa Sunda, film animasi bahasa Sunda, pertunjukan wayang berdurasi pendek di sekolah-sekolah dan sebagainya adalah salah satu bentuk konkret proses transformasi yang bisa dilakukan.

Selanjutnya, khusus dalam momentum peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional, kiranya penting diadakan acara yang tidak hanya bersifat seremonial akademik belaka, tetapi juga acara yang tepat sasaran dan bersinambungan tidak secara sporadis.

Dengan semangat kerja keras, kerja cerdas, dan kerja sinambung dari berbagai pihak, bahasa Sunda akan menjadi bahasa ibu kita yang tetap lestari sepanjang masa.***

Toni Heryadi T., pemerhati bahasa

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 21 Februari 2010

2 comments:

Guncloud said...
This comment has been removed by the author.
Guncloud said...

sae lur,