Data buku
Terorisme di Indonesia dalam Tinjauan Psikologi
Sarlito Wirawan Sarwono
Alvabet, 2012
168 hlm.
ASUMSI sebagian kalangan bahwa pelaku terorisme adalah orang-orang penyandang sakit jiwa, penderita gangguan kepribadian, pribadi yang sadis, atau sebagaimana pendapat literatur Barat yang menganggap akibat libido seksual yang tidak tersalurkan, nampaknya keliru.
Hasil penelitian terhadap pelaku Bom Bali I, dan sejumlah mantan pelaku teror lain di Tanah Air mengungkapkan bahwa para pelaku teror tersebut merupakan orang-orang biasa, bahkan beberapa diantaranya tergolong cerdas, hanya saja memiliki ideologi yang menganggap dirinya paling benar dan ideologi lain salah serta merusak sehingga dengan demikian harus diperangi.
Demikianlah menurut Sarlito Wirawan Sarwono, seorang psikolog yang secara intens meneliti psikologi para pelaku teror, terutama Bom Bali I, sebagaimana diungkapkan dalam buku berjudul lengkap Terorisme di Indonesia; dalam Tinjauan Psikologi ini. Sebuah buku yang bukan sekedar didedikasikan untuk tujuan akademik, namun juga memiliki fungsi aplikatif.
Secara kognitif, pemikiran yang dangkal dari para pelaku terkait dengan struktur berpikir yang sederhana. Sebagian besar memiliki pendidikan yang sangat terbatas dan hampir tak ada pengalaman di luar komunitasnya. Bahkan, pelaku yang terdidik sekalipun, tidak menunjukkan tanda-tanda memiliki pikiran yang luas. Tipikal semacam inilah yang paling mudah dan rentan terkena virus radikalisme.
Beberapa di antara mereka mempercayai bahwa dengan memperbaiki masyarakat melalui jihad, akan meningkatkan taraf hidup mereka sendiri yang artinya mendapat keuntungan lebih besar di masa depan. Bagi para pelaku, Islam bukanlah semata-mata sebagai agama, namun juga ideologi. Terlepas dari adanya agama lain di Indonesia, negara ini harus diatur secara syariah (hlm. 54)
Menariknya, di balik motif yang jelas dan terungkap secara verbal tersebut terdapat pula beberapa motif implisit, seperti kebutuhan atas identitas diri, kebutuhan untuk diakui, dan kebutuhan atas harga diri. Hal ini tidaklah mengherankan, mengingat pelaku teror mayoritas berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah tanpa pekerjaan permanen.
Untuk merekrut anggota baru, kelompok teroris menggunakan pendekatan yang berbeda. Intinya adalah menyasar pada krisis identitas. Melalui kerabat, teman ataupun guru, organisasi ini menawarkan informasi religius yang dibutuhkan oleh calon anggotanya, atau komitmen untuk terlibat langsung dalam upaya membela agama dan kesempatan membalas dendam atas kekejaman orang kafir.
Empat profil pelaku Bom Bali I: Imam Samudra, Ali Ghufron, Amrozi, dan Ali Imron, yang dideskripsikan pada bab 2, semuanya memiliki rasa dan perasaan yang sama tentang ketidakadilan yang sedang terjadi menimpa umat Islam saat ini serta ketidakberdayaan untuk melawan, sehingga teror menjadi pilihan. Hanya Ali Imron yang kemudian merasa bahwa apa yang telah dilakukannya adalah salah, dan menyesal (hlm. 8-43)
Di sisi lain, perkembangan yang terjadi belakangan ini semakin membuat kita miris mengingat pelaku teror saat ini sudah semakin menyebar di luar “jalur tradisional”, yang selama ini tersimpan dalam file polisi. Peristiwa teror penembakan Polisi di Solo dan ledakan bom di Depok 8 September 2012 lalu, yang nota bene dilakukan anak-anak muda memperkuat kekhawatiran tersebut.
Anak remaja yang masih awam pemahaman agama serta secara psikologis tengah mencari identitas diri, nampaknya menjadi sasaran empuk bagi para propagandis ideologi keras ini. Infiltrasi terhadap sekolah dan Perguruan Tinggi pun dilakukan dengan memanfaatkan simbol, sentimen, dan baju Islam untuk melakukan cuci otak (brainwash) untuk tujuan yang justru merusak agama itu sendiri (hlm. 120)
Buku setebal 168 Halaman ini, bukan sekadar menyuguhkan profil para teroris kenamaan Indonesia, sekaligus juga mengupas kondisi psikologis mereka, mulai dari pandangan keagamaan dan ideologi politik, karakter, kebiasaan hidup, perilaku sosial, serta motivasi melakukan kekerasan.
Selain itu, karya mantan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini, mendedah ciri serta karakteristik juru bicara serta tutor ideologi teror tersebut. Seperti; selalu menamkan kebencian terhadap negara dan pemerintahan dan menganggap pemerintah Indonesia sebagai thaghut, setan, karena tidak menjadikan al-Qur’an sebagai dasarnya.
Dengan demikian, penulis buku ini tidak sekadar mengutuk peristiwa teror yang terjadi, tetapi juga memberikan parameter yang berfungsi sebagai deteksi dini kepada pembaca perihal faktor-faktor serta kepribadian yang rentan memproduksi jiwa penebar teror. Penulis juga menawarkan solusi yang diharapkan mampu memutus mata rantai aksi serupa dikemudian hari.
Noval Maliki, Pemerhati Buku, tinggal di Yogyakarta
Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 Januari 2012
Terorisme di Indonesia dalam Tinjauan Psikologi
Sarlito Wirawan Sarwono
Alvabet, 2012
168 hlm.
ASUMSI sebagian kalangan bahwa pelaku terorisme adalah orang-orang penyandang sakit jiwa, penderita gangguan kepribadian, pribadi yang sadis, atau sebagaimana pendapat literatur Barat yang menganggap akibat libido seksual yang tidak tersalurkan, nampaknya keliru.
Hasil penelitian terhadap pelaku Bom Bali I, dan sejumlah mantan pelaku teror lain di Tanah Air mengungkapkan bahwa para pelaku teror tersebut merupakan orang-orang biasa, bahkan beberapa diantaranya tergolong cerdas, hanya saja memiliki ideologi yang menganggap dirinya paling benar dan ideologi lain salah serta merusak sehingga dengan demikian harus diperangi.
Demikianlah menurut Sarlito Wirawan Sarwono, seorang psikolog yang secara intens meneliti psikologi para pelaku teror, terutama Bom Bali I, sebagaimana diungkapkan dalam buku berjudul lengkap Terorisme di Indonesia; dalam Tinjauan Psikologi ini. Sebuah buku yang bukan sekedar didedikasikan untuk tujuan akademik, namun juga memiliki fungsi aplikatif.
Secara kognitif, pemikiran yang dangkal dari para pelaku terkait dengan struktur berpikir yang sederhana. Sebagian besar memiliki pendidikan yang sangat terbatas dan hampir tak ada pengalaman di luar komunitasnya. Bahkan, pelaku yang terdidik sekalipun, tidak menunjukkan tanda-tanda memiliki pikiran yang luas. Tipikal semacam inilah yang paling mudah dan rentan terkena virus radikalisme.
Beberapa di antara mereka mempercayai bahwa dengan memperbaiki masyarakat melalui jihad, akan meningkatkan taraf hidup mereka sendiri yang artinya mendapat keuntungan lebih besar di masa depan. Bagi para pelaku, Islam bukanlah semata-mata sebagai agama, namun juga ideologi. Terlepas dari adanya agama lain di Indonesia, negara ini harus diatur secara syariah (hlm. 54)
Menariknya, di balik motif yang jelas dan terungkap secara verbal tersebut terdapat pula beberapa motif implisit, seperti kebutuhan atas identitas diri, kebutuhan untuk diakui, dan kebutuhan atas harga diri. Hal ini tidaklah mengherankan, mengingat pelaku teror mayoritas berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah tanpa pekerjaan permanen.
Untuk merekrut anggota baru, kelompok teroris menggunakan pendekatan yang berbeda. Intinya adalah menyasar pada krisis identitas. Melalui kerabat, teman ataupun guru, organisasi ini menawarkan informasi religius yang dibutuhkan oleh calon anggotanya, atau komitmen untuk terlibat langsung dalam upaya membela agama dan kesempatan membalas dendam atas kekejaman orang kafir.
Empat profil pelaku Bom Bali I: Imam Samudra, Ali Ghufron, Amrozi, dan Ali Imron, yang dideskripsikan pada bab 2, semuanya memiliki rasa dan perasaan yang sama tentang ketidakadilan yang sedang terjadi menimpa umat Islam saat ini serta ketidakberdayaan untuk melawan, sehingga teror menjadi pilihan. Hanya Ali Imron yang kemudian merasa bahwa apa yang telah dilakukannya adalah salah, dan menyesal (hlm. 8-43)
Di sisi lain, perkembangan yang terjadi belakangan ini semakin membuat kita miris mengingat pelaku teror saat ini sudah semakin menyebar di luar “jalur tradisional”, yang selama ini tersimpan dalam file polisi. Peristiwa teror penembakan Polisi di Solo dan ledakan bom di Depok 8 September 2012 lalu, yang nota bene dilakukan anak-anak muda memperkuat kekhawatiran tersebut.
Anak remaja yang masih awam pemahaman agama serta secara psikologis tengah mencari identitas diri, nampaknya menjadi sasaran empuk bagi para propagandis ideologi keras ini. Infiltrasi terhadap sekolah dan Perguruan Tinggi pun dilakukan dengan memanfaatkan simbol, sentimen, dan baju Islam untuk melakukan cuci otak (brainwash) untuk tujuan yang justru merusak agama itu sendiri (hlm. 120)
Buku setebal 168 Halaman ini, bukan sekadar menyuguhkan profil para teroris kenamaan Indonesia, sekaligus juga mengupas kondisi psikologis mereka, mulai dari pandangan keagamaan dan ideologi politik, karakter, kebiasaan hidup, perilaku sosial, serta motivasi melakukan kekerasan.
Selain itu, karya mantan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini, mendedah ciri serta karakteristik juru bicara serta tutor ideologi teror tersebut. Seperti; selalu menamkan kebencian terhadap negara dan pemerintahan dan menganggap pemerintah Indonesia sebagai thaghut, setan, karena tidak menjadikan al-Qur’an sebagai dasarnya.
Dengan demikian, penulis buku ini tidak sekadar mengutuk peristiwa teror yang terjadi, tetapi juga memberikan parameter yang berfungsi sebagai deteksi dini kepada pembaca perihal faktor-faktor serta kepribadian yang rentan memproduksi jiwa penebar teror. Penulis juga menawarkan solusi yang diharapkan mampu memutus mata rantai aksi serupa dikemudian hari.
Noval Maliki, Pemerhati Buku, tinggal di Yogyakarta
Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 Januari 2012
No comments:
Post a Comment