Monday, February 22, 2010

Selamatkan Bahasa Ibu

-- Fanny Henry Tondo

SETIAP tahun, tepatnya sejak tahun 2000, tanggal 21 Februari diperingati sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional.

Hal ini dicanangkan oleh UNESCO agar masyarakat dunia lebih memperhatikan bahasa ibu atau yang sering disebut juga dengan “bahasa daerah” yang digunakan oleh berbagai etnis di dunia.

Maksudnya, tentu agar diversitas kebahasaan dapat terjaga. Diperkirakan, dari 6.700 bahasa yang digunakan di dunia, 50 persen di antaranya terancam mengalami kepunahan. Di Indonesia sendiri terdapat 726 bahasa. Jumlah tersebut merupakan terbesar kedua di dunia setelah Papua Nugini (PNG) de­ngan 867 bahasa. Itu berarti bahwa Indonesia merupakan laboratorium bahasa dan budaya yang penting di dunia, di mana bahasa-bahasa yang ada harus tetap dijaga agar terhindar dari kepunahan (language extinction).

Kepunahan Bahasa

Fenomena kepunahan bahasa pada dasarnya telah banyak mendapat perhatian dari berbagai kalangan, khususnya para ahli bahasa (linguis). Seminar dan konfe­rensi, baik yang bertaraf nasional maupun internasio­nal, telah banyak diadakan ­dengan maksud agar makin banyak dilakukan kajian-kajian terhadap bahasa-bahasa yang terancam punah.

Pada dasarnya, jika melihat kondisi “kesehatan” bahasa, kepunahannya dapat dikategorikan dalam beberapa tahap (Wurm 1998). Pertama, bahasa-bahasa yang dianggap berpotensi terancam punah (potentially endangered languages). Dalam kategori ini termasuk di dalamnya bahasa-bahasa yang secara sosial dan ekonomi tergolong minoritas serta mendapat tekanan yang cukup besar dari bahasa ma­yoritas. Selain itu, generasi mudanya sudah mulai berpindah ke bahasa mayoritas dan jarang menggunakan bahasa daerah. Misalnya, bahasa Hamap di Alor, Nusa Tenggara Timur.

Kedua, bahasa-bahasa yang terancam punah (endangered languages). Bahasa-bahasa yang tidak lagi mempunyai generasi muda yang dapat berbahasa daerah termasuk dalam kategori ini. Penutur yang fasih hanyalah kelompok generasi menengah (dewasa). Bahasa-bahasa yang terdapat di Tanah Papua, ­misalnya, banyak yang ter­masuk dalam kategori ini. Diperkirakan ada sekitar 208 bahasa daerah di sana yang terancam punah.

Ketiga, bahasa-bahasa yang dianggap sangat terancam punah (seriously endangered languages). Penutur bahasa pada kategori ini hanyalah generasi tua berusia di atas 50 tahun. Keempat, bahasa-bahasa yang dianggap sekarat (moribund languages). Pada tingkatan ini bahasa-bahasa tersebut hanya dituturkan oleh beberapa orang sepuh, yaitu yang berusia 70 tahun ke atas.

Kelima, bahasa-bahasa yang dianggap punah (extinct languages), yakni bahasa yang penuturnya tinggal satu orang. Di Papua terdapat bahasa Mapia yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok ini karena penuturnya tinggal satu orang dan dengan demikian tidak mempunyai teman untuk ber­komunikasi dalam bahasa itu.

Oleh karena itu, fenomena kepunahan bahasa-bahasa harus diantisipasi sedini mungkin dengan mengkaji faktor-faktor penyebabnya, karena kehilangan sebuah bahasa dapat pula berarti kehilangan pengetahuan dan budaya lokal.

Penyebab

Ada berbagai faktor yang dapat diidentifikasi sebagai penyebab kepunahan bahasa. Keterdesakan sebuah bahasa yang tidak mampu bersaing dengan bahasa-bahasa yang lebih besar pengaruhnya dapat menyebabkan bahasa itu termarginalisasi. Hal ini dapat dilihat pada bahasa-bahasa daerah yang mendapat pengaruh akibat pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi.

Globalisasi juga merupakan elemen penting yang dapat memengaruhi bahasa-bahasa daerah. Di era globalisasi sekarang ini, suka atau tidak, orang dituntut untuk berkompetisi. Dalam kondisi seperti ini, dibutuhkan ­penguasaan bahasa internasional yang memadai agar dapat berkomunikasi dengan penutur lain yang berasal dari luar negeri. Bahasa Inggris, sebagai bahasa internasional saat ini, menjadi syarat mutlak bagi tiap individu agar ­persaingan yang semakin ketat dalam berbagai bidang dapat dimenangi.

Bencana alam dan musibah dapat pula menjadi faktor penyebab kepunahan sebuah bahasa. Terjadinya kelaparan, peperangan, penyakit, gempa bumi, tsunami, dan sebagainya dapat saja memusnahkan penuturnya seperti halnya yang terjadi pada penutur bahasa Paulohi sekitar tahun 1918. Pada waktu itu, penutur bahasa tersebut mengalami bencana gempa dan tsunami yang sangat dahsyat sehingga hampir semua penutur bahasa tersebut meninggal, hanya 50 penutur yang tersisa.

Selain itu, ada pula beberapa faktor lainnya yang dapat menjadi pemicu kepunahan sebuah bahasa. Faktor-faktor tersebut di antaranya kurangnya penghargaan terhadap bahasa daerah, bilingualisme/multilingualisme, migrasi, perkawinan antaretnik, ekonomi, dan lain sebagainya.

Strategi

Perlu adanya upaya-upaya yang lebih serius dari berbagai pihak dalam rangka menyikapi fenomena punahnya bahasa-bahasa daerah. Para ahli, khususnya ahli bahasa (linguis) dapat lebih memainkan perannya dalam hal ini. Selain itu, masyarakat, terutama masyarakat pemakai bahasa, diharapkan lebih peduli lagi dengan bahasa etniknya.
Pihak lain yang perannya sangat penting yaitu pemerintah. Pemerintah perlu lebih serius memberdayakan etnik penutur bahasa itu, termasuk bahasanya, baik melalui jalur formal maupun informal, sehingga etnik penutur bahasa tersebut dapat merasakan bahwa bahasa daerahnya diangkat dan diperhatikan. Selain itu, pemerintah perlu menggalakkan sektor penelitian, khususnya penelitian kebahasaan dengan mengalokasikan dana yang memadai.

Kemultilingualan masyarakat penutur bahasa juga dapat menjadi faktor lain yang turut menentukan. Artinya, mereka belajar, menguasai, dan menuturkan lebih dari satu bahasa. Misalnya, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa etniknya. Penguasaan ketiga bahasa tersebut secara bersamaan penting dalam menjaga diversitas bahasa, walaupun untuk mencapainya memang memerlukan waktu yang cukup lama.

* Fanny Henry Tondo, peneliti pada Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(PMB-LIPI).

Sumber: Sinar Harapan, Senin, 22 Pebruari 2010

No comments: