-- Marsus Banjarbarat
‘’Koran tanpa sastra adalah barbar,’’ begitulah kata seorang teman suatu ketika saat saya duduk, ngopi bersama di warung kopi.
Sebagai orang awam yang baru belajar sastra (cerpen dan puisi), tentu saya merasa penasaran. Tidak hanya itu, tapi juga ada rasa keingintahuan maksud dari pendapat itu. Sebab kalau kita baca beberapa media (koran) akhir-akhir iniyang sebelumnya memuat rubrik sastra dan budaya, sekarang sudah tidak ada. Artinya ruang sastra di media semakin hari sudah semakin sempit.
Di tengah keramaian dan kerumunan orang-orang yang sedang ngobrol di warung kopi. Sesekali disertai rintik hujan yang indah dan sepoi angin yang berhembus pelan, saya menyimak, lalu memberi kesimpulan sendiri atas pemahaman saya tentang obrolan tersebut.
Begini kira-kira yang saya tangkap dari obrolan itu:
Koran yang merupakan salah satu media yang memuat berita-berita aktual dalam berbagai topik, hampir setiap hari kalau kita cermati pasti tidak terlepas dari berita karut-marut kehidupan manusia yang terjadi saat ini. Entah berita itu tentang politik, bencana alam, selebritis, olahraga, dan berbagai kehidupan lain dalam peristiwa sehari-hari. Dan diantara berita tersebut terkadang membuat kita senang, sedih, haru, bahkan ketakutan. Oleh karena itu hadirnya rubrik sastra dan budaya yang terbit setiap satu minggu sekali paling tidak bisa menjadi pengobat bagi penikmat koran dengan cerita-ceritanya atau dengan kelembutan kata-kata lewat syair dan puisinya. Meskipun sebenarnya karya sastra tidak hanya berkutat pada keindahan kata-kata. Lebih dari itu adalah bagaimana kedalaman makna yang dikandungnya.
Sastra merupakan sebuah karangan yang memiliki katarsis (penyucian diri dari hal-hal yang membawa kita pada pembaruan rohani dan pelepasan diri dari rasa tegang). Oleh karena itu, adanya berita-berita yang kerap membuat kita ‘tersentak’ seperti: kemiskinan, pembunuhan, pemerkosaan, dan bencana alam lainnya dalam koran tersebut akan terasa lembut dan tercerahkan dengan adanya rubrik sastra dan budaya.
Terlepas dari hal itu, sebenarnya yang perlu digaris bawahi bahwa, sastra menjadi salah satu alat kontrol politik. Tidak heran kalau mendiang Presiden Amerika Serikat, John F Kennedy pernah menganalogikan antara politik dan sastra: apabila politik membengkokkan, sajak yang meluruskannya. Begitu juga Mastur Taher yang menuliskan sajaknya yang berjudul: ‘’Nur...Nyut...Nyut’’, yang menggambarkan betapa pusingnya rakyat menghadapi ulah pejabat. Nyut nyut nyut, kepala senut-senut, pikirkan bangsa karut-marut, segala urusan semrawut. Para pemimpin asyik saling sikut, rakyat dibuat pusing kalang kabut, tak paham mana yang mesti diturut.
Sastrawan Taufik Ismail dalam komentarnya yang berjudul ‘’Puisi sebagai Saluran Ekspresi Siapapun’’, menyatakan: ‘’Penyair melalui sajaknya menjadi kontrol kerja pemimpin atau penguasa. Bila kerja seorang pemimpin atau penguasa bagus, ia berhak mendapat pujian-pujian. Tetapi bila kerja seorang pemimpin atau penguasa buruk, maka sajaklah yang akan menjadi alat untuk meneriakkan kritik yang lantang.’’
Dalam kaitan ini kita perlu mengoreksi ulang mengapa keterpurukan bangsa Indonesia terus berlarut-larut? Kalau saya kaitkan dengan pendapat beberapa Sastrawan di atas, bahwa jauhnya para pemimpin dari seni, termasuk seni sastra, telah menumpulkan kepekaan nuraninya sehingga tidak menyentuh nasib rakyatnya. Yang ia perjuangkan hanyalah dirinya sendiri agar bisa menjadi ‘nomor satu’ diantara orang-orang yang lain.
Nah, kembali pada persoalan awal, tentang bagaimana asumsi koran tanpa sastra adalah babar? Umbu Landu Paranggi, yang dijuluki bapak Presiden Malioboro yang kini mengasuh rubrik sastra di koran Bali Post pernah mengatakan, bahwa koran tanpa lembaran sastra dan kebudayaan, seolah-olah koran barbar. Sastra koran tidak menghambat, karena di sana orang tetap bisa mencari dan menemukan.
Saya sendiri mengartikan bahwa, koran yang tidak memiliki ruang sastra, secara tidak langsung adalah kelainan dari bentuk ‘kecacatan’ sebuah media (koran) dalam memuat berita atau informasi. Sebab media tanpa sastra yang memiliki katarsis akan terasa kering, gersang, cendrung tidak terkontrol, saling sikut-sikutan, bahkan saling ‘membunuh’ satu sama lain.
Lalu, pertanyaan yang muncul kemudian dalam benak saya, apakah berita atau informasi yang ada di suatu media memiliki pengaruh atas perubahan kehidupan bangsa kita? Marilah kita pikirkan bersama dengan melihat realitas yang terjadi disekeliling kita.***
Marsus Banjarbarat, Penikmat sastra, bergiat di Komunitas Rudal, tinggal di Jogja
Sumber: Riau Pos, Minggu, 20 Januari 2013
‘’Koran tanpa sastra adalah barbar,’’ begitulah kata seorang teman suatu ketika saat saya duduk, ngopi bersama di warung kopi.
Sebagai orang awam yang baru belajar sastra (cerpen dan puisi), tentu saya merasa penasaran. Tidak hanya itu, tapi juga ada rasa keingintahuan maksud dari pendapat itu. Sebab kalau kita baca beberapa media (koran) akhir-akhir iniyang sebelumnya memuat rubrik sastra dan budaya, sekarang sudah tidak ada. Artinya ruang sastra di media semakin hari sudah semakin sempit.
Di tengah keramaian dan kerumunan orang-orang yang sedang ngobrol di warung kopi. Sesekali disertai rintik hujan yang indah dan sepoi angin yang berhembus pelan, saya menyimak, lalu memberi kesimpulan sendiri atas pemahaman saya tentang obrolan tersebut.
Begini kira-kira yang saya tangkap dari obrolan itu:
Koran yang merupakan salah satu media yang memuat berita-berita aktual dalam berbagai topik, hampir setiap hari kalau kita cermati pasti tidak terlepas dari berita karut-marut kehidupan manusia yang terjadi saat ini. Entah berita itu tentang politik, bencana alam, selebritis, olahraga, dan berbagai kehidupan lain dalam peristiwa sehari-hari. Dan diantara berita tersebut terkadang membuat kita senang, sedih, haru, bahkan ketakutan. Oleh karena itu hadirnya rubrik sastra dan budaya yang terbit setiap satu minggu sekali paling tidak bisa menjadi pengobat bagi penikmat koran dengan cerita-ceritanya atau dengan kelembutan kata-kata lewat syair dan puisinya. Meskipun sebenarnya karya sastra tidak hanya berkutat pada keindahan kata-kata. Lebih dari itu adalah bagaimana kedalaman makna yang dikandungnya.
Sastra merupakan sebuah karangan yang memiliki katarsis (penyucian diri dari hal-hal yang membawa kita pada pembaruan rohani dan pelepasan diri dari rasa tegang). Oleh karena itu, adanya berita-berita yang kerap membuat kita ‘tersentak’ seperti: kemiskinan, pembunuhan, pemerkosaan, dan bencana alam lainnya dalam koran tersebut akan terasa lembut dan tercerahkan dengan adanya rubrik sastra dan budaya.
Terlepas dari hal itu, sebenarnya yang perlu digaris bawahi bahwa, sastra menjadi salah satu alat kontrol politik. Tidak heran kalau mendiang Presiden Amerika Serikat, John F Kennedy pernah menganalogikan antara politik dan sastra: apabila politik membengkokkan, sajak yang meluruskannya. Begitu juga Mastur Taher yang menuliskan sajaknya yang berjudul: ‘’Nur...Nyut...Nyut’’, yang menggambarkan betapa pusingnya rakyat menghadapi ulah pejabat. Nyut nyut nyut, kepala senut-senut, pikirkan bangsa karut-marut, segala urusan semrawut. Para pemimpin asyik saling sikut, rakyat dibuat pusing kalang kabut, tak paham mana yang mesti diturut.
Sastrawan Taufik Ismail dalam komentarnya yang berjudul ‘’Puisi sebagai Saluran Ekspresi Siapapun’’, menyatakan: ‘’Penyair melalui sajaknya menjadi kontrol kerja pemimpin atau penguasa. Bila kerja seorang pemimpin atau penguasa bagus, ia berhak mendapat pujian-pujian. Tetapi bila kerja seorang pemimpin atau penguasa buruk, maka sajaklah yang akan menjadi alat untuk meneriakkan kritik yang lantang.’’
Dalam kaitan ini kita perlu mengoreksi ulang mengapa keterpurukan bangsa Indonesia terus berlarut-larut? Kalau saya kaitkan dengan pendapat beberapa Sastrawan di atas, bahwa jauhnya para pemimpin dari seni, termasuk seni sastra, telah menumpulkan kepekaan nuraninya sehingga tidak menyentuh nasib rakyatnya. Yang ia perjuangkan hanyalah dirinya sendiri agar bisa menjadi ‘nomor satu’ diantara orang-orang yang lain.
Nah, kembali pada persoalan awal, tentang bagaimana asumsi koran tanpa sastra adalah babar? Umbu Landu Paranggi, yang dijuluki bapak Presiden Malioboro yang kini mengasuh rubrik sastra di koran Bali Post pernah mengatakan, bahwa koran tanpa lembaran sastra dan kebudayaan, seolah-olah koran barbar. Sastra koran tidak menghambat, karena di sana orang tetap bisa mencari dan menemukan.
Saya sendiri mengartikan bahwa, koran yang tidak memiliki ruang sastra, secara tidak langsung adalah kelainan dari bentuk ‘kecacatan’ sebuah media (koran) dalam memuat berita atau informasi. Sebab media tanpa sastra yang memiliki katarsis akan terasa kering, gersang, cendrung tidak terkontrol, saling sikut-sikutan, bahkan saling ‘membunuh’ satu sama lain.
Lalu, pertanyaan yang muncul kemudian dalam benak saya, apakah berita atau informasi yang ada di suatu media memiliki pengaruh atas perubahan kehidupan bangsa kita? Marilah kita pikirkan bersama dengan melihat realitas yang terjadi disekeliling kita.***
Marsus Banjarbarat, Penikmat sastra, bergiat di Komunitas Rudal, tinggal di Jogja
Sumber: Riau Pos, Minggu, 20 Januari 2013
No comments:
Post a Comment