JALAN lain tak kalah terjal dipilih Heri Akhmadi (56), disusul Budiman Sudjatmiko (39), dan Dita Indah Sari (37), meski pilihan masuk wilayah politik formal sering diidentikkan dengan ”lompat pagar”. Apalagi, kekuasaan formal memiliki logikanya sendiri, yang, konon, berpotensi membuat mereka yang masuk melupakan cita-cita perjuangan awal.
Benarkah asumsi itu? Ketiga tokoh yang pernah merasakan dinginnya lantai penjara itu punya jawabannya. Bagi Budiman, anggota Komisi II DPR, pilihan masuk parpol—salah satu pilar demokrasi—adalah cara mengawal demokrasi.
Mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) itu bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) seusai menyelesaikan S-2 di Inggris tahun 2004. Bagi Dita, yang ikut mendirikan PRD tahun 1994, pilihan masuk partai adalah karena menengarai pembajakan oleh elite politik sebagai penyebab tidak tuntasnya reformasi.
PDI-P juga menjadi partai tempat Heri Akhmadi bergabung setelah bergerak di berbagai organisasi nonpemerintah dan menyelesaikan studi lanjut di Amerika Serikat.
Ketua Umum Dewan Mahasiswa Institut Teknologi Bandung 1977- 1978—yang dipenjara karena menuntut MPR menggelar Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Soeharto atas penyimpangan konstitusional—itu menjadi anggota DPR selama tiga periode. Sekarang ia duduk di Komisi X.
Titik temu
”Nalar dan nurani harus terus dipelihara biar jernih,” ujar Budiman yang berusaha mencari titik temu antara nilai-nilai yang diperjuangkan sejak tahun 1994 dan jalur politik sekarang. Bersama teman-temannya (termasuk Andi Arif, sekarang penasihat khusus Susilo Bambang Yudhoyono), Budiman yang ikut mendeklarasikan gerakan Nasional Demokrat itu berusaha membangun pulau-pulau integritas, menjaganya agar tak tenggelam dan mengusahakan agar terbentuk benua integritas.
Sejak empat bulan lalu, bersama Pumpida Hidayatullah dari Partai Golkar, ia menggagas forum Kabinet Indonesia Muda (KIM), terdiri dari 34 orang muda di bawah 40 tahun dari berbagai disiplin keilmuan. Dengan KIM, ia menjawab keluhan krisis kepemimpinan sekaligus menjaga rasionalitas kebijakan publik.
Setiap anggota KIM diserahi tugas seperti menteri-menteri di kabinet. Mereka diminta membuat kritik atas kebijakan publik pemerintah dan membuat alternatifnya.
Sementara Dita Indah Sari harus meninggalkan kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia karena aktivismenya membela hak-hak buruh. Perempuan yang dikenal sebagai ”ibu” para demonstran itu sempat mendekam tiga tahun di penjara karena memimpin aksi buruh di Tandes, Surabaya, tahun 1996.
Dita tidak berhenti. Ia ikut mendirikan Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) yang bertransformasi menjadi Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI).
Menjelang Pemilu 2004 ia mendirikan Partai Oposisi Rakyat (Popor), tetapi tidak lolos verifikasi Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kegagalan sama dialami ketika membentuk Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas).
Menjelang pemilu legislatif 2009 ia memutuskan masuk ke dalam sistem politik formal dengan bergabung dalam Partai Bintang Reformasi (PBR). Keputusan itu mengundang pertanyaan, terutama soal ideologi.
”Saya memilih partai yang bisa mengakomodasi seluruh gerbong gerakan buruh,” ujar dia.
Katanya, komitmen PBR ditunjukkan dengan diakomodasinya pengurus gerakan buruh di daerah ke dalam kepengurusan partai di berbagai tingkatan, terutama di Jawa Tengah, basis massa gerakan buruh.
Dita gagal dalam pemilu legislatif tahun 2009. Namun, ia mendapat pelajaran penting: sebagai aktivis yang masuk medan politik formal, ia harus lebih kreatif, fleksibel tanpa kehilangan komitmen.
Pertanyaannya, berapa dalam toleransinya, karena, sekali lagi, kekuasaan formal memiliki logikanya sendiri. (NMP/KEN/DOT)
Sumber: Kompas, Jumat, 12 Februari 2010
No comments:
Post a Comment