BEBERAPA tahun terakhir, industri komik atau cerita bergambar (cergam) kita terasa suram. Serbuan komik-komik dari negeri matahari terbit seakan tiada habisnya. Perlu jati diri dan promosi untuk membangkitkan kembali industri komik lokal.
Pengunjung pameran memperhatikan komik asal Prancis pada pameran sejarah komik Indonesia-Prancis di Pusat Kebudayaan Perancis CCF, Jakarta, Selasa (8/4). Pameran yang diisi dengan lokakarya pembuatan komik dan pemutaran film ini berlangsung hingga Sabtu (19/4). (SP/Ignatius Liliek)
Belakangan ini sebenarnya bermunculan karya-karya komik lokal yang cukup digemari seperti Lagak Jakarta, namun kehadiran ini dianggap belum cukup membendung serangan anime dan manga Jepang.
"Komikus kita sekarang ini sulit membuat ikon. Banyak sekali pengaruh dari luar yang masuk ke sini, sehingga mereka sulit menentukan karakternya," ujar komikus Djair Warni dalam diskusi Sejarah Komik Indonesia di Pusat Kebudayaan Prancis, Selasa (8/4) malam.
Hal ini berbeda sekali dengan situasi industri komik pada dekade 60-an hingga 80-an. Saat itu menurut, Djair serbuan komik-komik asing relatif tidak segencar sekarang, sehingga pengaruhnya kepada komikus Tanah Air tergolong kecil. Akibatnya para komikus lebih mudah menuangkan keindonesiannya.
"Tapi harus kita akui, komik itu bukan berasal dari Indonesia. Jadi wajar saja kalau perkembangannya terasa kurang kuat jika dibanding dengan negara maju. Lihat saja, istilah-istilah komik yang ada di sini belum bisa berdiri sendiri, masih bercampur dengan istilah bidang lainnya, seperti film atau desain. Ini menandakan perkembangan komik di sini belum bisa berdiri sendiri," jelas Djair yang pernah membuat cergam Jaka Sembung pada 1968 itu.
Harapan Djair, komik Indonesia bisa berkembang melebihi era terdahulu, ketika banyak komikus yang karyanya bisa diterima masyarakat Indonesia. "Ya, mungkin perlu terus promosi tentang komik kita, agar masyarakat tahu. Promosi itu bisa lewat seminar-seminar ini," ujarnya.
Diskusi Sejarah Komik Indonesia yang digelar di Pusat Kebudayaan Prancis itu berkaitan dengan peluncuran komik terjemahan asal Prancis, berjudul Mencari Masa Silam, Kisah Cinta Swann karya Stephane Heuet. "Bagi saya, ajang diskusi ini bisa jadi pertukaran budaya. Karena seniman-seniman Prancis juga bersedia mempromosikan karya-karya Indonesia di tempat mereka sehingga karya seniman kita bisa dikenal luas," tambah Djair.
Dosen Universitas Tarumanagara, Guntur Angkat, dalam tulisannya menyebutkan Prancis dikenal sebagai pencetus ide-ide komik cemerlang. Sejarah komik bermula pada masa pra sejarah di gua Lascaux, selatan Prancis, ketika ditemukan torehan gambar bison, sejenis banteng atau kerbau Amerika.
Di Indonesia, cikal bakal komik banyak dipengaruhi oleh agama Buddha, Hindu dan Islam. Namun, temuan gambar babi hutan di Goa Leang-leng, Sulawesi Selatan, bisa mengindikasikan adanya pola komunikasi melalui gambar dari masa prasejarah kita.
Melayu Cina
Cerita bergambar atau komik pertama kali terbit di Indonesia sejalan dengan munculnya media massa berbahasa Melayu Cina pada masa pendudukan Belanda. Cergam Put On karya Kho Wan Gie tahun 1930 di Harian Sin Po, menceritakan sosok gendut bermata sipit yang melindungi rakyat kecil di Indonesia. Komik ini sangat pada populer masa itu.
Cerita bergambar yang bercorak realistik baru dimulai oleh Nasoen As pada tahun 1939. Nasoen membuat kisah Putri Hijau yang dimuat oleh Harian Ratoe Timoer.
Pada masa pendudukan Jepang, muncul cerita legenda Roro Mendut karya B Margono, di Harian Sinar Matahari Jogjakarta. Setelah Indonesia merdeka, Harian Kedaulatan Rakyat memuat komik Pangeran Diponegoro dan Joko Tingkir.
Selanjutnya, cerita yang bertemakan petualangan dan heroisme banyak diangkat oleh komikus pada saat itu, seperti Sri Asih (1952) karya RA Kosasih, Kapten Jani dan Panglima Najan karya Tino Sidin, dan Mala Pahlawan Rimba (1957) karya Tjip Tupai.
Selanjutnya masa keemasan dan kebangkitan kedua komik Indonesia terjadi pada era '80-an, ditandai banyaknya ragam dan judul komik terbit pada masa itu. Tema komik yang disukai pada periode ini, umumnya adalah komik roman remaja. Beberapa komikus yang dominan adalah Budijanto, Zaldy, Sim dan Mintaraga. Beberapa karya yang terbit saat itu adalah Sebuah Noda Hitam, Si Buta dari Gua Hantu, Siluman Serigala Putih, Tuan Tanah Kedaung, Si Djampang, Panji Tengkorak dan Gundala.
Era selanjutnya banyak bermunculan komik-komik di media massa yang temanya cenderung kritik sosial. Tema ini pun terus digunakan hingga belakangan ini.
"Kalau pertanyaannya seperti apakah komik Indonesia? Mungkin akan sulit dijawab. Kalau sekarang banyak menggunakan tema kritik sosial itu sah-sah saja, karena komik adalah salah satu apresiasi dari budaya masyarakat pada zamannya. Bagi saya, komik Indonesia adalah yang memiliki ruh, jiwa, dan cerita Indonesia, meski pembuatnya bukan orang Indonesia," ujar Djair. [K-11]
Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 9 April 2008
No comments:
Post a Comment