MAKAN bukan hanya merupakan upaya manusia untuk mempertahankan diri agar bisa hidup terus. Dengan makan, makhluk hidup apa pun, apalagi manusia, berusaha memenuhi kebutuhannya akan gizi. Tanpa makan, apalagi juga tanpa minum, kehidupannya tidak akan berlangsung lama.
Akan tetapi, makan juga menunjukkan budaya suatu bangsa atau etnis. Makanan pokok bangsa-bangsa Eropa, Amerika, dan Australia berbeda dengan makanan pokok yang dikonsumsi bangsa-bangsa di Afrika, Timur Tengah, dan Asia. Bahkan, dalam satu bangsa sekalipun bisa berbeda-beda. Dulu di bangku sekolah, anak-anak sekolah dasar mengetahui lewat buku-buku pelajaran bahwa orang Madura tidak memakan nasi sebagai makanan pokok. Mereka memakan jagung. Orang Maluku dan Papua memakan sagu.
Namun, seperti etnis lainnya di Nusantara, tradisi makan telah mengalami perubahan, terutama setelah mengalami sukses ”revolusi hijau”. Budidaya tanaman padi diperluas melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi sehingga kita mampu mencapai swasembada beras pada tahun 1984.
Tanpa disadari, keberhasilan itu disusul dengan terjadinya perubahan tradisi makan. Kini hanya sebagian kecil kelompok masyarakat yang tidak menjadikan beras sebagai bahan makanan pokok mereka. Di Tatar Sunda, tinggal masyarakat Kampung Cireundeu di Kota Cimahi yang melanjutkan tradisi leluhurnya dengan menjadikan olahan singkong sebagai bahan makanan pokok. Jumlah mereka hanya beberapa puluh keluarga.
Tradisi
Bahwa tradisi makan menunjukkan budaya masyarakatnya, tecermin dalam cara makan orang yang egaliter. Tradisi makan masyarakat Sunda yang tinggal di daerah pedesaan memperlihatkan budaya masyarakatnya yang egaliter. Bentuk rumah dan pembagian ruangannya yang sederhana tidak membutuhkan peralatan rumah tangga yang dianggap tidak perlu. Ruang tengah dijadikan ruang keluarga, sekaligus menjadi ruang makan. Ruang ini sering kali tidak dilengkapi dengan meja makan. Mereka makan dengan cara lesehan di atas sehelai tikar yang dihamparkan.
Tradisi makan sebagai budaya suatu etnis bisa juga dilihat dari rumah-rumah makan etnis di berbagai daerah. Jika kita memasuki rumah makan padang, nasi yang dihidangkan sekadarnya saja. Yang paling banyak justru lauk berbagai jenis masakan. Ada ayam pop, ayam goring, daging rendang, goreng dendeng dan limpa, masakan otak, kukus daun singkong atau pakis, dan lainnya. Kuahnya dibuat dengan santan kental. Untuk cuci mulut, disediakan buah-buahan.
Rekan J Mathias Pandoe dari Padang menceritakan, dalam kehidupan sehari-hari, orang Minang bisa menghabiskan separuh penghasilannya untuk makan. Maksudnya, makan tidak asal kenyang, tetapi—ya itu tadi—makanannya banyak mengandung gizi.
Subur
Tatar Sunda adalah daerah yang subur. Curah hujannya tinggi. Dengan demikian, seperti salah satu lagu Koes Plus dan ”Kolam Susu”, tongkat saja jika ditancapkan di daerah ini bisa jadi tanaman. Di Tatar Sunda, berbagai jenis tumbuhan bisa subur.
Namun, bagaimana hubungan antara tingkat kesuburan suatu daerah dan tradisi makan penduduknya, agaknya merupakan sesuatu yang menarik untuk dikaji sebagai kekayaan local genius masyarakat setempat.
Buktinya, walau hidup bertetangga, tradisi masyarakat Sunda dalam memanfaatkan tumbuhan di sekitarnya berbeda dengan masyarakat Jawa Tengah. Di daerah yang terakhir ini, berbagai daun-daunan dan tanaman lain yang berkhasiat obat dijadikan jamu. Baik yang dijajakan dengan cara digendong maupun dengan cara diproses lebih dulu, seperti diproduksi industri-industri jamu.
Tradisi itu tidak dijumpai di lingkungan masyarakat Sunda. Berbagai jenis tumbuhan dan biji-bijian yang diperoleh dari kebun, ladang, bahkan dari pematang sawah atau hutan langsung dimakan. Sebagian besar di antaranya terdiri dari daun-daunan yang disebut lalap. ”Orang Sunda paling suka daun muda,” begitu pernah dikemukakan Guru Besar Biologi Institut Teknologi Bandung Prof Unus Suriawiria (alm) yang banyak meneliti khasiat berbagai jenis tumbuhan lalap yang dikonsumsi masyarakat Sunda.
Sebagian besar tumbuhan itu merupakan tumbuhan liar yang bisa dijumpai di sembarang tempat. Bahkan terdapat tumbuhan yang dijadikan pembatas pagar, seperti tumbuhan bluntas. Dengan demikian, jika membutuhkan lalap, siapa pun bisa dengan mudah memetiknya.
Bluntas bukan hanya satu-satunya jenis tumbuhan pembatas pagar yang bisa dijadikan lalap. Masih terdapat tidak kurang dari enam jenis tumbuhan pembatas pagar lainnya yang dijadikan lalap, seperti mangkokan, kastuba, puring, katuk, kedondong cina, dan petai cina. Di luar itu, jenis tumbuhan yang bisa dijadikan lalap-lalapan ternyata sangat banyak jumlahnya.
Dalam penelitian yang dilakukan Prof Unus Suriawiria, pada tahun 1986 ditemukan 70 jenis tanaman lalap yang bisa disantap langsung. Jumlah itu masih belum seberapa karena pada tahun 1993 ditemukan 24 jenis lagi sehingga jumlahnya mencapai 94 jenis. Sampai tahun 2000, ia mencatat tidak kurang dari 200 jenis tanaman yang bisa dijadikan lalap.
Yang menarik, dari berbagai jenis tumbuhan itu, tidak kurang dari 60 jenis di antaranya dimanfaatkan berupa bagian pucuk atau daun muda. Dengan demikian, ke mana pun melangkah, tumbuhan yang bisa dijadikan lalap berada di sekitarnya.
Penelitian
Kecuali Prof Unus Suriawiria, penelitian terhadap lalap masyarakat Sunda masih jarang dilakukan. Penelitian selama ini lebih banyak dilakukan terhadap tanaman obat. Tanaman lalap hanya disinggung sepintas saja, sebagaimana ditulis Dr A Seno-Sastroamidjojo dalam Obat Asli Indonesia (1962). Mungkin karena jenis tanaman ini lebih tinggi nilai ekonominya.
Rahasia dan perincian tentang jenis-jenis tanaman lalap justru lebih banyak ditulis oleh orang-orang Belanda sebelum kemerdekaan. Pada tahun 1931, Dr JJ Osche dan Dr RC Backhuizen van den Brink menulis berbagai jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai lalap dalam buku Indische Groenten yang diterbitkan Archipel Drukkerij di Buitenzorg (Bogor). Bahkan, betapa pentingnya tanaman lalap, terbukti buku itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berjudul Vegetable of Dutch East Indies yang diterbitkan penerbit A Asher & Co, BV di Amsterdam.
Buku lainnya yang menyinggung tanaman lalap dan manfaatnya sebagai sumber makanan maupun obat ditulis Dr K Heyne dalam De nuttige planten van N.I. (1927) dan Atlas van Indische geneeskrachtige planten yang ditulis Ny J Kloppenburg– Versteegh pada tahun 1933.
Lalap
Lalap menjadi hidangan yang disajikan di atas meja makan rumah-rumah makan Sunda mulai berkembang menjelang akhir tahun 2000. Entah karena adanya kecenderungan kesadaran perlunya ”kembali ke alam” atau orang mengalami kejenuhan dengan formalitas yang membelenggu aktivitas kesehariannya, rumah makan Sunda ikut terdongkrak. Rumah makan Sunda itu tidak hanya terdapat di Bandung, tetapi menyebar ke daerah lain, seperti Jakarta, dan bahkan sampai ke Batam.
Agar menimbulkan kesan kuat dengan lingkungan masyarakat Sunda, tempat-tempat yang dijadikan rumah makan tersebut biasanya berusaha mengadopsi tradisi dan nuansa masyarakat Sunda di daerah pedesaan. Bangunannya berupa saung (gubuk) berbentuk sederhana, terbuat dari bahan-bahan lokal seperti bambu dengan atap daun alang-alang yang dilapisi jerami agar tidak bocor pada saat hujan. Tempat makan hanya tersedia meja makan sehingga pengunjung hanya duduk lesehan. Sekeliling rumah makan tersebut biasanya dilengkapi dengan kolam ikan.
Menu utama biasanya ikan mas atau gurami yang diolah dengan berbagai bumbu, dalam bentuk pepes, goreng, atau hasil olahan lainnya. Tambahan menu lainnya yang tidak pernah ketinggalan, antara lain, goreng ikan asin jambal, goreng atau pepes ayam, oncom, sayur asem, dan tentu saja lalap-lalapan. Jika di lingkungan etnis lain jenis lalap seperti jengkol dan petai banyak dihindari, di lingkungan masyarakat Sunda justru sebaliknya. Jengkol dan petai justru merupakan penambah selera makan.
Pasangan lalap biasanya disandingkan dengan sambal. Sejoli ini ada yang disebut sambal terasi karena salah satu bahan yang digunakan terasi bakar. Ada pula yang disebut sambal dadak karena dibuat mendadak. Dinamakan sambal hejo karena menggunakan cabai hijau. Sambal goang yang banyak dikonsumsi petani di daerah pantai utara, terbuat dari cabe rawit dan garam secukupnya. Karena menggunakan bahan oncom, sambal tersebut dinamakan sambal oncom. Namun, dari semua sambal tersebut, bahan baku utamanya tetap cabai karena baru bisa dikatakan sambal jika rasanya pedas. (Her Suganda, Wartawan, tinggal di Bandung)
Sumber: Kompas, Jumat, 25 April 2008
No comments:
Post a Comment