Data buku:
Problematika Kepemilikan Tanah Bagi Orang Asing: Sebuah Tinjauan Yuridis-Filosofis
F.X. Sumarja, S.H., M.H.
Indepth Publishing, Bandar Lampung
I, 2012
xiv + 83 hlm
MANUSIA dan tanah adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan lagi. Perkembangan zaman membuat tanah tidak lagi hanya menjadi tempat berpijak semata, tetapi telah berubah menjadi satu objek yang bernilai strategis karena di dalamnya tidak hanya terkandung aspek fisik semata, tetapi meliputi aspek sosial, ekonomi, budaya, dan politik.
Pesat modernisasi di negara-negara berkembang menjadikan tanah sebagai salah satu objek investasi yang sangat berharga untuk dimiliki, tidak hanya diminati oleh WNI, tanah di Indonesia juga memancing hasrat WNA untuk mencoba memilikinya. Pertanyaan kemudian muncul apakah orang asing berhak memiliki tanah di Indonesia?
Permasalahan inilah yang dilihat oleh F.X. Sumarja, dalam tulisannya dalam pengelolaan tanah di Indonesia telah banyak mengalami pergeseran dari tujuan awalnya untuk menyejahterakan masyarakat, kepemilikan orang asing atas tanah adalah fenomena gunung es yang sulit diendus, berbagai cara orang asing berusaha memiliki tanah di Indonesia. Jika hal ini tidak diatasi dengan langkah preventif oleh negara, akan memberikan dampak negatif yang multidimensional.
Penulis dengan lugas beliau mengupas permasalahan tersebut dengan pisau analisis dalam perspektif yuridis-filosofis.
Hukum Indonesia melalui UU Pokok Agraria (UU PA) dengan tegas menyatakan bahwa orang asing tidak boleh dan tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik. Orang asing hanya diperkenankan untuk menguasai tanah dengan hak pakai dan hak sewa untuk bangunan. Ketentuan ini dilaksanakan berdasarkan UU PA melalui prinsip nasionalitas dan kebangsaan diterjemahkan dan dituangkan dalam ketentuan Pasal 9 Ayat (1) berbunyi: Hanya WNI yang dapat mempunyai hubungan hukum yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
Pada prakteknya permasalahan ini tidaklah sesederhana itu, orang asing dapat memiliki tanah melalui strategi penyelundupan hukum, salah satunya dengan cara menikahi WNI. Di mana tanah tersebut secara hukum memang dimiliki oleh WNI, tetapi secara pengelolaan, orang asing dapat menggunakannya seolah-olah ?miliknya sendiri? karena terikat dalam harta perkawinan. Hal semacam ini sudah banyak terjadi di antara di beberapa daerah, di antaranya di Lampung dan Bali.
Penyelundupan tersebut tidak jarang dinakhodai aparat pemerintah, seperti kepada desa, camat, notaris atau PPAT bahkan ditenggarai oknum Badan Pertanahan Nasional (BPN) turut andil sebagai mafia tanah. Selanjutnya penulis mendalilkan bahwa semua perjanjian dan tindakan yang terkait dengan penyelundupan hukum berakibat batal demi hukum karena bertentangan dengan UUPA itu sendiri.
Perubahan Paradigma
Pada kasus-kasus penyelundupan hakum, penulis menemukan satu kesimpulan di mana telah terjadi pergeseran paradigma atas tanah dimana penguasaan tanah bukan lagi pada nilai-nilai kehormatan, kebanggaan dan keberhasilan pribadi, identitas diri dan martabat, melainkan semata-mata berorientasi pada nilai ekonomis.
Pragmatisme ekonomi menjadi pertimbangan orang untuk mengelola, memanfaatkan, dan menguasai tanah hak milik. Masyarakat menerima begitu saja fenomena tersebut sehingga terkesan menyetujui penguasaan tanah hak milik oleh orang asing, meskipun ilegal. Padahal jika diteliti lebih jauh lagi, pendirian semacam itu tidak sepenuhnya benar. Oleh karena itu, pembenahan aspek kondisi kultur dari budaya masyarakat perlu adanya.
Penulis tidak menjadikan masyarakat satu-satunya penyebab terjadinya peralihan tanah kepada orang asing, teori negara kesejahteraan yang menjadi basis analisis penulis, mengupas larangan kepemilikan tanah bagi orang asing dikaitkannya dengan pendapat Jeremy Bentham yang menganggap bahwa permasalahan ini berkaitan dengan tanggung jawab negara untuk menjamin the greatest happines (or welfare) of the gratest number of citizent, pemerintah harus semaksimal mungkin mengarahkan semua kebijakanya untuk meningkatkan masyarakatnya.
Selain itu, pengalihan kepemilikan kepada pihak asing di Indonesia banyak menjadikan perempuan sebagai korban. Mereka jelas tidak mengetahui maksud terselubung dari WNA yang menikahi mereka. Mahasiswa Program Doktoral Undip ini dengan jelas menjelaskan bahwa perempuan memiliki hak untuk mengelola tanah. Ketentuan ini sudah ada sejak UU PA diberlakukan yaitu melalui asas persamaan hak bagi setiap warga negara, yang di dalamnya tidak membeda-bedakan laki-laki maupun perempuan.
Buku ini adalah satu karya yang langka dalam pergulatan akademik di Indonesia dan sekaligus menyadarkan kita bahwa satu masalah yang berkaitan dengan tanah sangatlah kompleks, F.X. Sumarja sangat jeli melihat satu permasalahan dan mengupasnya dari perspektif yang jarang dijamah akademisi hukum lainnya menjadikan buku ini sangat berharga untuk menambah khazanah pengetahuan kita. n
Andhika Prayoga, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 6 Januari 2013
Problematika Kepemilikan Tanah Bagi Orang Asing: Sebuah Tinjauan Yuridis-Filosofis
F.X. Sumarja, S.H., M.H.
Indepth Publishing, Bandar Lampung
I, 2012
xiv + 83 hlm
MANUSIA dan tanah adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan lagi. Perkembangan zaman membuat tanah tidak lagi hanya menjadi tempat berpijak semata, tetapi telah berubah menjadi satu objek yang bernilai strategis karena di dalamnya tidak hanya terkandung aspek fisik semata, tetapi meliputi aspek sosial, ekonomi, budaya, dan politik.
Pesat modernisasi di negara-negara berkembang menjadikan tanah sebagai salah satu objek investasi yang sangat berharga untuk dimiliki, tidak hanya diminati oleh WNI, tanah di Indonesia juga memancing hasrat WNA untuk mencoba memilikinya. Pertanyaan kemudian muncul apakah orang asing berhak memiliki tanah di Indonesia?
Permasalahan inilah yang dilihat oleh F.X. Sumarja, dalam tulisannya dalam pengelolaan tanah di Indonesia telah banyak mengalami pergeseran dari tujuan awalnya untuk menyejahterakan masyarakat, kepemilikan orang asing atas tanah adalah fenomena gunung es yang sulit diendus, berbagai cara orang asing berusaha memiliki tanah di Indonesia. Jika hal ini tidak diatasi dengan langkah preventif oleh negara, akan memberikan dampak negatif yang multidimensional.
Penulis dengan lugas beliau mengupas permasalahan tersebut dengan pisau analisis dalam perspektif yuridis-filosofis.
Hukum Indonesia melalui UU Pokok Agraria (UU PA) dengan tegas menyatakan bahwa orang asing tidak boleh dan tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik. Orang asing hanya diperkenankan untuk menguasai tanah dengan hak pakai dan hak sewa untuk bangunan. Ketentuan ini dilaksanakan berdasarkan UU PA melalui prinsip nasionalitas dan kebangsaan diterjemahkan dan dituangkan dalam ketentuan Pasal 9 Ayat (1) berbunyi: Hanya WNI yang dapat mempunyai hubungan hukum yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
Pada prakteknya permasalahan ini tidaklah sesederhana itu, orang asing dapat memiliki tanah melalui strategi penyelundupan hukum, salah satunya dengan cara menikahi WNI. Di mana tanah tersebut secara hukum memang dimiliki oleh WNI, tetapi secara pengelolaan, orang asing dapat menggunakannya seolah-olah ?miliknya sendiri? karena terikat dalam harta perkawinan. Hal semacam ini sudah banyak terjadi di antara di beberapa daerah, di antaranya di Lampung dan Bali.
Penyelundupan tersebut tidak jarang dinakhodai aparat pemerintah, seperti kepada desa, camat, notaris atau PPAT bahkan ditenggarai oknum Badan Pertanahan Nasional (BPN) turut andil sebagai mafia tanah. Selanjutnya penulis mendalilkan bahwa semua perjanjian dan tindakan yang terkait dengan penyelundupan hukum berakibat batal demi hukum karena bertentangan dengan UUPA itu sendiri.
Perubahan Paradigma
Pada kasus-kasus penyelundupan hakum, penulis menemukan satu kesimpulan di mana telah terjadi pergeseran paradigma atas tanah dimana penguasaan tanah bukan lagi pada nilai-nilai kehormatan, kebanggaan dan keberhasilan pribadi, identitas diri dan martabat, melainkan semata-mata berorientasi pada nilai ekonomis.
Pragmatisme ekonomi menjadi pertimbangan orang untuk mengelola, memanfaatkan, dan menguasai tanah hak milik. Masyarakat menerima begitu saja fenomena tersebut sehingga terkesan menyetujui penguasaan tanah hak milik oleh orang asing, meskipun ilegal. Padahal jika diteliti lebih jauh lagi, pendirian semacam itu tidak sepenuhnya benar. Oleh karena itu, pembenahan aspek kondisi kultur dari budaya masyarakat perlu adanya.
Penulis tidak menjadikan masyarakat satu-satunya penyebab terjadinya peralihan tanah kepada orang asing, teori negara kesejahteraan yang menjadi basis analisis penulis, mengupas larangan kepemilikan tanah bagi orang asing dikaitkannya dengan pendapat Jeremy Bentham yang menganggap bahwa permasalahan ini berkaitan dengan tanggung jawab negara untuk menjamin the greatest happines (or welfare) of the gratest number of citizent, pemerintah harus semaksimal mungkin mengarahkan semua kebijakanya untuk meningkatkan masyarakatnya.
Selain itu, pengalihan kepemilikan kepada pihak asing di Indonesia banyak menjadikan perempuan sebagai korban. Mereka jelas tidak mengetahui maksud terselubung dari WNA yang menikahi mereka. Mahasiswa Program Doktoral Undip ini dengan jelas menjelaskan bahwa perempuan memiliki hak untuk mengelola tanah. Ketentuan ini sudah ada sejak UU PA diberlakukan yaitu melalui asas persamaan hak bagi setiap warga negara, yang di dalamnya tidak membeda-bedakan laki-laki maupun perempuan.
Buku ini adalah satu karya yang langka dalam pergulatan akademik di Indonesia dan sekaligus menyadarkan kita bahwa satu masalah yang berkaitan dengan tanah sangatlah kompleks, F.X. Sumarja sangat jeli melihat satu permasalahan dan mengupasnya dari perspektif yang jarang dijamah akademisi hukum lainnya menjadikan buku ini sangat berharga untuk menambah khazanah pengetahuan kita. n
Andhika Prayoga, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 6 Januari 2013
No comments:
Post a Comment