-- AJ Susmana*
SEJARAH seringkali dikonstruksi dalam bingkai ”sejarah negara”. Kadang, perjuangan yang dihidupi dengan jiwa dan raga tak membawa hasil seperti yang diharapkan. Kekecewaan dan rasa sesal pun melanda di hati. Akan tetapi, itu tampaknya tidak berlaku bagi wanita-wanita mantan prajurit gerilya yang telah menghabiskan sebagian hidupnya dalam perjuangan gerilya nan panjang di hutan tropik Semenanjung Melayu.
Itulah sepenggal kisah beberapa perempuan yang angkat senjata berjuang menentang kolonialisme, yang dikisahkan di dalam buku Hidup Bagaikan Mengalirnya Sungai: Wanita dalam Perjuangan Anti-Kolonial Malaya, Sejarah Lisan suntingan Agnes Khoo. Cita-cita perjuangan mereka memang tidak berhasil dan kini hidup dalam perlindungan Kerajaan Thailand, tetapi mereka tak menyesali atas jalan yang pernah ditempuh. Kisah seperti ini, dalam beberapa hal, tentu saja bukan kisah yang baru dalam perjuangan antikolonialisme di Indonesia.
Membaca buku ini, tak pelak lagi, Anda akan diingatkan pada novel Pramoedya Ananta Toer, Keluarga Gerilya, yang diterbitkan setelah kecamuk perang revolusi kemerdekaan Indonesia berangsur surut. Dalam Keluarga Gerilya diceritakan bagaimana anak tega membunuh bapaknya karena bapaknya bekerja sebagai tentara penjajah kolonial; adik menyerahkan keperawanan kepada musuh demi pembebasan kakaknya dari tawanan, walau toh akhirnya ia dikhianati dan kakaknya tetap tak dibebaskan tetapi malahan dijatuhi hukuman mati. Dan sang ibu menjadi gila lantaran menyaksikan anak-anak dan keluarganya tercerai-berai. Inilah gambaran kehidupan sebuah keluarga gerilya yang anak-anaknya tanpa pamrih berjuang demi kemerdekaan Tanah Air dan rakyatnya dari penjajahan kolonialisme.
Buku ini memiliki keistimewaan sendiri, seperti diungkapkan oleh Chong Ton Sin dalam pengantar buku ini, yakni menonjolkan peranan wanita dengan penulisan berperspektif feminis. Isinya mampu mencerminkan peranan wanita di Singapura, Malaysia, dan Thailand dalam keluarga, masyarakat, dan pergerakan politik antara tahun 1930-an hingga 1980-an akhir, termasuk dalam politik bersenjata dan perang gerilya yang berlangsung lama di hutan belantara. Lebih jauh, para mantan prajurit wanita ini kebanyakan berasal dari lapisan bawah masyarakat yang miskin yang seringkali terlupakan peranannya dalam penulisan sejarah yang lebih mengedepankan para tokoh dan pucuk pimpinan.
Hidup disadari dan dimaknai sebagai perjuangan tanpa henti untuk memperbaiki dan memajukan harkat kemanusiaan; mengalir dari detik ke detik kehidupan dalam suka dan duka bagaikan aliran sungai. Inilah pesan yang menonjol dari penulisan buku ini. Bukankah perjuangan sendiri kadang tak berbuah manis seperti yang diharapkan, tetapi justru pahit dan menjadi cemoohan atau ejekan karena tiadanya sukses sebuah perjuangan bahkan dari segi materi sekalipun? Dalam situasi yang gamang ini, hanya keyakinan perjuanganlah yang menjadi sandaran dalam menempuh hidup di sepanjang aliran sungai sejarah ini. Sejarah pun tiba-tiba menjadi penting dan bernilai untuk meletakkan diri dalam berbagai aliran sungai sejarah dan tujuan hidup selanjutnya.
Hidup terus mengalir dan dunia pun kini mengalami perubahan. Perang dingin pasca-Perang Dunia II yang mencekam telah berakhir. Berbagai bangsa dan negara, termasuk Indonesia, Singapura, dan Malaysia, memasuki ruang hidup dan tata cara pergaulan yang baru. Begitulah juga Agnes Khoo, penulis buku ini, dan mungkin juga generasi seangkatannya yang hidup tanpa cengkeraman dan penindasan nyata kolonialisme, tetapi sangat ingin tahu sosok orang-orang yang diberi label komunis dan digambarkan sebagai ”teroris bertanduk dua” oleh penguasa negeri Singapura.
Dalam usaha ini, Agnes Khoo akhirnya sampai di sempadan Malaysia-Thailand dan menemukan kampung suaka politik bagi anggota Partai Komunis Malaya (PKM). Perkampungan itu disediakan Pemerintah Kerajaan Thailand sebagai hasil penandatanganan Persetujuan Perdamaian Tiga Pihak, yakni Pemerintah Malaysia, PKM, dan Kerajaan Thailand di Haadyai, bagian selatan Thailand, pada 2 Desember 1989. Persetujuan ini mengakhiri perang gerilya PKM yang berlangsung selama lebih dari 40 tahun dan PKM memutuskan untuk memusnahkan sendiri semua senjata mereka, meninggalkan hutan tropik di sempadan Thailand-Malaysia, dan mulai membangun hidup baru di perkampungan yang berada di bawah naungan Puteri Chulaporn Thailand. Kampung- kampung ini kemudian dinamakan Kampung Perdamaian PKM. Sebagian sempalan PKM pun mendirikan Kampung Persahabatan.
Sejarah lisan
Buku ini merupakan sejarah lisan yang disusun Agnes Khoo berdasarkan wawancara terhadap 16 wanita mantan prajurit gerilya PKM yang tinggal di Kampung Perdamaian tersebut, kecuali seorang bernama Xiao Hua yang kini menetap di Hong- kong. Karena keterbatasan dana dan waktu, Agnes Khoo hanya mewawancarai mantan gerilyawati PKM yang tinggal di tiga Kampung Perdamaian, yakni Betong, Banlang, dan Sukirin. Walau begitu, buku ini sudah cukup berhasil menggambarkan kisah hidup wanita-wanita pemberani dari Thailand, Malaya, dan Singapura ini, termasuk usaha yang berani dari Agnes Khoo sendiri.
Agnes Khoo pun akhirnya memahami dan menemukan kisah lain dari sejarah perjuangan bangsanya melalui tuturan 16 wanita ini. Ia mengungkapkan, ”Setelah mengenali wanita-wanita ini, mendengar kisah hidup mereka, harapan dan pilihan hidup mereka, saya merasa telah menjadi lebih matang sedikit. Saya tidak lagi naif seperti dahulu ketika saya seorang rakyat Singapura yang tidak berminat terhadap sejarah tanah air. Melalui penulisan buku ini, saya telah lebih yakin diri. Saya mulai tahu siapakah diri saya, makna sebagai rakyat Singapura, bagaimana kami menjadi rakyat Singapura dan apakah yang membuat saya menjadi seorang Singapura” (hlm 372).
Untuk menyelesaikan buku ini, Agnes Khoo menghabiskan waktu lima tahun. Ia telah mengarungi perjalanan yang paling kesepian dalam hidupnya, dengan meninggalkan kehidupan mewah dan modern, baik di Singapura maupun di Hongkong. Penulisan sejarah lisan ini, bagi Agnes Khoo, adalah perjalanan penyembuhan diri dari rasa ngeri akibat kampanye sejarah yang gencar versi pemerintah tentang kekejaman teroris komunis, sementara ia sendiri tak pernah bertemu dengan wujud nyata sang ”teroris” itu. Inilah yang membawa Agnes Khoo mencari kebenaran sejarah dari sudut yang berlainan. Sebagaimana Indonesia di bawah Orde Baru, orang takut membela orang-orang komunis yang teraniaya bahkan dari sudut kemanusiaan, begitulah juga rakyat Singapura dan Malaysia. Mereka terpaksa mengelak memperbincangkan kaum komunis dan membisu demi melindungi diri karena takut akan disekap ke dalam penjara di bawah Internal Security Act (ISA).
Oleh karena itu, buku ini tentu saja bukan sekadar kisah dan profil 16 mantan gerilyawati, tetapi adalah juga salah satu catatan perjuangan anti-kolonialisme di dunia dan peran wanita dalam perjuangan itu, terutama dalam perang gerilya yang panjang. Tak hanya menjadi pelengkap atau barisan belakang (baca: memasak, menjahit baju pasukan, dan mengobati yang terluka) dari pasukan gerilya. Sebagian dari 16 wanita dalam buku ini merupakan prajurit gerilya yang juga mengangkat senjata dan bertempur di garis depan. Bagaimana sulitnya menjadi gerilyawati di hutan belantara Semenanjung Melayu dengan seluk-beluk kewanitaan seperti haid, melahirkan, hubungan cinta, dan benci pada keluarga, sesama, dan perkawinan diungkapkan oleh mereka.
Buku ini pun menjadi semakin penting bila diletakkan dalam konteks sejarah perjuangan rakyat dan bangsa-bangsa terjajah dari penindasan kolonialisme terutama di Asia Tenggara. Bagi kita di Indonesia, buku ini juga penting untuk dibaca dan diketahui agar kita pun sanggup menghubungkan dan memaknai perjuangan semesta melawan penjajahan kolonialisme yang dalam jangka waktu tertentu nyata menancapkan kuku-kuku kolonialnya di bumi Nusantara. Buku ini pun setidaknya telah memberikan gambaran yang berbeda dari sejarah resmi kemerdekaan Singapura dan Malaysia yang selama ini dinyatakan sebagai hasil diplomatik tanpa perjuangan bersenjata. Bagaimanapun kemerdekaan Singapura dan Malaysia itu telah dilandasi perjuangan bersenjata anti-kolonialisme Inggris dan anti-pendudukan fasisme Jepang.
* AJ Susmana, Anggota Divisi Sastra Sanggar Satu Bumi
Sumber: Kompas, Senin, 28 April 2008
No comments:
Post a Comment