Sunday, April 06, 2008

STA: Puisi dan Modernitas (1)

Pengantar Redaksi:

Dalam diskusi Peringatan 100 Tahun Sutan Takdir Alisjahbana (STA) di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 25 Maret 2008, Goenawan Mohamad—bertolak dari tinjauan tentang puitika STA—menyampaikan sejumlah amatan menarik perihal perkembangan puisi Indonesia sejak awal hingga pertengahan abad ke-20, sebuah masa penuh gejolak yang membekaskan pengaruh kuat atas perpuisian Indonesia hingga kini. Tulisan ini, hasil olahan kembali dari makalah yang disampaikan dalam diskusi di atas, akan dimuat secara bersambung di halaman ini.

-- Goenawan Mohamad*


I

S Takdir Alisjahbana menulis puisi dan menghentikannya setengah jalan. Namun, cerita ini bukan hanya tentang seorang sastrawan dan karyanya. Yang kita hadapi adalah persoalan bahasa puitik—yang paralel dengan impuls yang "bersimaharajalela", artikulasi yang tak patuh pada harmoni—dalam narasi besar modernitas.

Di tahun 1934, STA memulai serangkaian esai yang cendekia, merayakan lahirnya "puisi baru" Indonesia. Diterbitkan dalam bentuk buku 30 tahun kemudian, Kebangkitan Puisi Baru Indonesia merupakan risalah terpanjang (139 halaman) tentang puisi yang pernah ditulis seorang sastrawan Indonesia sejak 100 tahun yang lalu—juga sebuah kritik yang dengan meyakinkan membela satu sikap sastra.

"Sifat khusus puisi Indonesia yang baru," kata Takdir, ditandai tiga kata: "ekspresionisma, lyrik, dan romantik". Pendeknya, "bersimaharajalelanya perasaan dan fantasi."

Kata "bersimaharajalela" di sini sangat penting sebab ada hubungannya dengan gejolak yang digambarkan Takdir di bawah ini: "Segala perasaan yang timbul di dalam kalbu berombak dan beralun melalui berjuta-juta jalan yang halus memenuhi seluruh tubuh; sampai kepada bahagian badan yang sekecil-kecilnya menurut terayun dan terbuai dalam ombak dan alun perasaan itu dan dengan amat gaibnya terbayanglah ia ke dunia lahir pada perubahan detikan jantung, pada lekas lambatnya nafas, pada turun naiknya suara dan pada perubahan air muka".

STA mengemukakan sesuatu yang mungkin tak disadarinya sendiri: wilayah awal puisi adalah tubuh—"sampai kepada bahagian badan yang sekecil-kecilnya", sampai kepada detak jantung, nafas, suara, dan airmuka. Ia lihat pertautan yang somatik dalam le semiotique, 40 tahun sebelum Julia Kristeva menerbitkan La revolution du langage poetique dan menguraikan bahasa puitik yang bermula dari chora—kuantitas energi yang diam-diam merasuk melintas melalui tubuh, sebelum sang penyair terbentuk sebagai subyek yang sadar.

Namun, puitika STA tak memasuki sebuah masalah dasar. Ia tak sepenuhnya menangkap bahwa yang disebutnya sebagai "perasaan yang timbul di dalam kalbu" itu, yang "melalui berjuta-juta jalan yang halus memenuhi seluruh tubuh..." itu, adalah pasase dalam tubuh yang sub-simbolik, mungkin ekstra-simbolik. Takdir tak meninjau bagaimana dari sana lahir puisi, sebuah dunia kata-kata.

Ia tampak beranggapan, proses dari tubuh ke dalam bahasa itu langsung dan lurus. Takdir mengutip satu sajak JE Tatengkeng. Statemen puisi itu tersusun di bait terakhir:

Kusuka hidup! Gerakan sukma,

Yang berpancaran dalam mata,

Terus menjelma,

Ke-Indah-Kata.

Bertolak dari sajak itu, Takdir mengatakan "puisi Indonesia yang baru"—yang baginya terutama bersifat puisi lirik—adalah "perasaan yang berduyun-duyun ke luar sendirinya". Puisi itu menemukan bentuk dan irama yang "langsung lahir dari jiwa".

Dengan kata lain, praktis tak ada penapis apa pun antara apa yang bergejolak dalam diri sang penyair dan bahasa yang tersusun dalam puisinya; tak ada mediasi yang mungkin memencongkan transparansi. Takdir bahkan mengatakan, salah satu ciri puisi lirik yang disambutnya dengan antusias adalah "selarasnya bahasa dengan perasaan yang dicurahkan". Bahasa puisi itu bisa diibaratkan "sebagai pakaian yang basah melekat pada badan yang hidup, rapat melekap sehingga terbayang segala bentuk dan geraknya".

Kini kita tahu transparansi itu sebenarnya tak terjadi. Tak ada garis lurus semantik ketika kita mempertautkan puisi dengan tubuh.



II

Puisi Takdir membentuk sederet garis lurus yang cerah. Kecuali beberapa sajak berkabungnya dalam Tebaran Mega, bait-baitnya selalu ditutup dengan jawab yang final dan happy ending yang bersinar.

Lanskapnya mirip kanvas Dazentje dan Mas Pirngadi yang menghiasi dinding elite kolonial tahun 1930-an: gambaran "Mooi Indie". Dalam sajak-sajaknya kita dapatkan "mengombak padi", "indah berukir arca", "sekar indah bermegah", atau "daun rimbun mengalun". Prosa dan puisi STA adalah bangunan antusiasme: paragrafnya dihiasi cetusan superlatif ("maha indah", "dahsyat", "sesempurna-sempurnanya") yang berderap dalam crescendo.

Sajaknya yang terkenal, "Menuju ke Laut"—yang hendak menggambarkan perubahan hidup dari "tasik yang tenang" ke dalam laut yang penuh tantangan—juga tak melukiskan sebuah samudra yang ganas dan gelap. Laut Takdir adalah sebuah "gelanggang biru" yang mengandung "ombak ria"; angin bisa diajak "bergurau". Bahkan, jika ada yang retak dan rubuh, di dalamnya tetap tak ada kemelut, kepahitan, dan saat yang ngeri. Sebaliknya: yang terhempas malah berpendar, erang langsung berkait dengan suara kemenangan:

Gemuruh berderau kami jatuh,

terhempas berderai mutiara bercahaya.

Gegap gempita suara mengerang,

dahsyat bahna suara menang.

Keluh dan gelak silih berganti

pekik dan tempik sambut menyambut

Dalam sajak seperti itu, tak hanya optimisme yang menonjol, tapi juga, dan terutama, simetri dalam ritme: "gemuruh berderau" berpadanan dengan "terhempas berderai", dan "keluh dan gelak" dengan "pekik dan tempik".

Gelak, gurau, dan suasana cerah itu tak kita dapatkan dalam puisi sesudah-perang—sebuah perbedaan antara dua generasi yang tak selamanya dapat dijelaskan oleh Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin sendiri sebelum dan setelah mereka memberi judul kumpulan puisi mereka Tiga Menguak Takdir. Baru di tahun 1975 ada uraian yang menyangkut hal itu dengan mendalam—justru oleh STA, dalam sebuah telaah sepanjang 40 halaman dalam buku Perjuangan Tanggung Jawab Dalam Kesusasteraan.

Dalam telaah itu Takdir melacak sumber pengaruh puisi Chairil pada "revolusi lirik yang berlaku di Eropa pada pertengahan abad ke-19", yang dipelopori Baudelaire, Rimbaud, dan Mallarmé, dan lebih khusus lagi para penyair Belanda di antara dua Perang Dunia: Slauerhoff, Marsman, dan Du Perron.

"Revolusi lirik" itu menghasilkan sifat "kegelisahan" dan "ketegangan". Dari sini mengemuka "disonan", dan "penyair meninggalkan kemantapan harmoni." Tulis Takdir:

"Dengan alat disonan penyair baru dapat

mengemukakan vitalismenya yang agresif,

yang kadang-kadang malahan

menimbulkan pengaruh mengagetkan,

membangkitkan suatu shock pada si

pembaca atau pendengar sajak itu.



Si penyair dengan sengaja mencari

ucapan-ucapan dan cara-cara

mengucapkan yang tidak biasa sehingga

orang heran, malahan terkejut membaca

yang tak diduga-duganya... [hingga]

sering gelap dan penuh rahasia...".

Takdir juga mengutip Hugo Friedrich: bagi puisi modern, (kita bedakan dari "puisi baru" STA) "bukanlah dunia ini yang nyata, tetapi hanya kata". Mengutip sebuah analisa lain, Takdir juga melihat, puisi itu tak mementingkan pelukisan dunia, tapi "fungsi evokatif". Saya kira contoh terbaik adalah sajak Chairil Anwar, 1943:

Racun berada di reguk pertama

Membusuk rabu terasa di dada

Tenggelam darah dalam nanah

Malam kelam-mengelam

Jalan kaku-lurus. Putus

Candu.

Tumbang

Tanganku menadah patah

Luluh

Terbenam

Hilang

Lumpuh.

Lahir

Tegak

Berderak

Rubuh

Runtuh

Mengaum. Mengguruh

Menentang. Menyerang

Kuning

Merah

Hitam

Kering

Tandus

Rata

Rata

Rata

Dunia

Aku

Terpaku

Sajak ini tak dibangun oleh sebuah cerita. Yang kita rasakan perbedaan yang cepat dan mengejutkan dalam imaji dan bunyi – yang menyarankan terjadinya sesuatu yang dahsyat, eksplosif, dengan sebuah antiklimaks yang memunculkan satu dataran gersang dan lumat, rata, rata, rata....

Sejak semula, semua anasir rampat, tetapi juga rancu. "Aku" yang merasakan sakit berbaur dengan malam yang kelam dan jalan yang lurus kaku. Tak ada sebab-akibat. Seluruhnya hampir simultan dan tak dapat diramalkan. Di antara centang perenang itu mendadak ada kata "candu", kemudian muncul warna dasar berganti- ganti.

Yang terasa terjadi adalah menjauhnya orbit bahasa dari sebuah pusat epistemologis. Tak ada subyek yang kukuh. Malah si "aku" hanya muncul sesekali dalam pengalaman traumatis, tercegat oleh Antah Berantah—oleh sesuatu yang tak dapat dirapikan kata dan baris.

STA mengecam nada dasar seperti yang terasa di sajak ini sebagai "pesimisme". Baginya, puisi Chairil dirundung kesepian, dengan "perasaan kengeriannya, ketakutannya akan dunia sekitarnya yang tak dapat dikuasainya".

Kesimpulannya: puisi sesudah-perang "telah mengambil krisis Barat dan pesimisme Barat". Khususnya pesimisme antara dua Perang Dunia, ketika "kaum terpelajar dan seniman di Amerika dan Eropa" merasa "tiada berkuasa sedikit jua pun terhadap pembantaian manusia yang besar-besaran" di Barat itu". Takdir mengutip André Malraux: dalam seni "modern", tak ada lagi kepercayaan kepada manusia.

Di Indonesia, suasana tentu lain. Kemerdekaan membawa janji dan tekad manusia, dan subyektifitas membutuhkan wujud. Menirukan "pesimisme Barat" hanyalah sebuah epigonisme.

Namun, di sini agaknya STA mengabaikan satu hal: antara puisi sebelum dan sesudah-perang ada "perang". Sastra Indonesia tak berada jauh dari situ. Ada Hardo dalam novel Perburuan, bekas tentara Peta yang berontak terhadap tentara pendudukan Jepang, anak wedana yang meninggalkan ayahnya dan hidup bersama para pengemis berkudis; ada Farid dalam Di Tepi Kali Bekasi yang bersama pasukan gerilya yang seadanya dan dengan cita-cita yang tak selalu jelas, tetapi dengan pengorbanan yang habis-habisan. Ada Saaman yang harus membunuh ayahnya sendiri dalam Keluarga Gerilya.

Pengalaman itu tak kita temukan dalam sastra Pujangga Baru: persentuhan dengan darah, nanah, keadaan putus, rubuh, tumbang, di antara yang lahir, tegak dan mengaum.

* Goenawan Mohamad, Penyair dan Esais (Bersambung)

Sumber: Kompas, Minggu, 6 April 2008

No comments: