Sunday, April 13, 2008

Esai: Sastra yang Menyejarah

-- Ahmad Mahromi*

JUDUL tulisan ini sekilas terasa ganjil, bagaimana sastra bisa menyejarah? Bukankah hanya manusia sebenarnya yang dapat menyejarah?

Karena manusia memiliki kesadaran, sementara sastra tidak. Kesadaran dan sejarah bertalian satu sama lain, saling mengisi dan mengafirmasi.Namun, judul di atas akan terasa wajar bila kita mengakui bahwa sastra adalah perwujudan diri dari kesadaran. Persis seperti kesadaran yang memiliki distorsi, kontradiksi, dan antinomi,dalam sastra kita juga bisa melihat manifestasi distorsi dan kontradiksi tersebut.

Dalam novel Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer kita dapat melihat lebih jelas kontradiksi tersebut. Di novel itu, kontradiksi antara identitas nasionalisme dengan identitas kebaratan mengalami ketegangan. Ketegangan tersebut tidak hanya terjadi dalam peran tokoh dalam novel, tetapi juga terjadi dalam apa yang dinamakan dunia keseharian.Kontradiksi tersebut misalnya juga terjadi dalam novel Crime and Punishment F Dostoyevsky.

Dalam novel itu,Raskolnikov, tokoh dalam novel ini, mengalami ketegangan batin antara mengakui dan menyerahkan diri atas pembunuhannya atau ia diam.Gejolak itu terus-menerus menghantui hidup kesehariannya. Kontradiksi antara ilusi dengan fakta juga tergambar dalam karya Nukila Amal,Cala Ibi.

Di sana, kita kadang sulit membedakan mana yang riil dan mana yang ilusi. Hubungan antara sastra dengan kontradiksi terkadang menjadi hubungan yang seharusnya.Sebuah karya sastra bukan saja harus berpihak kepada sejarah, melainkan juga menampilkan kontradiksi yang terdapat di dalamnya, persis seperti apa yang berlaku dalam kesadaran dan sejarah itu sendiri. Selanjutnya, bagaimana hubungan antara sastra, sejarah, dan kontradiksi tersebut dibangun? Apakah realitas itu sendiri kontradiktif?

Kontradiksi dalam Realitas


Di tahun 2007 yang lalu,F Budi Hardiman menerbitkan bukunya dengan judul Filsafat Fragmentaris. Judul buku itu sangat m e n g g a m b a r k a n t u l i s a n - tulisan yang ada di dal a m n y a . Bukan saja k a r e n a buku itu terdiri dari bagian yang saling terpisah satu sama lain, tetapi juga karena isi dari bagian-bagian tersebut mengungkapkan dimensidimensi fragmentaris melalui filsafat.

Buku itu seakan mengamini bahwa kehidupan bukanlah sesuatu yang dapat direngkuh dalam sebuah konseptualisasi. Lebih dari itu, dalam kenyataan terdapat di dalamnya fragmentasi, juga kontradiksi. Dalam dunia keseharian, fragmentasi dan kontradiksi ini sering kita temukan walau tak banyak yang menyadarinya.

Di mal yang megah misalnya, tak jarang kita jumpai seorang yang memakai jubah keagamaan, tetapi menguncah komoditas produksi tanpa henti,menjelma menjadi pengagum komoditas sekaligus pengagum Tuhan. Di pelataran ruang persidangan, para koruptor bukankah juga para agamawan? Identitas kita sering kali absurd, terpecah belah,dan berkontradiksi.

Penegasan realitas fragmentatif ini dapat kita temukan dalam bait-bait pemikiran Theodore W Adorno,seorang pemikir Mazhab Frankfurt yang terkenal dengan proyek kritik atas rasionalisme modernitas yang bertumpu pada universalisme dan keutuhan konseptualisasi. Adagiumnya sangat terkenal, yaitu filsafat nonidentitas. Dengan f i l s a f a t identitas itu, ia men o l a k s eb u a h konseptualisasi y a n g utuh dan sempurna terhadap r e a l i t a s .

B a g i n y a , realitas itu sendiri terdiri atas fragmen-fragmen yang tak hanya sulit untuk direngkuh secara utuh, tetapi juga mustahil. Realitas juga sering kali kontradiktif, bahkan dalam sebuah identitas yang sering kita banggakan. Sebuah klaim keberimanan dan kesalehan bukan sebuah klaim yang final dan penuh makna, sebaliknya, ia malah kerap menimbulkan ironi dan kontradiksi.

Sama halnya juga dengan makna bahasa itu sendiri. Kata “Pharmakon” misalnya, bukan hanya bermakna obat,tetapi juga racun. Kontradiksi dalam realitas bukan hanya terjadi antara dua entitas yang berbeda, dalam satu entitas pun kontradiksi itu sering terjadi. Di dalam teks, kontradiksi itu sudah merupakan bagian inheren yang mustahil dipisahkan. Di sanalah muncul berbagai kemungkinan keberagaman tafsir dan makna.

Sastra Kontradiktif


Di sela-sela pertanyaan bagaimanakah seharusnya sastra menghadapi realitas,dapat didahulukan pertanyaan apakah sastra bisa menghindar dari realitas.Bukankah berbagai bentuk sastra, entah apapun namanya, akan berhadapan dengan realitas dan mustahil untuk menghindarinya.Yang tertinggal hanyalah bagaimana sastra menghadirkan realitas itu.

Dalam alur kehidupan dan realitas yang kontradiktif ini, sastra “semestinya” juga adalah representasi dari realitas yang kontradiktif itu.Sebuah karya sastra, bukan saja harus berpihak terhadap realitas,melainkan juga mesti mengungkapkan dimensi-dimensi negatif dan kontradiktif dalam realitas. Ini bukan sebuah keberpihakan, tetapi merupakan kemestian yang tak bisa ditolak, bahkan oleh mereka yang berusaha menolaknya.

Bila tidak,apa yang ingin direpresentasikan? Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai Goenawan Mohamad dipengantari dengan sebuah kalimat yang kontradiktif. Tulisnya, “Semuanya ditulis di masa yang seperti kita alamisekarang,ketika Tuhan tak bisa ditolak dan agama bertambah penting dalam hidup orang banyak, memberi kekuatan, menerangi jalan,tapi juga membingungkan dan menakutkan”.

Kalimat ini berhasil menampilkan realitas kontradiktif dari agama yang memang dalam kenyataannya selalu memiliki makna ganda seperti disebut di atas. Dalam representasi kontradiksi inilah sebuah karya sastra bisa menyejarah. Ia menyejarah karena ia menampilkan kesadaran manusia yang kontradiktif dalam realitas.Kaitan antara sastra, sejarah, dan kontradiksi menjadi sesuatu yang sulit dihindari. Sebab,sebuah karya sastra tidak hanya sebuah permainan keindahan dan kata, tetapi merupakan pemahaman atas dunia.(*)

* Ahmad Mahromi, pegiat di Forum Muda Paramadina dan ICIP, Jakarta

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 13 April 2008

No comments: