-- Fakhrunnas M.A. Jabbar
SASTRAWAN Hamid Jabbar?sebagaimana juga sastrawan-sastrawan lain?semasa hidupnya sering diundang baca puisi atau menjadi juri. Pihak pengundang bisa beragam. Mulai instansi pemerintah, paguyuban, sanggar seni, kampus atau sekolahan. Hamid biasanya pasti menanyakan: berapa honor yang mau diberi? Soalnya, sering honor yang diterima hanya pas untuk bayar ongkos taksi pergi-pulang ke tempat acara.
Sikap terus terang yang ditunjukkan Hamid Jabbar sebenarnya sebuah keniscayaan. Sebab, tugas mulia seorang sastrawan dalam ikut memberikan pencerdasan dan pembelajaran (baca: apresiasi) bagi orang kebanyakan tak perlu diragukan lagi. Tapi realitas hidup sastrawan sendiri yang memerlukan materi (nafkah) bagi kehidupan keluarganya tentu tak bisa diabaikan begitu saja. Dalam teori ekonomi disebut opportunity cost.
Persoalannya sejak dulu, apakah sastrawan (baca: penulis) itu sebuah profesi? Membahas soal ini tentu selalu berbuah polemik panjang. Pasalnya, para sastrawan lahir dan tumbuh dengan latar belakang yang beragam. Tak banyak sastrawan yang menggantungkan hidup-matinya dari pekerjaan menghasilkan karya sastra. Bahkan, masih banyak sastrawan yang ragu-ragu menyebutkan pekerjaan atau profesinya sebagai ?penulis? dalam data-data KTP atau biodata lainnya.
Andai sastrawan diakui sebagai profesi tentulah pekerjaan menulis atau berkegiatan dalam ruang lingkup sastra merupakan kerja profesional. Sebuah pekerjaan yang harus dihargai (diapresiasi) secara materi. Layaknya, pekerjaan wartawan, pengacara, petinju, bidan, guru, dosen, trainer, MC, dan profesi lainnya yang mempunyai standar gaji, upah atau honorarium. Tentulah dalam mengukuhkan profesionalisme tugas dan tanggungjawab diperlukan standar kompetensi yang dijadikan rujukan semua pihak.
Pekerjaan bersastra yang diperankan para sastrawan dari zaman ke zaman di negeri ini selalu berada pada tataran hobi atau kesenangan belaka. Kalaupun ada sejumlah sastrawan yang berhasil melejitkan karya-karyanya sehingga digilai publik, hal itu pun diraih setelah bertahun-tahun dan bisa secara tak terduga. Sebutlah nama besar J.K. Rowling dengan serial novel Harry Potter, Habiburrahman el-Shirazy dengan sejumlah novel, di antaranya Ayat-ayat Cinta, Andrea Hirata dengan Laskar Pelangi.
Dalam pesta sastra Indonesia terpampang nama-nama besar sastrawan dari setiap angkatan sastra untuk menyebut beberapa nama mulai dari Amir Hamzah, Chairil Anwar, Soeman Hs, W.S. Rendra, Budi Darma, Pramoedya Ananta Toer, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Afrizal Malna, Ayu Utami, Helvy Tianarosa, Asma Nadia hingga Dee. Sebagian besar karya-karya mereka sudah diapresiasi secara baik oleh masyarakat pembaca. Namun, tak semua mereka yang benar-benar mampu hidup semata-mata dari pekerjaan bersastra atau menulis seumur hidupnya.
Keberadaan sastrawan lebih diidentikkan dengan pekerjaan-pekerjaan apresiasi. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata ?apresiasi? bermakna : kesadaran terhadap nilai seni dan budaya; penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu; dan kenaikan nilai barang karena harga pasarnya naik atau permintaan akan barang itu bertambah. Apresiasi sastra tentulah sikap kesadaran dan penilaian (penghargaan) terhadap karya dan aktivitas sastra. Sebagai profesi, pekerjaan bersastra itu hendaklah dihargai tidak hanya secara spritual, tetapi materi.
Hingga kini memang belum ada standar kompetensi bagi pekerjaan sastrawan. Hal ini hampir senada dengan posisi ulama atau penyampai pesan keagamaan yang bekerja atas dasar keikhlasan. Namun, pekerjaan sastrawan tentu tidak selalu sama dengan tugas-tugas dakwah keagamaan.
Namun, makna kata ?apresiasi? dalam praktek kehidupan para sastrawan terkesan terus mengalami degradasi atau pelenyapan makna. Tugas-tugas seorang sastrawan selalu dilekatkan pada tanggung jawab memberikan apresiasi (menumbuhkan sikap menghargai terhadap karya sastra) tanpa mempertimbangkan nilai materi yang harus diperhitungkan sebagai konsekuensi mengikuti atau menjalankan tugas-tugas mulia itu.
Untuk tugas menumbuhkan apresiasi bagi publik, para sastrawan tentu sudah berperan banyak.
Sastrawan bisa lahir kapan dan di mana saja. Siapa pun bisa jadi sastrawan dalam arti luas tanpa ada persyaratan-persyaratan kompetensi. Semua orang memulai jadi sastrawan dari sikap volunterisme (kesukarelaan) karena didorong minat, bakat, dan hobi. Namun, banyak yang tak terduga, hobi bersastra itu bagi sebagian sastrawan bermuara pada pekerjaan profesional yang mendatangkan nilai materi. Bukan tak sedikit sastrawan yang menggantungkan hidup dari karya-karya yang dipersembahkan kepada publik baik publikasi, penayangan atau pertunjukan.
Semua sastrawan yang sudah punya nama pastilah melewati fase-fase awal hanya sekadar memuaskan jiwa atau menjalani kesenangan. Namun, dalam waktu berjalan?dengan segala suka-duka, tentu saja?karya-karya yang dihasilkan dan dipublikasi akan melahirkan nama dan dihargai dalam bentuk nilai materi (honorarium atau apa pun namanya).
Itulah sebabnya apresiasi yang diberikan publik tidak cukup pada karya sastra belaka. Hal yang tak kalah penting berkaitan dengan apresiai terhadap sastrawan itu sendiri. Sebenarnya untuk profesi penyanyi atau pemusik, apresiasi ini terasa lebih signifikan. Selain nilai apresiasi materi terhadap karya lagu atau nyanyian yang dipublikasi lewat CD, DVD, MP3, MP4, kaset dan sejenisnya bernilai cukup tinggi juga sistem royalti diatur dan dikawal oleh institusi yang profesional.
Sedangkan sastrawan baru terbatas pada penerbitan buku, art performance atau sebagian kecil berupa CD dan DVD dengan nilai royalti dan nilai jual yang terbatas. Bayangkan saja, royalti penerbitan buku dari pihak penerbit hanya berkisar 10%?15% saja. Syukur-syukur buku yang diterbitkan jadi best seller.
Oleh sebab itu, bisa dibayangkan tak banyak sastrawan yang mampu hidup secara layak dan sejahtera karena nilai-nilai apresiasi material yang kurang pantas. Realitas di depan mata, banyak sastrawan yang diundang dalam perhelatan sastra justru harus mengeluarkan dana (nilai materi) terkait transportasi dan lain-lain. Tragisnya lagi, sastrawan ikut tampil menyajikan karyanya justru tidak diapresiasi secara materi sama sekali. Anehnya, hal itu dilakukan oleh penyelenggara yang berasal dari kalangan sastrawan sendiri.
Apresiasi materi pada hakikatnya bukan bicara soal besar-kecil nilai, melainkan ada atau tidaknya nilai materi yang diberikan. Begitulah apresiasi sastra dan sastrawan dapat terus diwujudkan dan dipertahankan. Nilai apresiasi materi semacam ini dijamin tidak akan membuat sastrawan jadi kaya-raya. n
Fakhrunnas M.A. Jabbar, sastrawan, budayawan, tinggal di Pekanbaru.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 6 Januari 2013
SASTRAWAN Hamid Jabbar?sebagaimana juga sastrawan-sastrawan lain?semasa hidupnya sering diundang baca puisi atau menjadi juri. Pihak pengundang bisa beragam. Mulai instansi pemerintah, paguyuban, sanggar seni, kampus atau sekolahan. Hamid biasanya pasti menanyakan: berapa honor yang mau diberi? Soalnya, sering honor yang diterima hanya pas untuk bayar ongkos taksi pergi-pulang ke tempat acara.
Sikap terus terang yang ditunjukkan Hamid Jabbar sebenarnya sebuah keniscayaan. Sebab, tugas mulia seorang sastrawan dalam ikut memberikan pencerdasan dan pembelajaran (baca: apresiasi) bagi orang kebanyakan tak perlu diragukan lagi. Tapi realitas hidup sastrawan sendiri yang memerlukan materi (nafkah) bagi kehidupan keluarganya tentu tak bisa diabaikan begitu saja. Dalam teori ekonomi disebut opportunity cost.
Persoalannya sejak dulu, apakah sastrawan (baca: penulis) itu sebuah profesi? Membahas soal ini tentu selalu berbuah polemik panjang. Pasalnya, para sastrawan lahir dan tumbuh dengan latar belakang yang beragam. Tak banyak sastrawan yang menggantungkan hidup-matinya dari pekerjaan menghasilkan karya sastra. Bahkan, masih banyak sastrawan yang ragu-ragu menyebutkan pekerjaan atau profesinya sebagai ?penulis? dalam data-data KTP atau biodata lainnya.
Andai sastrawan diakui sebagai profesi tentulah pekerjaan menulis atau berkegiatan dalam ruang lingkup sastra merupakan kerja profesional. Sebuah pekerjaan yang harus dihargai (diapresiasi) secara materi. Layaknya, pekerjaan wartawan, pengacara, petinju, bidan, guru, dosen, trainer, MC, dan profesi lainnya yang mempunyai standar gaji, upah atau honorarium. Tentulah dalam mengukuhkan profesionalisme tugas dan tanggungjawab diperlukan standar kompetensi yang dijadikan rujukan semua pihak.
Pekerjaan bersastra yang diperankan para sastrawan dari zaman ke zaman di negeri ini selalu berada pada tataran hobi atau kesenangan belaka. Kalaupun ada sejumlah sastrawan yang berhasil melejitkan karya-karyanya sehingga digilai publik, hal itu pun diraih setelah bertahun-tahun dan bisa secara tak terduga. Sebutlah nama besar J.K. Rowling dengan serial novel Harry Potter, Habiburrahman el-Shirazy dengan sejumlah novel, di antaranya Ayat-ayat Cinta, Andrea Hirata dengan Laskar Pelangi.
Dalam pesta sastra Indonesia terpampang nama-nama besar sastrawan dari setiap angkatan sastra untuk menyebut beberapa nama mulai dari Amir Hamzah, Chairil Anwar, Soeman Hs, W.S. Rendra, Budi Darma, Pramoedya Ananta Toer, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Afrizal Malna, Ayu Utami, Helvy Tianarosa, Asma Nadia hingga Dee. Sebagian besar karya-karya mereka sudah diapresiasi secara baik oleh masyarakat pembaca. Namun, tak semua mereka yang benar-benar mampu hidup semata-mata dari pekerjaan bersastra atau menulis seumur hidupnya.
Keberadaan sastrawan lebih diidentikkan dengan pekerjaan-pekerjaan apresiasi. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata ?apresiasi? bermakna : kesadaran terhadap nilai seni dan budaya; penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu; dan kenaikan nilai barang karena harga pasarnya naik atau permintaan akan barang itu bertambah. Apresiasi sastra tentulah sikap kesadaran dan penilaian (penghargaan) terhadap karya dan aktivitas sastra. Sebagai profesi, pekerjaan bersastra itu hendaklah dihargai tidak hanya secara spritual, tetapi materi.
Hingga kini memang belum ada standar kompetensi bagi pekerjaan sastrawan. Hal ini hampir senada dengan posisi ulama atau penyampai pesan keagamaan yang bekerja atas dasar keikhlasan. Namun, pekerjaan sastrawan tentu tidak selalu sama dengan tugas-tugas dakwah keagamaan.
Namun, makna kata ?apresiasi? dalam praktek kehidupan para sastrawan terkesan terus mengalami degradasi atau pelenyapan makna. Tugas-tugas seorang sastrawan selalu dilekatkan pada tanggung jawab memberikan apresiasi (menumbuhkan sikap menghargai terhadap karya sastra) tanpa mempertimbangkan nilai materi yang harus diperhitungkan sebagai konsekuensi mengikuti atau menjalankan tugas-tugas mulia itu.
Untuk tugas menumbuhkan apresiasi bagi publik, para sastrawan tentu sudah berperan banyak.
Sastrawan bisa lahir kapan dan di mana saja. Siapa pun bisa jadi sastrawan dalam arti luas tanpa ada persyaratan-persyaratan kompetensi. Semua orang memulai jadi sastrawan dari sikap volunterisme (kesukarelaan) karena didorong minat, bakat, dan hobi. Namun, banyak yang tak terduga, hobi bersastra itu bagi sebagian sastrawan bermuara pada pekerjaan profesional yang mendatangkan nilai materi. Bukan tak sedikit sastrawan yang menggantungkan hidup dari karya-karya yang dipersembahkan kepada publik baik publikasi, penayangan atau pertunjukan.
Semua sastrawan yang sudah punya nama pastilah melewati fase-fase awal hanya sekadar memuaskan jiwa atau menjalani kesenangan. Namun, dalam waktu berjalan?dengan segala suka-duka, tentu saja?karya-karya yang dihasilkan dan dipublikasi akan melahirkan nama dan dihargai dalam bentuk nilai materi (honorarium atau apa pun namanya).
Itulah sebabnya apresiasi yang diberikan publik tidak cukup pada karya sastra belaka. Hal yang tak kalah penting berkaitan dengan apresiai terhadap sastrawan itu sendiri. Sebenarnya untuk profesi penyanyi atau pemusik, apresiasi ini terasa lebih signifikan. Selain nilai apresiasi materi terhadap karya lagu atau nyanyian yang dipublikasi lewat CD, DVD, MP3, MP4, kaset dan sejenisnya bernilai cukup tinggi juga sistem royalti diatur dan dikawal oleh institusi yang profesional.
Sedangkan sastrawan baru terbatas pada penerbitan buku, art performance atau sebagian kecil berupa CD dan DVD dengan nilai royalti dan nilai jual yang terbatas. Bayangkan saja, royalti penerbitan buku dari pihak penerbit hanya berkisar 10%?15% saja. Syukur-syukur buku yang diterbitkan jadi best seller.
Oleh sebab itu, bisa dibayangkan tak banyak sastrawan yang mampu hidup secara layak dan sejahtera karena nilai-nilai apresiasi material yang kurang pantas. Realitas di depan mata, banyak sastrawan yang diundang dalam perhelatan sastra justru harus mengeluarkan dana (nilai materi) terkait transportasi dan lain-lain. Tragisnya lagi, sastrawan ikut tampil menyajikan karyanya justru tidak diapresiasi secara materi sama sekali. Anehnya, hal itu dilakukan oleh penyelenggara yang berasal dari kalangan sastrawan sendiri.
Apresiasi materi pada hakikatnya bukan bicara soal besar-kecil nilai, melainkan ada atau tidaknya nilai materi yang diberikan. Begitulah apresiasi sastra dan sastrawan dapat terus diwujudkan dan dipertahankan. Nilai apresiasi materi semacam ini dijamin tidak akan membuat sastrawan jadi kaya-raya. n
Fakhrunnas M.A. Jabbar, sastrawan, budayawan, tinggal di Pekanbaru.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 6 Januari 2013
No comments:
Post a Comment