-- Sastri Sunarti*
SEMINAR bahasa dan sastra Mabbim (Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia) dan Mastera (Majelis Sastera Asia Tenggara) baru saja diselenggarakan di Hotel Borobudur, Jakarta, pada 7-8 April 2008. Seminar diikuti semua anggota Mabbim dan Mastera, ditambah Singapura yang masih berstatus sebagai pengamat.
Seminar bahasa dan sastra ini diselenggarakan dalam rangka peringatan ulang tahun ke-35 Mabbim. Tema yang diusung adalah Memartabatkan Bahasa dan Sastra Nasional dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Budaya Serumpun.
Tema tersebut mendapat tanggapan beragam dari para pemakalah yang datang dari empat negara serantau itu. Seminar diawali Dr Dendy Sugono, selaku pemakalah utama, yang menyampaikan kertas kerja Pemartabatan Bahasa dan Sastra Nasional dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Budaya Serumpun.
Dalam prasarannya, Dendy Sugono antara lain mengungkap persoalan yang dihadapi oleh bahasa Melayu/Indonesia di negara-negara anggota Mabbim. Persoalan itu, antara lain adalah makin terpinggirkannya bahasa Melayu/Indonesia di tengah pemakainya, terutama di ruang-ruang publik yang cenderung menggunakan bahasa asing serta memakai bahasa secara tidak teratur.
Persoalan ekonomi, menurut Dendy, juga ikut mempengaruhi perilaku berbahasa pengguna bahasa tersebut. Misalnya, rasa kagum terhadap kemajuan perekonomian Barat (Inggris dan Amerika) menjadikan bahasa Inggris dipandang lebih tinggi nilai dan gengsinya untuk digunakan di bidang ekonomi dan teknologi dibandingkan bahasa Indonesia/Melayu.
Masalah lainnya yang dihadapi dalam upaya pemartabatan bahasa nasional adalah masih banyaknya masyarakat yang rendah pendidikannya. Untuk itu, Kepala Pusat Bahasa, yang sekaligus sebagai Ketua Mabbim dan Mastera Indonesia, tersebut mengingatkan masih perlunya upaya peningkatan mutu penggunaan bahasa di tempat umum. Misalnya, penggunaan nama bangunan, pemukiman, pusat belanja, petunjuk lalu lintas, wisata, iklan dan publikasi, perbukuan, surat kabar, majalah, radio, serta televisi.
Dendy Sugono juga mengeritik pemakaian judul buku yang menggunakan bahasa Inggris pada sampul depannya, tetapi isinya tetap memakai bahasa Indonesia. Menurutnya, sikap itu dapat dikategorikan sebagai upaya yang menyesatkan pembaca.
Upaya transformasi
Pendapat yang agak berbeda disampaikan oleh Azhar Ibrahim Alwee dari Singapura. Menurutnya, jika dahulu pemartabatan bahasa Melayu/Indonesia diperlukan sebagai upaya defensif terhadap pihak kolonial yang berkuasa, maka saat ini pemartabatan itu lebih diarahkan sebagai upaya melakukan transformasi terhadap kekayaan bahasa/sastra, seperti memperbarui karya sastra lama agar dapat dinikmati oleh generasi muda.
Pada hari kedua seminar, Profesor Emeritus Abdullah Hassan (dari Malaysia), dengan makalah bertajuk Bahasa Melayu dan Cabaran Kemunculan Era Kreasi Abad ke-21, menyarankan agar kita meningkatkan kreativitas dalam penggunaan bahasa, sebab bahasa mempunyai kaitan yang sangat erat dengan daya kreativitas suatu bangsa.
Di dalam setiap bahasa, menurutnya, terkandung nilai-nilai budaya suatu masyarakat bangsa penutur asli bahasa itu. Di dalam bahasa Inggris, misalnya, terkandung nilai-nilai budaya individualisme. Di dalam bahasa Jepang, Cina, Korea, dan bahasa Melayu, terkandung nilai-nilai budaya kolektivisme.
Karena itu, bangsa Melayu hendaknya tidak merasa rendah diri dengan bahasa yang telah menjadi miliknya selama beratus bahkan beribu tahun. Sebab, menurut Abdullah Hassan, hanya melalui bahasa yang telah menjadi identitas budaya bangsa, peningkatan kreativitas dapat dilakukan.
Hassan mencontohkan bangsa Jepang yang sangat gigih menggunakan bahasa Jepang dalam dunia pendidikan secara luas. Kegigihan itu telah berhasil mendorong masyarakat Jepang sebagai produsen benda-benda hasil teknologi yang digunakan di seluruh dunia. Seperti, produk kendaran bermotor, pemasak nasi listrik, dan jam tangan yang berhasil melewati batas sempadan antar-bangsa.
Lebih jauh Abdullah Hassan menyarankan agar Mabbim/Mastera tidak hanya menjadi ajang bagi perdebatan panjang mengenai istilah kebahasaan di tiga negara anggota tanpa berhasil menjadikan bahasa Melayu/Indonesia sebagai bahasa yang dimanfaatkan secara praktis bagi penuturnya.
Hassan juga menyindir Mabbim yang telah berusia 35 tahun, namun masih seperti orang yang hanya berupaya mengasah pisau selama usia yang cukup panjang itu, tetapi tidak pernah menggunakan pisau tersebut sebagai alat untuk "menyembelih".
Prestasi FLP
Usul yang baik disampaikan oleh Helvy Tiana Rosa dari Indonesia. Helvy menyampaikan model pendidikan calon-calon penulis seperti yang dilakukan melalui Forum Lingkar Pena (FLP). Menurutnya, FLP sejauh ini telah berhasil menggalang anggota sebanyak 5000 orang yang tersebar di 125 cabang di dalam maupun di luar negeri.
Pengarang novel Ayat-Ayat Cinta, Habiburrahman El Shirazy, merupakan salah seorang pengarang yang dulu menjadi anggota FLP Cabang Kairo, Mesir. Pada seminar Mabbim-Mastera itu Habiburrahman memperoleh penghargaan dari Pusat Bahasa sebagai sastrawan yang telah berhasil menggugah masyarakat secara luas untuk membaca.
Helvy juga menyampaikan keinginan beberapa calon penulis dari Malaysia dan Singapura yang berhasrat menjadikan FLP sebagai wadah penulis serantau yang anggotanya tidak terbatas hanya orang Indonesia belaka.
Seminar Mabbim dan Mastera dilanjutkan dengan sidang tertutup Mabbim selama dua hari berikutnya. Isu cukup hangat lainnya yang mencuat selama seminar tersebut adalah pentingnya menjaga dan meningkatkan hubungan baik dalam bidang kebahasaan dan kesasteraan yang telah terjalin selama ini di antara negara anggota.
Pada sambutan penutupan seminar, Dr Firdaus Abdullah, selaku ketua Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia sekaligus ketua Mabbim dan Mastera Malaysia, menyampaikan harapannya agar hubungan baik yang telah ada antara Indonesia dan Malaysia melalui organisasi kebahasaan dan kesastraan itu tidak mudah rapuh oleh pemberitaan yang cenderung sensasional yang dapat merusak hubungan baik yang telah terbina selama ini.
Sejumlah peserta dari Malaysia, Brunei, dan Singapura, juga menyayangkan betapa sedikitnya karya sastra dari tiga negara itu yang dikenal luas di Indonesia. Sebaliknya, karya sastra Indonesia setidaknya selama 50 tahun ke belakang amat dikenal luas di tiga negara jiran tersebut.
Para pemakalah dan peserta seminar sepakat agar karya dari keempat negara serumpun itu lebih banyak disebarluaskan dan dibuat semacam antologi yang memuat karya-karya sastra dari keempat negara serumpun. Upaya ini penting dilakukan guna memahami lebih dekat masyarakat dari masing-masing negara serumpun yang menurut Azwar bin Alwee (dari Singapura) tidak hanya senasab tetapi juga senasib.
Penyebarluasan karya sastra di keempat negara serumpun itu diharapkan juga dapat mempertipis perbedaan yang ada serta agar dapat dinikmati dan diapresiasi secara lebih luas oleh khayalak pembacanya. Tidak mustahil pada suatu hari nanti akan muncul penghargaan sastra sekaliber Nobel yang khas dari negara serumpun Melayu. ( )
* Sastri Sunarti, Peneliti Pusat Bahasa Depdiknas
Sumber: Republika, Minggu, 20 April 2008
No comments:
Post a Comment