Sunday, February 21, 2010

Negosiasi Linguistik Bahasa Ibu

SETIAP kali peringatan Hari Bahasa Ibu, 21 Februari, setiap kali itu pula kita disodori berbagai hasil penelitian yang mencemaskan ihwal nasib kelanjutan bahasa ibu. Apalagi kemudian kecemasan itu juga sesuai dengan hasil penelitian Unesco yang menyebutkan, setiap tahun sepuluh bahasa ibu mengalami kepunahan. Bahkan diprediksi, satu abad mendatang, dari 6.000 bahasa yang terdapat di dunia, 50 persennya akan punah.

Dalam konteks bahasa Sunda, perkembangannya ditengarai semakin kritis, mengingat persentase penuturnya yang kian menurun dari tahun ke tahun. Bahkan sehari menjelang peringatan Hari Bahasa Ibu, menurut survei Balai Bahasa Bandung, penutur Bahasa Sunda mengalami penurunan 20 persen (Pikiran Rakyat, 20 Februari 2009).

Begitulah, dari tahun ke tahun memperingati bahasa ibu seolah menjadi pertemuan rutin dengan berbagai hasil survei yang mencemaskan tentang nasib bahasa daerah. Setiap tahun juga, ujung-ujung persoalannya adalah berbagai amatan ihwal sebab-musabab mengapa bahasa Sunda menjadi kritis semacam itu. Globalisasi, dominasi bahasa nasional dan Inggris, kurikulum pendidikan, sampai banyaknya keluarga yang tidak lagi menggunakan bahasa Sunda, selalu ditengarai menjadi faktor eksternal yang menggerus keberadaan bahasa ibu.

Di wilayah internal mudah diduga, undak-usuk selalu disebut-sebut sebagai sebab yang membuat orang malas berbahasa Sunda karena takut salah, terutama anak-anak muda. Oleh karena itu, tak aneh jika tak sedikit siswa yang merasa ulangan atau ujian pelajaran bahasa Sunda jauh lebih sulit ketimbang pelajaran bahasa Inggris.

Tentu saja seluruh kecemasan itu menyimpan alasannya sendiri. Antropolog bahasa Uriel Weinreich (1968) menyebutkan, dalam masyarakat yang multibahasa akan terjadi persaingan bahasa dan mengakibatkan matinya bahasa. Pandangan ini seolah meminjam teori Darwin ihwal spesies yang lemah, tergerus, dan punah. Dan kehidupan global, lewat berbagai perangkat teknologi informasi, seakan mempertegas bangun masyarakat multibahasa serta persaingan yang terjadi di dalamnya.

Ini agaknya menjadi niscaya karena masyarakat multibahasa sekaligus juga merepresentasikan masyarakat yang hidup dalam ruang multikultural. Persaingan bahasa, dengan begitu, adalah persaingan budaya. Survivalitas bahasa adalah juga survivalitas budaya. Dan dalam situasi itulah, sebagaimana juga perubahan yang menjadi hukum besi kebudayaan, bahasa ibu tak bisa lagi bersikukuh dan iseng sendiri dengan dunianya jika hendak bertahan. Di tengah realitas global yang mengubah banyak hal dalam kesehari-harian suatu masyarakat, dinamisme perubahan menjadi keniscayaan sebuah bahasa.

Oleh karena itulah, realitas global yang dibaca sebagai faktor eskternal yang turut mempercepat kematian bahasa Sunda kerap kali terkesan menjadi seekor kambing hitam atas ketidakmampuan menafsir ruang global itu sendiri. Realitas global di situ ditafsir dalam konteks antagonistik, padahal ia menyimpan sejumlah paradoks. Lebih dari sekadar persaingan, seperti disebut Uriel Weinreich, realitas global juga menyimpan tabiatnya yang paradoks. Ia menawarkan banyak ruang bagi berbagai-bagai negosiasi budaya.

Etnomusikolog dan budayawan Endo Suwanda memandang dalam negosiasi inilah, ketika seluruhnya mengglobal, ada kebutuhan pada berbagai komunitas budaya etnis untuk melakukan pengaturan batas-batas. Dengan demikian, dalam konteks global, kelokalan itu menjadi sesuatu yang penting. Realitas global pada bagian pengertiannya yang lain merupakan sesuatu yang abstrak, sedangkan di seberangnya berbagai makna kehidupan ada di berbagai daerah. Maka, alih-alih dipandang sebagai faktor eksternal yang mengancam bahasa ibu, realitas global selalu menyediakan peluang bagi proses penciptaan dinamika dan nilai-nilai kultural, sepanjang terdapat kemampuan melakukan negosiasi di dalamnya.

”Demikian pula dengan bahasa Sunda. Di satu sisi bahasa Sunda dipengaruhi oleh bahasa Indonesia, tetapi di sisi yang lain bahasa Sunda juga memengaruhi perkembangannya. Lihat saja kosakata ketimbang, baheula, atau anyar. Bagaimanapun bahasa lokal selalu menawarkan pengertian tertentu ke dalam perkembangan bahasa nasional,” kata Endo.

**

REALITAS global dan negosiasi budaya, termasuk di dalamnya negosiasi bahasa ibu, seperti mengemuka dalam pandangan Endo Suwanda, sayup-sayup mengingatkan kita pada tulisan Fatimah Djajasudarma di harian ini tiga tahun yang lalu, ”Bahasa Sunda Kini” (Khazanah, 24 Februari 2007). Tulisan ini semacam penelusuran ringkas ihwal sejumlah fakta bagaimana bahasa Sunda pernah melakukan berbagai ”negosiasi linguistik” di masa lalu bersama sejumlah bahasa lainnya, termasuk bahasa Melayu, Cina, Sanksekerta, atau bahasa asing yang diserap melalui bahasa Indonesia.

Dengan mengungkapkan sejumlah fakta linguistik ihwal kata-kata serapan dalam bahasa Sunda yang berasal dari bahasa Cina, misalnya, semangat tulisan Fatimah menyarankan pada bagaimana berdasarkan jejak semacam itulah semestinya bahasa Sunda membaca realitas global. Dalam melakukan negosiasi budaya di tengah realitas global, ia meragukan negosiasi tersebut akan bisa berlangsung sepanjang itu dilakukan seraya tetap memercayai adanya bahasa Sunda standar sebagaimana yang pernah ditetapkan oleh kolonialisme Belanda pada 1912, yang penerapannya sudah berlangsung sejak 1872 (Mikihoro Moriyama:2005).

Jika bahasa Sunda standar itu dianggap sebagai satu-satu cara pandang untuk mencermati perkembangan bahasa Sunda, maka kepunahannya memang akan menemukan alasannya. Sebab, bahasa standar semacam itu sudah tidak bisa lagi menjawab berbagai realitas perubahan yang terjadi. Dan sebaliknya, kematian itu juga terasa akan menjadi semacam kecemasan yang berlebihan jika masih ada berbagai upaya untuk melakukan negosiasi sesuai dengan kepentingan ruang dan waktunya.

Berangkat dari semangat tulisan Fatimah, untuk lantas menariknya pada kepercayaan bahwa bahasa Sunda berada dalam situasi yang kritis, maka pemikiran akan digiring pada gamangnya budaya Sunda melakukan negosiasi budaya di tengah realitas global hari ini. Hal ini menjadi niscaya karena bahasa pada akhirnya juga, bahkan sangat, berurusan dengan ruang pengalaman.

Oleh karena itu, seraya meminjam pemikiran Malinowsky tentang bahasa adalah pengalaman keseharian, dalam tulisannya ”Matinya Bahasa Sunda” (Khazanah, 17 Februari 2007), Acep Iwan Saidi menyebutkan soalnya bukanlah memperkarakan banyaknya keluarga di rumahnya yang tidak lagi memakai bahasa Sunda atau memperkarakan kurikulum pendidikan di sekolah. Sebab, soalnya berhulu dari ruang empirisme keseharian itu sendiri, realitas global yang tidak berkorelasi dengan bahasa Sunda. Tidak mungkin lahir dan lestari bahasa Sunda jika ruang dan waktu tempat orang Sunda berinteraksi dipenuhi benda dan pemikiran yang menjauhkan mereka dari alam kesundaan itu sendiri.

Seiring dengan pandangan Malinowsky, dalam pendekatan hubungan bahasa dan biologis, Noam Chomsky (2000) memandang, otak manusia memiliki sebuah komponen yang disebutnya dengan daya bahasa (the language faculty). Lingkungan memicu daya bahasa untuk lalu membentuk sebuah proses pertumbuhan internal.

**

LALU benarkah realitas global dengan seluruh produk peradabannya hari ini akan mereduksi bahasa ibu karena kegamangan identitas budaya lokal itu sendiri dalam melakukan negosiasi budaya? Atau justru kita hendak bersikukuh percaya pada tabiat realitas global yang menyimpan paradoks dan menyediakan sejumlah perubahan yang produktif bagi proses pemaknaan budaya lokal dan bahasa ibu, sehingga negosiasi itu akan berlangsung?

Kedua pertanyaan itu menyediakan sejumlah hipotesis atau mungkin jawaban spekulatif. Akan tetapi, apa pun tantangan yang mesti dijawab hari ini adalah bagaimana bahasa ibu bisa mengurai dirinya dari standar-standar baku untuk berkompromi dengan berbagai perubahan. Ia harus menggeser kedudukannya dan beranjak dari semangat-semangat masa silam dan bergabung dengan pengalaman keseharian kekinian.

Jika tidak, alih-alih ia membawa atau menghubungkan anak muda (golongan yang dirisaukan itu) ke dalam ruang pengalaman keseharian, bahasa ibu sejenis itu tak lebih dari jejak-jejak masa lalu yang malah menjadi beban. Sesuatu yang melulu menjadi hafalan di ruang kelas atau menjadi bahasa yang sifatnya instruksional.

Di luar sejumlah data statistik yang selalu menjadi tradisi kecemasan setiap tahun ketika Hari Bahasa Ibu diperingati, mungkin tak ada salahnya jika kita sedikit mengambil jarak dari rasa pesimistis. Lebih dari sekadar mengemukakan beberapa fakta perihal ”negosiasi lingustik” yang pernah dilakukan oleh bahasa Sunda, tulisan Fatimah Djajasudarma juga secara tak langsung menjelaskan jejak dari sebuah negosiasi budaya.

Negosiasi budaya hingga mencampurbaurkan apa yang datang, bersanding dengan yang asing sehingga ia tak lagi dianggap sebagai yang liyan, mau tak mau merupakan bagian tersendiri dalam karakter berbagai budaya lokal di Indonesia. Dan ini tak hanya terjadi dalam konteks pemikiran, mental, etos, kepercayaan, dan nilai-nilai, tetapi juga dalam cara berbusana, jenis olahan makanan, bahkan hingga dalam perkembangan bahasa. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 21 Februari 2010

No comments: