-- Hardi Hamzah
KETIKA publik dunia melalui jejaring sosial disibukkan oleh kultur ketakutan yang dimainkan oleh suku Maya dimana asal usulnya dari tanah berantakan Amerika Selatan, Mexico dan Guatemala, menjalarlah peradaban modern kultur global dalam keberantakan sosial.
Peradaban yang sedemikian canggih, mampu disalahgunakan oleh orientasi budaya dan peradaban anak turunan suku Inka. Padahal, kita pahami bersama, bahwa dalam mempercayai mitologi kuno kalender yang nota bene penuh kegaiban, yakni tentang kiamat. Ini berarti kita mundur 2000 tahun lebih semasa ada Zoroaster.
Nampaknya tidak ada jaringan sosial modern, bisa mengedepankan, bahkan menggemparkan orang-orang modern. Ya, katakanlah ini bisa komoditi budaya, tetapi anutan kita yang dijejaki oleh imprialisme modern, globalisasi dalam cengkraman neoliberalisme, kiranya sangat tidak kita sadari. Indikator akan hal ini dapat dilihat dalam proses budaya politik lokal, yang memainkan peran seniman lokal untuk menghantar mereka menjadi kekuasaan yang kapitalis tadi.
Kembali pada “kesibukan kita” beberapa waktu berselang tentang Jumat 21 Desember 2012 yang akan kiamat itu, anasir-anasirnya semakin kuat bagi psikopolitik kebudayaan. Dengan kata lain, kita sedang ikut kebudayaa global tanpa memilah esensi etika bangsa bangsa kita yang sejarahnya begitu gemilang. Ini penulis ajukan, karena “amnesia kita” terhadap kultur Indonesia, berakibat sedemikian fatal.
Contoh sederhana, enam bulan setelah salah satu gubernur mengejek kuda kepang adalah kebudayaan yang paling tidak menarik, secara ironi muncul gangnam style yang total kuda lumping ditonton oleh 1 milyar. Dalam bahasa yang lebih sederhana, kebudayaan global yang kita tangkap, hanyalah kesejarahan yang jauh dari semangat moralitas agama dan budipekerti.
Dalam pemahaman di atas, wahana jejaring sosial dalam konteks pembentukan budaya, ternyata kita pahami sebagai bagian yang cukup penting. Ini terbukti, bahwa bangsa yang penuh dengan moralitas agama tidak berupaya membangun peradaban melalui kebudayaan yang penuh budipekerti. Mungkin kita masih ingat tentang singkritisme Jawa, sungguh ia sarat mitologi dalam dimensi yang terbebaskan dari nilai global. Dan, ini tidak kita maknai sebagai suatu kekuatan.
Walaupun sukar kita untuk menutup mata, globalisasi yang tingkat transformatifnya yang sedemikian eksklaratif, justru sepantasnya kita tangkap ke dalam wilayah akulturasi budaya antara mitologi lama (baca: Amerika dan Eropa) dengan mitologi kekuatan Indonesia dalam diplomasi kebudayaan ketika pasca kemerdekaan.
Makin Tercecer
Dalam pemetaan itulah wilayah yang terpenting bagi kehidupan bangsa kita yang semakin tereduksi nasionalismenya, kiranya budaya dan atau kebudayaan itu sendiri benar-benar bersenyawa dengan etik dan moralitas agama, yang tentu saja bermuara pada budipekerti. Apa yang penulis uraikan di atas maksudnya, tidak ada pembauran yang naif dalam akulturasi budaya, karena kalau kita memandang suatu isu dalam etnisitas terbelakang, katakanlah Mexico dan Guatemala, Ini menjadikan semakin tergerusnya budaya bangsa kita. Sebagai contoh, di Jawa Barat lebih dari 52 budaya sekarang yang aktif hanya 16. Belum lagi kesenian tradisi dan foklor orang-orang diseputar Indonesia bagian Timur.
Dari sudut pandang di atas, harus ada impersonalisasi kultural, dalam arti setiap anasir kebudayaan Indonesia menjadi horizon kekuatan budaya lokal yang dikoordinasikan oleh pemerintah. Ini maksudnya, agar diplomasi kebudayaan yang selama ini kita pnadang sebagai dunia lain diluar wilayah realitas kerja fraksis kita, sesungguhnya menyulut disintegrasi dan potensi konflik.
Jejaring sosial memang tidak tertolakkan, namun keterjebakan masyarakat Asia, khususnya Indonesia yang mengutamakan demokrasi, cenderung memandulkan diplomasi kebudayaan, hal ini sebagai resultante “pengaruh kepercayaan” semu terhadap mitologi bangsa yang tidak maju, seperti yang ditransformasikan oleh suku Maya.
Perlawanan terhadap kebudayaan global dalam konteks mitologi historis, sesungguhnya telah ditunjukkan oleh jaman kenabian, dan ini jauh dari era renaisans. Mengapa kemudian proses prilaku budipekerti untuk membentuk kebudayaan dalam peradaban Indonesia modern, justru tertinggal jauh dibelakang India, Brazil bahkan negara kecil seperti Venezuela. Dalam kaitan ini, mungkin kita perlu kekuatan budaya Asia ketika Ciang Kai Sek di awal abad 20 memainkan kultur stratifikasi masyarakat kekaisaran Cina, dus ia mampu mensustainable pola hubungan terhadap pembentukan suatu peradaban.
Demikian pula Bung Karno dengan Trisaktinya, Mao Zedong dengan revolusi kebudayaan, Deng Xiao Ping dengan empat kebijakan Deng dalam proses ekonomi kebudayaan, ini indikator terhadap mitologi yang dibangun secara perspektif.
Dalam khazanah yang gugusan yang pluralis sebagaimana Indonesia dengan struktur demografi yang sedemikian dominan, dapatlah dikatakan bahwa, kita semakin tercecer pada jargon SARA, ini kuno namanya. Seharusnya penetrasi budaya Asia, Afrika, Amerika Latin dan Eropa pada umumnya, penetrasinya terekam pada jejak langkah mitologi kebudayaan daerah kita.
Di Belanda, misalnya, kita menemukan suatu kekuatan konveksi yang berusia 104 tahun tanpa pudar. Di Jerman, kita menjual kekuatan tradisi silat yang menjadi bagian transformasi penari yang kondang di manca negara, seperti Eko Budi Santoso. Ini artinya, bahwa menghadapi kebudayaan global yang bermuara dari imperialisme, kita harus mengidentifikasi jati diri, sehingga dalam kita menangkap budaya global tidak mengalami keberantakan sosial.
Hardi Hamzah, Peneliti Madya Mahar Indonesia Foundation
Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Januari 2013
KETIKA publik dunia melalui jejaring sosial disibukkan oleh kultur ketakutan yang dimainkan oleh suku Maya dimana asal usulnya dari tanah berantakan Amerika Selatan, Mexico dan Guatemala, menjalarlah peradaban modern kultur global dalam keberantakan sosial.
Peradaban yang sedemikian canggih, mampu disalahgunakan oleh orientasi budaya dan peradaban anak turunan suku Inka. Padahal, kita pahami bersama, bahwa dalam mempercayai mitologi kuno kalender yang nota bene penuh kegaiban, yakni tentang kiamat. Ini berarti kita mundur 2000 tahun lebih semasa ada Zoroaster.
Nampaknya tidak ada jaringan sosial modern, bisa mengedepankan, bahkan menggemparkan orang-orang modern. Ya, katakanlah ini bisa komoditi budaya, tetapi anutan kita yang dijejaki oleh imprialisme modern, globalisasi dalam cengkraman neoliberalisme, kiranya sangat tidak kita sadari. Indikator akan hal ini dapat dilihat dalam proses budaya politik lokal, yang memainkan peran seniman lokal untuk menghantar mereka menjadi kekuasaan yang kapitalis tadi.
Kembali pada “kesibukan kita” beberapa waktu berselang tentang Jumat 21 Desember 2012 yang akan kiamat itu, anasir-anasirnya semakin kuat bagi psikopolitik kebudayaan. Dengan kata lain, kita sedang ikut kebudayaa global tanpa memilah esensi etika bangsa bangsa kita yang sejarahnya begitu gemilang. Ini penulis ajukan, karena “amnesia kita” terhadap kultur Indonesia, berakibat sedemikian fatal.
Contoh sederhana, enam bulan setelah salah satu gubernur mengejek kuda kepang adalah kebudayaan yang paling tidak menarik, secara ironi muncul gangnam style yang total kuda lumping ditonton oleh 1 milyar. Dalam bahasa yang lebih sederhana, kebudayaan global yang kita tangkap, hanyalah kesejarahan yang jauh dari semangat moralitas agama dan budipekerti.
Dalam pemahaman di atas, wahana jejaring sosial dalam konteks pembentukan budaya, ternyata kita pahami sebagai bagian yang cukup penting. Ini terbukti, bahwa bangsa yang penuh dengan moralitas agama tidak berupaya membangun peradaban melalui kebudayaan yang penuh budipekerti. Mungkin kita masih ingat tentang singkritisme Jawa, sungguh ia sarat mitologi dalam dimensi yang terbebaskan dari nilai global. Dan, ini tidak kita maknai sebagai suatu kekuatan.
Walaupun sukar kita untuk menutup mata, globalisasi yang tingkat transformatifnya yang sedemikian eksklaratif, justru sepantasnya kita tangkap ke dalam wilayah akulturasi budaya antara mitologi lama (baca: Amerika dan Eropa) dengan mitologi kekuatan Indonesia dalam diplomasi kebudayaan ketika pasca kemerdekaan.
Makin Tercecer
Dalam pemetaan itulah wilayah yang terpenting bagi kehidupan bangsa kita yang semakin tereduksi nasionalismenya, kiranya budaya dan atau kebudayaan itu sendiri benar-benar bersenyawa dengan etik dan moralitas agama, yang tentu saja bermuara pada budipekerti. Apa yang penulis uraikan di atas maksudnya, tidak ada pembauran yang naif dalam akulturasi budaya, karena kalau kita memandang suatu isu dalam etnisitas terbelakang, katakanlah Mexico dan Guatemala, Ini menjadikan semakin tergerusnya budaya bangsa kita. Sebagai contoh, di Jawa Barat lebih dari 52 budaya sekarang yang aktif hanya 16. Belum lagi kesenian tradisi dan foklor orang-orang diseputar Indonesia bagian Timur.
Dari sudut pandang di atas, harus ada impersonalisasi kultural, dalam arti setiap anasir kebudayaan Indonesia menjadi horizon kekuatan budaya lokal yang dikoordinasikan oleh pemerintah. Ini maksudnya, agar diplomasi kebudayaan yang selama ini kita pnadang sebagai dunia lain diluar wilayah realitas kerja fraksis kita, sesungguhnya menyulut disintegrasi dan potensi konflik.
Jejaring sosial memang tidak tertolakkan, namun keterjebakan masyarakat Asia, khususnya Indonesia yang mengutamakan demokrasi, cenderung memandulkan diplomasi kebudayaan, hal ini sebagai resultante “pengaruh kepercayaan” semu terhadap mitologi bangsa yang tidak maju, seperti yang ditransformasikan oleh suku Maya.
Perlawanan terhadap kebudayaan global dalam konteks mitologi historis, sesungguhnya telah ditunjukkan oleh jaman kenabian, dan ini jauh dari era renaisans. Mengapa kemudian proses prilaku budipekerti untuk membentuk kebudayaan dalam peradaban Indonesia modern, justru tertinggal jauh dibelakang India, Brazil bahkan negara kecil seperti Venezuela. Dalam kaitan ini, mungkin kita perlu kekuatan budaya Asia ketika Ciang Kai Sek di awal abad 20 memainkan kultur stratifikasi masyarakat kekaisaran Cina, dus ia mampu mensustainable pola hubungan terhadap pembentukan suatu peradaban.
Demikian pula Bung Karno dengan Trisaktinya, Mao Zedong dengan revolusi kebudayaan, Deng Xiao Ping dengan empat kebijakan Deng dalam proses ekonomi kebudayaan, ini indikator terhadap mitologi yang dibangun secara perspektif.
Dalam khazanah yang gugusan yang pluralis sebagaimana Indonesia dengan struktur demografi yang sedemikian dominan, dapatlah dikatakan bahwa, kita semakin tercecer pada jargon SARA, ini kuno namanya. Seharusnya penetrasi budaya Asia, Afrika, Amerika Latin dan Eropa pada umumnya, penetrasinya terekam pada jejak langkah mitologi kebudayaan daerah kita.
Di Belanda, misalnya, kita menemukan suatu kekuatan konveksi yang berusia 104 tahun tanpa pudar. Di Jerman, kita menjual kekuatan tradisi silat yang menjadi bagian transformasi penari yang kondang di manca negara, seperti Eko Budi Santoso. Ini artinya, bahwa menghadapi kebudayaan global yang bermuara dari imperialisme, kita harus mengidentifikasi jati diri, sehingga dalam kita menangkap budaya global tidak mengalami keberantakan sosial.
Hardi Hamzah, Peneliti Madya Mahar Indonesia Foundation
Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Januari 2013
No comments:
Post a Comment