Thursday, January 31, 2013

Rektor Unpad Raih Rancage Sastra 2013

BANDUNG -- Rektor Universitas Padjadjaran (Unpad) Ganjar Kurnia mendapat penghargaan Hadiah Sastra Rancage 2013 untuk jasa dalam bahasa Sunda berkat keaktifannya dalam kegiatan kesundaan sejak mahasiswa dan gagasannya menyelenggarakan Hari Bahasa Ibu Internasional di Unpad.

Siaran pers panitia Rancage 2013 diterima Kamis, menyebutkan berkat gagasan Ganjar Kurnia, Unpad menjadi lembaga pertama di Indonesia yang memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional, yaitu kegiatan yang dipromosikan oleh UNESCO.

Untuk kategori karya sastra Sunda, panitia memilih Lagu  Padungdung, kumpulan sajak Deni A Fajar, sebagai pemenang.

Hadiah Sastra Rancage 2013 untuk sastra Jawa kategori karya diberikan kepada Pratisara, kumpulan cerita pendek karya Krisna Mihardja terbitan Leutikaprio, Jogjakarta. Sedangkan  Hadiah Sastra Rancage 2013 untuk  jasa dalam bahasa Jawa diberikan kepada JFX Hoery, penulis guritan dan cerita pendek bahasa Jawa.

Untuk sastra Bali 2013, penghargaan serupa diberikan kepada Sentana, roman pendek karya I Made Sugianto, terbitan  Pustaka Ekspresi. I Made Sugianto pernah mendapat Hadiah Sastra Rancage sastra Bali untuk jasa tahun 2012. Sedangkan  Hadiah Sastra Rancage sastra  Bali untuk jasa tahun 2013 diberikan kepada I Nyoman Suprapta.

I Nyoman Suprapta pernah bekerja sebagai guru agama  (1981-1997), dan kini memusatkan perhatian pada penulisan karya puisi tradisional Bali jenis geguritan.  Sejak  2000 Suprapta sudah menulis 100 judul geguritan, 80 di antaranya sudah diterbitkan sebagai buku.

Upacara penyerahan Hadiah Sastera Rancage dan Hadiah "Samsudi" 2013 akan dilaksanakan atas kerja sama Yayasan Kebudayaan Rancage dengan Universitas Padjadjaran di Kampus Unpad, di Jalan  Dipatiukur, Bandung, Mei mendatang.

Sumber: Antara, Kamis, 31 Januari 2013

Sunday, January 27, 2013

Keberantakan Sosial dalam Budaya Global

-- Hardi Hamzah


KETIKA publik dunia melalui jejaring sosial disibukkan oleh kultur ketakutan yang dimainkan oleh suku Maya dimana asal usulnya dari tanah berantakan Amerika Selatan, Mexico dan Guatemala, menjalarlah peradaban modern kultur global dalam keberantakan sosial.

Peradaban yang sedemikian canggih, mampu disalahgunakan oleh orientasi budaya dan peradaban anak turunan suku Inka. Padahal, kita pahami bersama, bahwa dalam mempercayai mitologi kuno kalender yang nota bene penuh kegaiban, yakni tentang kiamat. Ini berarti kita mundur 2000 tahun lebih semasa ada Zoroaster.

Nampaknya tidak ada jaringan sosial modern, bisa mengedepankan, bahkan menggemparkan orang-orang modern. Ya, katakanlah ini bisa komoditi budaya, tetapi anutan kita yang dijejaki oleh imprialisme modern, globalisasi dalam cengkraman neoliberalisme, kiranya sangat tidak kita sadari. Indikator akan hal ini dapat dilihat dalam proses budaya politik lokal, yang memainkan peran seniman lokal untuk menghantar mereka menjadi kekuasaan yang kapitalis tadi.

Kembali pada “kesibukan kita” beberapa waktu berselang tentang Jumat 21 Desember 2012 yang akan kiamat itu, anasir-anasirnya semakin kuat bagi psikopolitik kebudayaan. Dengan kata lain, kita sedang ikut kebudayaa global tanpa memilah esensi etika bangsa bangsa kita yang sejarahnya begitu gemilang. Ini penulis ajukan, karena “amnesia kita” terhadap kultur Indonesia, berakibat sedemikian fatal.

Contoh sederhana, enam bulan setelah salah satu gubernur mengejek kuda kepang adalah kebudayaan yang paling tidak menarik, secara ironi muncul gangnam style yang total kuda lumping ditonton oleh 1 milyar. Dalam bahasa yang lebih sederhana, kebudayaan global yang kita tangkap, hanyalah kesejarahan yang jauh dari semangat moralitas agama dan budipekerti.

Dalam pemahaman di atas, wahana jejaring sosial dalam konteks pembentukan budaya, ternyata kita pahami sebagai bagian yang cukup penting. Ini terbukti, bahwa bangsa yang penuh dengan moralitas agama tidak berupaya membangun peradaban melalui kebudayaan yang penuh budipekerti. Mungkin kita masih ingat tentang singkritisme Jawa, sungguh ia sarat mitologi dalam dimensi yang terbebaskan dari nilai global. Dan, ini tidak kita maknai sebagai suatu kekuatan.

Walaupun sukar kita untuk menutup mata, globalisasi yang tingkat transformatifnya yang sedemikian eksklaratif, justru sepantasnya kita tangkap ke dalam wilayah akulturasi budaya antara mitologi lama (baca: Amerika dan Eropa) dengan mitologi kekuatan Indonesia dalam diplomasi kebudayaan ketika pasca kemerdekaan.

Makin Tercecer
Dalam pemetaan itulah wilayah yang terpenting bagi kehidupan bangsa kita yang semakin tereduksi nasionalismenya, kiranya budaya dan atau kebudayaan itu sendiri benar-benar bersenyawa dengan etik dan moralitas agama, yang tentu saja bermuara pada budipekerti. Apa yang penulis uraikan di atas maksudnya, tidak ada pembauran yang naif dalam akulturasi budaya, karena kalau kita memandang suatu isu dalam etnisitas terbelakang, katakanlah Mexico dan Guatemala, Ini menjadikan semakin tergerusnya budaya bangsa kita. Sebagai contoh, di Jawa Barat lebih dari 52 budaya sekarang yang aktif hanya 16. Belum lagi kesenian tradisi dan foklor orang-orang diseputar Indonesia bagian Timur.

Dari sudut pandang di atas, harus ada impersonalisasi kultural, dalam arti setiap anasir kebudayaan Indonesia menjadi horizon kekuatan budaya lokal yang dikoordinasikan oleh pemerintah. Ini maksudnya, agar diplomasi kebudayaan yang selama ini kita pnadang sebagai dunia lain diluar wilayah realitas kerja fraksis kita, sesungguhnya menyulut disintegrasi dan potensi konflik.

Jejaring sosial memang tidak tertolakkan, namun keterjebakan masyarakat Asia, khususnya Indonesia yang mengutamakan demokrasi, cenderung memandulkan diplomasi kebudayaan, hal ini sebagai resultante “pengaruh kepercayaan” semu terhadap mitologi bangsa yang tidak maju, seperti yang ditransformasikan oleh suku Maya.

Perlawanan terhadap kebudayaan global dalam konteks mitologi historis, sesungguhnya telah ditunjukkan oleh jaman kenabian, dan ini jauh dari era renaisans. Mengapa kemudian proses prilaku budipekerti untuk membentuk kebudayaan dalam peradaban Indonesia modern, justru tertinggal jauh dibelakang India, Brazil bahkan negara kecil seperti Venezuela. Dalam kaitan ini, mungkin kita perlu kekuatan budaya Asia ketika Ciang Kai Sek di awal abad 20 memainkan kultur stratifikasi masyarakat kekaisaran Cina, dus ia mampu mensustainable pola hubungan terhadap pembentukan suatu peradaban.

Demikian pula Bung Karno dengan Trisaktinya, Mao Zedong dengan revolusi kebudayaan, Deng Xiao Ping dengan empat kebijakan Deng dalam proses ekonomi kebudayaan, ini indikator terhadap mitologi yang dibangun secara perspektif.

Dalam khazanah yang gugusan yang pluralis sebagaimana Indonesia dengan struktur demografi yang sedemikian dominan, dapatlah dikatakan bahwa, kita semakin tercecer pada jargon SARA, ini kuno namanya. Seharusnya penetrasi budaya Asia, Afrika, Amerika Latin dan Eropa pada umumnya, penetrasinya terekam pada jejak langkah mitologi kebudayaan daerah kita.

Di Belanda, misalnya, kita menemukan suatu kekuatan konveksi yang berusia 104 tahun tanpa pudar. Di Jerman, kita menjual kekuatan tradisi silat yang menjadi bagian transformasi penari yang kondang di manca negara, seperti Eko Budi Santoso. Ini artinya, bahwa menghadapi kebudayaan global yang bermuara dari imperialisme, kita harus mengidentifikasi jati diri, sehingga dalam kita menangkap budaya global tidak mengalami keberantakan sosial.

Hardi Hamzah, Peneliti Madya Mahar Indonesia Foundation

Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Januari 2013

[Buku] Mencari Banten di Dalam Fiksi

Data buku

Banten Suatu Ketika
Guntur Alam dkk.

Banten Muda Community

I, Desember 2012

164 hlm.

SEORANG bocah pengasong di Pelabuhan Merak, Banten, mengalami aneka tekanan. Mulai dari ibunya yang gemar judi dan merampas uang hasil jualannya, pemerasan dan kekerasan seks dari preman pelabuhan, sampai tekanan gurunya di sekolah lantaran berbula-bulan nunggak bayar lembar kerja siswa (LKS).

Seiring dengan aneka tekanan tersebut si bocah kemudian tumbuh menjadi pribadi yang terpecah (split perosnality?). Sekali waktu ia menjadi lelaki gagah berani yang mampu menghajar ibunya dan sang preman menggunakan termos air panas, pada waktu yang lain ia menjadi bocah lelaki penakut yang menyedihkan dan berkali-kali jadi korban empuk pemerasan dan kekerasan seks preman pelabuhan. Sementara pada waktu yang lain lagi ia menjadi gadis cantik berkulit kuning langsat yang menikmati kasih sayang dan hubungan intim dengan Kang Asep, lelaki gay pemilik toko yang murah hati memodali para bocah pengasong berjualan di Pelabuhan Merak.

Kisah-kisah tentang kekerasan seksual dan praktik homoseksualitas di kalangan bocah-bocah pengasong dan anak jalanan umumnya, orang tua yang kejam, serta kemiskinan yang memantik aneka persoalan yang khas seperti di atas, tentu saja bisa terjadi di pelabuhan mana pun di negeri ini, bahkan di seluruh sudut bumi. Hanya saja, mengemasnya menjadi sebuah cerpen yang segar dalam teknik bertutur, tangkas dalam berbahasa, serta selesaian yang dipilih, inilah tidak banyak pengarang cerpen kita yang dapat melakukannya.    

Cerpen “Tiga Penghuni dalam Kepalaku” garapan Guntur Alam dalam buku bunga rampai cerita pendek bertajuk “Banten, Suatu Ketika” ini satu dari yang segelintir itu. Pilihan Guntur menggunakan kata ganti orang pertama tunggal ‘aku’ sebagai penutur sangat tepat dalam memantik efek dramatik serta pergerakan alur yang dinamis.

“Aku” yang di dalam dirinya hidup tiga karakter yang berbeda satu sama lain, merasa asing dengan dirinya. Tiga karakter yang mengendalikan ‘aku’ sehingga ‘aku’ mampu bertindak di luar kontrol ‘aku’ yang tak lain si bocah lelaki usia sekolah dasar yang harus membiayai sendiri hidup dan sekolahnya. Apakah terdapat kaitan antara ketertekanan bertubi-tubi dengan keterpecahan pribadi yang merundung ‘aku’? Ini tentu terbuka untuk diperdebatkan lebih jauh.

Namun, cerpen inilah yang memenangi sayembara menulis cerpen Banten Muda Award 2012 sebagai juara pertama,  menyisihkan tiga ratusan cerpen lainnya. Dan justru di situlah barangkali persoalannya. Bunga rampai berisi 15 cerpen hasil sayembara menulis cerpen Banten Muda Award 2012 yang diselenggarakan tabloid Banten Muda ini mengharuskan cerpen mengusung tema Banten sebagai syarat utama untuk mengikuti sayembara.

Ihwal persyaratan tema Banten ini yang sejak awal dirundung sejumlah masalah. Sekurangnya ada dua masalah terkait Banten sebagai tema. Pertama, seperti diakui salah seorang juri, sebagai sebuah provinsi, Banten tidak memiliki kekhasan yang tegas dari sisi budaya dengan Jawa Barat yang beretnik Sunda.
Hal ini dapat dilihat dari fakta bahwa tradisi yang hidup di Banten pada saat yang sama juga berkembang di Jawa Barat dan sebaliknya, tradisi masyarakat di Jawa Barat, menghidupi pula masyarakat yang tumbuh di Banten. Tengoklah dari sisi bahasa sebagai elemen utama suatu budaya. Bahasa sehari-hari yang digunakan sebagian besar masyarakat Banten adalah bahasa Sunda. Sebagian kecil lainnya menggunakan bahasa Jawa, itu tak lain bahasa Jawa Serang (Jaseng) yang merupakan varian dari bahasa Jawa Cirebon, wilayah paling timur Jawa barat. Dengan kata lain, Banten tidak memiliki bahasa sendiri.

Kedua, sebagai etnik. Orang Banten tak lain adalah etnik Sunda. Jika ditelusuri sejarahnya, leluhur orang Badui yang tinggal di pedalaman Lebak, tak lain berasal Pajajaran yang sekarang merupakan wilayah Bogor. Sejumlah sejawaran meyakini mereka adalah warga Pajajaran yang mengasingkan diri ke wilayah kulon lantaran menolak agama baru (Islam). Maka berdasarkan fakta-fakta ini, mengukur “kadar” kebantenan sebuah cerpen dalam konteks sayembara ini menjadi persoalan yang rumit.

Sehingga dapat dimaklumi jika juri memilih cerpen “Tiga Penghuni dalam Kepalaku” sebagai pemenang, kendati cerpen ini menjadikan Banten semata sebagai setting tempat. Demikian pula cerpen juara kedua “Bebek Panggang Nyai Pohaci” garapan Ank Ariandi yang mengangkat khazanah dongeng tentang Nyai Pohaci (dewi padi). Dongeng tentang dewi padi tidak hanya hidup di kalangan masyarakat kampung di pelosok Banten. “Perempuan Lesung” besutan Richa Miskiyya yang menyabet juara ketiga, setali tiga uang dengan cerpen Guntur Alam dan Ank Ariandi. Sebuah kisah tentang kasih tak sampai yang telah menjadi cerita umum dalam khazanah sastra di mana pun. 

Duabelas cerpen lainnya kurang lebih menunjukkan kecenderungan serupa. Menempatkan Banten semata sebagai setting tempat. Mulai dari yang bercerita tentang penggunaan ilmu mistik untuk meraih jabatan seperti tampak pada cerpen “Teluh” karya Skylashtar Maryam, menjadikan keluguan masyarakat tradisional Badui sebagai nilai ideal dalam “Limbur Singkur” karya Ikal Hidayat Noor, serta tempat-tempat di Banten lainnya yang ditulis dengan semangat turistik nan sentimentil.

Aris Kurniawan, cerpenis

Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Januari 2013

Pesan Moral dalam Cerpen ’’Gadis Penenun Tapis’’

-- Edi Sarjani

SIAPA yang tak kenal novel Siti Nurbaya? Hampir dapat dipastikan setiap orang yang pernah mengenyam pendidikan formal akan tahu dan akrab  dengan novel tersebut. Bahkan masyarakat juga mengetahui tokoh-tokohnya, termasuk tokoh antagonis Datuk Maringgih. Tokoh Datuk Maringgih dalam novel Siti Nurbaya digambarkan sebagai tokoh yang buruk, jahat, keji dan sebagainya.

Ia dianggap sebagai rentenir yang menyusahkan banyak orang dan juga predikat-predikat lain yang negatif terhadap Datuk Maringgih tersebut. Bahkan, sampai novel tersebut diangkat ke layar lebar pun, tokoh Datuk Maringgih tetap digambarkan sebagai tokoh antagonis, yaitu tokoh yang cenderung dipersepsikan negatif oleh sebagian besar orang.

Sebuah cerita tentang kasih tak sampai, cerita yang sangat apik dikarang oleh Marah Rusli terbitan Balai Pustaka di era 1920-an. Dengan latar belakang adat budaya Minangkabau, novel ini berkisah tentang percintaan sepasang kekasih, Siti Nurbaya dan Samsul Bahri yang gagal karena keadaan dan budaya pada masa itu. Siti Nurbaya dipaksa menikah dengan saudagar kaya tapi sudah tua yang bernama Datuk Maringgih. Kisah cinta yang berakhir tragis karena ia bunuh diri.

Pada masa itu memang tak ada gadis yang berani menentang orangtuanya apalagi masalah jodoh, meskipun umurnya masih belasan tahun, orangtua sudah mempersiapkan jodoh untuk anak gadisnya kelak. Itu yang pernah dikatakan oleh orang-orang tua ketika bercerita tentang masa mudanya.

Sekarang budaya perjodohan sudah mulai berkurang, hampir semua anak gadis menentang perjodohan, mereka selalu bilang ‘’ini bukan zaman Siti Nurbaya. Sebenarnya tidak ada orang tua yang ingin melihat anaknya sengsara, meski mungkin orangtuanya Siti hanya melihat dari kacamata materi semata. Segalanya butuh uang tapi uang bukan segalanya. Hari ini siapa yang  tak butuh uang. Bahkan di zaman sekarang ini telah muncul manusia-manusia yang mendewakan uang. Mereka berpikir dengan uang bisa membeli segalanya. Tak salah jika ada orangtua yang menjodohkan anaknya karena uang, mungkin orangtuanya tak mau melihat anaknya hidup kekurangan. Tapi bukankah masih ada jalan lain?

Lalu dalam cerpen ‘’Gadis Penenun Tapis’’ nampaknya pengarang sengaja mengambil setting dan latar yang setidaknya mengambarkan kondisi kekhawatiran yang sangat akut orangtua terhadap anak tentang kebahagiaannya dan memvonis bahwa pendidikan itu tidak akan membuahkan hasil.

‘’Cukuplah kau sekolah sampai tamat SMA saja. Kau itu perempuan, percuma sekolah tinggi-tinggi, tak bakal jadi orang. Lebih baik kau tunak di rumah menenun tapis untuk menghasilkan uang. Lagi pula gadis seumuran kau sudah sepantasnya berumahtangga. Abah juga ingin sekali kau cepat-cepat menikah.’’

Di kalangan orangtua kadang hanya slogan anak durhaka kepada orangtua tetapi sesungguhnya pada hari ini banyak orangtua yang durhaka kepada anaknya bagaimana mungkin? Kita banyak menemukan anak yang ingkar kepada orangtua. Kita kadang-kadang jengkel kepada mereka bila tidak pernah sejalan dengan kemauan orangtua. Bila anak tidak mengerjakan perintah, otak kita yang telah terisi oleh akumulasi ilmu dan pengetahuan agama sejak anak-anak dahulu hingga sekarang menjadi orangtua, mungkin langsung memberikan perintah kepada tangan untuk memukul dan mulut untuk mengucapkan kata-kata makian, celaan dan umpatan. Kondisi ini perlu diwaspadai bila tindakan dan ucapan dari perintah otak itu sudah turun ke hati dan menjadi sebuah keyakinan lalu memunculkan sebuah kesimpulan, bahwa sang anak telah durhaka kepada orangtua. Anakku, mana baktimu? Pernyataan seperti ini kadang-kadang membangun pemahaman yang tidak berimbang pada orangtua. Mereka selalu menuntut agar hak agama ini terpenuhi dan bila tidak terpenuhi selalu anak yang disalahkan.  

Seseorang pernah datang kepada Umar bin Al-Khaththab ra dan mengadukan anaknya, ‘’Anakku ini benar-benar telah durhaka kepadaku.’’ ‘’Apakah engkau tidak takut kepada Allah dengan durhaka kepada ayahmu, Nak? Karena itu adalah hak orangtua,’’ kata Umar kepada sang anak. ‘’Wahai Amirul Mukminin, bukankah anak juga punya hak atas orangtuanya?’’ ‘’Benar, haknya adalah memilihkan ibu yang baik, memberi nama yang bagus, dan mengajarkan Al-Kitab (Alquran).’’

‘’Demi Allah, ayahku tidak memilihkan ibu yang baik. Ibuku adalah hamba sahaya jelek berkulit hitam yang dibelinya dari pasar seharga 400 dirham. Ia tidak memberi nama yang baik untukku. Ia menamaiku Jual. Dan dia juga tidak mengajarkan Alquran kepadaku kecuali satu ayat saja.’’ Ju’al adalah sejenis kumbang yang selalu bergumul pada kotoran hewan. Bisa juga diartikan seorang yang berkulit hitam dan berparas jelek atau orang yang emosional. ( Al-Qamus Al-Muhith, hal. 977).

Umar menoleh ke sang ayah dan berkata, ‘’Engkau mengatakan anakmu telah durhaka kepadamu tetapi engkau telah durhaka kepadanya sebelum ia mendurhakaimu. Pergilah Engkau  dari hadapanku!.’’ ( As-Samarqandi, Tahbihul Ghafilin, 130).

Ibnul Qayyim berkata, ‘’Siapa yang mengabaikan edukasi yang bermanfaat untuk anaknya dan membiarkannya begitu saja, maka ia telah melakukan `tindakan terburuk terhadap anaknya itu. Kerusakan anak-anak itu kebanyakan bersumber dari orangtua yang membiarkan mereka dan tidak mengajarkan kewajiban-kewajiban dan sunnah din ini kepada mereka. Mereka tidak memperhatikan masalah-masalah agama tersebut saat masih kecil, sehingga saat sudah besar mereka sulit meraih manfaat dari pelajaran agama dan tidak bisa memberikan manfaat bagi orangtua mereka.’’ (Tuhfatul Maudud, I: 229).

Karena itu, jangan tergesa-gesa mencela anak. Ada banyak hak anak atas orangtuanya. Bila salah satu sisinya diabaikan, lalu anak menjadi bandel, menyimpang, dan keras kepala, ada kemungkinan kita tidak memperhatikan sisi tersebut.

Dalam cerpen ‘’Gadis Penenun Tapis’’ yang dimuat pada 13 Januari 2013, di sana mengambarkan seolah-olah anaklah yang menjadi perusak harapan orangtuanya. Seharusnya ia menilai kembali sejauh mana peranannya dalam mendidik anak tersebut, sehingga kelak harapan itu memang menjadi kenyataan. Dan di akhir cerita  pengarang terlalu memaksakan diri dan tergesa-gesa untuk mengakhiri cerita itu dengan agak sadis dan rasanya kurang sempurna jika harus demikian.

Bukkk!! Pukulan keras itu menghantam wajah Mak. Tubuh Mak terjungkal, kepalanya membentur dinding. Darah segar muncrat, berhamburan di lantai. Namun Mak yang terkapar di lantai tak mampu mendengar apapun lagi. Tubuh Mak telah dingin membeku. n

Edi Sarjani, Peminat sastra, bermastautin di Pekanbaru.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 27 Januari 2013



Jurnalisme Sastra dan Novel Sarongge

-- M Badri

MENGAWINKAN sastra dengan jurnalisme bukan hal terlarang. Keduanya berasal dari akar yang sama, budaya teks/tutur. Budaya yang sudah mengakar pada manusia sejak berpuluh abad silam. Realitanya banyak jurnalis yang kemudian menjadi sastrawan. Sebut saja Goenawan Mohamad, Rida K Liamsi, Seno Gumira Ajidarma (SGA), Leila S Chudori, Akmal Nasery Basral, Hasan Aspahani, Hary B Koriun dan banyak nama lainnya. Bahkan SGA dalam buku Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara menegaskan bahwa dalam bentuk fakta (karya jurnalisme) maupun fiksi (karya sastra), kebenaran adalah kebenaran- yang getarannya bisa dirasakan setiap orang.

SGA menggugat definisi soal kebenaran yang seringkali terlalu ketat. Sebab dalam dunia jurnalisme, kebenaran seringkali dipersempit hanya terletak pada fakta-fakta pemberitaan berupa teks dan foto. Sementara bentuk pesan lainnya semacam cerpen dan puisi hanya dianggap sebagai fiksi, bukan kebenaran. Padahal sejatinya sastra juga merupakan jalur pengungkapan kebenaran. Sastra adalah cermin realitas. Dalam konteks ini, jurnalisme dan sastra bisa menjadi medium untuk mengomunikasikan kebenaran.

Toh, kenyataannya dunia jurnalisme juga tidak lepas dari konstruksi informasi fiktif. Bahkan media sebesar New York Times dan The Washington Post juga tak luput dari muslihat jurnalisme fiksi yang dilakukan wartawannya. Salah satu yang menonjol adalah kasus Janet Leslie Cooke, yang menulis artikel ‘’Dunia Jimmy’’ dan dimuat di The Washington Post pada 28 September 1980. Laporan itu mendapat penghargaan Feature Terbaik Pulitzer 1981. Belakangan, ketahuan bahwa artikel tentang bocah pencandu heroin di kawasan kumuh Washington DC itu bohong dan sosok Jimmy hanyalah rekaan Cook.

Tapi sastra dan fiksi jelas dua hal yang berbeda. Maka jurnalisme sastra dengan jurnalisme fiksi tidak bisa disamakan. Fiksi dalam KBBI diartikan sebagai cerita rekaan, khayalan, tidak berdasarkan kenyataan dan pernyataan yang hanya berdasarkan khayalan atau pikiran. Sedang sastra lebih kepada bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai. Maka ketika menyebut jurnalisme sastra, pikiran kita harus dibebaskan dari kata: fiksi.

Jurnalisme Sastra
Membicarakan jurnalisme erat kaitannya dengan proses mengumpulkan data dan fakta lalu mengkonstruksinya menjadi sebuah cerita (berita). Dalam perkembangannya, bentuk penulisan berita tidak sebatas straight news dengan model piramida terbaliknya. Munculnya genre jurnalisme sastra (atau sastrawi) membuka ruang bagi jurnalis untuk merekonstruksi fakta menjadi sebuah teks, yang membawa imajinasi pembaca untuk berdialog dengan objek yang diberitakan. Dengan teknik seperti ini, imajinasi pembaca akan menangkap sebuah gambaran peristiwa seperti membaca cerpen atau novel.

Istilah jurnalisme sastra berawal dari buku antologi The New Journalism berisi narasi-narasi terkemuka sejumlah jurnalis Amerika Serikat, yang dirangkai Tom Wolfe pada tahun 1973. Wolfe menyebutkan empat karakter dalam melakukan pemberitaan dengan menggunakan teknik jurnalisme sastra. Pertama, pemakaian konstruksi adegan per adegan. Kedua, pencatatan dialog secara utuh (percakapan, bukan kutipan dan pernyataan). Ketiga, pemakaian sudut pandang orang ketiga. Keempat, mencatat secara rinci karakter, perilaku dan berbagai simbol kehidupan orang-orang yang muncul dalam peristiwa.

Wolfe juga menegaskan bahwa jurnalisme baru tersebut bukan fiksi. Ia harus memenuhi kaidah jurnalistik ketat untuk aspek akurasi faktual dan kebenaran sumber. Berdasarkan konsep jurnalisme sastra tersebut, maka lumrah saja kalau karya jurnalistik ditulis serupa karya sastra: novel, cerpen dan puisi. Asalkan konstruksi teksnya tidak menyimpang pada proses jurnalisme. Lalu apa pula sastra jurnalisme?

Sastra Jurnalisme
Belum lama ini bertambah lagi jurnalis yang melahirkan novel. Tosca Santoso, setelah lebih dua dekade bertualang di dunia jurnalisme, menerbitkan novel berjudul Sarongge. Novel setebal 384 halaman yang diterbitkan Dian Rakyat pada September 2012 tersebut mengangkat tema tentang lingkungan, cinta dan kemanusiaan (juga ditulis: hutan, manusia dan cintanya). Karena gaya penulisannya sebagian serupa karya jurnalisme maka, maka saya gunakan istilah ‘’sastra jurnalisme’’.

Gaya penulisan sastra seperti ini sering saya jumpai pada karya sastra yang ditulis oleh sastrawan yang (pernah) berprofesi sebagai jurnalis. Barangkali karena dalam keseharian selalu berkutat dengan reportase dan penulisan teks jurnalisme, maka gaya tersebut kadang terbawa pada penulisan sastra. Ciri-cirinya antara lain dapat dilihat pada gaya penulisan yang banyak didasari fakta lapangan, data-data pendukung dan munculnya idealisasi dan idealisme dalam konstruksi peristiwa.

Tapi berbeda dengan jurnalisme sastra yang mutlak bersandar pada kebenaran, ‘’sastra jurnalisme’’ tidak diharamkan memasukkan unsur, latar dan penokohan fiktif. Itulah seninya, seperti yang saya lihat pada novel Sarongge. Seperti Green Radio dan program adopsi pohon adalah sesuatu yang nyata dan dilakukan di Sarongge, perkampungan di lereng Gunung Gede Pangrango --lokasi yang juga nyata. Termasuk organisasi Ksatria Pelangi (Rainbow Warrior adalah nama kapal organisasi lingkungan hidup Greenpeace) tempat tokoh Karen memilih jalurnya sebagai pegiat lingkungan.

Nama Ksatria Pelangi tersebut langsung mengarahkan saya pada Greenpeace, organisasi lingkungan yang pernah melakukan aksi di Teluk Meranti, Pelalawan, Riau. Aksi itu juga terekam jelas dalam bagian kelima buku ini (hal. 87-113). Cerita latar belakang kasus, kronologis dan rangkaian aksi mulai pembuatan bendungan dan penyanderaan ekskavator yang terjadi pada bagian ini, benar terjadi pada akhir 2009 lalu di Riau. Juga perusahaan yang ditulis PT Sinar Tembaga segera mengarahkan kita pada PT Sinar Mas. Bahkan pada beberapa bagian Tosca menulisnya serupa karya jurnalistik.

Baca misalnya: Eksploitasi lahan gambut oleh para pengusaha hitam, terjadi karena dukungan para pejabat juga. Di Kabupaten Pelalawan, misalnya, belasan izin dikeluarkan bupati, untuk mengolah hutan gambut yang mestinya dikonservasi. Empat puluh persen dari area hutan gambut di sekitar Teluk Meranti ini, sudah dialokasikan untuk Hutan Tanaman lndustri. Bupati mengeluarkan izin itu, bukan tanpa sogokan. Setiap surat diberi bandrol Rp2 miliar. Maka muluslah rekomendasi kabupaten itu. Dan, kalau sudah diberi rekomendasi daerah, biasanya Departemen Kehutanan akan meluluskan izin yang diajukan. Meski belakangan, bupati yang menandatangani surat-surat itu menjadi tahanan karena sangkaan korupsi. (hal. 90).

Namun Karen yang mengikatkan diri di buldozer apakah nyata? Setelah saya telusuri di situs Greenpeace dan beberapa berita media, ternyata memang ada seorang wanita Indonesia yang bertahan mengikatkan diri di belalai ekskavator. Tapi dia bukan alumni IPB seperti tokoh Karen. Salah seorang wanita dan alumni IPB yang saya tahu ikut aksi di sana hanya melingkari buldozer dengan paralon. Kebetulan dia sahabat saya sewaktu sama-sama kuliah di IPB dan setahu saya dia tidak seperti penggambaran tokoh Karen dalam novel itu. Tapi itulah ‘’sastra jurnalisme’’, meramu fakta dan fiksi menjadi sebuah cerita yang ‘berisi’.

Novel ini memang tergolong berat untuk pembaca awam, kita diajak membaca karya jurnalistik, sastra sekaligus karya ilmiah. Di banyak bagian, Tosca menuliskan berbagai referensi ilmiah tanaman hutan dan tanaman obat. Seperti penamaan tanaman, teknik penanaman, manfaat untuk kesehatan dan sebagainya, memberikan kita pengetahuan baru. Salah satu yang menarik adalah bagian ‘’Mengenal Tumbuhan Kontrasepsi’’ (hal. 135-137).

Dari situ saya berasumsi latar belakang pendidikan Tosca di IPB dan kedekatannya dengan dunia penelitian, mempunyai andil besar untuk tidak sekadar menyajikan cerita tapi juga referensi botani. Sebagaimana diungkapkan antropolog Clifford Geertz, pekerjaan jurnalis berdekatan dengan pekerjaan peneliti. Sama-sama menggambarkan secara detail data dan fakta. Maka ketika jurnalis-peneliti menulis sastra, hasilnya seperti novel Sarongge.

Saya merasa penting mengaitkan latar belakang penulis dengan karyanya. Seperti yang juga ditulis Ayu Utami dalam bagian pengantar buku ini: Orang bisa membaca buku ini tanpa mengaitkannya dengan sosok penulis. Tapi saya merasa penting menekankan biografi penulisnya di sini, sebab pengenalan itu membuat kita percaya bahwa ide dan ideal yang ditawarkan buku ini bukan impian yang melambung-lambung. Tempat-tempat yang disebut di sini bukan khayalan petualangan, melainkan pernah dikunjungi penulis. Tokoh utamanya bukanlah fantasi yang mengelus-elus ego pengarang, seperti masih banyak kita temukan dalam novel-novel kita hari ini. Buku ini memang mengandung banyak idealisasi, juga idealisme, yang konsisten dengan perjuangan penulisnya sendiri (hal. xi).

Kolaborasi jurnalisme, ilmiah dan sastra dalam novel Sarongge bagi saya merupakan kelebihan novel pertama Tosca ini. Apa kekurangannya? Semua karya sastra pasti ada titik lemahnya. Namun saya bukan kritikus. Saya tidak akan membedah terlalu dalam untuk menemukan sisi buruk dari novel ini. Saya juga tidak akan menceritakan ending-nya, yang -kata penulisnya sendiri saat diskusi buku di Bandar Serai Pekanbaru (12/01/2013)- mendapat kritikan dari sejumlah pembaca.

Mirip Rahasia Meede, novel sejarah yang banyak mengulas kawasan kota tua Jakarta (ES Ito, 2007), Tosca juga banyak menulis detil lokasi, terutama di kawasan Gede Pangrango. Lokasi eksotis, terutama penelusuran sumber air dan hutan di sekitar Sarongge. Sampai menemukan buah konyal dan pepohonan puspa, rasamala dan ki hujan. Bedanya Tosca tidak menyertakan peta lokasi tersebut. Hanya ada tiga peta dalam buku ini, perjalanan Ksatria Pelangi ke Pulau Rote dan sekitarnya (hal. 212), Tanimbar (hal. 281) dan Papua (hal. 311). Sementara Sarongge dan Gede Pangrango sebagai titik sentral cerita malah tidak ditampilkan. Barangkali kalau buku ini cetak ulang, Tosca bisa menyisipkannya. Lalu dilanjutkan dengan kegiatan Jejak Alam Sarongge, seperti halnya wisata Napak Tilas Jejak Rahasia Meede, untuk menjawab dahaga imajinasi pembaca.***

M Badri, Sastrawan dan pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi UIN Suska Riau.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 27 Januari 2013



[Jejak] Kasma Booty: Elizabeth Taylor Malaya Asal Medan

KASMAH Binti Abdullah atau lebih dikenali sebagai Kasma Booty lahir 1932 dan meninggal 1 Juni 2007. Dia merupakan salah seorang seniwati dan primadona film Melayu era 1940-an,19 50-an hingga  penghujung 1960-an. Kasma Booty dilahirkan di Kisaran, Medan, Indonesia berdarah kacukan Belanda dan Jawa berasal dari keluarga seni. Sama seperti P Ramlee, Kasma Booty telah diuji bakat oleh BS Rajhans dan menjadi pelakon di Malay Film Productions. Kasma pernah menjadi pasangan P Ramlee dalam film Bakti, Sejoli, Juwita dan Damaq.

Sebelum bergelar bintang film, Kasma terlebih dahulu bergiat sebagai pelakon teater tradisional Bangsawan dengan kumpulan Rayuan Asmara di Medan pada usia belasan tahun. Kesempitan hidup mendorong Kasma untuk berdikari dan sejak belasan tahun lagi, Kasma telah membawa diri merantau ke Malaysia (waktu itu Malaya) dan mendapat kerja sebagai pelakon Bangsawan di Pulau Pinang dan Singapura.

Kasma memulakan kerjaya lakonan di usia muda disebabkan kesempitan hidup sejak berusia 14 tahun. Film pertama yang dibintanginya ialah Chempaka (1947), diikuti film Pisau Berachun (1948), Nur Asmara, Rachun Dunia, Bakti, Dewi Murni, Sejoli (1951), Juwita, Manusia, Mahsuri (1958), Keris Sempena Riau, Selendang Merah, Siti Payung, Ratapan Ibu, Tangkap Basah, Anak Manja dan Ragam P Ramlee (1964).

Pada 1952 pula, dia berhadapan dengan kontroversi terhadap pengurusan Shaw Brothers sehingga berlarutan ke mahkamah. Namun, demi mempertahankan prinsip dan marwah dia membuat keputusan menarik diri daripada membintangi film Antara Senyum dan Tangis. Pada 1958, atas permintaan Tunku Abdul Rahman, Kasma berlakon film Mahsuri terbitan Cathay Keris.

Pada era akhir keikutsertaannya dalam lakonan, Kasma banyak berlakon dalam film terbitan Studio Merdeka di Hulu Klang. Antaranya Keris Sempena Riau, Selindang Merah, Ratapan Ibu (L Krishnan), Siti Payong, Tangkap Basah, Anak Manja (Salleh Ghani) dan Ragam P Ramlee (P Ramlee).

Di zaman kegemilangannya juga dia pernah mendapat julukan sebagai Elizabeth Taylor Malaya dan Ratu Film Melayu karena kejelitaan paras wajahnya. Tak hanya memiliki rupa paras yang jelita, dia mempunyai segala aura dan kharisma yang diperlukan sebagai seorang primadona Melayu pada zaman meledaknya film Melayu klasik di Jalan Ampas, Singapura satu ketika dulu. Tidak heran mengapa dia turut dihormati seniman dan seniwati seperjuangannya pada zaman itu, tidak terkecuali Seniman Agung, Tan Sri P Ramlee sendiri.

Namun setelah membintangi hampir 20 buah film Kasma bertekad meninggalkan dunia seni pada 1992. Di usia tuanya, beliau banyak menghadapi masalah kesehatan dan banyak menghabiskan masa menumpukan perhatian terhadap ibadahnya dan duduk bersama anak-anak dan cucunya di kediamannya di Klang Gate, Hulu Klang.

Dia telah mendirikan rumahtangga dengan dengan Jacob Booty dan dikurniakan lima anak. Nama kelima-lima anaknya diambil bersempena dengan judul film yang pernah dilakonkannya. Dia menghembuskan napas terakhir pada hari Jumat, 1 Jun 2007, pukul 2 pagi di Hospital Ampang ketika berusia 75 tahun selepas sekian lama menghidap komplikasi paru-paru berair. Jenazah beliau selamat dikebumikan di Tanah Perkuburan Kampung Klang Gate, Selangor pada hari yang sama.

Anugerah yang pernah diraihnya antara lain Anugerah Merak Kayangan bagi Pelakon Wanita Veteran di Festival Film Malaysia ke-7 (1987) di Melaka dan Anugerah Khas Juri di Pesta Film Asia Pasifik ke-35 di Kuching pada 1990.(fed/berbagai sumber)

Sumber: Riau Pos, Minggu, 27 Januari 2013



Saturday, January 26, 2013

Memahami Spesifikasi Fiksi Ilmiah

-- Herry Firyansyah

ISTILAH fiksi ilmiah yang terbentuk dari dua kata paradoks dapat dijelaskan demikian : Fiksi adalah cerita prosa yang berdasarkan imajinasi atau angan-angan penulisnya. Ilmiah berarti bersifat ilmu pengetahuan. Unsur ilmu pngetahuan dalam hal ini masih berupa gagasan, belum terwujud dalam kenyataan.

    Salah satu fiksi ilmiah klasik yang terkenal misalnya From the Earth to the Moon karya Jules Verne yang ditulis pada abad ke-18. Sepanjang pengetahuan saya inilah fiksi ilmiah pertama tentang penerbangan ruang angkasa.

    Berbicara tentang fiksi ilmiah kita bisa kecewa berat terhadap khazanah fiksi Indonesia. Kita belum memiliki fiksi ilmiah. Tetapi hal itu tidak merupakan indikasi Indonesia belum meliki iptek. Fiksi telah banyak ditulis. Iptek telah dikembangkan dan diaplikasi. Masih ada faktor yang menyebabkan belum munculnya ilmiah dalam khazanah fiksi Indonesia.

    Dari sifat spesifiknya fiksi ilmiah lahir dari seorang penulis fiksi yang terampil sekaligus berselera tinggi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketrampilannya mengolah imajinasi disintesekan dengan ketrampilannya berimajinasi dalam ilmu pengetahuan. Penulis fiksi ilmiah harus menguasai dasar-dasar ilmu pengetahuan. Sebab dalam fiksi ilmiah terdapat ungkapan-ungkapan rasional.

    Hal lain yang mendorong lahirnya fiksi ilmiah adalah kebebasan berfikir. Maksudnya adalah bebas dalam menginterpretasikan pengalaman keilmuan dalam kenyataan dan bebas pula mengekspresikan dalam bentuk fiksi.

    Seorang penulis fiksi ilmiah adalah pencipta (cerita) yang melampaui zamannya. Gagasan ilmiah yang diungkapkan dalam fiksinya mungkin masih sangat asing bagi masyarakat zamannya. Resiko paling niscaya bagi seorang penulis fiksi ilmiah adalah diejek atau dicemooh oleh masyarakatnya. Hal ini wajar karena reaksi masyarakat itu merupakan salah satu refleksi kebebasan berfikir. Jules Verne tak pernah ambil pusing dengan ejekan budayawan dan ilmu sezamannya.

    Kedua faktor itu belum dimiliki oleh penulis fiksi kita. Tampaknya para penulis fiksi kita belum mau mengakrabi ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebaliknya seorang ilmuwan yang punya ketrampilan menulis masih merasa tabu mengembangkan imajinasinya; karena imajinasi masih dianggap kurang berharga bagi dunia ilmu. Dari dua kutub yang paradoks dan tertutup itu tak mungkin lahir fiksi ilmiah; sebab masing-masing menganggap dunianya tak ada hubungannya satu dengan lainnya.

    Kebebasan berfikir dan berpendapat, seperti halnya para intelektual dan budayawan di negara maju, belum mentradisi di negara kita. Penyebabnya tak lepas dari sifat sosio-budaya masyarakat kita. Kita ditradisikan untuk cenderung menyelaraskan diri dengan lingkungan dan sedapat mungkin menghindari perbedaan frontal. Orang menjadi takut dan grogi jika berbeda dengan orang lain. Orangpun takut dicemooh dan diejek karena pendapat berbeda dengan orang lain.

    Keadaan ini diperkuat lagi dengan sistem politik represif pemerintah Orde Baru; yang salah satu wujudnya adalah penyeragaman di segala bidang. Maka kreativitas sebagai salah satu manifestasi berfikir menjadi kerdil.

    Sumber ilham fiksi ilmiah amat banyak; karena merupakan bagian integral dari kebudayaan. Ilmu dan fiksi saling mengisi dan mendorong dalam perkembangan kebudayaan. Unsur-unsur dari keduanya juga ada dalam diri manusia. Berimajinasi, mengkhayal, dan berfikir tumbuh selaras dalam diri manusia yang normal.

    Dongeng dan mitologi adalah sumber fiksi ilmiah yang potensial. Embrio fiksi ilmiah bisa lahir dari dongeng atau mitologi yang diinterpretasikan dan ditransformasikan dengan matra ilmu pengetahuan. Dari sini lahir dongeng baru dimana ilmu pengetahuan menjadi substansinya.

    Fiksi ilmiah memiliki adaya tarik unik karena mengambang antara fiksi/dongeng dengan ungkapan ilmu pe-ngetahuan. Buku-buku Erich von Da-ni-ken misalnya Chariot of the Gods (Kereta Para Dewa), The Gold of the Gods (Emas Para Dewa), mirip fiksi ilmiah meskipun buku itu ditulis atas dasar data hasil penelitian antropologi yang berskala luas dan mendalam.

    Karena bukti-bukti historis yang dipakai landasan telah jauh ditelan zaman dan diinterpretasikan berdasarkan keilmuan modern, maka pembaca modern saat ini mungkin menganggapnya fiksi. Gods (Para Dewa) dalam berbagai mitologi ditafsirkan sebagai astronot dari suatu galaksi di luar tata surya kita yang pernah mengunjungi planet kita di masa silam. Interpretasi yang kontroversial inilah menimbulkan nuansa fiksi ilmiah.

    Dari sudut penulisan dan pengembangan fiksi ilmiah, buku-buku Erich von Daniken dapat menjadi sumber modern paling potensial, terutama dalam menginterpretasikan substans mitologi.

    Melalui penafsiran kontemporer ala Erich von Daniken, unsur mitologi dalam cerita Mahabharata dapat menjadi substansi fiksi ilmiah. Keluarga Korawa yang dikisahkan lahir dari potongan-potongan daging yang dipelihara dalam tempayan bisa ditafsirkan sebagai manusia rekayasa dengan sistem bayi tabung.

    Mesin penditeksi milik Kresna yang dapat memantau sidang para Dewa di Surga ketika membahas perang Bharatayudha adalah perangkat internet super canggih. Cakra milik Kresna yang dapat dilepas dan diperintahkan untuk kembali adalah UFO tanpa awak yang dken-dalikan dari jarak jauh. Penafsiran-kreatif kontemporer semacam ini bisa terus diperpanjang dari berbagai sumber.

    Sumber-sumber ilham itu memerlukan seorang penulis fiksi yang kreatif dan punya wawasan iptek. Apresiasi seorang seniman terhadap hasil-hasil iptek adalah bahan mentah fiksi ilmiah. Rancang-bangun sebuah model pangkalan ruang angkasa misalnya, sebagian merupakan hasil garapan para seniman. Ran-cangan ini mungkin belum terwujud dalam kenyataan, tetapi jelas memiliki spekulasi ilmiah.

    Harapan kita akan lahirnya fiksi ilmiah khas Indonesia mungkin masih sangat jauh. Kendalanya bukan hanya terletak pada ketrampilan, wawasan dan kreativitas para penulis fiksi, tetapi ada faktor sosio-budaya (antara lain kebebasan berfikir) yang perlu dikondisikan. Faktor itu harus diupayakan melalui transformasi budaya yang mendasar.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 26 Januari 2013

Sunday, January 20, 2013

Bukan Cinta Biasa: Sarongge Mengembara ke Negeri Suram

-- Hang Kafrawi

PERISTIWA dalam karya sastra merupakan peristiwa yang diunggah dari peristiwa yang terjadi di kehidupan manusia (realita). Walaupun demikian, peristiwa dalam karya sastra dirangkai dengan imajinasi pengarang; menambah, mengurang, sehingga karya sastra tersebut memunculkan keterkejutan; keasikan untuk terus menelusuri peristiwa-peristiwa yang dibentangkan di dalam karya sastra tersebut.
Memang pada mula munculnya teori mimesis yang diperakasai Plato, meletakkan karya sastra sebagai tiruan yang tidak bermanfaat. Plato menjelaskan bahwa karya sastra (karya seni) hanya menyajikan suatu ilusi (khayalan) tentang kenyataan dan tetap jauh dari kebenaran. Aristoteles mencoba meluruskan pendapat Plato dan mengatakan bahwa mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan merupakan sebuah proses kreatif menyuguhkan kenyataan lebih memiliki pandangan yang khas, sehingga menikmati karya seni (membaca karya sastra), manusia dapat mengenal dirinya lebih dekat lagi.
Karya sastra (karya seni) seperti cermin yang memperlihatkan wajah kita. Kita dapat mengamati seluruh wajah, sehingga kita benar-benar mengenalinya. Dalam proses mengenali diri inilah, kita mampu mengarifi wajah kita; mana yang harus didandan dan mana tidak perlu didandan. Pantulan dari cermin inilah menggugah rasa sekaligus membangkitkan semangat untuk berjuang mengarungi kehidupan.   
Berangkat dari pandangan Aristoteles, saya mencoba melayari perasaan dan pikiran menelusuri novel Sarongge karya Tosca Santoso. Dengan membaca novel ini, ada banyak peristiwa yang saya tidak ketahui menyembul seperti ‘kobaran api’, membakar rasa keprihatinan terhadap bangsa ini, terutama tentang hutan dan perjuangan anak manusia untuk menyelamatkannya.
Hutan menjadi ‘bahan’ utama dalam novel Sarongge ini. Bicara tentang hutan, berbagai masalah menyurak bagaikan semburan air bah yang tertahan cukup lama. Deskriminasi, kesewenang-wenangan, kekerasan, intimidasi, kekuasaan, kasih-sayang, cinta, keharmonisan, kepedulian, perjuangan, menjadi perekat cerita novel Sarongge ini. Novel setebal 357 halaman ini, membawa kita ke pelosok-pelosok hutan yang ada di nusantara ini dengan berbagai permasalahannya, dan kita juga disuguhi dengan ‘melodi cinta’ sepasang anak manusia yang menggetarkan jiwa.
Paristiwa hutan dan permasalahannya, dibentang cukup lengkap. Tosca Santoso memahami betul masalah ini. Ini tidak terlepas dari profesi Tosca sebagai wartawan dan juga pencinta alam. Inilah yang menguntungkan bagi seorang sastrawan sekaligus wartawan, ia memiliki kepekaan terhadap kejadian sekitarnya dengan data yang lengkap, sehingga karya sastra yang diciptakannya pun memuat data-data yang lengkap dan penuh rasa.
Menelusuri (membaca) novel Sarongge dari awal sampai akhir, memang memplotannya biasa-biasa saja. Pembaca tidak dipusingkan dengan plot yang rumit. Plot novel ini mengalir seperti air, dari perjumpaan tokoh perempuan (Karen) dengan tokoh lelaki (Husin) sampai mereka berumah tangga dan dikaruniai dua anak. Sebagai pembaca yang berkehendak agar hubungan dua anak manusia ini normal, dikacaukan oleh pengarang dengan menciptakan jarak diantara keduanya. Karen sebagai aktivis pembela lingkungan hidup, sesuka hati meninggalkan Husin sendirian. Di sinilah kejelian Tosca membangun ketegangan emosi pembaca. ‘Kenormalan’ hubungan sepasang kekasih ‘ditabrak’ sehingga pembaca ingin mengikuti terus kelanjutan ceritanya.
Di tengah keinginan pembaca menyatukan sepasang kekasih inilah, permasalahan-permasalahan hutan yang tidak pernah ada ujungnya dibentangkan, sehingga pembaca pun ‘berkemah’ pada peristiwa perjuangan aktivis pembela alam.  Perjuagan dengan keberanian membuka mata pembaca, bahwa hutan-hutan di negeri ini harus diselamatkan dari keserakahan pemilik modal. Di sinilah masalahnya, pemerintah kita tidak berpihak kepada rakyat.

Sarongge adalah suatu kampung yang terletak di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Di sinilah bermula kisah yang ditulis oleh Tosca Santoso. Pertemuan antara tokoh Karen dan Husin, teman sewaktu kuliah di IPB, membuka peristiwa-peristiwa yang menakjubkan. Peristiwa yang membuat pembaca menarik nafas panjang disebabkan pengorbanan dan perjuangan antara dua tokoh sentral ini.

Husin pemuda kampung Sarongge, setamat kuliah mengabdikan diri di kampungnya. Ia bertekat dengan ilmu dimilikinya membantu masyarakat yang hidup dalam kemiskinan, agar lebih baik lagi. Husin pun membuka kebun dan memberi contoh dengan mempraktikkan langsung ilmunya. Sesuatu yang jarang terjadi di zaman sekarang ini. Tokoh Husin memerlihatkan bahwa perjuangan bisa dilakukan dengan menjadi petani di kampung dan mampu membuka peluang-peluang bagi petani lainnya.

Karen, tokoh perempuan aktivis lingkungan hidup, tidak pernah lelah memperjuangkan keberadaan hutan yang semakin dikesampingkan. Menyelamatkan hutan dari keserakahan pemiliki modal merupakan jalan hidup Karen. Karen tidak pernah mengenal kata menyerah, ia terus mengembara dari satu daerah ke daerah lain di negeri ini untuk membela hak rakyat atas hutan mereka.

Pengembaraan Karen inilah membawa ia berjumpa kembali dengan Husin di Sarongge, kampung yang dijadikan program penanaman hutan kembali oleh kelompok Green Radio. Pertemuan ini memunculkan benih cinta dalam diri Husin. Rupanya Karen juga memiliki perasaan yang sama, tetapi sebagai aktivis lingkungan hidup, Karen harus membagi rasa cintanya kepada Husin dengan cinta terhadap hutan. Terjadilah percintaan jarak jauh, karena Karen tidak bisa menetap di suatu tempat. Dimana ada masalah mengenai hutan, disitulah Karen berada.

Percintaan ini manarik. Hal ini disebabkan di antara rasa rindu kedua anak manusia ini, terjalin pemikiran-pemikiran rasa cinta terhadap bumi ini. Karen dengan hutannya menjelaskan kepada Husin melalui pesan facebook atau SMS, mengenai keberadaan hutan di negeri ini yang terabaikan. Kepentingan ekonomi menjadi alasan pemerintah yang ditunggangi pemiliki modal menggarap hutan dengan sesuka hati. Kesewenang-wenangan ini melahirkan konflik antara pemerintah atau pemilik modal dengan rakyat. Peristiwa-peristiwa konflik inilah yang selalu dikabarkan oleh Karen kepada kekasihnya, Husin.

Husin sebagai pemuda kampung yang sudah bertekat menjadi petani di kampungnya, senantiasa mendukung apa yang dilakukan Karen. Walaupun memendam rindu yang paling dalam disebabkan jarak, namun Husin dengan tegar menyemangati Karen. Bagi Husin aktivitas yang dilakukan Karen merupakan perwujudan cinta mereka sebagai anak bangsa yang rela mengorbankan apa, termasuk cinta mereka.

Jalinan cinta antara Husin dan Karen, seperti hutan dan tanah; saling mengisi, saling membutuhkan. Kehendak cinta menjadi kekuatan mengarungi kehidupan ini. Karen dengan tegar melakukan perlawanan untuk menjaga kelestarian hutan, tersebab Husin selalu menyemangatinya. Sementara Husin semakin kokoh berdiri sebagai petani dengan penemuan-penemuan terbarunya untuk memanjakan Karen.

Husin menjadi ‘rumah’ bagi Karen, sementara Karen menjadi cahaya bagi Husin. Untuk itulah, Husin tidak pernah menghalangi apa yang dilakukan oleh Karen dengan aktivitas membela hutan, walau terkadang sepi menyelimutinya. Ditinggal pergi, menunggu kepulangan Karen dari suatu tempat, menjadi sesuatu yang biasa bagi Husin. Husin sadar bahwa di antara cinta mereka, ada cinta untuk negeri ini.

Kesabaran Husin ditinggal pergi dan menunggu Karen terus berlangsung disaat mereka berumah tangga dan dikaruniai 2 orang anak. Husin sudah terbiasa menunggu, sementara Karen tidak bisa tinggal diam melihat hutan di negeri ini terancam punah. Menyelamatkan hutan bagai Karen adalah menyelamatkan kehidupan di muka bumi ini, dan sama juga seperti menyelamatkan keluarganya.

Penantian Husin akhirnya terhempas, ketika mendapat kabar bahwa Karen pergi selama-lamanya. Karen meninggal dunia di hutan Papua setelah timah panas tentara bersarang di tubuhnya. Perih memang, namun Husin masih tetap tegar. Kematian Karen membela keberadaan hutan adalah demi keberlangsungan kehidupan dunia ini.                       

Pemerintah Tak Berpihak pada Rakyat
Hutan merupakan paru-paru dunia, namun paru-paru dunia ini diabaikan keberadaannya tersebab kerakusan yang merajalela. Novel Sarongge memperlihatkan bahwa bagaimana kerakusan manusia penyebab punahnya hutan di negeri ini. Berdalih menyejahterakan rakyat dengan ekonomi, rakyat yang dikorbankan.

Dari novel ini, pembaca akan memahami bagaimana kepentingan pengusaha yang disokong penguasa, membabat hutan yang ada di negeri ini. Hak rakyat, hukum-hukum adat mengenai hutan, selalu dikangkangi. Penguasa dalam hal ini pemerintah, tidak berpihak kepada rakyat. Pemerintah dengan semena-mena, tanpa ada berpikir panjang, mengeluarkan izin untuk penguasa mengelola hutan. Dengan konsep ekonomi, tentu saja pengusaha hutan tidak mau rugi, namun membabat hutan sesuka hati untuk keuntungan yang tiada peri.

Rupanya di negera kita cintai ini, hutan di masing-masing daerah, menjadi sumber kekayaan yang luar biasa. Untuk memperoleh kekayaan yang melimpah ruah, keberadaan masyarakat terabaikan. Demi ambisi penguasa, hutan selalu menjadi sasaran mewujudkan mimpi penguasa yang ditunggangi pengusaha. Terjadilah konflik-konflik yang mengiris hati di negeri yang kita cintai ini.

Dari tokoh Karen yang tergabung dalam Ksatria Pelangi, di novel Sarongge ini, pembaca dikabarkan permasalahan-permsalahan hutan yang tidak pernah selesai. Perjuangan rakyat yang mendapat halangan pihak keamanan, baik polisi maupun tentara yang mendapat perintah menjaga keamanan kepentingan pengusaha hutan oleh pemerintah, dan pada akhirnya rakyat selalu dikalahkan.

Novel ini menceritakan kepada kita, bahwa perjuangan untuk menjaga hutan di negeri ini selalu mendapat halangan yang berat. ‘’Mungkin orang serakah, karena takut miskin’’ tulis Husin melalu sms ke Karen. Keserakahanlah punca sehingga keberadaan hutan terancam, dan yang menjadikan, rakyat membela keberadaan hutan selalu dikorbankan oleh keserakahan. Novel ini juga menjelaskan bahwa perjuangan rakyat untuk membela hutan mereka, bukan ada kepentingan lain, selain kepentingan hidup mereka.

Karen memperlihatkan bahwa ia berjuang tanpa henti bukan untuk kepentingannya pribadi, tetapi untuk kepentingan orang banyak. Karen rela meninggalkan orang yang ia cintai, demi kehidupan di muka bumi ini. Namun pemerintah menganggap mereka yang membela kehidupan orang banyak ini, sebagai pengkhianat dan harus dimusnahkan. Kematian Karen menyiratkan bahwa untuk membela orang banyak, kematian tidak pernah ditakutkan.

Novel ini juga mengajak kita mengembara ke daerah-daerah konflik disebabkan hutan, antara pembela hutan dengan pemilik keserakahan. Rupanya negeri ini memang negeri suram dengan menelantarkan kepentingan orang banyak demi segelintar orang yang memiliki kantong tebal. Mereka bisa membeli apa saja, termasuk membeli hutan. Adakah Karen-karen lain yang akan muncul? Novel Sarongge ini membangkitkan semangat kita mencintai hutan, walaupun berhadapan dengan kekuasaan.      

Hang Kafrawi, Ketua Jurusan Sastra Indoensia, Fakultas Ilmu Budaya, Unilak dan juga mengajar di STSR. Selain sastra, Hang Kafrawi juga berkecimpung di dunia teater, sekarang ia menjadi Ketua Teater MATAN.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 20 Januari 2013
 

Koran tanpa Sastra: Barbar

-- Marsus Banjarbarat

‘’Koran tanpa sastra adalah barbar,’’ begitulah kata seorang teman suatu ketika saat saya duduk, ngopi bersama di warung kopi.

Sebagai orang awam yang baru belajar sastra (cerpen dan puisi), tentu saya merasa penasaran. Tidak hanya itu, tapi juga ada rasa keingintahuan maksud dari pendapat itu. Sebab kalau kita baca beberapa media (koran) akhir-akhir iniyang sebelumnya memuat rubrik sastra dan budaya, sekarang sudah tidak ada. Artinya ruang sastra di media semakin hari sudah semakin sempit.

Di tengah keramaian dan kerumunan orang-orang yang sedang ngobrol di warung kopi. Sesekali disertai rintik hujan yang indah dan sepoi angin yang berhembus pelan, saya menyimak, lalu memberi kesimpulan sendiri atas pemahaman saya tentang obrolan tersebut.

Begini kira-kira yang saya tangkap dari obrolan itu:
Koran yang merupakan salah satu media yang memuat berita-berita aktual dalam berbagai topik, hampir setiap hari kalau kita cermati pasti tidak terlepas dari berita karut-marut kehidupan manusia yang terjadi saat ini. Entah berita itu tentang politik, bencana alam, selebritis, olahraga, dan berbagai kehidupan lain dalam peristiwa sehari-hari. Dan diantara berita tersebut terkadang membuat kita senang, sedih, haru, bahkan ketakutan. Oleh karena itu hadirnya rubrik sastra dan budaya yang terbit setiap satu minggu sekali paling tidak bisa menjadi pengobat bagi penikmat koran dengan cerita-ceritanya atau dengan kelembutan kata-kata lewat syair dan puisinya. Meskipun sebenarnya karya sastra tidak hanya berkutat pada keindahan kata-kata. Lebih dari itu adalah bagaimana kedalaman makna yang dikandungnya.

Sastra merupakan sebuah karangan yang memiliki katarsis (penyucian diri dari hal-hal yang membawa kita pada pembaruan rohani dan pelepasan diri dari rasa tegang). Oleh karena itu, adanya berita-berita yang kerap membuat kita ‘tersentak’ seperti: kemiskinan, pembunuhan, pemerkosaan, dan bencana alam lainnya dalam koran tersebut akan terasa lembut dan tercerahkan dengan adanya rubrik sastra dan budaya.

Terlepas dari hal itu, sebenarnya yang perlu digaris bawahi bahwa, sastra menjadi salah satu alat kontrol politik. Tidak heran kalau mendiang Presiden Amerika Serikat, John F Kennedy pernah menganalogikan antara politik dan sastra: apabila politik membengkokkan, sajak yang meluruskannya. Begitu juga Mastur Taher yang menuliskan sajaknya yang berjudul: ‘’Nur...Nyut...Nyut’’, yang menggambarkan betapa pusingnya rakyat menghadapi ulah pejabat. Nyut nyut nyut, kepala senut-senut, pikirkan bangsa karut-marut, segala urusan semrawut. Para pemimpin asyik saling sikut, rakyat dibuat pusing kalang kabut, tak paham mana yang mesti diturut.

Sastrawan Taufik Ismail dalam komentarnya yang berjudul ‘’Puisi sebagai Saluran Ekspresi Siapapun’’, menyatakan: ‘’Penyair melalui sajaknya menjadi kontrol kerja pemimpin atau penguasa. Bila kerja seorang pemimpin atau penguasa bagus, ia berhak mendapat pujian-pujian. Tetapi bila kerja seorang pemimpin atau penguasa buruk, maka sajaklah yang akan menjadi alat untuk meneriakkan kritik yang lantang.’’

Dalam kaitan ini kita perlu mengoreksi ulang mengapa keterpurukan bangsa Indonesia terus berlarut-larut? Kalau saya kaitkan dengan pendapat beberapa Sastrawan di atas, bahwa jauhnya para pemimpin dari seni, termasuk seni sastra, telah menumpulkan kepekaan nuraninya sehingga tidak menyentuh nasib rakyatnya. Yang ia perjuangkan hanyalah dirinya sendiri agar bisa menjadi ‘nomor satu’ diantara orang-orang yang lain.

Nah, kembali pada persoalan awal, tentang bagaimana asumsi koran tanpa sastra adalah babar? Umbu Landu Paranggi, yang dijuluki bapak Presiden  Malioboro yang kini mengasuh rubrik sastra di koran Bali Post pernah mengatakan, bahwa koran tanpa lembaran sastra dan kebudayaan, seolah-olah koran barbar. Sastra koran tidak menghambat, karena di sana orang tetap bisa mencari dan menemukan.

Saya sendiri mengartikan bahwa, koran yang tidak memiliki ruang sastra, secara tidak langsung adalah kelainan dari bentuk ‘kecacatan’ sebuah media (koran) dalam memuat berita atau informasi. Sebab media tanpa sastra yang memiliki katarsis akan terasa kering, gersang, cendrung tidak terkontrol, saling sikut-sikutan, bahkan saling ‘membunuh’ satu sama lain.

Lalu, pertanyaan yang muncul kemudian dalam benak saya, apakah berita atau informasi yang ada di suatu media memiliki pengaruh atas perubahan kehidupan bangsa kita? Marilah kita pikirkan bersama dengan melihat realitas yang terjadi disekeliling kita.***

Marsus Banjarbarat, Penikmat sastra, bergiat di Komunitas Rudal, tinggal di Jogja

Sumber: Riau Pos, Minggu, 20 Januari 2013
 

[Jejak] Sudirman Arshad Muda dan Berjasa

SUDIRMAN dilahirkan di Temerloh, Pahang pada 25 Mei 1954. Dia anak dari dari pasangan Haji Arshad bin Haji Hassan dan Puan Hajjah Romlah binti Dahalan. Ibunya meninggal pada usia 32 tahun ketika Sudirman masih berusia lima tahun akibat kanker.

Nama Sudirman terinspirasi dari nama seorang pejuang kemerdekaan Indonesia Jendral Sudirman. Sebenarnya, Sudirman memiliki darah Indonesia dari orangtuanya. Kakek dan neneknya lahir di Bangkinang, Riau, Indonesia dan kemudian pindah ke daerah Temerloh, Pahang, Malaysia yang menjadi tempat perantauan utama warga Kabupaten Kampar, Riau, Indonesia.

Sudirman adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Ia telah aktif bernyanyi dari semasa kecil, dan di sekolahnya ia memasuki pertandingan syair, pidato, pantun, kuis dan terlibat dalam pertunjukan teater dan paduan suara sekolah. Ia mulai bersekolah pada 1961, dan pada 1976 ia melanjutkan perguruan tingginya di Universitas Malaya, Kuala Lumpur. Sudirman mulai mencatat namanya sebagai penyanyi ketika ia merebut gelar Bintang RTM yang diadakan di Melaka pada 10 Agustus 1976 dengan membawakan lagu ‘’Seruling Bambu’’, ‘’Big Spender’’ dan ‘’Jali-jali’’, sebuah lagu Betawi.

Setelah Bintang RTM 1976, ia mulai merekam suaranya dalam album perdananya Teriring Doa bersama Warnada Record. 1978, EMI menawarkan kontrak kepadanya. Album pertamanya dengan EMI berjudul Aku Penghiburmu. Dalam album ini ia kembali membawakan lagu ‘’Jali-jali’’ yang membuatnya dikenal, termasuk tiga lagu ciptaan Ahmad Nawab, ‘’Aku Penghiburmu’’, ‘’Kasih’’ dan ‘’Gugur di Tangkai Madu’’. Ketiga-tiga lagu tersebut juga pernah dinyanyikan oleh Broery Marantika ketika Ahmad Nawab hijrah ke WEA.

Pada 1978, Sudirman terpilih sebagai Penghibur TV Terbaik pada Anugerah Seri Angkasa di Malaysia. Pada 1979, album Perasaan diterbitkan dengan lagu hit-nya ‘’Gerimis di Lautan’’ bersama lagu-lagu lucu Mat Disko dan Toyol. Setelah menamatkan pendidikannya, Sudirman bebas untuk mengembangkan kariernya. Ia yang bangga dengan imej ‘’Budak Kampung’’ sering membawakan lagu-lagu yang berkaitan erat dengan masyarakat.

Setiap tahunnya di 1980-an ia selalu menerbitkan album dengan dua lagu yang semuanya berhasil dan kebanyakan lagu-lagunya menjadi hit, sesuatu yang biasanya sulit dicapai pada masa itu. Pada 1980, album Anak Muda dan Lagu Anak Desa, 1981, Lagu Dari Kota dan Twinkle-Twinkle Little Star (Sudirman), 1982, Lagu Cinta dan Abadi, 1983, Images (hanya satu album) dan 1984, Orang Baru dan Lagu dari Sebuah Bilik.

Pada 1985, album Konser Malam Anak Desa di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) Bangi diterbitkan dalam bentuk kaset. Album ini adalah rekaman langsung konser tersebut. Setelah itu Sudirman hanya menerbitkan sebuah album dalam setahun seperti 1986, Orang Kampung, 1987, Kul It dan 1989, album Asia’s No 1 Performer. Lagu-lagu Sudirman yang istimewa dan populer dikumpulkan dalam album kompilasi Koleksi 16 Lagu-lagu Terbaik (1986) dan Pilihan Sentimental Emas (1987). Karena ia sangat menggemari lagu-lagu klasik dan berirama Deli, Sudirman juga mengeluarkan album Lagu-lagu Rakyat (1989) dan Koleksi Klasik (1991). Selama kariernya dalam bidang seni, ia telah menghasilkan 18 buah album berbahasa Melayu dan dua buah album berbahasa Inggris (Twinkle-twinkle Little Star dan Images).

Pada 17 Juli 1991, Sudirman dimasukkan ke ruang ICU di Pusat Pengobatan Tawakkal Kuala Lumpur selama empat hari. Ia dilaporkan pingsan setelah terjatuh. Ia sakit selama tujuh hari dan keluarganya merahasiakan penyakit dan lokasi ia dirawat. Pada 22 Februari 1992, hari Sabtu pukul 4:00 pagi, diusia 37 tahun, Sudirman meninggal dunia di rumah kakaknya Rudiah bt H Arshad, Kuala Lumpur setelah tujuh bulan menghidap penyakit radang paru-paru (pneumonia). Jenazahnya dibawa pulang ke Temerloh, Pahang dan dimakamkan di Tanah Perkuburan Islam Kampung Chengal, Temerloh pada hari yang sama sekitar pukul 3:45 sore - di sebelah pusara orangtuanya. Ribuan penggemarnya, termasuk Perdana Menteri Malaysia ketika itu Dr Mahathir Mohamad datang menziarahi jenazahnya yang dianggap sebagai satu kehilangan besar bagi dunia hiburan Malaysia. Setelah wafat pada 1992, EMI Malaysia mengeluarkan tiga album kompilasinya. Dua lagu baru ‘’Setelah Kau Tiada’’ dan ‘’Cinta Di Sisimu’’ diterbitkan setelah diketahui siapa penciptanya. Lagu-lagu ini dimasukkan dalam album Setelah Kau Tiada.(fed/berbagai sumber)

Sumber: Riau Pos, Minggu, 20 Januari 2013

Saturday, January 19, 2013

Pesona Anak-Anak dalam Sastra

-- Maria Magdalena Bhoernomo

Karya-karya sastra yang sangat populer dan bahkan fenomenal ternyata mengangkat tokoh anak-anak. Misalnya, dongeng-dongeng karya HC Andersen, novel serial Harry Potter karya JK Rowling dan kumpulan cerpen Palestine's Children karya Ghassan Kanafani menjadi karya best seller tingkat internasional karena mengangkat tokoh anak-anak.

    Begitu juga novel Laskar Pelangi dan novel-novel lain karya Andrea Hirata, yang menjadi best seller, karena mengangkat tokoh anak-anak.

    Fakta tersebut menunjukkan bahwa sastra dengan tokoh anak tidak bisa diremehkan. Dengan kata lain, sastra dengan tokoh anak ternyata memang penuh pesona, karena hadirnya tokoh anak-anak dengan keistimewaan-keistimewaan yang sudah pasti sangat menarik. Pembaca terpuaskan karena seolah-olah berjumpa dengan narasi dan deskripsi tentang dunia anak-anak yang maha indah.

    Keterpesonaan pada narasi dan deskripsi tokoh anak-anak dalam sastra, bagi kalangan pembaca dewasa khususnya, juga bisa saja menjadi suatu pengalaman imajinatif yang paling indah dalam kehidupannya. Ini berdasarkan banyak fakta bahwa masa kanak-kanak adalah sorga yang hilang bagi banyak orang yang sudah dewasa.

    Pengalaman menemukan sorga yang hilang, betul-betul menyenangkan bagi pembaca sastra yang mengangkat tokoh anak-anak. Hal ini sudah tentu telah dimengerti oleh penulisnya. Dan oleh karenanya, penulis sastra dengan tokoh anak umumnya sengaja memilih bahasa yang simpel tapi unik dan puitis agar mudah dicerna tapi sulit dilupakan oleh kalangan pembacanya di segala usia.

    Misalnya, frasa-frasa dalam novel Laskar pelangi banyak yang puitis tapi simpel sehingga mudah dicerna oleh kalangan pembaca segala usia. Dan adanya kosakata-kosakata baru juga disertai dengan penjelasan artinya sehingga pembaca tak perlu salah paham atau kesulitan memahaminya.

    Sastra dengan tokoh anak memang penuh pesona dan tidak bisa diremehkan, karena ditulis dengan mematuhi norma-norma sastra konvensional. Misalnya, alur cerita jelas, deskripsi penokohannya tegas dan seting atau latarnya bernas. Dengan demikian sastra dengan tokoh anak bukan termasuk fiksi yang gelap atau remang-remang yang syarat multitafsir.

    Bagi kalangan kritikus sastra, boleh saja menilai sastra demikian cenderung lemah secara leterer. Maksudnya tentu lemah dalam hal eksporasi ide dan imajinasi liar yang memberi peluang seluas-luasnya bagi pembaca untuk mencoba menafsirkannya. Tapi kelemahan leterer tidak serta merta layak dijadikan vonis untuk merendahkannya.

    Selama ini, kalangan kritikus sastra memiliki kecenderungan sikap seperti pria hidung belang yang gemar mengunjungi lokalisasi pelacuran. Mereka selalu datang dengan satu harapan: semoga ada yang baru. Harapan demikian telah menghapus sikap apresiatif terhadap semua yang telah menjadi bagian masa lalu atau menjadi barang lama.

    Sikap seperti pria hidung belang tentu bukan milik pembaca awam. Dengan kata lain, bagi pembaca awam, setiap membaca sastra bertokoh anak adalah kesempatan berwisata ke "sorga yang hilang" dengan cerita dan tokoh lain tapi bukan baru. Dan lazimnya, sastra yang disukai pembaca dewasa adalah yang bisa mengajak berfantasi menikmati masa kanak-kanak yang indah.

    Dengan norma sastra yang serba konstan, sastra dengan tokoh anak tidak perlu ditimbang-timbang berat ringannya dengan rumus-rumus leterer yang terlalu rumit. Bahkan, sastra demikan tidak selayaknya dibandingkan dengan sastra remaja atau dewasa yang sengaja ditulis dengan semangat propaganda terhadap nilai-nilai atau ideologi sosial politik tertentu.

    Meski demikian, sastra dengan tokoh anak bukan berarti pepesan kosong yang tak berisi propaganda atau misi. Bahkan sastra demikian umumnya ditulis dengan semangat menawarkan misi kemanusiaan yang abadi (humanisme universal) sehingga akan tetap relevan menjadi bacaan untuk semua generasi.

    Sastra dengan tokoh anak memang mempesona dan tidak bisa diremehkan, tapi faktanya sering diabaikan oleh kalangan kritikus sastra. Dan sejauh ini, banyak karya sastra demikian belum mendapat respon proporsional dari kalangan kritikus sastra yang kredibel. Kesannya kemudian selalu klise: bahwa kalangan kritikus sastra bagaikan hidup di menara gading yang tak mudah tergiur riuhnya dunia di sekelilingnya.

    Dengan kata lain, kalangan kritikus sastra cenderung antipati terhadap apresiasi yang telah ditunjukkan oleh khalayak. Bahkan seolah-olah selera khalayak yang terpesona kepada sastra bertokoh anak dianggap tidak penting dan tidak mampu mendorong kritikus untuk menulis kritik yang proporsional untuk sastra anak.

    Layak dicurigai, betapa kecenderungan antipati terhadap sastra bertokoh anak bisa jadi sengaja dipilih oleh kalangan kritikus sastra untuk tetap mempertahankan hegemoni nilai-nilai tertentu meski nyata-nyata berseberangan dengan selera khalayak. Dalam hal ini, selera khalayak akan cenderung dianggap rendah dan tidak layak dicatat dan diapresiasi. Efeknya, sudah pasti akan merugikan dunia sastra secara keseluruhan. Misalnya, sastra yang baik menurut kritikus sastra bisa jadi tidak menarik bagi khalayak, sehingga jarang ada karya sastra yang berkualitas menjadi best seller.

    Dengan demikian, antipati terhadap sastra bertokoh anak-anak tidak selayaknya dipertahankan oleh kalangan kritikus sastra. Sudah saatnya sastra demikian juga dikritik secara proporsional sehingga dunia sastra menjadi cerah di masa-masa mendatang. n

Maria Magdalena Bhoernomo, Penikmat sastra, tinggal di Kudus, Jateng


Sumber: Suara Karya, Sabtu, 19 Januari 2013

Tuesday, January 15, 2013

Kembalikan Sekolah Kami!

--  Yonky Karman

TELAH lama sekolah di Indonesia bukan lagi rumah kedua yang nyaman bagi siswa. Siswa dibebani mata pelajaran titipan yang menjemukan.

Ujian nasional tak menghargai pengembangan proses kreatif siswa, bahkan memicu modus kecurangan baru. Banyak sekolah di daerah krisis guru dan fasilitas. Guru tak profesional pun dipertahankan. Harapan sederhana orangtua agar sekolah mencerdaskan anak tak digubris.

Kambing hitam kurikulum


Negara belum berhenti menjadikan siswa sebagai obyek politik pendidikan. Sebelum evaluasi menyeluruh, tiba-tiba kurikulum lama dianggap gagal membentuk insan berakhlak mulia. Mengurangi jumlah mata pelajaran memang langkah yang patut diapresiasi dan sudah lama dikritik, tetapi revisi itu lebih mengikuti selera penguasa sebagai garda negara moralis, bukan kepentingan siswa sebagai generasi masa depan bangsa. Bahasa Inggris dihapus dalam kurikulum wajib sekolah dasar. Suka atau tidak, ruang publik kita disesaki bahasa asing itu. Materi pengetahuan melimpah di dunia maya dan siap diakses. Bahasa Inggris bukan hanya pintu masuk dunia pengetahuan yang kini nyaris tanpa batas, melainkan juga isi gagasan. Mendesak sekali perkenalan dengan bahasa itu sejak dini. Itu tak menghambat penguasaan bahasa Indonesia yang baik, apalagi daya serap otak siswa seperti karet busa kering yang cepat menyerap air.

Tugas pemerintahlah menghadirkan guru bahasa Inggris yang mengajar secara kreatif dan menarik, seperti dilakukan dalam berbagai kursus bahasa di Tanah Air. Bahasa sebenarnya lebih efektif saat dikaitkan dengan percakapan, seperti bahasa dalam bahasa Jerman (Sprache) terkait berbicara (sprechen). Beberapa pesantren modern menjadikan satu hari dalam seminggu untuk memaksa komunitasnya berbahasa Inggris.

Pancasila yang sempat dikeluarkan kini hendak dimasukkan lagi sebagai mata pelajaran tersendiri. Memang penting siswa memahami ideologi negara. Namun, ketakmampuan penyelenggara negara mewujudkan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pangkal pudarnya penghayatan Pancasila. Moralitas bangsa dirusak ulah elite politik dan penyelenggara negara korup, ditambah toleransi negara untuk pelbagai kerusakan itu.

Berpaling ke mata pelajaran agama bukan solusi. Sungguh tak tepat sekolah negeri justru membangun fanatisme suatu agama dan membuat siswa agama lain enggan memasuki sekolah yang seharusnya jadi tempat bercampurnya siswa dengan berbagai keyakinan. Idealnya, pelajaran agama di sekolah negeri bersifat lintas agama dan ramah terhadap semua kepercayaan. Generasi masa depan berkualitas merupakan buah pendidikan berkualitas berbasis sekolah umum. Sekolah umum bukan tempat mempelajari keterampilan kerja betapapun pentingnya (bukan sekolah kejuruan), bukan tempat perdalam ilmu agama betapapun luhurnya (bukan sekolah agama), juga bukan tempat indoktrinasi ideologi negara betapapun mulianya (bukan sekolah ideologi).

Sekolah umum

Sekolah tempat mempelajari pengetahuan universal sebagai bagian pengalaman hidup banyak orang. Melampaui keterbatasan usia, pengalaman, dan lokasinya, siswa di bawah bimbingan guru menjelajah dunia kebendaan (fisika, biologi, geografi), dunia manusia (budaya lokal, kewargaan, ideologi negara), dan dunia abstrak (matematika, bahasa). Semua itu dikemas ringan dalam proses pembelajaran yang bersahabat dengan dunia anak. Sekolah adalah tempat yang seharusnya budi pekerti siswa menjadi tercerahkan. Sekolah adalah sebuah warisan intelektual peradaban Barat yang lebih dulu mengenal demokratisasi pengetahuan. Istilah ”sekolah” tak hanya berarti tempat belajar, tetapi kata Latin schola atau Yunani schole juga berarti waktu luang. Kegiatan dalam waktu luang tak wajib dan dikerjakan dengan senang, untuk memperkaya hidup dan pengalaman.

Dalam cara pikir orang Yunani kuno, belajar hal-hal mendalam terpisah dari kegiatan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Orang harus membereskan dulu kebutuhan dasar hidupnya. Demikian ungkapan Latin primum vivere, deinde philosophari, hidup dulu, barulah berfilsafat. Sekolah adalah ruang olah nalar dan hidup siswa. Dalam lukisan ”Sekolah Atena” karya Raphael, seniman Renaisans, jari telunjuk Plato digambarkan menunjuk ke atas (dunia abstrak) dan tangan Aristoteles mengarah ke bawah (dunia konkret). Sekolah Plato (academia) mengajarkan gagasan kesempurnaan penghuni dunia sana dan semua yang baik di dunia ini hanya tiruan tak sempurna. Mengajar untuk tahu adalah membidani kesadaran tentang kebenaran dalam diri seseorang, seperti bidan yang membantu ibu melahirkan. Demikian metode Sokratik atau maieutik.

Sekolah Aristoteles (lyceum) mengajarkan yang sempurna tersua di dunia ini menyatu dengan benda konkret. Kendati bertolak belakang dalam mendefinisikan apa yang nyata, kedua filsuf ini besar dengan cara masing-masing. Keduanya mencerahkan peradaban Barat, teristimewa Aristoteles untuk dunia Arab semasa Abad Pertengahan. Mereka mewariskan kesadaran yang jadi basis perkembangan sains modern terkait kemampuan rasio (alam dapat diselidiki) dan tanggung jawab manusia (alam harus diselidiki).

Belajar adalah bagian dari tanggung jawab manusia sebagai makhluk rasional. Jika proses belajar itu benar, akhlak siswa dengan sendirinya terbentuk. Belajar menuntut kesediaan untuk belajar dari kesalahan, belajar disiplin dalam berlogika dan menerapkan rumus (melawan mentalitas ”yang penting hasilnya”), dan belajar tekun (melawan budaya instan). Budaya nyontek dan plagiarisme menjadi aneh dalam kultur belajar yang sehat.

Menuntut ilmu setinggi-tingginya tak perlu dikhawatirkan sebagai penghambat kemuliaan akhlak. Keserakahan dan hawa nafsu yang tak terkendali adalah sumber kerusakan moralitas bangsa. Namun, penentu kemajuan bangsa dalam jangka panjang adalah tradisi pendidikan yang kuat.

Indonesia harus mempersiapkan generasi masa depan berkualitas untuk menyongsong era pasar bebas tenaga kerja yang kian kompetitif di lingkungan Komunitas ASEAN mulai 2015. Jangan sampai untuk posisi resepsionis pun orang kita kalah dari tenaga kerja asing hanya karena soal kemampuan berbahasa Inggris.

Daripada tergesa-gesa menerapkan kurikulum 2013, kualitas guru untuk mendampingi siswa belajar harus dapat prioritas. Pemerintah belum melakukan pendidikan berkelanjutan untuk guru yang umumnya berkemampuan mengajar pas-pasan. Sertifikasi guru baru memotivasi guru mendapat tambahan penghasilan dan memotivasi kaum muda memilih profesi keguruan. Tersebar kabar 50 persen guru Matematika SD di Sulawesi Utara tak paham berhitung. Kemampuan siswa kelas VIII dalam Matematika dan Sains menurut survei internasional 2011 menurun, bahkan berperingkat di bawah Palestina. Lalu, Kurikulum 2013 hendak menggabungkan pengetahuan sosial dan pengetahuan alam ke pelajaran bahasa Indonesia. Kembalikanlah sekolah sebagai rumah masa depan anak dan bangsa!

Yonky Karman,  Pengajar Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

Sumber: Kompas, Selasa, 15 Januari 2013

Kesesatan RSBI

-- Darmaningtyas


RINTISAN sekolah bertaraf internasional (RSBI) yang merupakan langkah awal menuju SBI (sekolah bertaraf internasional) ibarat bunga rontok sebelum berkembang. Bukan hanya layu, melainkan sudah rontok sekaligus sebelum berkembang dengan keluarnya Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) No 5/PUU-X/2012 Perilah Pengujian UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengabulkan permohonan para pemohon seluruhnya, bahwa Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.

Pembubaran RSBI/SBI itu sama sekali tidak akan mengurangi kualitas pendidikan nasional karena sekolah-sekolah yang dilabeli RSBI/SBI itu sudah bermutu sejak semula. Justru karena sudah bermutu itu, mereka dilabeli RSBI/SBI. Kekhawatiran akan memengaruhi kualitas itu bila yang dilabeli RSBI/SBI itu ialah sekolah-sekolah tidak bermutu, setelah dilabeli kemudian bermutu. Namun, ini tidak.

Implikasi putusan MK tersebut ialah RSBI harus bubar karena tidak memiliki landasan hukum lagi. Bila ada pemimpin daerah yang masih tetap akan mempertahankan RSBI/SBI dengan alasan apa pun, pemimpin tersebut melanggar konstitusi. Secara otomatis ia dapat diberhentikan karena melanggar sumpah jabatan (setiap ada Pancasila dan UUD 1945). Yang dapat dibenarkan hanyalah semangat mempertahankan hal yang baik di RSBI/SBI, seperti proses belajarnya yang lebih aktif dan guru-gurunya yang sudah lebih memenuhi kualifikasi yang diperlukan. Namun, mempertahankan nama RSBI/SBI jelas tidak dapat dibenarkan sama sekali sebab hal itu berarti pembangkangan terhadap putusan MK alias melanggar konstitusi.

Meskipun dalam sidang MK pada 8 Januari 2013 lalu ada pendapat berbeda (dissenting opinion) dari hakim konstitusi Achmad Sodiki, tidak berarti bahwa putusan MK itu kurang kuat. Putusan MK tetap mengikat secara konstitusi. Suara berbeda hanyalah memperlihatkan adanya dinamika pemikiran di kalangan hakim konstitusi dan itu sah-sah saja dalam alam demokrasi. Penulis percaya bahwa munculnya dissenting opinion tersebut disebabkan hakim konstitusi Achmad Sodiki lebih mendasarkan pada logika linier saja daripada mendasarkan realitas di lapangan. Bila hakim konstitusi Achmad Sodiki memiliki referensi lapangan yang cukup, pastilah suaranya akan tunggal.

RSBI/SBI yang menyesatkan

Keberadaan RSBI/SBI sejak awal telah menimbulkan masalah karena dalam praktiknya menyesatkan. Praktik RSBI/SBI yang menyesatkan itu tecermin dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.

Pertama, dari batasan pengertian RSBI/SBI, dalam permendiknas tersebut dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan sekolah bertaraf internasional selanjutnya disingkat SBI adalah sekolah yang memenuhi standar nasional pendidikan dan diperkaya dengan mutu tertentu yang berasal dari negara-negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) atau negara maju lainnya. Tujuannya meningkatkan daya saing, salah satunya dibuktikan dengan perolehan medali emas, perak, perunggu, dan bentuk penghargaan internasional lainnya. Itu sungguh batasan yang konyol mengingat negara-negara OECD itu banyak dan masing-masing memiliki sistem pendidikannya sendiri, lalu kita akan mengikuti negara mana? Tujuan pendidikan sekadar untuk meningkatkan daya saing juga merupakan bentuk reduksionisme terhadap makna pendidikan itu sendiri sebagai proses pemerdekaan manusia dan proses budaya. Apalagi ketika hanya untuk memperoleh medali emas, jelas ini amat instrumentalis.

Kedua, kurikulum RSBI/SBI disusun berdasarkan standar isi dan standar kompetensi lulusan yang diperkaya dengan standar negara anggota OECD atau negara maju lainnya. SBI juga menerapkan satuan kredit semester (SKS) untuk SMP, SMA, dan SMK (Pasal 4) serta mempergunakan proses pembelajaran di negara anggota OECD atau negara maju lainnya. Penggunaan bahasa Inggris atau bahasa asing lain sebagai pengantar untuk mata pelajaran, kecuali mata pelajaran bahasa Indonesia, pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan sejarah, dan muatan lokal (Pasal 5).

Aturan tentang kurikulum dan standar proses yang demikian jelas amat menyesatkan karena secara sadar kita menghamba pada sistem pendidikan bangsa lain yang belum tentu cocok. Terbukti krisis ekonomi yang terjadi di negara-negara anggota OECD (Eropa dan Amerika Serikat) sampai sekarang belum reda juga. Itu artinya mereka juga punya masalah dalam negerinya sendiri. Tidak tepat bila kita mengekor mereka.

Ketiga, Pasal 7 Permendiknas No 78/2009 tersebut juga mengamanatkan bahwa SBI diberikan hak untuk mempekerjakan tenaga asing sebagai pendidik apabila tidak ada pendidik warga negara Indonesia yang memenuhi kualifikasi dan kompetensi yang diperlukan untuk mengampu mata pelajaran/bidang studi tertentu (ayat 1). Pendidik warga negara asing tersebut paling banyak 30% dari keseluruhan jumlah pendidik (ayat 2). Itu sungguh-sungguh pasal yang kurang ajar karena ayat (1) tersebut sama dengan menghina dan meremehkan bangsa kita sendiri. Masak dari 4.000 guru besar dan 23.000 doktor di negeri ini tidak ada yang dapat mengampu materi di tingkat SD-SMTA sehingga harus impor guru?

Tentu jauh lebih santun bila meminta bantuan ke perguruan-perguruan tinggi yang memiliki banyak doktor tersebut daripada mengundang bangsa lain untuk mendidik bangsa kita sendiri. Ayat (2) tersebut sama saja mengundang penjajah asing untuk datang ke Indonesia dengan peran sebagai guru di sekolah-sekolah RSBI/SBI.

Bila pasal tersebut terlaksana, berarti keberadaan RSBI/SBI menggusur 30% guru-guru dalam negeri di sekolah-sekolah tersebut dan digantikan guru asing. Sulit dipahami oleh akal sehat bahwa banyak lulusan LPTK (lembaga pendidikan tenaga kependidikan) yang belum mendapatkan pekerjaan, tapi yang sudah menjadi guru (di RSBI/SBI) justru di-PHK demi memberi tempat bagi tenaga kerja asing. Ini konyol dan menyesatkan! Keempat, Pasal 9 (ayat 3) memberikan kebebasan kepada SBI memungut biaya pendidikan untuk menutupi kekurangan biaya di atas standar pembiayaan yang didasarkan pada RKS (rencana kerja sekolah) dan RKAS (rencana kerja dan anggaran sekolah). Oleh karena RSBI/SBI itu meliputi tingkat SD-SMTA, permendiknas itu jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945 mengingat pendidikan dasar menurut UUD 1945 itu gratis.

Kelima, masalah pengelolaan SBI yang harus memenuhi standar pengelolaan yang diperkaya dengan standar pengelolaan sekolah di negara anggota OECD dan negara maju lainnya; serta menerapkan sistem manajemen mutu ISO 9001 dan ISO 14000 versi terakhir; jelas menyesatkan. Pilihan negara anggota OECD mana yang akan menjadi acuan itu sendiri sudah merupakan masalah tersendiri. Keharusan menerapkan sistem manajemen mutu ISO 9001 dan ISO 14000 versi terakhir itu sama saja memperlakukan sekolah seperti perusahaan manufaktur. Padahal, mengelola sekolah beda sekali dengan mengelola pabrik.

Berdasarkan kajian terhadap Permendiknas No 78/2009 itulah penulis memiliki keyakinan bahwa implementasi dari konsep sekolah bertaraf internasional seperti dimaksud dalam Sisdiknas 20/2003 Pasal 53 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28, 29, 31, 32, dan 36. Keyakinan tersebut yang menghilangkan keraguan kami ketika memutuskan maju ke MK atau tidak. Akhirnya kami memilih maju terus dan kemudian dikabulkan MK. Kami patut mengapresiasi putusan MK tersebut yang mencerminkan keluasan berpikir dan kewicaksanaan bertindak para hakim konstitusi. Agar putusan MK tentang RSBI tersebut dipatuhi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kontrol dari publik harus terus dilakukan. Jangan pengalaman sebelumnya terjadi, yaitu UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) dibatalkan oleh MK, tapi kemudian muncul UU PT (Pendidikan Tinggi). Dengan kata lain, harus ditolak pula ketika RSBI/SBI dibubarkan, tapi kemudian muncul SKM (sekolah kategori mandiri) atau sejenisnya yang hanya merupakan ganti baju.

Semua regulasi yang mengatur tentang RSBI/SBI, termasuk Permendiknas No 78/2009 dan turunannya, harus dicabut. Alihkan alokasi dana untuk ke RSBI/SBI ke sekolah-sekolah swasta pinggiran atau yang ada di daerah-daerah tertinggal demi pemerataan mutu pendidikan. Kembalikan sistem pendidikan nasional ke identitas nasional.

Para penentu kebijakan pendidikan perlu menyimak kembali amanat para founding father kita yang disampaikan melalui 'Subpanitia Pendidikan dan Pengajaran' BPUPKI, yang diketuai oleh Ki Hadjar Dewantara. Dengan para anggotanya terdiri dari Prof Dr Husein Djajadiningrat, Prof Dr Asikin, Prof Ir Rooseno, Ki Bagus Hadji Hadikusumo, dan Kiai Hadji Masykur, yang kelak menjadi landasan rumusan Pasal 31 UUD 1945 asli. Mereka mengamanatkan bahwa "Dalam garis-garis adab perikemanusian, seperti terkandung dalam segala pengajaran agama, maka pendidikan dan pengajaran nasional bersendi agama dan kebudayaan bangsa serta menuju ke arah 'keselamatan' dan 'kebahagiaan' masyarakat". Menciptakan sistem pendidikan yang mengekor ke negara-negara OECD dengan meninggalkan nilai-nilai budaya bangsa sama saja meninggalkan amanat para pendiri bangsa sehingga berdosa besar terhadap bangsa dan negara.


Darmaningtyas,  Perguruan Tamansiswa Jakarta

Sumber: Media Indonesia, Selasa, 15 Januari 2013

Monday, January 14, 2013

RSBI: Rusak Sudah Bangsa Ini

-- Yudhistira ANM Massardi

BELUM lagi reda debat tentang Kurikulum 2013, kini dunia pendidikan dihebohkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi yang memvonis bahwa proyek Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional dan Sekolah Bertaraf Internasional bertentangan dengan UUD 1945.

Kedua perkara itu menarik perhatian masyarakat luas terutama karena nalarnya dinilai tidak nyambung dan bertentangan dengan pemahaman umum tentang tujuan pendidikan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Salah satu di antara banyak pokok keberatan, baik terhadap Kurikulum 2013 maupun proyek RSBI/SBI, meskipun dimaksudkan untuk peningkatan kualitas, pada praktiknya penghapusan bahasa daerah dan penggunaan bahasa Inggris justru dinilai melemahkan jati diri bangsa.

Proyek pembuangan

Kritik lain terhadap proyek RSBI/SBI, yang lantas menjadikan sekolah eksklusif dan mahal, adalah melahirkan diskriminasi kaya-miskin dan meniadakan kewajiban negara menyelenggarakan pendidikan bermutu bagi seluruh warga negara.

Kehebohan ini untuk kesekian kali membuktikan bahwa pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tampaknya tak paham tentang arti dan tujuan pendidikan, apalagi dalam hubungannya dengan kebudayaan. Lahirnya berbagai keputusan yang aneh itu juga menunjukkan bahwa mereka tak paham fungsi Kemdikbud.

Satu-satunya hal yang mereka pahami tampaknya adalah bahwa ada dana triliunan rupiah yang harus segera digelontorkan. Untuk itu, dibuatlah berbagai program sebagai proyek pembuangan uang. Diberitakan, dalam kurun 2006-2010, Kemdikbud telah menyubsidi 1.172 RSBI/SBI dengan dana Rp 11,2 triliun! Proyek itu juga menyedot dana yang tak sedikit dari pemerintah daerah dan masyarakat. Untuk itu, kiranya Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Pemberantasan Korupsi segera mengusut peruntukan dan aliran seluruh dana itu, serta menghukum berat para koruptor apabila ternyata mereka berpesta pora dalam proyek itu.

Hakim konstitusi Akil Mochtar seusai persidangan di Gedung Mahkamah Konstitusi pada 8 Januari lalu tegas mengisyaratkan bahwa kehadiran Pasal 50 Ayat (3) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dijadikan payung hukum bagi proyek RSBI/SBI terkesan dipaksakan.

”Undang-Undang Sisdiknas itu tidak memberikan penjelasan, tiba-tiba pasal itu muncul begitu saja sehingga (harus) dibatalkan,” kata Akil. Jadi, keberadaan norma dalam pasal itu tak memiliki penjelasan dalam pasal-pasal sebelumnya. Fakta adanya ”pasal siluman” ini mengingatkan pada berbagai modus kongkalikong antara eksekutif dan legislatif dalam sejumlah kasus korupsi. KPK harus turun tangan.

Rakyat sudah letih

Setelah MK menyatakan RSBI/SBI inkonstitusional dan harus dibubarkan, Mendikbud M Nuh secara normatif menyatakan menghormati dan akan melaksanakan keputusan MK. Namun, pada saat yang sama, ia menyerukan agar para guru dan siswa RSBI/SBI tetap berkegiatan seperti biasa. Hal serupa dinyatakannya terhadap keputusan Mahkamah Agung beberapa tahun lalu yang menyatakan bahwa ujian nasional harus dihentikan. Namun, hingga kini ia berkeras menyelenggarakan ujian nasional—suatu hal yang menunjukkan pembangkangan hukum.

Semua kemelut itu, selain membingungkan dan menyedihkan, bisa dimaklumi jika juga membangkitkan rasa apatis sekaligus amarah publik. Hendak dididik jadi apa sebenarnya bangsa kita? Sudah 67 tahun merdeka, tetapi pemerintah tak juga mampu merumuskan dan membuat desain besar pendidikan bangsa yang jelas, bernas, dan holistik. Sebuah kebijakan pendidikan yang bisa dipahami akal sehat dan mudah dilaksanakan di lapangan di semua unit pendidikan serta adil bagi seluruh rakyat.

Rakyat sudah letih menjadi bangsa pariah dunia yang moralnya ambruk oleh semeru korupsi, yang pemerintahannya begitu lemah tanpa visi, yang kementerian pendidikannya begitu limbung tanpa arah.

Kerusakan bangsa ini hanya bisa dihentikan jika, pertama-tama, Kemdikbud dan Kementerian Agama yang juga menangani institusi pendidikan sebagai mercusuar intelektualitas dan moralitas berhenti menjadi sarang koruptor. Kedua, Kemdikbud dan Kementerian Agama harus mengibarkan visi membangun manusia Indonesia yang berilmu, berakhlak mulia, dan kukuh jati diri; serta misi membangun lembaga pendidikan nasional yang membuat anak didik bahagia belajar dan cinta belajar sepanjang hayat. Ketiga, semua pihak harus sadar bahwa semua itu tak akan mewujud jika tak dimulai dengan penanganan ekstra serius terhadap pendidikan anak usia dini!

Yudhistira ANM Massardi, Pengelola Sekolah Gratis TK-SD Batutis Al-Ilmi di Bekasi

Sumber: Kompas, Senin, 14 Januari 2013

Sunday, January 13, 2013

Super Reader dan Konvensi Sastra

Oleh M. Taufan Musonip

SEBENARNYA kualitas sastra dipengaruhi pembacaannya. Nilai yang dibentuk pembacaan membentuk semacam konvensi. Konvensi itu sifatnya harus beragam, oleh karenanya saling bertanding dan menyempurnakan. Pada konvensi apakah karya sastra Indonesia digantungkan kualitasnya? Mungkin bisa dibilang salah satu konvensi yang ajeg sampai saat ini adalah sastra koran, skema pemuatan karya ditentukan oleh seleksi yang dilakukan oleh redaksi yang diistilahkan Riffatere sebagai super reader, di dalamnya proses pembacaan dilatar belakangi pemahaman keilmuan untuk menentukan sebuah karya layak dibaca.

Persoalannya, apakah konvensi yang dipegang super reader itu bersifat sejenis atau memiliki perangkat lain, memungkinkan dapat mempertimbangkan konvensi lainnya. Dalam sejarahnya konvensi­konvensi kesusastraan mengalami perkembangan melalui pertentangan yang saling menyempurnakan. Sebuah karya muncul sebagai bentuk semiotika, yang berhadapan dengan semesta sebagai sumber gagasan seorang penulis, penulisnya sendiri, dan pembaca (Abrams, dalam Teeuw 1984). Tiga sudut pandang itu melahirkan mahzab­mahzab pembacaan. Yang pertama, objektivisme, pembacaan berpusat pada karya, di sini kemudian berkembang kritik berhaluan formalis strukturalisme yang lahir di Rusia, salah satu perintisnya adalah Jakobson hingga New Critisism di AS.

Kedua, pembacaan yang berpusat pada pembaca sering disebut sebagai mahzab pragmatisme, perkembangan di dalamnya memautkan haluan­haluan seperti efek dan resepsionisme, sejarah sastra hingga dekonstruksi. Ketiga, mahzab pembacaan yang berpusat pada semesta, dipengaruhi istilah mimetik Aristoteles, yang menganggap sebuah karya adalah cermin dari peristiwa dalam dunia nyata, ini banyak sekali dianut oleh kaum marxisme. Dan yang terakhir adalah ekspresif, pembacaan yang berpusat pada penulisnya.

Keempat mahzab itu saling bertentangan, bahkan terjadi dalam mahzab yang sama. Pertentangan itu kenyataannya menghasilkan berbagai macam cara pembacaan, hingga ke tingkat paling mutakhir.

Kuasa
Kuasa konvensi sastra selain menciptakan masyarakat pembaca yang tak memiliki rujukan atau tertutup pada konvensi lain juga akan menghasilkan karya sastra yang seragam. Padahal  perkembangan kesusastraan dibutuhkan adanya super reader yang memberi pencerahan kepada khalayak pembaca mengenai berbagai sudut pandang cara pembacaan, artinya tugas super reader itu adalah mengupayakan naiknya tahta pembaca, dari semata­mata konsumen atas karya sastra menjadi pembaca yang tercerahkan dengan mengenalkan berbagai khazanah keilmuan, baik melalui selektifitas karya maupun karya kritik dalam cakupan sudut pandang keilmuan secara menyeluruh. Hal itu akan berdampak pula pada kualitas kekaryaan, semakin tinggi aktifitas super reader menciptakan pembaca melek ilmu, maka semakin tercipta variasi­variasi bentuk kekaryaan, variable itu akan mencerminkan sebuah masyarakat pembaca dan penulis yang maju sebagaimana sejarah kritik itu berlangsung, karya sastra dan pertentangan berbagai macam konvensi selalu melahirkan mahzab baru.

Tentu saja hal itu akan terjadi jika karya­karya yang bersifat rekaan (puisi, cerpen, dan novel) kelahirannya selalu diimbangi dengan karya kritik yang di Indonesia sendiri sedang mengalami paceklik.
Konvensi sastra koran yang menjadi dermaga bagi kapal­kapal kecil kritik atas karya sastra masih dianggap satu pegangan yang menjadi gantungan penilaian kualitas karya. Terbatasnya ruang dalam rubrik koran sering dijadikan alasan sebuah karya kritik tak memiliki keleluasaan membicarakan karya secara lebih komprehensif. Padahal tradisi kritik sendiri merupakan barometer kekaryaan, semakin luas kesempatan yang diberikan untuknya, maka penciptaan kelas  super reader semakin tinggi, semakin tinggi terciptanya masyarakat pembaca dengan latar keilmuan melalui pembacaan karya kritik, kualitas karya pun semakin meningkat, tentunya dengan diiringi semakin meluasnya variable harapan pembaca (konvensi), dengan itu maka akan terciptalah sebuah masyarakat yang menghendaki lahirnya konvensi baru, meninggalkan keprihatinan tradisi kritik paska dua aliran terkemuka di Indonesia: Ganzheit dan Rawamangun.

Menciptakan Pembaca
Hal itu tidak akan terjadi jika aktifitas kekaryaan kita sudah menemu kepuasan melalui kuasa konvensi yang ada. Kemajuan proses kekaryaan berlangsung di dalam tradisi kritik yang hegar, tentu kemudian akan disusul dengan kenyataan bahwa lahirnya sebuah karya bukan lagi memenuhi kuasa konvensi, tetapi menciptakan pembaca melalui berbagai bentuk khazanah estetika. Kritik bertugas sebagai pembawa kayu estafet kekaryaan dengan sifatnya yang non rekaan, kepada khalayak pembaca bagaimana membaca sebuah karya.
Jika memang koran tak memberi kesempatan lebih leluasa tampilnya karya kritik, maka harapannya adalah adanya karya kritik dalam bentuk buku dengan niatan awal menulis buku, berarti mempersiapkan kerangka yang lebih terstruktur, kini adakah karya kritik dalam bentuknya yang terstruktur mengenai sebuah karya berbentuk buku sehabis Arief Budiman (1976) mengulas karya­-karya Chairil Anwar berjudul Sebuah Pertemuan -- ­itupun masih dalam satu dimensi sudut pandang: ekspresionis.

Atau memang karya kritik dalam bentuk buku dengan pembahasan yang komprehensif lebih pantas dilakukan oleh para akademisi sastra? Kenyataannya kita sedang menunggu itu, jika tidak, mungkinkah penulis autodidak mampu merebutnya, ditengah­tengah berlangsungnya paceklik karya kritik.

M. Taufan Musonip, aktif di Forum Sastra Bekasi (FSB)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 Januari 2012

[Buku] Psikologi Penyebar Teror

Data buku

Terorisme di Indonesia dalam Tinjauan Psikologi


Sarlito Wirawan Sarwono

Alvabet, 2012

168 hlm.

ASUMSI sebagian kalangan bahwa pelaku terorisme adalah orang-orang penyandang sakit jiwa, penderita gangguan kepribadian, pribadi yang sadis, atau sebagaimana pendapat literatur Barat yang menganggap akibat libido seksual yang tidak tersalurkan, nampaknya keliru.

Hasil penelitian terhadap pelaku Bom Bali I, dan sejumlah mantan pelaku teror lain di Tanah Air mengungkapkan bahwa para pelaku teror tersebut merupakan orang-orang biasa, bahkan beberapa diantaranya tergolong cerdas, hanya saja memiliki ideologi yang menganggap dirinya paling benar dan ideologi lain salah serta merusak sehingga dengan demikian harus diperangi.

Demikianlah menurut Sarlito Wirawan Sarwono, seorang psikolog yang secara intens meneliti psikologi para pelaku teror, terutama Bom Bali I, sebagaimana diungkapkan dalam buku berjudul lengkap Terorisme di Indonesia; dalam Tinjauan Psikologi ini. Sebuah buku yang bukan sekedar didedikasikan untuk tujuan akademik, namun juga memiliki fungsi aplikatif.

Secara kognitif, pemikiran yang dangkal dari para pelaku terkait dengan struktur berpikir yang sederhana. Sebagian besar memiliki pendidikan yang sangat terbatas dan hampir tak ada pengalaman di luar komunitasnya. Bahkan, pelaku yang terdidik sekalipun, tidak menunjukkan tanda-tanda memiliki pikiran yang luas. Tipikal semacam inilah yang paling mudah dan rentan terkena virus radikalisme.

Beberapa di antara mereka mempercayai bahwa dengan memperbaiki masyarakat melalui jihad, akan meningkatkan taraf hidup mereka sendiri yang artinya mendapat keuntungan lebih besar di masa depan. Bagi para pelaku, Islam bukanlah semata-mata sebagai agama, namun juga ideologi. Terlepas dari adanya agama lain di Indonesia, negara ini harus diatur secara syariah (hlm. 54)

Menariknya, di balik motif yang jelas dan terungkap secara verbal tersebut terdapat pula beberapa motif implisit, seperti kebutuhan atas identitas diri, kebutuhan untuk diakui, dan kebutuhan atas harga diri. Hal ini tidaklah mengherankan, mengingat pelaku teror mayoritas berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah tanpa pekerjaan permanen.

Untuk merekrut anggota baru, kelompok teroris menggunakan pendekatan yang berbeda. Intinya adalah menyasar pada krisis identitas. Melalui kerabat, teman ataupun guru, organisasi ini menawarkan informasi religius yang dibutuhkan oleh calon anggotanya, atau komitmen untuk terlibat langsung dalam upaya membela agama dan kesempatan membalas dendam atas kekejaman orang kafir.

Empat profil pelaku Bom Bali I: Imam Samudra, Ali Ghufron, Amrozi, dan Ali Imron, yang dideskripsikan pada bab 2, semuanya memiliki rasa dan perasaan yang sama tentang ketidakadilan yang sedang terjadi menimpa umat Islam saat ini serta ketidakberdayaan untuk melawan, sehingga teror menjadi pilihan. Hanya Ali Imron yang kemudian merasa bahwa apa yang telah dilakukannya adalah salah, dan menyesal (hlm. 8-43) 

Di sisi lain, perkembangan yang terjadi belakangan ini semakin membuat kita miris mengingat pelaku teror saat ini sudah semakin menyebar di luar “jalur tradisional”, yang selama ini tersimpan dalam file polisi. Peristiwa teror penembakan Polisi di Solo dan ledakan bom di Depok 8 September 2012 lalu, yang nota bene dilakukan anak-anak muda  memperkuat kekhawatiran tersebut.

Anak remaja yang masih awam pemahaman agama serta secara psikologis tengah mencari identitas diri, nampaknya menjadi sasaran empuk bagi para propagandis ideologi keras ini. Infiltrasi terhadap sekolah dan Perguruan Tinggi pun dilakukan dengan memanfaatkan simbol, sentimen, dan baju Islam untuk melakukan cuci otak (brainwash) untuk tujuan yang justru merusak agama itu sendiri (hlm. 120) 

Buku setebal 168 Halaman ini, bukan sekadar menyuguhkan profil para teroris kenamaan Indonesia, sekaligus juga mengupas kondisi psikologis mereka, mulai dari pandangan keagamaan dan ideologi politik, karakter, kebiasaan hidup, perilaku sosial, serta motivasi melakukan kekerasan.

Selain itu, karya mantan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini, mendedah ciri serta karakteristik juru bicara serta tutor ideologi teror tersebut. Seperti; selalu menamkan kebencian terhadap negara dan pemerintahan dan menganggap pemerintah Indonesia sebagai thaghut, setan, karena tidak menjadikan al-Qur’an sebagai dasarnya. 

Dengan demikian, penulis buku ini tidak sekadar mengutuk peristiwa teror  yang terjadi, tetapi juga memberikan parameter yang berfungsi sebagai deteksi dini kepada pembaca perihal faktor-faktor serta kepribadian yang rentan memproduksi jiwa penebar teror. Penulis juga menawarkan solusi yang diharapkan mampu memutus mata rantai aksi serupa dikemudian hari. 
   
Noval Maliki, Pemerhati Buku, tinggal di Yogyakarta

Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 Januari 2012