Friday, December 31, 2010

Hanya Satu Kata: Indonesia!

-- Herry Tjahyono

FINAL Piala AFF, Indonesia melawan Malaysia, sungguh bermakna sebab dalam konteks relasi bilateral dengan mereka selama ini kita telah kalah.

Berbagai kasus tenaga kerja kita di Malaysia dengan segenap penderitaan mereka, sikap arogan Malaysia dalam banyak kasus, soal perbatasan, dan pencaplokan simbol budaya menunjukkan kekalahan kita sebagai bangsa.

Pada saat yang sama kita mengimpor habis dari Malaysia berbagai bisnis jasa: telekomunikasi, rumah sakit, sampai bank. Bangsa kita mayoritas cuma jadi karyawan biasa. Kita bukan tuan di negeri sendiri. Di Malaysia kita jadi kuli. Di negeri sendiri kita juga kuli. Martabat bangsa pecundang telah tercerabut.

Dalam ilmu ekologi ada semacam aksioma: ekosistem yang canggih akan mengeksploitasi ekosistem yang sederhana. Negara maju akan memeras negara miskin. Dan itulah yang terjadi, saudara muda yang licik, tapi lebih kaya itu memecundangi kita. Padahal, dalam dasawarsa 1970-an hingga 1980-an mereka mengimpor guru dari Indonesia. Dalam soal teroris, Malaysia justru mengekspornya ke Indonesia, dan malah tidak meneror negerinya sendiri.

Psikologi pecundang

Kita bodoh sekaligus picik. Kita babat sendiri energi klimaks yang terpendam dalam diri setiap pemain. Kita terlampau percaya diri, heboh dan bodoh mengeksploitasi sendiri para pemain nasional: ada yang mengusung agenda politik, semuanya bermuara pada sensasi dan kepentingan diri dan kelompok.

Berbagai kekalahan TKI di sana merupakan pucuk gunung es dari kekalahan kita sebagai bangsa. Selama ini kita sebagai rakyat adalah manusia yang kalah bahkan di negeri sendiri.

Selama para pemimpin, politisi, orang kaya, koruptor, aparat pemerintah, petinggi institusi cacat moral terus memainkan psikologi orang kalah dengan cara selalu berebut jadi pemenang dan tanpa nurani mengorbankan rakyat untuk jadi pecundang, psikologi orang kalah akan tetap jadi sindroma bangsa. Selama itu pula kita tetap jadi bangsa bodoh dan pecundang.

Psikologi kebangkitan

Karena itu, final Piala AFF merupakan momentum psikologi kebangkitan bangsa Indonesia. Ada beberapa perspektif kebangkitan yang perlu dibahas. Pertama, kekalahan kesebelasan Indonesia dari kesebelasan Malaysia bukanlah kekalahan kesebelasan itu sendiri, melainkan kekalahan para pemimpin, oportunis politik-ekonomi, penumpang gelap versi Effendi Gazali, atau siapa pun kita masing-masing yang suka mengeksploitasi sesama bangsa.

Kedua, sindroma bangsa akibat psikologi orang kalah membuat kita jadi bangsa yang malas mengekspresikan segenap kemampuan manusiawi terbaik. Dalam konteks ini kesebelasan nasional kita sesungguhnya pemenang sejati. Pada putaran kedua mereka mencapai pengalaman puncak sebagai ciri sebuah proses aktualisasi diri. Mengadaptasi Maslow, aktualisasi diri akan membuat manusia mencapai pengalaman puncak. Bayangkan, putaran pertama kalah 0-3. Putaran kedua kemasukan duluan 0-1. Bagi orang kebanyakan, itu masa depan suram. Namun, mereka tetap mengaktualisasikan diri sedemikian sempurna di lapangan dan membalikkan keadaan jadi menang 2–1.

Saat itu menang atau kalah tak lagi esensial. Yang lebih esensial adalah bagaimana mereka bersedia memberi serta melakukan yang terbaik dari segenap bakat dan kapasitas yang dimiliki. Dengan kinerja terbaik mereka di putaran kedua, para pemain sesungguhnya telah menjadi juara sejati. Piala tak lebih dari bonus.

Ketiga, lihatlah puluhan ribu bahkan jutaan penonton kita. Itu sungguh menggetarkan nurani, tatkala jutaan manusia berbagai suku, agama, ras, dan golongan bisa bertemu menyatukan hasrat dengan tertib hanya untuk berteriak: ”Indonesia!”

Akhirnya kita perlu bertanya: mengapa para pemain kita mampu mengaktualisasikan diri sedemikian baik dan jutaan penonton mampu berperilaku demikian menggetarkan? Hanya ada dua penjelasan. Pertama, dahaga panjang untuk bangkit dan bebas dari perasaan sebagai manusia pecundang. Semua itu bukan sekadar soal haus akan kemenangan atau juara belaka. Namun, dahaga mengembalikan martabat bangsanya.

Kedua, rasa cinta terhadap bangsa dan negaranya yang demikian tulus dan menggelora. Memang hanya cinta itu yang tersisa dalam diri mereka. Hanya cinta sehingga pemain dan penonton tetap bersedia memberikan yang terbaik di tengah keterpurukan martabat.

Para pemain dan puluhan ribu penonton itu sudah selangkah di depan pemimpinnya meneriakkan satu kata: Indonesia! Garuda itu telah terbang tinggi.

Herry Tjahyono, Terapis Budaya Perusahaan dan Sumber Daya Manusia

Sumber: Kompas, Jumat, 31 Desember 2010

Thursday, December 30, 2010

Bangsa yang Haus Kebanggaan

-- Bagus Takwin

BERBANGGA sempat dialami Indonesia minggu-minggu lalu. Kemenangan-kemenangan Tim Nasional Garuda di Piala AFF 2010 jadi perangsangnya. Kebanggaan itu menyebar luas dengan daya besar, meletuskan euforia hampir di tiap lapisan masyarakat.

Banyak yang bisa dipelajari dari kebanggaan itu: makna kebanggaan, faktor dan pengaruhnya, gejala sosial-politik yang ditandainya, juga watak orangnya. Ia bisa bercerita banyak tentang situasi psikologis orang Indonesia.

Kebanggaan berdua wajah. Di satu sisi ia dianggap keutamaan, di sisi lain ia dianggap hal buruk, bahkan dosa. Dari efeknya ia dapat menguatkan, dapat juga melemahkan. Aristoteles menyebutnya mahkota keutamaan. Nietzsche menggolongkannya dalam moralitas yang baik. Psikologi mengartikannya sebagai emosi yang menyenangkan, kadang menggebu, yang dihasilkan dari evaluasi diri positif.

Kebanggaan adalah emosi kompleks, menuntut kematangan dan kekuatan orang yang mengalaminya. Dari pendefinisian awal St Augustinus, ”kecintaan terhadap kesempurnaan diri”, bisa dipahami ada kebanggaan otentik dan kebanggaan semu atau kebanggaan yang memadai dan kebanggaan palsu.

Kebanggaan otentik dan semu

Kebanggaan otentik terbentuk ketika diri yang dicintai sungguh punya kualitas positif, punya pencapaian yang relatif sempurna. Orang yang memilikinya punya kematangan dan kekuatan karakter. Sebaliknya, kebanggaan semu adalah kecintaan pada citra-diri yang dianggap sempurna tapi tak sesuai dengan aktualitasnya. Orang yang memilikinya dikuasai tirani keharusan dan harga diri rendah.

Kebanggaan juga bisa mewujud pada penilaian tinggi terhadap bangsa sendiri (kebanggaan nasional) dan etnisitas (kebanggaan etnis). Kita kenal juga kebanggaan kelompok, profesi, dan keluarga. Bangsa, suku, kelompok, profesi, dan keluarga jadi perpanjangan diri seseorang.

Jika dicermati situasi Indonesia dua dekade terakhir, beralasan jika kita menduga kebanggaan masyarakat Indonesia saat ini, khususnya terhadap Timnas Garuda, bukan kebanggaan otentik. Ungkapan kebanggaan yang membeludak serta indikasi pemanfaatannya oleh kelompok elite politik seperti berkata sebaliknya: masyarakat Indonesia haus akan rasa bangga karena kebutuhan akan kebanggaan kurang terpenuhi.

Kita begitu bangga dengan kemenangan awal Timnas Garuda di Piala AFF sebab selama ini kita tak punya hal lain yang bisa dibanggakan. Orang Indonesia seperti ingin merebut kebanggaan dari prestasi yang belum sungguh terbukti dapat dicapai. Kebanggaan yang masih semu itu dimanfaatkan para pemimpin dan elite politik yang berkepentingan memikat hati rakyat dengan jalan singkat. Para oportunis yang sebelumnya tak sungguh ikut andil membina Timnas Garuda berlomba menunjukkan kontribusinya bagi tim itu.

Penghargaan kelewat besar—mirip pemanjaan—terhadap tim itu sebelum mereka jadi juara tak pada tempatnya. Malah, penghargaan yang terkesan semu itu melelahkan dan menjenuhkan mereka.

Miskinnya kebanggaan

Manusia butuh kebanggaan sebagai bagian dari harga diri. Ia dibutuhkan untuk membangun struktur diri koheren dan bermakna. Wajar, jika ketika ada kejadian yang dinilai positif berkaitan dengan diri sendiri atau kelompok, orang membanggakannya. Justru tak wajar jika ada orang atau kelompok yang tak pernah merasa bangga sebab itu artinya ada masalah harga diri dan emosional pada mereka.

Maka, wajar kebanggaan dirasakan banyak orang Indonesia setelah kemenangan-kemenangan Timnas Garuda. Namun, luapan luar bisa kebanggaan itu memunculkan pertanyaan: mengapa begitu besar dan meluas kebanggaan akan Timnas Garuda seolah-olah itu satu-satunya kebanggaan yang Indonesia punya?

Kita punya banyak hal yang bisa diduga sebagai penyebab deprivasi kebutuhan akan kebanggaan. Kurangnya prestasi di berbagai bidang, korupsi, penggelapan pajak, angka kemiskinan yang tinggi, aparat penegak hukum melecehkan hukum, politik yang mengedepankan kepentingan elite partai, konflik antaragama, transportasi tak memadai rawan kecelakaan, administrasi negara yang semrawut.

Dibandingkan dengan Malaysia, kita pun punya alasan merasa rendah diri. Malaysia menampung banyak tenaga kerja kita, menyerbu kita di ranah bisnis dengan menguasai Telkom, bank, rumah sakit, dan lain-lain. Kepemilikan aset di Indonesia oleh pihak dari negara lain yang memberi manfaat kecil bagi rakyat Indonesia juga bisa jadi faktor miskinnya kebanggaan.

Miskinnya kebanggaan menjadikan orang Indonesia haus akan kebanggaan dan selalu memimpikannya. Maka, ketika ada satu saja kejadian yang dipersepsi positif, kita membesar-besarkannya seolah Indonesia adalah bangsa yang berprestasi. Padahal kenyataannya, kita miskin prestasi, rendah diri, dan menampilkan indikasi tak menghargai bangsa sendiri.

Kebanggaan otentik adalah bagian dari karakter yang kuat. Sebagai keutamaan, kebanggaan merupakan bagian dari kepribadian yang memampukan orang menyesuaikan diri secara konstruktif dan produktif dengan dunia. Maka, pembentukan kebanggaan adalah bagian dari pembentukan karakter.

Pembentukan karakter mensyaratkan adanya teladan. Justru itu masalahnya, Indonesia kehilangan tokoh teladan. Pengelolaan Indonesia yang tak menghasilkan prestasi yang dapat dibanggakan dan figur pemimpin yang tak bisa jadi teladan malah memberi kesan kuat bahwa hidup di Indonesia memang tak membanggakan. Seolah kita hanya berhak kecewa dan menerima saja nasib sebagai bangsa yang tak punya kebanggaan.

Namun, dalam diri tiap orang, kebutuhan akan kebanggaan terus mendesak, menjadikan kita sebagai bangsa yang haus akan kebanggaan. Kehausan itu tak bisa dihilangkan dengan kebanggaan semu, juga oleh prestasi kebetulan yang mengandalkan nasib baik. Dalam jangka panjang pendidikan karakter sejalan dengan pembangunan bangsa sangat dibutuhkan. Dalam jangka pendek dibutuhkan pengendalian diri oleh semua lapisan masyarakat, terutama para pemimpin untuk tak hanya mementingkan diri sendiri dan melampiaskan kerakusannya.

Kini keberanian para pemimpin ambil risiko dalam mengupayakan kehidupan Indonesia lebih baik sangat dibutuhkan untuk menghasilkan rasa bangga kepada bangsa yang haus kebanggaan ini.

Bagus Takwin, Psikolog

Sumber: Kompas, Jumat, 31 Desember 2010

Mengenang Sang Pelindung Minoritas

-- Hasibullah Satrawi

KAMIS (30/12), genap satu tahun Kiai Haji Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meninggal dunia. Ia meninggalkan republik ini yang masih berkutat dengan sejuta persoalan, terutama kekerasan bernuansa agama dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas.

Kerinduan terhadap sosok dan perjuangan Gus Dur makin menguat mengingat aksi kekerasan dan diskriminasi belakangan semakin marak.

Kerinduan ini bisa dipahami, karena selama hayatnya Gus Dur senantiasa berjuang untuk semua golongan tanpa membeda- bedakan kelompok mayoritas atau minoritas. Akan tetapi, yang utama Gus Dur tidak pernah gentar membela hak-hak kelompok minoritas yang dianiaya.

Ada dua hal yang identik dengan Gus Dur. Pertama, perlindungan terhadap kelompok minoritas agama, keyakinan, ataupun suku dan ras. Gus Dur selalu pasang badan untuk mereka sehingga tak jarang ia dianggap lebih membela ”orang lain” ketimbang ”keluarga sendiri”.

Kedua, pengukuhan keberagamaan bervisi kebangsaan yang memadukan nilai-nilai tradisi dengan modernitas. Inilah salah satu persoalan serius bangsa belakangan ini. Maraknya aksi-aksi intoleransi, bahkan terorisme sepanjang 2010, menunjukkan lemahnya pengukuhan pola keberagamaan bervisi kebangsaan. Akibatnya, nilai-nilai keagamaan kerap diposisikan bertentangan dengan konteks kebangsaan.

Perlindungan minoritas

Dalam laporan akhir tahun 2010 yang dikeluarkan Moderate Muslim Society (MMS) ada 81 kasus intoleransi pada 2010. Aksi-aksi umumnya mengorbankan kelompok minoritas seperti umat Kristiani dan Ahmadiyah. MMS mencatat setidaknya ada 33 aksi intoleransi dialami umat Kristiani dan 25 aksi intoleransi dialami pengikut Ahmadiyah. Ironisnya, sebagian aksi intoleransi justru dilakukan oleh negara.

Selain itu, kelompok minoritas juga kerap didiskriminasi. Kesulitan luar biasa kalangan minoritas membangun tempat ibadah adalah contohnya.

Negara sejatinya melindungi seluruh bangsa, apa pun agama, keyakinan, suku, dan warna kulitnya. Tak peduli kelompok mayoritas atau minoritas. Negara juga harus adil kepada semua anak bangsa, bukan justru mengecilkan diri atau malah turut menganiaya.

Dalam hal ini, Gus Dur kerap ”mengambil alih” kewajiban negara. Akibatnya, Gus Dur senantiasa menjadi tempat berlindung dan mengadu mereka yang dianaktirikan oleh negara, saudara sebangsa, atau bahkan seagama.

Kini, setelah satu tahun Gus Dur wafat, posisi itu kerap kosong. Ibarat sepak bola, posisi Gus Dur tidak tergantikan sebagai ”pengatur” sekaligus ”penahan” serangan. Kalaupun ada yang mengisi posisi Gus Dur di lapangan kebangsaan, belum ada yang memiliki ”teknik individu” lengkap seperti Gus Dur.

Keberagamaan bangsa

Gus Dur lahir dan besar di lingkungan ormas keagamaan dengan semua tradisi dan garis perjuangannya, yaitu NU. Namun, ilmu keagamaan dan tradisi itu tak membuat Gus Dur kaku menghadapi modernisasi.

Meminjam istilah filsuf Arab modern—meninggal sesaat setelah Gus Dur wafat—Muhammad Abid Al-Jabiri, Gus Dur mampu memahami tradisi dan ajaran keagamaan relevan dengan diri sendiri (masa lalu) sekaligus relevan dengan konteks modernitas saat ini (... ja’lil maqru’i mu’ashiran linafsihi wa mu’ashiran lana).

Memadukan kesadaran masa lalu (tradisi) dengan tuntutan masa kini dalam satu sikap keberagamaan tidaklah mudah. Perlu keberanian menyadari keterpisahan (al-fashlu) masa lalu dengan masa kini (dalam konteks problematika, ilmu pengetahuan dan muatan ideologis) sekaligus ketersambungan (al-washlu) keduanya (dalam konteks pemahaman dan rasionalitas).

Gus Dur mampu melakukan dua pendekatan (pemisahan dan penyambungan) secara seimbang. Gus Dur tidak terlepas dari masa lalu (dari segi tradisi dan penampilan), tetapi menyatu dengan konteks kekinian (dari segi pemikiran dan pengetahuan).

Tak heran bila Gus Dur mampu menyenyawakan nilai-nilai luhur agama dengan nilai-nilai kebangsaan. Di tangan Gus Dur aspek keagamaan tidak mengalahkan aspek kebangsaan, begitu pun sebaliknya. Keduanya seiring dan sejalan.

Maka, sudah sepantasnya jika sepak terjang keagamaan Gus Dur menjadi model gerakan keagamaan di Indonesia. Selain karena sesuai dengan nilai-nilai universal keagamaan, perjuangan seperti inilah yang mampu mempertahankan kemajemukan sebagai jati diri bangsa.

Semua perjuangan yang diteladankan Gus Dur menjadi tantangan tersendiri bagi NU, terutama para pengurus dan elite-elitenya. Mampukah NU melanjutkan garis perjuangan yang ”disunahkan” Gus Dur? Mampukah NU melahirkan kembali tokoh-tokoh besar seperti Gus Dur yang konsisten mencintai bangsa dan kemanusiaan?

Hasibullah Satrawi, Warga NU; Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir, Aktif di Moderate Muslim Society, Jakarta

Sumber: Kompas, Jumat, 31 Desember 2010

[Teroka] Memaknai Sastra Anak

-- Aji Wicaksono

AKHIR November 1862, Abraham Lincoln merasa kurang percaya saat ia mengetahui perang saudara di Amerika selama empat tahun antara lain disebabkan oleh sebuah karya sastra. Sebaliknya banyak orang percaya, Uncle Tom’s Cabin, sebuah roman karya Harriet Beecher Stowe, memberikan pengaruh yang dalam pada diri masyarakat Amerika yang terlibat dalam perang bersejarah itu. Realitas imajiner seperti termanifestasi dalam realitas konkret. ”Jadi kamu, perempuan kecil yang menyebabkan perang besar ini?” ujar Lincoln, Presiden AS itu, saat ia bertemu Stowe di Gedung Putih.

Tidak peduli apa yang dipercaya orang Amerika, tetapi jelas karya seni, sastra dalam hal ini, turut berperan dalam pembentukan sebuah peradaban. Uncle Tom’s Cabin yang sejak abad ke-19 telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia hanya sebuah contoh. Dalam bahasa Indonesia, roman itu disadur ke dalam bahasa Belanda oleh Tartusi pada 1969. Hasil saduran berjudul Pondok Paman Tom yang diterbitkan Balai Pustaka mencantumkan keterangan ”Bacaan anak-anak umur 13-16 tahun”.

Belum dapat perhatian

Bagi generasi pada masa itu dan dekade berikutnya, Pondok Paman Tom menjadi salah satu warna yang memengaruhi dunia sastra modern di Indonesia. Namun, pada saat yang sama, bahkan hingga hari ini, sastra anak di Indonesia justru belum mendapat perhatian yang cukup. Belum ada penulisan sejarah sastra anak, apalagi memaknai cerita anak dalam sebuah zaman. Sebuah kelalaian yang dapat menjadi kesalahan karena menafikan dunia imajinasi anak sebagai satu hal yang tak penting dalam sejarah sastra, dalam pendidikan, dan perkembangan budaya. Sastra anak bukanlah sumber dalam wacana kebudayaan kita.

Sementara itu, sejarah sastra Indonesia sejak mula ia dianggap ada, sebenarnya juga diisi oleh sub-genre anak ini. Balai Pustaka, penerbit yang muncul sebagai akibat dari politik etis pemerintah kolonial Hindia Belanda, dan dianggap sebagai perintis lahirnya sastra modern Indonesia, sejak tahun-tahun awalnya sudah menerbitkan beberapa karya sastra khusus untuk anak-anak.

Kita cukup tahu, pada masa-masa itulah Pujangga Baru memiliki pengaruh penting dalam wacana sastra dan kebudayaan, bahkan politik. Namun, kita tidak menemukan tempat di mana dunia imajiner anak, dalam bentuk literernya, ikut terlibat dalam polemik itu. Tentu berawal dari anggapan, dunia anak bukanlah bagian dari dunia ”dewasa” para pemikir elite itu.

Dipinggirkan

Tidak ada argumentasi yang cukup kuat menjelaskan mengapa sastra anak dipinggirkan dari diskursus kebudayaan kita, dari perhitungan sejarah pendidikan, politik, seni, dan seterusnya. Apakah ini akibat lain dari kolonialisme Belanda? Atau karena dunia anak dianggap bukan variabel penting dalam perjalanan dan pembentukan adab serta kebudayaan sebuah masyarakat (bangsa)?

Sebuah rintisan yang mencoba memaknai secara lebih baik sastra anak baru dilakukan pada 1976 oleh Riris K Sarumpaet dalam bukunya, Bacaan Anak-anak. Sarumpaet membahas hakikat, sifat, corak bacaan anak-anak, serta minat anak pada bacaan. Pada masa itu, betapa pun tidak diperhitungkan dalam wacana besar, menurut Sarumpaet, sekurangnya lima penerbit komersial cukup serius menerbitkan berbagai karya sastra anak-anak, seperti Indra Press, Balai Pustaka, Djambatan, Gunung Mulia, dan Pustaka Jaya.

Namun, kenyataan secara luas tetap memperlihatkan, studi atau pendalaman terhadap peran, posisi, atau fungsi sastra anak dalam masyarakat masih sangat minim. Pengarang-pengarang yang begitu dedikatif pada jenis sastra ini tidak pernah tercatat dalam deretan pengarang utama negeri ini. Sastrawan macam Aman, Julius Sijaranamual, Toha Mohtar, Dwianto Setyawan, misalnya, bukanlah nama-nama yang dirasa pantas dijajarkan dengan nama-nama bertinta emas, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar, atau Pramoedya A Toer.

Dalam sejarahnya, sastra anak sebenarnya memiliki peran yang cukup penting dalam membentuk watak seseorang yang berimbas pada cara berpikir hingga perilakunya dalam kehidupan dewasanya.

Jangan sampai kita mengalami kegalauan dan kerancuan terhadap diri kita sendiri hanya karena kita telah ”membunuh” sastra anak sebagai masa lalu kita. Imajinasi anak-anak yang terpasung atau terbunuh adalah sebuah kematian prematur dari kemampuan fantasional, ide-ide, dan visi kita pada masa berikutnya; kematian inti dari sebuah kebudayaan.

Burhan Nurgiyantoro (2005) sebenarnya pernah mencatat, bagaimana kontribusi sastra anak dalam perkembangan emosional, intelektual, imajinasi, rasa sosial, rasa etis, serta religiusitas dari seseorang atau sebuah komunitas. Namun, penelitian seperti itu —yang begitu minimnya—sangatlah tidak memadai untuk mengetahui dari mana sebenarnya gairah penemuan, daya kreatif, perkembangan sebuah bahasa, wawasan multikultural, hingga sebuah nasionalisme itu bersemi. Sastra anak adalah salah satu sumber terpenting untuk kesadaran itu.

Kapan kesadaran ini akan muncul? Ketika dunia imajinasi kita kini hanya dipenuhi oleh materi-materi dan pragmatisme yang membuat visi kita berjangkauan sangat pendek? Apalagi pemerintah sebagai pemeran utama juga hampir tidak menolehkan perhatian dan kebijakan di masalah ini. Apakah harus menunggu kenyataan di mana kita sadar bahwa sumur imajinasi kita yang dahulu tanpa dasar kini telah mendangkal oleh timbunan materi, hedonisme, dan pragmatisme? Bukan kita yang menderita akhirnya. Tapi anak-anak kita.

Aji Wicaksono, Pendidik dan Penulis Cerita Anak, Tinggal di Sragen, Jawa Tengah

Sumber: Kompas, Jumat, 31 Desember 2010

Sepak Bola: Suporter Sepak Bola Semakin Dewasa

Jakarta, Kompas - Selain menghadirkan atmosfer spektakuler di dalam stadion sepanjang turnamen, kedewasaan suporter menerima kegagalan tim nasional Indonesia dalam meraih gelar Piala AFF 2010 pantas mendapat apresiasi tinggi. Namun, kedewasaan itu tidak diikuti PSSI yang justru bersikap kekanak-kanakan dan gagal melayani gairah meluap para suporter.

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo di Jakarta, Kamis (30/12), mengucapkan terima kasih kepada suporter yang telah bersikap sportif dan tidak menciptakan kerusuhan. Suporter Indonesia dinilai sebagai masyarakat yang telah dewasa dan mampu menjaga keamanan dan ketertiban Ibu Kota.

”Alhamdulillah semua berlangsung aman. Semua ini terwujud atas niat baik warga Jakarta dan Indonesia untuk mendukung olahraga di Indonesia tumbuh dan berkembang dengan baik. Sikap ini patut diapresiasi dan bisa jadi contoh di kemudian hari,” kata Fauzi Bowo.

Masyarakat menunjukkan kedewasaannya dengan bersikap tertib sejak penyisihan sampai final. Sikap sportif dan dewasa semacam ini diharapkan dapat terus dipertahankan oleh suporter Indonesia saat mendukung tim nasional atau klub kesayangan mereka dalam berbagai ajang pertandingan.

Sikap kekanak-kanakan justru ditunjukkan pengurus PSSI, contohnya dengan pernyataan menjelang laga pertama bahwa Indonesia bakal walk out jika ada gangguan sinar laser. Akhirnya dalam ”15 menit yang kacau”, diawali terhentinya laga akibat protes gangguan laser, tim Merah-Putih kebobolan tiga gol di Kuala Lumpur. Pelatih Alfred Riedl menyebut momen itu sebagai kunci kegagalan menjadi juara, meski menang 2-1 di Jakarta.

Menurut sosiolog Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tomagola, ada sejumlah faktor yang menyebabkan suporter begitu tertib meski harus kembali menelan kekecewaan seusai laga final. ”Pendukung Indonesia menyadari apa yang dilakukan penonton Malaysia adalah salah dan hal itu tidak pantas ditiru dan dibalas,” kata Tamrin.

Lebih lanjut, suporter juga realistis, sangat berat untuk mengatasi ketinggalan 3-0. ”Suporter melihat sendiri pemain telah bekerja keras di lapangan dan menerima kegagalan itu karena tahu tidak ada yang salah dengan tim nasional Indonesia. Suporter menyadari masalah sesungguhnya justru ada di PSSI dan Nurdin Halid,” papar Tamrin.

Sepanjang turnamen, teriakan ”Nurdin turun, Nurdin turun!” terus menggema di Gelora Bung Karno, bahkan sekalipun Indonesia menang. Desakan agar Nurdin Halid mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum PSSI juga menggema hebat di situs jaringan sosial Facebook dan microblogging Twitter.

Tamrin menambahkan, gairah luar biasa suporter itu harus ditangkap sebagai momentum kebangkitan sepak bola Indonesia yang selama ini terpuruk. ”Harus ada rancangan, stimulans, perencanaan untuk membangkitkan persepakbolaan. Sepak bola harus jadi gerakan yang luas, diawali dengan reformasi di PSSI yang jadi akar permasalahan sepak bola di Indonesia,” ujar Tamrin. (ECA/RAY)

Sumber: Kompas, Jumat, 31 Desember 2010

Haul Gus Dur: Yang "Gantiin" Gus Dur, Ya Enggak Ada

-- Ingki Rinaldi

KAMIS (30/12), setahun KH Abdurrahman Wahid meninggal dunia. Sejak sehari sebelumnya, Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan, disesaki orang dari berbagai latar agama, budaya, dan sosial.

Pekerja tengah menata puluhan foto seputar kehidupan KH Abdurrahman Wahid di belakang patung karya Dolorosa Sinaga berjudul Wali Tertawa yang dipamerkan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (30/12). (KOMPAS/INGKI RINALDI)

Berbagai acara, seperti bursa buku dan makanan, diikuti pedagang, musabaqah marawis, nonton bareng final Piala Suzuki AFF 2010, seminar, doa antarumat beragama, tausyiyah, dan tahlilan diadakan dalam rangka peringatan wafat atau Haul Akbar Gus Dur Ke-1.

Penganut Sikh, Buddha, Baha’i, Sunda Wiwitan, Hindu, Katolik, Kristen, dan Konghucu berdoa bersama saudara-saudara Muslim mereka.

Refleksi atas kebebasan beragama kemudian diadakan dalam haul dengan tema ”Menapak Jejak Guru Bangsa”. Keprihatinan seputar kekerasan atas nama agama selama setahun terakhir menjadi topik bahasan utama.

Ratusan orang dengan membawa keluarga masing-masing mulai berdatangan ke pesantren itu. Mereka datang dari berbagai tempat, antara lain Jawa Timur dan warga negara Belanda yang menetap di Selandia Baru.

Mereka berbaur tanpa batas. Berbincang akrab tanpa sekat suku atau agama walau baru bertemu dan berkenalan di sana.

Orang-orang lalu fokus pada sosok Gus Dur. Persis pada tanggal 31 Desember tahun lalu, Gus Dur dikebumikan di pemakaman Tebuireng, Pondok Pesantren Tebuireng, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.

Dalam pemakaman dengan upacara militer setahun lalu itu, ribuan santri ikut berbaur bersama ribuan orang dari berbagai pemeluk agama, bangsa, dan golongan politik berbeda.

Kehilangan pembela

Selama setahun terakhir itu pula beragam kasus kekerasan atas nama agama yang meresahkan perjalanan bangsa semakin kerap terjadi.

Dan selama itu pula tidak ada satu pun tokoh bangsa yang berani tampil membela kepentingan kelompok minoritas yang teraniaya. Bangsa ini seperti kehilangan Gus Dur, sang penakluk yang membela keutuhan Indonesia.

Seorang sahabat Gus Dur, MM Billah, dalam sambutannya bahkan mengatakan, Gus Dur adalah sufi yang khusyuk. ”Tapi pada saat lain ia juga aktivis yang garang dan bergairah,” katanya.

Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuam Hukum Indonesia Alvon Kurnia Palma dan Ketua Bidang Pengembangan Sumber Daya Hukum Masyarakat Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Febi Yonesta dalam kesempatan berbeda mengatakan, kehilangan ini sangat terasa seperti saat tim advokasi kebebasan beragama mengajukan uji materi Pasal 156a KUHP tentang pasal penodaan agama yang dimandatkan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ke Mahkamah Konstitusi.

”Saat itu sudah ada seorang tokoh nasional bersedia menjadi saksi di pihak kita dan bertanda tangan. Tapi, pada saat sidang dia tidak datang. Alasannya tidak mood,” kata Febi.

Ny Sinta Nuriyah Wahid, istri Gus Dur, sehari sebelumnya mengatakan, hatinya sedih setiap kali menerima pengaduan kelompok masyarakat yang teraniaya atas nama agama. ”Saya tidak punya power seperti Bapak,” ujarnya.

Semakin penting

Oleh karena itu, Haul Akbar Gus Dur Ke-1 menjadi penting di tengah abainya penyelenggara negara terhadap beragam kasus kekerasan atas nama agama.

”Artinya besar banget. Karena tujuan dari bikin haul supaya masyarakat bisa diingatkan akan nilai-nilai yang ditinggalkan Bapak (Dus Dur),” kata Inayah Wulandari Wahid, putri bungsu Gus Dur.

Keluarga mendapuk Inayah menjadi ketua panitia acara tersebut. Boleh jadi, ia menjadi orang yang paling sibuk dalam perayaan ini.

Pendiri organisasi Positive Movement tahun 2006 yang mendorong anak muda berpikir positif untuk membangun bangsa itu mengungkapkan, ”Semua orang bilang, siapa nih yang gantiin Gus Dur. Ya, enggak ada dan enggak perlu juga.”

Menurut Inayah, yang sekarang perlu dilakukan adalah menyebarkan nilai-nilai yang diperjuangkan Gus Dur kepada sebanyak-banyaknya orang dari berbagai golongan.

”Karena memang tidak bisa dibebankan pada satu orang. Bahkan, mungkin Bapak sendirian pun tidak bisa,” ujarnya.

Tekad ini pula yang membuat putri tertua Gus Dur, Alissa Qotrunnada Wahid, mengumpulkan tulisan tentang Gus Dur lalu bersama penerbit Lembaga Kajian Islam dan Sosial menerbitkan 3.000 buku kecil. Buku saku tersebut menjadi semacam suvenir ”ilmu” bagi semua tamu.

Inayah yakin, generasi muda menjadi agen terbaik untuk menyebarkan pemahaman mengenai pluralisme di Indonesia.

”Kita (anak muda) yang pegang kuncinya. Ya, ayo, mari kita bekerja,” ajak Inayah.

Sumber: Kompas, Jumat, 31 Desember 2010

Wednesday, December 29, 2010

Bangsa yang (Perlu) Berlari

-- M Alfan Alfian

DALAM kompetisi global antarbangsa, khususnya dalam bidang ekonomi, realitas yang ada sering digambarkan sebagai pertandingan olahraga lari. Ada lari jarak pendek, menengah, dan jauh. Bangsa yang kuat dan lincah mampu berlari stabil dan memicu percepatan. Bangsa yang banyak masalah seperti pelari yang cepat lemas, berkunang-kunang, tidak percaya diri, dan selalu tertinggal di belakang.

Soal filsafat orang berlari ini dapat ditemukan dalam novel Haruki Murakami, When I Talk About When I Talk About Running (2008). Murakami tertarik pada pertanyaan apa mantra atau doa khusus bagi seorang pelari sehingga ia bisa jadi juara. Tidak ada! Yang ada bagi seorang pelari pain is inevitable, suffering is optional. Bersakit-sakit tak terhindarkan, menderita itu biasa. Itulah disiplin yang ditunjukkan dengan tiada hari tanpa latihan.

Saya menikmati novel itu sebagai sebuah motivasi hidup, bahkan juga bagi sebuah bangsa. Hidup kita seperti orang yang berlari. Kita mesti bergerak karena seorang pelari selalu bergerak. Pelari yang tak bergerak berarti mati. Bergerak itu berikhtiar. Tak seorang pelari pun juara secara kebetulan. Tak ada perwujudan obsesi secara instan.

Tentu saja kita berasumsi bahwa perlombaan lari itu berjalan secara wajar. Permulaan lari harus sama. Perangkat yang dipakai sama. Para pelari tidak boleh memakai obat perangsang. Namun, realitasnya tidak sepenuhnya demikian. Ada bangsa yang posisi permulaannya jauh di depan, ada pula bangsa yang sama sekali belum siap. Namun, kompetisi pasar bebas tidak dapat ditunda dalam praktik. Perlombaan lari pun telah dan terus berlangsung.

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia adalah bangsa yang terus berproses. Ia bangsa yang hadir dari letupan sejarah nasionalisme antikolonial. Ketika lahir, ia mewarisi segudang masalah yang ditinggalkan bangsa penjajahnya. Di antara masalah yang kompleks itu, kalau mau ditarik ke yang agak inti terkait dengan konteks kerangka pikir, mentalitas, dan etos kedisiplinannya: kita memiliki warisan mentalitas bangsa terjajah di tengah kondisi alam relatif nyaman dan kurang direspons dengan etos kerja.

Sesungguhnya banyak yang mengagumi nasionalisme Indonesia. Dari titik ini kehadiran Indonesia sangat otentik sebagai bangsa yang melahirkan dirinya sendiri, yang penuh semangat dan potensial. Hanya saja, potensi-potensi itu masih banyak yang belum menjadi aktus justru antara lain oleh hal-hal yang menjebak dirinya. Banyak hal yang masih tersia-siakan. Bahkan, sebagaimana ditulis seorang pengamat ekonomi, kita masih sangat suka dengan ”seni membuang kesempatan”. Ironis memang, seperti pula yang dikatakan seorang budayawan, kita suka menjadi ”gelandangan di rumah sendiri”.

Kalau ada orang yang mengecam keras bangsanya sendiri, maka janganlah segera dituduh antinasionalisme. Kita memang sedang butuh cambuk dari dalam. Tak perlulah cambuk itu Tjamboek Berdoeri sebagaimana judul buku Kwee Thiam Tjing. Cukup cambuk yang keras agar kita semakin disiplin. Semangat keswadayaan dari masyarakat sipil perlu ditangkap positif oleh pemerintah dan elite-elite politik bukan dalam kerangka politisasi, tetapi keikhlasan membangun bangsa.

Praktik pragmatisme-transaksional yang berkembang di dunia politik, ekonomi, hukum, bahkan sosial-budaya tentu tidak membuat kita semakin produktif. Kita terlena pada kemeriahan dan bertengkar demi simbol-simbol, tetapi lupa substansi dan orientasi perkuat daya saing bangsa. Politik kita seharusnya sudah melewati simbol, politik kebangsaan. Ekonomi kita harus didukung secara prima agar kaki dan tangan tak terikat sehingga bisa berjalan dan berlari kencang. Bukan mandek atau jalan di tempat. Penegakan hukum demikian pula: harus progresif.

Memotivasi diri

Tidak ada bangsa yang bangkit tanpa adanya motivasi yang kuat untuk bangkit. Motivasi itu terutama harus datang dari pemimpin. Rakyat tak cukup dapat memotivasi diri. Pemimpin itu membuat yang dipimpin bergairah dan bergerak. Memang tidak mudah menjadi pemimpin bagi bangsa yang terlalu kompleks permasalahannya, yang beban-bebannya perlu diurai satu per satu.

Retorika perlu, tetapi tidak cukup. Pemimpin yang wajar tahu seberapa perlunya retorika. Bahkan, untuk kepentingan yang lebih besar, pemimpin harus berani menentang arus. Itu sebabnya, pemimpin tak harus berorientasi pada popularitas. Apakah dinamika politik kita, mengingat pemimpin bangsa hadir melalui jalur politik, kondusif untuk itu? Belum sepenuhnya demikian.

Optimisme semestinya tak berhenti di tingkat retorika. Namun, harus tampak dalam aksi nyata dan tak dibuat-buat alias otentik. Otentisitas inilah yang kian langka di tengah gemuruh praktik demokrasi elektoral. Akumulasi ketidakotentikan atau kamuflase politik memperparah dan memperlemah jati diri serta kepercayaan diri.

Supaya bangsa kita bisa berlari kencang, peran elite sangat penting dalam mengubah paradigma dan kerangka pikir politik kepentingan menjadi politik kebangsaan. Politik kita harus produktif: tak boleh defisit, membuang kesempatan, dan terjebak pada praktik sekadar pemburu rente.

Turun mesin, siap tanding

Sesungguhnya kita punya kesempatan emas turun mesin, menata sistem secara efektif, agar lebih siap tanding. Itulah awal era reformasi. Memang sistem telah berjalan dan itu pun masih bisa diperbaiki. Butuh proses yang tidak sepele, terutama apabila sudah menyangkut konsensus antar-kekuatan politiknya. Konsensus yang ada masih belum sepenuhnya mampu membangun cetak biru sistem kebijakan yang berkualitas. Ibarat pelajar mengerjakan soal ujian, jawabannya masih banyak yang tidak tepat.

Fase itu seharusnya dilewati dengan baik. Namun, perlu dicatat bahwa kenyataannya: bangunan sistem kita masih rapuh dan kuyup konflik. Selama urusan politik dan persatuan masih membelenggu, kita seperti belum berkutat memperbaiki mesin kendaraan yang aus dan bermasalah. Kita masih berhenti kalau bukan jalan di tempat. Padahal, dunia sudah tantang kita berlari kencang.

Penggambaran ini terasa agak ekstrem. Namun, kalaupun kita merasakan perkembangan, sepertinya kita masih berlari-lari kecil saja. Kita perlu berlari, terus berlari, semakin kencang dan melampaui jargon ”Kita pasti bisa”.

M ALFAN ALFIAN Dosen FISIP Universitas Nasional
Dalam kompetisi global antarbangsa, khususnya dalam bidang ekonomi, realitas yang ada sering digambarkan sebagai pertandingan olahraga lari. Ada lari jarak pendek, menengah, dan jauh. Bangsa yang kuat dan lincah mampu berlari stabil dan memicu percepatan. Bangsa yang banyak masalah seperti pelari yang cepat lemas, berkunang-kunang, tidak percaya diri, dan selalu tertinggal di belakang.

Soal filsafat orang berlari ini dapat ditemukan dalam novel Haruki Murakami, When I Talk About When I Talk About Running (2008). Murakami tertarik pada pertanyaan apa mantra atau doa khusus bagi seorang pelari sehingga ia bisa jadi juara. Tidak ada! Yang ada bagi seorang pelari pain is inevitable, suffering is optional. Bersakit-sakit tak terhindarkan, menderita itu biasa. Itulah disiplin yang ditunjukkan dengan tiada hari tanpa latihan.

Saya menikmati novel itu sebagai sebuah motivasi hidup, bahkan juga bagi sebuah bangsa. Hidup kita seperti orang yang berlari. Kita mesti bergerak karena seorang pelari selalu bergerak. Pelari yang tak bergerak berarti mati. Bergerak itu berikhtiar. Tak seorang pelari pun juara secara kebetulan. Tak ada perwujudan obsesi secara instan.

Tentu saja kita berasumsi bahwa perlombaan lari itu berjalan secara wajar. Permulaan lari harus sama. Perangkat yang dipakai sama. Para pelari tidak boleh memakai obat perangsang. Namun, realitasnya tidak sepenuhnya demikian. Ada bangsa yang posisi permulaannya jauh di depan, ada pula bangsa yang sama sekali belum siap. Namun, kompetisi pasar bebas tidak dapat ditunda dalam praktik. Perlombaan lari pun telah dan terus berlangsung.

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia adalah bangsa yang terus berproses. Ia bangsa yang hadir dari letupan sejarah nasionalisme antikolonial. Ketika lahir, ia mewarisi segudang masalah yang ditinggalkan bangsa penjajahnya. Di antara masalah yang kompleks itu, kalau mau ditarik ke yang agak inti terkait dengan konteks kerangka pikir, mentalitas, dan etos kedisiplinannya: kita memiliki warisan mentalitas bangsa terjajah di tengah kondisi alam relatif nyaman dan kurang direspons dengan etos kerja.

Sesungguhnya banyak yang mengagumi nasionalisme Indonesia. Dari titik ini kehadiran Indonesia sangat otentik sebagai bangsa yang melahirkan dirinya sendiri, yang penuh semangat dan potensial. Hanya saja, potensi-potensi itu masih banyak yang belum menjadi aktus justru antara lain oleh hal-hal yang menjebak dirinya. Banyak hal yang masih tersia-siakan. Bahkan, sebagaimana ditulis seorang pengamat ekonomi, kita masih sangat suka dengan ”seni membuang kesempatan”. Ironis memang, seperti pula yang dikatakan seorang budayawan, kita suka menjadi ”gelandangan di rumah sendiri”.

Kalau ada orang yang mengecam keras bangsanya sendiri, maka janganlah segera dituduh antinasionalisme. Kita memang sedang butuh cambuk dari dalam. Tak perlulah cambuk itu Tjamboek Berdoeri sebagaimana judul buku Kwee Thiam Tjing. Cukup cambuk yang keras agar kita semakin disiplin. Semangat keswadayaan dari masyarakat sipil perlu ditangkap positif oleh pemerintah dan elite-elite politik bukan dalam kerangka politisasi, tetapi keikhlasan membangun bangsa.

Praktik pragmatisme-transaksional yang berkembang di dunia politik, ekonomi, hukum, bahkan sosial-budaya tentu tidak membuat kita semakin produktif. Kita terlena pada kemeriahan dan bertengkar demi simbol-simbol, tetapi lupa substansi dan orientasi perkuat daya saing bangsa. Politik kita seharusnya sudah melewati simbol, politik kebangsaan. Ekonomi kita harus didukung secara prima agar kaki dan tangan tak terikat sehingga bisa berjalan dan berlari kencang. Bukan mandek atau jalan di tempat. Penegakan hukum demikian pula: harus progresif.

Memotivasi diri

Tidak ada bangsa yang bangkit tanpa adanya motivasi yang kuat untuk bangkit. Motivasi itu terutama harus datang dari pemimpin. Rakyat tak cukup dapat memotivasi diri. Pemimpin itu membuat yang dipimpin bergairah dan bergerak. Memang tidak mudah menjadi pemimpin bagi bangsa yang terlalu kompleks permasalahannya, yang beban-bebannya perlu diurai satu per satu.

Retorika perlu, tetapi tidak cukup. Pemimpin yang wajar tahu seberapa perlunya retorika. Bahkan, untuk kepentingan yang lebih besar, pemimpin harus berani menentang arus. Itu sebabnya, pemimpin tak harus berorientasi pada popularitas. Apakah dinamika politik kita, mengingat pemimpin bangsa hadir melalui jalur politik, kondusif untuk itu? Belum sepenuhnya demikian.

Optimisme semestinya tak berhenti di tingkat retorika. Namun, harus tampak dalam aksi nyata dan tak dibuat-buat alias otentik. Otentisitas inilah yang kian langka di tengah gemuruh praktik demokrasi elektoral. Akumulasi ketidakotentikan atau kamuflase politik memperparah dan memperlemah jati diri serta kepercayaan diri.

Supaya bangsa kita bisa berlari kencang, peran elite sangat penting dalam mengubah paradigma dan kerangka pikir politik kepentingan menjadi politik kebangsaan. Politik kita harus produktif: tak boleh defisit, membuang kesempatan, dan terjebak pada praktik sekadar pemburu rente.

Turun mesin, siap tanding

Sesungguhnya kita punya kesempatan emas turun mesin, menata sistem secara efektif, agar lebih siap tanding. Itulah awal era reformasi. Memang sistem telah berjalan dan itu pun masih bisa diperbaiki. Butuh proses yang tidak sepele, terutama apabila sudah menyangkut konsensus antar-kekuatan politiknya. Konsensus yang ada masih belum sepenuhnya mampu membangun cetak biru sistem kebijakan yang berkualitas. Ibarat pelajar mengerjakan soal ujian, jawabannya masih banyak yang tidak tepat.

Fase itu seharusnya dilewati dengan baik. Namun, perlu dicatat bahwa kenyataannya: bangunan sistem kita masih rapuh dan kuyup konflik. Selama urusan politik dan persatuan masih membelenggu, kita seperti belum berkutat memperbaiki mesin kendaraan yang aus dan bermasalah. Kita masih berhenti kalau bukan jalan di tempat. Padahal, dunia sudah tantang kita berlari kencang.

Penggambaran ini terasa agak ekstrem. Namun, kalaupun kita merasakan perkembangan, sepertinya kita masih berlari-lari kecil saja. Kita perlu berlari, terus berlari, semakin kencang dan melampaui jargon ”Kita pasti bisa”.

M Alfan Alfian
, Dosen FISIP Universitas Nasional

Sumber: Kompas, Rabu, 29 Desember 2010

Pancasila Perlu Terus Disebarkan

Ende, Kompas - Nilai-nilai Pancasila yang ditanamkan Bung Karno dan berbenih di Ende mengajarkan untuk menghormati kebhinekaan agama, suku, dan budaya. Masyarakat Ende di Nusa Tenggara Timur sudah mempraktikkan nilai itu dan perlu terus disebarluaskan.

Wakil Presiden Boediono (kanan) menyerahkan hadiah kepada para pemenang lomba menulis SMA/SMK se-NTT bertema "Semangat Bung Karno di Ende" yang diadakan harian Kompas dan Pos Kupang. Penyerahan hadiah ini bertepatan dengan pencanangan pemugaran situs Bung Karno di Ende, Nusa Tenggara Timur. Kegiatan ini dilaksanakan di Taman Renungan Bung Karno, Ende, Selasa (28/12). (KOMPAS/SUTTA DHARMASAPUTRA)

Wakil Presiden Boediono menyampaikan hal itu pada pencanangan pemugaran situs Bung Karno, Selasa (28/12) di Taman Renungan Bung Karno, Ende. Acara ini digelar tepat 77 tahun setelah ditandatanganinya surat keputusan pengasingan Bung Karno oleh Belanda, 28 Desember 1933.

Situs yang akan dipugar secara bertahap adalah rumah pengasingan, Taman Renungan tempat Soekarno biasa duduk di bawah pohon sukun untuk merenung, gedung tempat pementasan tonil Bung Karno, dan makam mertua Bung Karno, Ibu Amsi.

Jangan hanya fisik

Boediono mengingatkan, pemugaran situs Bung Karno jangan hanya menjadi pembangunan fisik semata atau kegiatan sesaat, tapi juga perlu diisi dengan berbagai kegiatan yang berkelanjutan. Untuk itu, atas inisiatif Boediono dan sejumlah tokoh, termasuk Bupati Ende Don Bosco M Wangge, dibentuk Yayasan Ende Flores. Yayasan ini diketuai Ignas Kleden.

Selain Wapres, hadir Menteri Pendidikan Nasional M Nuh, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, Menteri Agama Suryadharma Ali, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, dan Ny Herawati Boediono. Hadir juga Gubernur NTT Frans Lebu Raya, Wakil Gubernur NTT Eston Foenay, dan para bupati dari Flores.

Pada kesempatan itu diumumkan para pemenang lomba menulis tingkat SMA/MA/SMK se-NTT tentang ”Semangat Bung Karno di Ende” yang diselenggarakan harian Kompas dan Pos Kupang. Hadir Pemimpin Redaksi Kompas Rikard Bagun.

”Peserta lomba mencapai 437 orang. Ini mengisyaratkan bahwa sejarah tentang pengasingan Bung Karno tidak dilupakan oleh generasi muda. Hal ini merupakan rangkaian kegiatan Ekspedisi Jejak Peradaban NTT yang dilakukan Kompas,” kata Pieter P Gero, salah satu juri lomba.

Dana Kemanusiaan Kompas menyerahkan bantuan buku untuk perpustakaan situs Bung Karno dan sejumlah sekolah.

Seusai acara, Wapres bersama rombongan mengunjungi Universitas Flores (Unflor), Rumah Sakit Umum Daerah Ende, dan menghadiri Natal bersama di Unflor bersama masyarakat, tokoh agama, dan pejabat setempat.

Rabu ini, Wapres akan berdialog dengan 600 siswa SMA/ MA/SMK dan para guru se-Kota Ende di SMAK Syuradikara. Wapres juga direncanakan meninjau Desa Raporendu di Kecamatan Nangapanda untuk memantau perkembangan program PNPM Mandiri dan melanjutkan perjalanan ke Pulau Komodo untuk mendukung program ”Vote Komodo”.(KOR/SEM/PPG/ANS/SUT)

Sumber: Kompas, Rabu, 29 Desember 2010

Tuesday, December 28, 2010

Djenar Maesa Ayu: Berkarya Haruslah dengan Jujur

Pengantar Redaksi

NAI, panggilan Djenar Maesa Ayu, rupanya sudah menyiapkan kado spesial buat ulang tahunnya, 14 Januari besok. Tepatnya pada 14-1-2011 dia akan meluncurkan buku terbarunya 1 Perempuan 14 Laki-Laki—perhatikan angkanya—sebuah kumpulan cerpen kolaborasi dengan empat belas sahabatnya.

Djenar Maesa Ayu (KOMPAS/PRIYOMBODO)

Berangkat dari kumpulan cerpennya, Mereka Bilang Saya Monyet (Kumpulan Cerita Pendek, 2002), berlanjut dengan Jangan Main-main (dengan Kelaminmu), Djenar menerakan tapaknya sebagai penulis novel, sekaligus penulis skenario film dan sutradara. Djenar seperti meneruskan napas seniman besar Sjuman Djaya dan aktris Tutie Kirana, orangtuanya. Identitas buah karyanya jelas. Nai menulis dengan telanjang, jujur, dan terang blakblakan, terutama dalam hubungan perempuan dan lawan jenisnya.

***

Apa yang Mbak lakukan untuk menemukan ide brilian dan unik? Apa yang membuat Mbak tergerak menulis cerita-cerita yang kontroversial? (Feni Saragih, Jatinangor)

Dear, Mbak Feni. Bukan saya yang menemukan ide, namun idelah yang menemukan saya. Sesungguhnya ide selalu ada di sekeliling kita, namun sering kali kita terlalu sibuk untuk menyadari keberadaannya. Saya pun tidak pernah dengan sengaja berkarya demi menciptakan kontroversi. Jika pada akhirnya terjadi kontroversi, saya rasa, dalam masyarakat yang demikian majemuk, pro dan kontra adalah hal yang sangat wajar dan harus terjadi.

Buku karya siapa yang menjadi rujukan dan inspirasi Anda? Sejak kapan buku itu Anda baca? (Chamad Hojin, Depok)

Semasa duduk di bangku sekolah dasar saya amat mengagumi karya-karya dongeng Hans Christian Andersen terutama yang berjudul Gadis Korek Api. Di dalam cerita itu seorang gadis kecil berhasil membangun imajinasi lewat sebatang korek api demi melupakan realitas hidupnya yang amat pahit. Sejak saat itu saya terinspirasi untuk menulis dengan menggunakan metafora. Saya mengagumi buah karya Seno Gumira Ajidarma, Budi Darma, dan Sutardji Calzoum Bachri.

Ketika Anda menulis cerpen semacam ”Menyusu Ayah” dengan kata-kata yang demikian blakblakan, sebenarnya pesan apa yang ingin Anda sampaikan kepada pembaca? (Agus Andoko, Solo)

Saya selalu menempatkan bahasa kepada fungsinya sebagai alat komunikasi, yang berarti adalah sarana untuk mempermudah, bukan untuk mempersulit/menghambat komunikasi. Jika saya memakai kata-kata yang lugas dalam berkarya, adalah pertimbangan pribadi bahwa itulah kata yang paling tepat untuk mengomunikasikan cerita saya.

Saya pernah dengar anda nyletuk di televisi bahwa pernikahan adalah hal yang amat sangat tidak relevan. Cinta itu menjadi lemah ketika dilembagakan. Proses hidup macam apa yang membuat Mbak Djenar berpikiran semacam itu? Kok enggak Indonesia banget ya? Tapi, keren siiiiy... (Dede Dwi Kurniasih, Jogyakarta)

Saya hanyalah seorang pencinta yang lebih percaya jika: tanpa pernikahan, cinta dapat bertahan. Namun, tanpa cinta, pernikahan mustahil untuk dipertahankan.

Apakah benar Mba Djenar dulu banyak belajar dengan Mas Seno Gumira? Mengapa lebih suka menghadirkan cerpen-cerpen yang berbau mbeling? (Danik Susiyati, Yogyakarta)

Kali pertama saya jatuh cinta kepada karya Seno Gumira Ajidarma yang berjudul "Sepotong Senja untuk Pacarku", saya segera menyalinnya dengan tangan untuk dipersembahkan kepada seorang kekasih. Pengalaman menyalin dengan tangan ini membuat hasrat menulis saya terlahir kembali. Kemudian saya mendapat kesempatan dari Mas Seno untuk mengikuti kelas Penulisan Kreatif selama satu semester di IKJ. Salah satu pelajaran atau pesan berharga dari beliau yang saya selalu ingat hingga sekarang adalah, "Ketika kamu menulis 1.000 karya, pasti ada satu karya yang bagus". Maka dari itu, Mbak Danik, menulis dan berlatihlah. "talk less do more":).

Mbak Djenar, dalam menulis cerpen berduet bagaimana cara menjembatani gaya penulisan yang berbeda agar bisa solid/nyambung? (Eka Matassa Sumantri, Medan)

Saya adalah tipe penulis impulsif. Saya tidak pernah terlebih dulu memikirkan plot, tokoh, atau konflik apa yang nantinya akan saya tulis. Hal inilah yang juga saya terapkan dalam berduet menulis cerpen. Kami menulis satu, dua, atau lebih kalimat secara bergantian. Dalam proses seperti ini, kami menyerahkan sepenuhnya perkembangan cerita berdasarkan teks. Jika saya mengibaratkan teks sebagai cinta, kami adalah dua orang yang sedang kasmaran. Cinta tersebut membuat kami berusaha saling memahami perasaan maupun pikiran dan mencoba saling mengisi kekosongan pembicaraan.

Apa saja yang biasa Anda lakukan ketika mengalami writer’s block (kebuntuan dalam menulis)? (Sudiyanti Yanti, Bekasi)

Masing-masing penulis mempunyai metode sendiri dalam mengatasi kebuntuan ide yang hanya dapat ditemukan lewat banyak latihan. Layaknya seorang pengemudi, semakin sering ia mengendarai mobil melalui berbagai macam rute, semakin banyak pulalah yang dapat ia pelajari dari tiap perjalanan. Selanjutnya, akan lebih mudah baginya untuk menentukan jalan mana yang lebih baik ditempuh untuk untuk mencapai tujuan.

Mbak Djenar, sorry because it's a very personal thing. Saat anda mengalami perpisahan dengan suami anda, anda toh tetap aktif berkarya. Bagaimana anda bisa mengendalikan mood, melupakan kesedihan, sehingga tetap bisa menghasilkan karya yang baik di saat hati anda sedang gundah? (Rainy, Cibubur)

Dear Rainy, karena pertanyaan anda amat personal, saya akan menjawabnya dengan cara berbisik: "Luka adalah salah satu modal yang baik dalam berkarya" *sssssst*.

Memulai sebuah tulisan cukup mudah, tapi mengakhirinya terkadang membingungkan, minta trik dan tips-nya teh aku ingin menjadi penulis yang memiliki soul sendiri, alias enggak ikut-ikutan doang. (Lia Julia, Bandung)

Dear Teh Lia, awalnya saya sendiri sering sulit untuk menyelesaikan satu cerita karena begitu sayang untuk mengakhiri keasyikannya sebab saya tidak tahu kapan lagi kembali bisa berkarya. Tapi, akhirnya saya belajar, karya tidak selesai hanya karena kreatornya menyelesaikan. Ia mempunyai roh dan garis hidupnya seperti bayi yang terlahir ke dunia.

Sebagai orangtua, kita tetap bisa memantau dan menikmati perkembangannya. Jadi jika anda sudah bisa memulai satu cerita, serahkan teks itu sendiri yang mengakhirinya. Biarkan ia yang menjadi "raja" dan kelak menentukan hidupnya. Anda pun tidak butuh trik untuk menjadi penulis yang memiliki jiwanya sendiri karena setiap penulis pasti memiliki ciri khasnya masing-masing.

Saya penggemar buku-buku Anda, saya memiliki hampir semua buku Anda kecuali novel Ranjang. Yang saya tahu buku itu telah lama terbit, tetapi kenapa ya, Mbak, setiap saya mencari di toko buku selalu tidak ditemukan? (Aldo Alfredo, Jakarta Selatan)

Dear Mas Aldo, mohon maaf, novel Ranjang memang belum selesai ditulis dan diterbitkan kendati idenya sudah ada sejak beberapa tahun lalu. Semoga novel Ranjang dapat saya selesaikan tahun ini.

Nama anda mengingatkan akan nama seorang tokoh bekas prajurit Kerajaan Demak, yakni Mahesa Djenar dalam kisah Keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten karangan alm. SH Mintaredja. Apakah ayahanda memberi nama karena terinspirasi cerita itu? (Agung Prastowo, Bogor)

Almarhum ayah saya memang pengagum tokoh Mahesa Jenar. Mungkin karena saya terlahir sebagai perempuan, beliau membuat sedikit perubahan menjadi Djenar Maesa Ayu. Mengapa tidak mengadopsi nama tokoh perempuan dalam cerita yang sama, hanya beliau yang layak untuk menjawabnya, bukan saya.

Anak kami bernama Gabby, sekarang berumur 14 tahun, mempunyai hobi menulis cerita tentang kerajaan (seperti tokoh-tokoh kartun). Namun, Gabby memiliki sifat pendiam, pemalu, dan kurang berniat untuk sekolah. Yang ingin saya tanyakan, bagaimana menyalurkan bakat anak saya ini? (Fenny, Kelapa Gading, Jakarta)

Sebagai seorang ibu dan eyang putri, saya paham akan kecemasan anda. Tapi, jangan khawatir, pada dasarnya hampir semua penulis/kreator punya kecenderungan sifat yang pendiam dan pemalu. Lebih senang menyendiri dan merenung. Alangkah beruntungnya jika buah hati anda sudah menemukan apa yang benar-benar diminatinya sejak dini, di saat kita tahu benar banyak sekali remaja yang masih bingung mencari jati diri.

Saran saya, beri pengertian kepada Gaby bahwa tiap manusia mempunyai hak dan kewajiban. Gaby punya hak untuk melakukan kesenangan/hobi dan anda siap mendukungnya dengan memberi keleluasaan waktu untuk membaca maupun berburu buku-kesukaannya.

Sekarang saya lagi suka baca-baca cerpen. Terinspirasi buat bikin. Tapi, kok susah ya? Tolong ya kasih tips praktis bikin cerpen yang menarik dan asyik buat dibaca.(Teguh Rahmadi, Tangerang Selatan)

Dear Mas Teguh, saya sendiri sering terinspirasi setiap kali membaca sebuah karya yang baik. Sedemikian baiknya karya tersebut sehingga saya tidak mampu melanjutkan pembacaan saya dan langsung mulai menulis. Karena itu, setiap kali anda terinspirasi untuk menulis, mulailah. Jangan terlebih dulu terbebani. Tulis apa pun yang anda ingin tulis, rasakan keasyikan bagi anda sendiri, bukan untuk orang lain.

Menurut Anda, sejauh ini bagaimana peran novel dan film untuk membangun kesadaran masyarakat tentang keadilan jender? Bagaimana untuk membuatnya efektif walau tentu akan butuh waktu yang tidak singkat. (Dwi Argo Mursito, Pekalongan)

Peran novel dan film dalam membangun kesadaran masyarakat sangatlah besar. Karena itu, begitu banyak kreator maupun karya yang diberangus karena dianggap mengancam satu kekuasaan. Hal ini membuktikan bahwa karya jauh lebih efektif ketimbang kampanye-kampanye yang masyarakat tahu benar hanyalah sebuah ajang omong kosong dan pamer kekuatan.

Saya termasuk penentang UU Pornografi, tetapi saya menganggap bahwa sedikit batasan tetap diperlukan agar adat kita tidak berubah menjadi sama persis dengan adat Barat, Bagaimana pendapat, Mbak? (Christina P, Tangerang)

Bagi saya kebebasan absolut itu tidak ada. Manusia terlahir sudah dengan segala keterbatasan: tidak dapat memilih untuk terlahir menjadi manusia atau makhluk luar angkasa, tidak dapat memilih terlahir dari orang tua yang seperti apa, tidak bisa memilih nama, bahkan sudah mendapat vonis hukuman mati tanpa pernah tahu dan memilih dengan cara apa dan kapan eksekusi akan dilaksanakan. Jadi tanpa UU Pornografi pun, manusia adalah makhluk yang tidak bebas.

Aku, Pandu (54), seorang guru Bahasa Indonesia di Riau. Aku penggemar Anda, juga ayahanda Sjuman Djaya serta ibunda Tutie Kirana. Sebagai guru Bahasa, saya bisa mengajari murid-murid saya menulis puisi, cerpen, artikel, dan dimuat di media massa. Cuma masalahnya, keterampilan ini tidak bisa dinilai melalui UN/UAN. (Pandu Syaiful, Riau)

Bapak Pandu, terima kasih banyak atas apresiasi anda kepada karya kami sekeluarga. Bagi saya pribadi, sebuah karya seni mustahil dinilai secara ”resmi”. Tidak ada satu pun institusi yang mampu mewakili semua penilaian, tidak oleh UN ataupun UAN, tidak oleh kritikus, akademisi, ataupun budayawan yang hanya bisa menelaah, mempelajari, atau memperdebatkan. Setiap pertukaran atau penilaian akan memberi wacana baru terhadap karya tersebut, bukan mematikan. Oleh karena itu, hanya waktulah yang dapat menjawab keabadian. (ush)

Sumber: Kompas, Selasa, 28 Desember 2010

Kunjungan Wapres: Menghidupkan Peninggalan Soekarno di Ende

SEORANG dokter menugaskan anaknya membuat manusia baru yang setiap bagian tubuhnya berasal dari mayat berbeda-beda. Bagian tangan kanan diambil dari mayat yang ditemukan di antara Kilometer 16 dan 18. Mereka bekerja berdelapan di sebuah laboratorium berpipa sepanjang 45 meter. Mayat-mayat itu ditutup kain merah dan diletakan di meja laboratorium beralaskan kain putih.

Cerita itu bukan kejadian sungguhan, melainkan ringkasan naskah drama atau tonil berjudul Dokter Setan. Tonil itu tidak hanya kaya imajinasi, tapi juga sarat simbol, bahkan ramalan yang beberapa tahun kemudian terbukti.

Manusia baru itu menggambarkan misi Indonesia menjadi satu bangsa yang terdiri dari banyak suku. Angka dalam tonil menunjukkan waktu proklamasi kemerdekaan, yaitu tanggal 17, bulan 8, tahun 45.

Soekarno menuliskan tonil itu saat diasingkan di Ende, Nusa Tenggara Timur, 14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938.

Dokter Setan bukan satu-satunya karya Soekarno. Sedikitnya ada 13 naskah yang dibuat di Ende: Rendo, Rahasia Kelimutu, Jula Gubi, KutKutbi, Anak Haram Jadah, Maha Iblis, Aero Dinamit, Nggera Ende, Amoek, Rahasia Kelimutu II, Sang Hai Rumba, dan 1945.

Kondisi salinan naskah tonil karya Bung Karno kini menyedihkan. Naskah hanya dimasukkan map plastik warna merah pudar dan disimpan dalam lemari kaca di situs Bung Karno.

Banyak hal bisa dipelajari dari sejarah Bung Karno dalam pembuangan di Ende, misalnya setiap menemui pihak Belanda, Bung Karno mengganti tongkat kecil yang selalu dibawanya dengan tongkat yang di ujungnya berukir monyet sebagai lambang untuk menentang kolonialisme.

Dasar negara Pancasila pun, menurut Bupati Ende Don Bosco M Wangge, berbenih dalam pemikiran Soekarno di Ende.

Hal itu membuat Wakil Presiden Boediono tergerak untuk merenovasi rumah tinggal yang kini menjadi situs Bung Karno di Ende. Saat berkampanye di Ende, Boediono yang dikenal sangat mengagumi Bung Karno telah melontarkan niat tersebut.

Di Jakarta, Juru Bicara Wakil Presiden Yopie Hidayat, Senin (27/12), mengatakan, pemugaran situs Bung Karno merupakan penghormatan pemerintah pada sosok Bung Karno serta ide Pancasila yang digagasnya.

Menurut Yopie, pemugaran dilakukan di rumah tempat pengasingan Bung Karno dan patung Bung Karno di taman. Rumah akan diperbaiki dan fondasinya ditinggikan.

Pencanangan pemugaran situs Bung Karno di Ende rencananya dilakukan Selasa ini. Selain merenovasi situs Bung Karno, Boediono berencana mengganti patung Bung Karno di Taman Perenungan Bung Karno yang bentuknya tidak proporsional serta merenovasi taman menjadi lebih indah.

Rumah tinggal yang terletak di Jalan Perwira, Ende, itu dulu merupakan rumah penduduk bernama Abdullah Ambuwaru.

Saat ini kondisi situs Bung Karno jauh dari memadai untuk pengelolaan situs bersejarah. Situs yang dijaga Syafrudin Pua Ita itu tidak dilengkapi dengan alat pengatur suhu sehingga terasa lembab. Beberapa bagian atap rumah dari seng banyak yang bocor.

Berbagai peninggalan Soekarno, seperti lemari, meja kursi kayu, tempat tidur rangka besi, perabot makan, alat musik gesek, setrika baja, dokumentasi foto saat jalan-jalan atau piknik di kawasan Kota Ende, tersimpan di sana. Ada juga lukisan karya Soekarno.

Menurut Syafrudin Pua, situs itu tidak memiliki anggaran khusus untuk perawatan. Dana operasional hanya mengandalkan donasi pengunjung. Padahal, jumlah pengunjung tak selalu ramai, bahkan sering kali nihil.

Banyak pihak berperan

Gubernur NTT Frans Lebu Raya menyambut baik gagasan Wapres Boediono untuk memugar situs Bung Karno. Pemerintah Provinsi NTT akan memberi dukungan penuh.

”Tahun 2011 kami belum mengalokasikan anggaran untuk pemugaran karena pembahasan anggaran sudah dilakukan dan Pemkab Ende sudah mengalokasikan anggaran itu. Pemprov akan menganggarkan dana untuk rehabilitasi situs tahun 2012,” katanya.

Lebu Raya berharap, pemugaran tempat-tempat bersejarah terkait kehadiran Bung Karno di Ende bisa sesuai peristiwa aslinya. Tokoh-tokoh lokal yang ikut ambil bagian dalam keseharian Bung Karno selama masa pembuangan di Ende perlu diungkap. Para penutur lisan yang masih hidup harus diberi perhatian. Pemikiran dan gagasan serta pengalaman mereka pada masa Bung Karno di Ende harus digali dan didokumentasikan.

Manajemen situs Bung Karno nantinya akan dikelola Yayasan Ende Flores yang diketuai tokoh intelektual asal NTT, Ignas Kleden. Boediono duduk selaku penasihat, sementara Don Bosco menjadi wakil ketua.

Yayasan Ende Flores berkomitmen mengelola situs Bung Karno secara berkelanjutan, termasuk menghimpun dana dari masyarakat untuk pemugaran dan pemeliharaan yang diperkirakan mencapai belasan miliar rupiah.

Francisia Saveria Sika Seda—anak dari tokoh tiga zaman Frans Seda, yang juga salah satu anggota yayasan itu—berharap, pemugaran situs ini memberi manfaat besar bagi bangsa Indonesia.

”Hal ini tentu dimaksudkan juga sebagai sarana pembelajaran, bukan saja bagi masyarakat Ende atau NTT, tetapi juga bagi masyarakat Indonesia terkait sejarah negara ini,” kata Saveria.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah bangsanya. Boediono yang dikenal sebagai Wakil Presiden yang santun dan rendah hati sudah mengawali upaya itu. Kini, tinggal bagaimana elemen lain bangsa ini melanjutkan preservasi untuk situs bersejarah lainnya.(sut/sem/kor/ans/day/ppg)


Sumber: Kompas, Selasa, 28 Desember 2010

Sunday, December 26, 2010

[Kehidupan] Robohnya Batas Kita

-- Sarie Febriane dan Putu Fajar Arcana

DUNIA kian sesak oleh rahasia yang bocor. Sebelumnya hanya berupa bisik-bisik, lalu menjadi rahasia umum. Kemudian, dunia ”cyber” menjadi sarana amplifikasi dan ”konfirmasi” atas kerahasiaan itu. Semua roboh, tanpa batas.

Rahasia ataupun privasi semakin menjadi absurd. Sarie Febriane dan Putu Fajar Arcana

Kemunculan WikiLeaks tahun 2010 ini—diikuti versi lokal IndoLeaks—seolah mengonfirmasi realitas yang akan dihadapi warga dunia pada masa mendatang. Sebuah masyarakat global tanpa batas yang hidup dalam keniscayaan digital membuat siapa pun seperti dalam akuarium.

”Perundangan Kebebasan Informasi sudah ada. Tapi realitasnya, akses informasi dari lembaga pemerintahan masih amat sulit. Padahal isu publik sepenuhnya hak publik. Tak mengherankan jika orang hilang kepercayaan kepada pemerintah. Kanal resmi macet, orang menjadi percaya pada kanal alternatif, seperti Wikileaks dan Indoleaks,” tutur Bustar Maitar, aktivis lingkungan dari Greenpeace Indonesia, yang kerap membuka kedua situs itu.

Bagi Bustar, sebagian isu yang disajikan di Indoleaks, seperti soal Lumpur Lapindo, sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. ”Namun, kemunculannya di situs menjadi ’konfirmasi’ bahwa isu selama ini demikian adanya. Tentu saja ini bikin orang semakin tidak percaya kepada pemerintah,” kata Bustar.

Lain lagi cerita seorang pemilik akun Twitter anonim asal Indonesia, yang sejak sebelum kemunculan WikilLeaks dan IndoLeaks gemar berbagi informasi tersembunyi seputar pejabat negara dan dunia politik kepada ribuan follower-nya. Menurut dia, meski pers di Indonesia kini lebih bebas, publik rupanya masih haus informasi yang tersembunyi.

”Mereka antusias banget dengan informasi yang tidak muncul di media mainstream. Lucunya, saya sering juga merangkum semua isu yang tersaji di koran dalam tweet berseri. Anehnya, follower tetap terheran-heran. Mereka seperti tidak pernah baca koran saja,” ujar si anonim tertawa.

Kanal informasi di dunia cyber otomatis mudah mendapatkan legitimasi dari publik ketika kanal resmi buntu. Sementara pemerintah atau aktor negara masih kerap tergagap-gagap menghadapi realitas cyber saat ini. Upaya untuk ”membunuh” situs atau memidanakan aktor-aktor individu di balik situs itu malah mengundang tawa geli massal.

Menurut Bustar, tak ada cara lain bagi negara atau pemerintah untuk mempertahankan legitimasinya dengan mengubah dirinya sendiri, yakni dengan berhenti menjadi entitas yang berbungkus kepalsuan.

Sementara pada level individu pun kegagapan itu juga terjadi. Tanpa sepenuhnya kita sadari, penetrasi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) hingga ke ruang-ruang privat besar kemungkinannya untuk teramplifikasi melampaui batas ruang dan waktu. Peristiwa bocornya video seks (melalui telepon seluler) yang bergema hingga ke mancanegara beberapa waktu lalu, misalnya, akan senantiasa tertatah di dunia cyber. Semoga saja anak keturunan mereka tidak akan menjenguk riwayat masa lalu itu dengan bertanya kepada ”mbah” Google.

Rapuh

Realitas virtual dan nonvirtual sulit diraba batasnya. TIK akan terus tumbuh, menjadikan batas-batas yang berlaku di dunia offline roboh. Apa pun yang diperbuat manusia dengan TIK akan senantiasa terlacak (trackable), lalu tertatah abadi di dunia cyber yang tentu berdampak di dunia offline. alias jagat nyata.

Yasraf A Piliang, Ketua Keahlian Ilmu-ilmu Desain dan Budaya Visual, Fakultas Seni Rupa dan Desain dari Institut Teknologi Bandung (ITB), mengatakan, teknologi digital telah mengubah secara radikal relasi sosial dan membawa arus percepatan luar biasa dalam pola-pola informasi. Namun, kultur yang berkembang adalah ephermal, segalanya bergerak secara seketika, tetapi memiliki ciri-ciri yang rapuh.

”Sayangnya, kultur digital justru mencabut manusia dari pengalaman riil. Contohnya, generasi digital mungkin mengenal pohon pepaya, tetapi mereka tak pernah terkena getah pepaya,” ujar Yasraf.

Alan Touraine, yang dikutip Yasraf dalam bukunya, Dunia yang Dilipat, menyebut kehidupan sosial telah kehilangan kesatuannya menuju akhir sosial dalam sebuah arus perubahan terus-menerus. Akhir sosial itu ditandai dengan transparansi sosial, yakni kategori, batas, dan hierarki sosial lenyap. Di dalamnya, aktor-aktor individu maupun kolektif tidak lagi bertindak sesuai dengan nilai dan norma sosial. Akan tetapi, mengikuti strateginya sendiri-sendiri dalam proses perubahan global dan tak dapat sepenuhnya bisa dikontrol oleh aktor negara.

Segalanya memang mungkin pada era ”kedaulatan” TIK dan cyber. Shinta dan Jojo yang menyanyikan ”Keong Racun” dari dalam kamar tidur bisa mendadak tenar dan mengglobal. Seorang menteri yang mati gaya bisa lantas serentak menjadi olok-olok global. Begitu juga pemimpin yang dianggap mencederai nurani akan ramai dicemooh rakyat di dunia cyber. Batas-batas itu telah roboh. Sadarlah! (BSW)

Sumber: Kompas, Minggu, 26 Desember 2010

[Kehidupan] Perubahan: Rendang Pun "Berselancar" di Internet

REVOLUSI teknologi digital membawa perubahan pada hampir semua aspek kehidupan kita. Bahkan, orang Jepang yang ingin makan rendang Padang tinggal kirim ”e-mail” ke penjualnya. Dan, rendang pun ”datang sendiri” ke rumahnya. Budi Suwarna dan Sarie Febriane

Mbok Idem (40) tampak sangat sibuk. Tangannya gesit membungkus cabai, ujung bahu dan pipinya menjepit telepon genggam. Sambil melayani pembeli yang datang langsung berbelanja di lapak sayurnya, Idem menerima pesanan ikan patin segar lewat telepon. ”Ada lagi yang mau dipesan?” ujarnya kepada pelanggannya di ujung telepon, Rabu (22/12).

Saat ada sela, Idem bergegas mengantar ikan patin pesanan itu ke rumah pelanggannya dengan sepeda motor. Dalam dua jam, pedagang sayur yang mangkal di Kompleks Pondok Hijau, Ciputat, itu bisa bolak-balik lima kali mengantar pesanan.

Jasa pesan-antar dilakoni Idem sejak enam tahun lalu. Semua mengalir begitu saja tanpa rencana. Awalnya hanya 1-2 pelanggan yang memesan sayur-mayur via telepon, lama-lama jadi banyak. Idem pun mafhum, zaman telah berubah. ”Sekarang orang beli cabai sebungkus saja lewat telepon, tapi saya siap mengantar.”

Verni Dian Hidayanty (28) juga memanfaatkan teknologi komunikasi untuk berjualan. Sejak tahun yang lalu dia menjajakan rendang padang bermerek ”Uni Erieza” melalui internet. Pembeli tinggal memesan melalui e-mail, Facebook, atau telepon. Pesanan akan diantar kurir. Dengan cara itu, rendang buatan Verni bisa dinikmati pembeli di Jabodetabek, Yogyakarta, Kalimantan, bahkan hingga Jepang.

Selain Verni, ada jutaan orang yang memanfaatkan internet untuk jualan, mulai dari terasi, RBT, sampai mobil Mercy. Bahkan, jasa yang terdengar tak lazim pun ditawarkan. Salah satunya adalah layanan menjemput barang tertinggal. Febri (34) pernah memanfaatkan jasa yang disediakan situs ”Asistenpribadi” itu enam tahun lalu. Ketika itu, surat cuti yang harus dia serahkan kepada pimpinannya di kantor tertinggal di rumah. Dia segera menelepon pengelola ”Asistenpribadi” dan petugas situs mengambil surat tersebut ke rumah Febri di Cinere. Febri tinggal membayar jasa layanan dan persoalan pun beres.

Jadi, apa yang tidak bisa dilakukan di era ketika ruang dan waktu bisa dimampatkan oleh teknologi? Semua orang, asal terhubung dengan dunia digital, punya akses yang sama untuk berlomba dalam percepatan penetrasi pasar global. Polanya mungkin sama dengan telemarketing atau teleshoping yang digunakan para kapitalis tulen dalam merebut pasar global.

Bertetangga secara aneh

Begitulah, di era serba digital ini, cara orang mengonsumsi, memproduksi, dan berjualan telah berubah secara radikal. Tidak hanya itu, pola relasi sosial ikut berubah. Pada zaman ini, orang kian intim bergaul lewat jejaring sosial. Mereka berbagi informasi, curhat, atau hasrat melalui Twitter atau Facebook, bahkan dengan orang yang belum tentu mereka kenal. Ajaibnya, mereka merasa sangat dekat dan akrab.

Tony, warga Cipinang, bercerita, dia berkomunikasi intens dengan seorang artis terkenal meski tidak pernah bertemu secara fisik. Ketika pertemuan fisik terjadi, Tony dan artis itu langsung akrab seperti sudah lama sekali berteman.

Tidak hanya pertemanan, solidaritas massal pun bisa digerakkan secara sporadis lewat Twitter, Facebook, dan blog pribadi. Ini antara lain dilakukan Dian Paramita (22), mahasiswa UGM. Dua bulan lalu dia mengetuk hati para pengguna media sosial untuk menyumbangkan dana bagi korban letusan Merapi. Pesan itu langsung disambut. Dalam beberapa jam, dana jutaan rupiah pun mengalir dari para dermawan yang sebagian tidak dikenalnya.

Sampai sekarang Dian terheran-heran bagaimana pesan yang dia kirim melalui media sosial ternyata bisa menggerakkan empati banyak orang. ”Awalnya saya hanya iseng kirim pesan, barangkali ada orang yang mau bantu korban Merapi. Ternyata responsnya besar sekali,” ujarnya.

Meski begitu, era digital juga memperlihatkan sejumlah paradoks. Ketika hubungan antarmanusia serba difasilitasi media, orang bisa teralienasi dari kehidupan nyata. Putri (28), warga Legoso, Ciputat, menceritakan, betapa hubungan dengan tetangga dekatnya terasa agak aneh. Dia tahu apa yang dilakukan seorang tetangganya melalui Facebook. Dia berbincang akrab melalui bilik ngobrol Facebook atau SMS. Tapi, sejak tiga bulan lalu, Putri tidak pernah bertemu dengannya secara fisik.

Masyarakat ”cyber”

Yanuar Nugroho, dosen Manchester Business School The University of Manchester yang sedang meneliti media sosial di Indonesia, melihat, masyarakat Indonesia telah bergeser ke masyarakat cyber. Jumlah mereka pun sangat besar.

Pengguna telepon seluler di Indonesia sekitar 120 juta orang, atau setengah dari jumlah penduduk. Pengguna internet 30 juta (Internet World Stats, 2010). Dari jumlah itu, 20,8 persen di antaranya nge-twitt (ComScore, 2010). Sementara itu, pengguna Facebook sekitar 32 juta (Check Facebook, 2010). Nomor dua setelah AS.

Mereka ini—bersama masyarakat cyber di negara lain—setiap hari ikut berlomba mengisi ruang-ruang virtual dengan berbagai keperluan, mulai dari jualan terasi, menghimpun solidaritas, kampanye, memupuk pencitraan, berkomunitas, hingga sekadar iseng kurang kerjaan.

Persoalannya, kata Yanuar, masyarakat cyber Indonesia masih sebatas konsumen informasi dalam kontestasi mewarnai ruang virtual itu. ”Padahal, kalau kita konsumen informasi sudah pasti kita konsumen goods (barang-barang).”
(CAN)

Sumber: Kompas, Minggu, 26 Desember 2010

[Kehidupan] Sastra Digital: Kembali pada Komunalitas

KEHADIRAN teknologi digital sejak penemuan komputer, lalu diikuti gadget dengan tingkat mobilitas tinggi, telah menyeret dunia kreativitas seperti sastra. Lahirlah komunitas-komunitas sastra, seperti sastra cyber, fiksimini, cerfet, dan puisikita atau tulisan-tulisan dalam blog personal.

Fiksimini dan cerfet (cerita estafet) yang lahir dalam akun Twitter menjelma menjadi komunitas dalam dunia virtual dengan ciri-ciri yang unik. Akun @fiksimini yang digagas sastrawan Agus Noor, Eka Kurniawan, dan Clara Ng, sampai Selasa (21/12) telah memiliki followers (pengikut) 52.712. Padahal, akun ini baru diluncurkan 18 Maret 2010. ”Dalam sehari kami menerima tak kurang dari 3.000 fiksimini,” tutur Clara Ng.

Sementara akun @cerfet yang digagas penulis dan web designer Zeventina Oktaviani sejak 12 September 2010 memiliki 413 followers. Cerfet memiliki karakter yang khas karena kisah-kisah ditulis secara estafet oleh para pemilik akun yang menjadi followers, dengan sebelumnya ikut dalam antrean. ”Justru karena antrean itu cerfet, jadi begitu menegangkan karena kita tidak tahu apa yang bakal ditulis pemilik akun sebelumnya,” tutur Zeventina.

Hal yang menarik juga, semua karya cerfet dalam seketika bisa diakses dalam situs web: http://www.cerfet.zeventina.com, yang dikelola langsung oleh Zeventina. ”Bagi peserta yang telat mengikuti bisa langsung baca kisah sebelumnya di web,” ujar Zeventina.

Para pengelola fiksimini sendiri memosisikan diri sebagai seorang editor. Karya-karya yang masuk akan diseleksi oleh editor untuk kemudian di-RT (retweet) kepada semua followers. Tidak mudah meyakinkan editor agar karya fiksimini di-RT lantaran begitu banyaknya karya yang masuk.

Satu ciri dasar karya-karya dalam media cyber, ia dikerjakan dalam segala aktivitas dan bisa seketika dari berbagai lokasi (kota). Semua followers dipersatukan menjadi komunitas fiksimini atau cerfet tanpa sebelumnya harus saling mengenal. Tetapi, perkenalan virtual itu telah menghasilkan karya-karya, yang menurut Ketua Kelompok Keahlian Ilmu-ilmu Desain dan Budaya Visual, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB), Yasraf A Piliang, sebagai karya komunal.

”Sifat sastra cyber itu seperti kembali kepada sastra lisan. Komunal, karena merupakan kerja komunitas, bisa ditambah bisa dikurangi,” kata Yasraf. Oleh sebab itu, ia agak sulit memasukkannya dalam genre sastra. Sebab, ”Pengertian sastra itu berasal dari literasi, karya-karya fisik, ada tulisan, ada buku, dan ada hak cipta dari pengarangnya,” ujarnya.

Lepas dari itu semua, fenomena gaya hidup yang diembuskan teknologi telah memasuki relung-relung dunia sastra. Para penulis sastra dalam Twitter sangat berbeda dengan komunitas sastra era 1970-an, misalnya. Selain berasal dari beragam profesi, sifat teknologi digital yang borderless memungkinkan sastra dinikmati oleh kalangan yang lebih luas. Karakter ini akan mencairkan pembedaan antara sastra serius dan sastra populer.

(CAN)

Sumber: Kompas, Minggu, 26 Desember 2010

[Buku] Parade Keseksian Sebuah Tema

-- Murniati Tanjung

BAGAIMANA seorang pengarang mengartikulasikan kecintaannya terhadap kampung halaman? Tidak semua pengarang sadar akan pengartikulasian ini. Bila sadar pun, tidak semua pengarang mau dan mampu melakukannya.

Visi kepengarangan ibarat batang dari sebuah proses kreatif. Visi kepengarangan adalah roh yang akan membuat karya estetis memiliki bobot. Ia juga bagai pemindai karakter karya. Kesadaran akan visi kepengarangan inilah yang kemudian akan membuat si pengarang memiliki ciri khas. Karya-karyanya akan teridentifikasi, tetapi tidak menimbulkan kemonotonan. Karya-karyanya akan ditunggu-tunggu karena para pembaca sudah kecanduan kemampuan pengarang memilih dan menggarap tema.

Sebagaimana kutipan Socrates bahwa sastra adalah mimesis (tiruan kehidupan), maka visi kepengarangan senantiasa lahir dari kesadaran menyuarakan kecintaannya terhadap apa-apa yang ia temui—atau ia khayalkan—dalam kehidupannya, termasuk kepada sesuatu yang bernama tanah kelahiran.

Ya, ketika ruang-ruang publik sudah begitu bising dan kabur oleh pelbagai kepentingan yang berkelindan, mengarang adalah aktivitas yang memungkinkan terjaganya kemurnian suara hati seseorang untuk diketengahkan. Mengapa? Karena mengarang adalah aktivitas yang memungkinkan swasunting (pra-evaluasi) sebelum sebuah karya dinikmati di ruang publik. Maka, beruntunglah orang-orang yang mengarang dengan kesadaran visi, dengan menyuarakan visi kehidupan, visi kecintaan (termasuk pada kampung halaman), dengan perenungan yang dalam!

Satir menyayat

Adalah Benny Arnas, cerpenis muda (26) yang sangat produktif, satu dari segelintir pengarang yang menunjukkan betapa ia mencintai kampung halamannya. Ia menerbitkan lebih dari 100 cerpen di pelbagai media hanya dalam kurun dua tahun usia kepengarangannya. Lewat Bulan Celurit Api (BCA), kumpulan cerpen teranyarnya, Benny bagai menantang orang-orang yang ”mengaku” menghargai seni, budaya, dan sebuah kemurnian peng-kreasi-an karya agar jangan minder dengan identitas kekaryaannya.

Dalam buku himpunan 13 cerpennya yang pernah dimuat media nasional, internasional, dan memenangi penghargaan tersebut, Benny seolah tak pernah kehabisan tema, tak pernah abai pada pemilihan kata, seolah selalu berkata: hei, ada sesuatu yang harus kalian tahu dari titik yang bernama Lubuk Linggau!

Bulan Celurit Api, cerpen pertama yang menjadi judul kumpulan ini, mengetengahkan sebuah ironi. Satir yang menyayat. Benny menampilkan gambaran kampung halamannya yang krisis identitas. Rumah Limas yang digadang-gadangkan sebagai rumah adat Lubuk Linggau (juga Sumatera Selatan) ternyata nyaris tak terdapat di kampung halamannya.

Alkisah, Mak Muna, perempuan 80 tahun yang tinggal di satu-satunya Rumah Limas yang terdapat di kampungnya. Mak Muna memiliki kemampuan membaca tanda-tanda yang ditunjukkan alam. Dan selalu benar. Malangnya, semua tanda yang selama ini ditafsirnya selalu mengarah pada kehancuran kehidupannya.

Suaminya meninggal dalam perang saudara antarpuak. Anak-anak meninggalkannya sendiri, bersama seorang cucu yang bisu, di Rumah Limas-nya yang hampir roboh. Terakhir, ia melihat bulan berbentuk celurit tepat di atas pucuk Rumah Limas-nya. Hatinya cemas. Karena ia merasa itu pertanda buruk bagi kampungnya yang sedang marak-maraknya menyongsong pemilihan kepala desa.

Dalam cerpen yang mendapat penghargaan Piala Balai Bahasa 2009 tersebut, Benny memang menjadikan kehadiran Rumah Limas sebagai twist. Namun, tak seperti twist umumnya, Benny berhasil memilih simbol (Rumah Limas) untuk menyindir pengambil kebijakan dan masyarakat yang mau tidak mau mesti berinteraksi dalam kehidupan sosial.

Eksperimentasi estetika

Sebagaimana siasat penerbitan, saya pikir cerpen Bulan Celurit Api adalah cerpen andalan dalam kumpulan ini. Ternyata tidak! Dua belas cerpen lainnya tidak hanya mengonfirmasi pujian maestro cerpen Indonesia terhadap buku ini yang ”eksotik, liar, dan memukau” adalah benar adanya.

Namun, lebih dari itu, cerpen-cerpen yang disajikan benar-benar menjelaskan kemampuan dan kematangan kualitas kesusastraan seorang pengarang. Bahkan, pada cerpen ketiga, Benny menyentak pembaca dengan pemilihan judul yang sangat panjang, yang saya pikir ini adalah judul cerpen terpanjang dalam sejarah. Tentang Perempuan Tua dari Kampung Bukit Batu yang Mengambil Uang Getah Para dengan Mengendarai Kereta Unta Sejauh Puluhan Kilometer ke Pasar Kecamatan. Berjumlah 22 kata!

Atau pada cerpen Anak Ibu, Benny menampilkan gaya penceritaan yang baru. Semacam kumpulan khotbah bijak yang dikemas jauh dari kesan menggurui. Cerpen-cerpen lain juga makin menegaskan bahwa peraih Krakatau Award dua kali berturut-turut (2009 dan 2010) ini adalah sastrawan muda yang cemerlang!

Dari Lubuk Linggau untuk Indonesia. Demikian istilah yang saya sematkan pada karya-karyanya setelah membaca BCA. Buku ini semacam manifestasi dari kegelisahan Benny terhadap apa-apa yang ia temui dalam masyarakatnya. Sebagaimana endosemen Hanna Fransisca di sampul buku, Benny dengan tandas menceritakan apa-apa yang ia temui dalam masyarakatnya.

Meski begitu, tampaknya pengarang sadar betul bahwa mengarang dengan mengetengahkan tema lokalitas bukanlah hal baru. Maka, Benny pun melakukan eksperimentasi. Eksperimentasi estetika yang sangat cantik. Ada istilah ”perjaka ting ting” pada cerpen Dilarang Meminang Gadis Berkereta Unta, istilah ”menangkup rencana” pada cerpen Perkawinan Tanpa Kelamin, atau istilah ”menindih-redam” dan ”menyembul-nyalang” pada cerpen Bulan Celurit Api, dan beberapa istilah, sebagaimana ia ungkapkan dalam semacam kata pengantarnya, yang lahir dari ”hamil eksperimentasi”. Kehamilan yang melahirkan ungkapan yang otentik karena adanya perpaduan diksi yang tepat guna dan tepat letak.

Keunikan istilah/bahasa ungkap yang ada dalam BCA tidak hanya membuat cita rasa lokal dalam karyanya makin tajam, tetapi juga menjadikan karya-karyanya otentik. Memiliki keunikan yang menarik dan mengundang selera para pembaca untuk ’melumatnya’ hingga tuntas. Karya-karya Benny adalah parade keseksian sebuah tema yang bernama lokalitas.

Murniati Tanjung, Penyair, Tinggal di Jakarta dan Kuala Lumpur

Sumber: Kompas, Minggu, 26 Desember 2010

Seni Pertunjukan: Musikal Tontonan "Baru" Kelas Menengah

-- Ilham Khoiri

PENTAS musikal banyak digelar di sepanjang tahun 2010. Sebuah fenomena tontonan di era post-sinema atau post-teater yang masuk ke wilayah gaya hidup.

Setidaknya ada delapan musikal yang digelar di berbagai gedung pertunjukan di Jakarta sepanjang tahun 2010. ArtSwara Performing Art Production mengawali dengan Musikal ”Gita Cinta The Musical”, Maret lalu. Musikal ”Jakarta Love Riot” oleh EKI Dance Company dan ”Diana” dalam rangka HUT Ke-45 Kompas menyusul pada Juli.

Dua pertunjukan berlangsung selama Oktober. Pentas musikal ”Dreamgirls” oleh Jakarta Broadway Team dan ”Opera Tan Malaka”. Menyusul kemudian Teater Musikal ”Tusuk Konde” dan musikal ”Onrop!”. Akhir tahun 2010 ditutup dengan pertunjukan ”Musikal Laskar Pelangi” garapan Riri Riza dan Mira Lesmana dengan musik oleh Erwin Gutawa.

Secara umum, sebagian musikal itu digelar dalam kemasan megah. Pentas memanfaatkan banyak properti, tata panggung gede, serta bertempat di gedung besar. ”Diana” di Jakarta Convention Center (JCC) serta ”Onrop” dan ”Musikal Laskar Pelangi” di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM), bisa menggambarkan itu.

Kemasan itu menelan biaya produksi tinggi hingga miliaran rupiah. Sekadar contoh, produksi ”Musikal Laskar Pelangi” dengan 300-an kru selama tiga pekan itu menghabiskan dana sekitar Rp 10 miliar. Proses latihan pun setengah tahun lebih. (Bandingkan saja dengan ongkos produksi teater biasa yang ratusan juta rupiah.)

Pertunjukan melibatkan banyak kru panggung dari berbagai disiplin ilmu. Sutradara film, koreografer dan penari, penyanyi, serta aktor berkolaborasi menciptakan satu tontonan. Mengacu pada dasar-dasar drama, tetapi beberapa pentas mementingkan unsur musik, hiburan, dan komunikasi dengan penonton.

Sebagian lakon merupakan pengembangan atau sempalan dari cerita populer, baik dari film maupun lagu. Drama Musikal ”Gita Cinta”, misalnya, mengacu film Gita Cinta dari SMA yang merupakan film laris tahun III pada 1979 yang diangkat dari novel Eddy d Iskandar. ”Diana” merangkai lagu-lagu Koes Bersaudara dan Koes Plus dari era 1960-1970-an. Begitu pula ”Tusuk Konde” yang turunan dari film dan musikal ”Opera Jawa”. ”“Musikal Laskar Pelangi” dari film Laskar Pelangi ( 2008).

Minat pasar cukup tinggi terhadap pentas itu. Meski tiketnya dijual seharga ratusan ribu hingga satu juta rupiah, jumlah penonton tinggi. Ambil misal tiket pentas ”Musikal Laskar Pelangi” seharga antara Rp 100.000 dan Rp 750.000 per orang. Selama enam kali pentas, jumlah penontonnya mencapai 4.800 orang (atau sekali pentas ditonton sekitar 800 orang).

Gairah bersama

Semua itu menggambarkan fenomena apa? ”Fenomena munculnya gairah bersama untuk membuat tontonan alternatif yang mempertemukan film, teater, dan musik. Pertunjukannya lebih ringan, menghibur, tetapi menunjukkan keahlian banyak disiplin ilmu,” kata Mira Lesmana yang memproduksi ”Musikal Laskar Pelangi”.

Kebetulan, para pembuat drama musikal itu memiliki referensi seni pertunjukan dunia. Inspirasinya, antara lain, pentas-pentas drama musikal atau opera di Broadway, New York, serta West End, London, atau Opera House di Sydney. Mereka kemudian tergerak membuat pentas serupa di Tanah Air.

Pada saat bersamaan, sebagian masyarakat di Jakarta juga merindukan pertunjukan musikal. Menurut pengamat seni pertunjukan Agus Noor, mereka adalah kelas menengah urban yang punya pengalaman menonton musikal atau opera di luar negeri dan mengharapkan tontonan serupa di sini. Selera dan aspirasi mereka tak terwakili oleh pentas-pentas seperti Teater Koma, Gandrik, atau Teater Garasi.

Tak sekadar hiburan alternatif, penonton memandang drama musikal itu sebagai sarana mengidentifikasi dirinya pada citra kelas tertentu. ”Tontonan ini masuk ke wilayah gaya hidup,” kata Agus, yang terlibat dalam proses kreatif Teater Gandrik.

Komedi musikal ”Glee” yang ditayangkan jaringan televisi Fox sejak 19 Mei 2009 sedikit banyak juga memberi kontribusi pada maraknya produksi musikal.

Post-sinema

Sutradara Garin Nugroho memandang fenomena itu sebagai munculnya era baru seni pertunjukan. Era ini disebut sebagai post-sinema atau post-teater karena ada semangat mempertemukan berbagai disiplin seni pertunjukan di luar bentuk konvensional. Sutradara film bisa membuat teater atau musikal demi menjelajah wilayah kreatif lain.

Bentuk opera atau musikal banyak dipilih para pembuat pertunjukan karena lebih mudah merangkum berbagai unsur seni. ”Meski terlambat dibandingkan negara-negara lain, semangat ini juga muncul di Indonesia,” katanya.

Namun, perlu dicatat, musikal bukan barang baru. Setidaknya pentas musikal pernah digelar pada era 1980-an di Yogyakarta. Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada pernah menggelar musikal ”Fiddler on the Roof” karya Jerry Bock dan Sheldon Harnick, dengan pemeran utama Landung Simatupang, didukung Bakdi Soemanto. Kemudian Sanata Dharma menggelar ”West Side Story”. Kedua musikal itu dipentaskan dalam bahasa Inggris.

Sebelumnya, pada akhir 1970-an Harry Roesli menggelar ”Rock Opera Ken Arok” dan Remy Sylado mementaskan ”Jesus Christ Superstar”.

Momentum musikal era ini hadir kembali sekarang karena memang didukung banyak faktor, seperti keterbukaan pascareformasi, pertumbuhan industri, gaya hidup urban, adanya produser dengan pengalaman luar negeri, serta munculnya generasi penonton baru. Ada harapan baru akan terbentuknya industri seni pertunjukan.

Bagaimanapun, kini telah tumbuh penonton baru. Meski terbatas, gedung pertunjukan besar telah tersedia, seperti Teater Jakarta dan Teater Tanah Airku. Orang-orang kreatifnya sudah siap, seperti produser, sutradara, koreografer, pemusik, aktor, dan penyanyi. Sponsor juga mau membantu pembiayaan pentas.

Perkembangan selanjutnya tergantung dari bagaimana orang-orang kreatif itu bertahan dan terus memperkuat ide-ide kreatifnya. Hanya saja, industri seni pertunjukan itu juga membutuhkan strategi kebudayaan, menyangkut manajemen, dukungan pemerintah, perlindungan keartisan, kultur teater, kultur industri, dan profesionalisme orang-orang kreatifnya.

”Selama ini kita cenderung meramu dengan semangat musiman. Pertunjukan yang dikemas bagus, tetapi tak disertai unsur tontonan berkualitas hanya akan berumur pendek,” kata Garin yang menyutradarai ”Diana” dan Teater Musikal ”Tusuk Konde.”

Sumber: Kompas, Minggu, 26 Desember 2010

Festival Film Dubai: Perempuan, Religiusitas dan Sinema 2011

-- Garin Nugroho

DUBAI International Film Festival (DIFF), 12-19 Desember 2010, bisa dikatakan sebagai festival penutup tahun yang termewah di dunia. Namun, gejala penting yang harus dicatat, munculnya deretan sutradara perempuan Timur Tengah dan Afrika yang mampu meraih penghargaan.

Sederet film dan bintang Hollywood serta Eropa diboyong di DIFF. Sebutlah film-film terbaru yang dijagokan di Golden Globe atau Oscar, seperti The King ’s Speech , atau film terbaru Peter Weir bertajuk The Way Back beserta bintangnya, Colin Farell, demikian juga artis legendaris Catherine Deneuve hingga Jean Renom, bahkan film paling baru John Woo, Reign of Assasin serta film 3D Tron: legacy

Demikian juga kemampuan artis lanjut usia Esfahani Kobra meraih aktris terbaik DIFF dalam film Salve (Iran). Ketika Kobra berjalan tertatih ke panggung, ia terasa memberi hipnotis sendiri dalam perhelatan yang serba mewah ini.

DIFF yang ke tujuh ini menjadi sebuah subversif dunia perempuan sekaligus memberi peta baru sinema 2011. Namun, lebih dari itu terasa memberi ruang reflektif untuk sinema Indonesia berkaitan dengan menjamurnya film-film dengan tema keagamaan.

Humanis

DIFF yang memutar 400 film dari 57 negara memberi fokus penghargaan pada film-film Asia, Afrika, dan Timur Tengah, baik pada film cerita, film pendek, maupun film dokumenter. Yang harus diberi garis bawah, sinema Timur Tengah justru menghidupkan religiusitas dengan tema-tema humanis, jauh dari urusan propaganda agama serta karakter stereotip bersifat didaktif hitam putih, seperti nilai jahat yang kemudian diinsafkan.

Simak peraih skenario terbaik film Please don’t Disturb (Iran), sebuah mosaik tiga tokoh, salah satunya berkisah tentang seorang Imam yang kebingungan karena dompetnya hilang dan harus menghadapi beragam bentuk perkawinan dan perceraian yang dipenuhi dunia ekonomi uang. Sebuah pembongkaran yang langka diceritakan, bahkan dalam sinema Iran itu sendiri.

Simak pula film terbaik A Screaming Man. Kisah bekas juara renang di Afrika yang populer dipanggil

champion. Bapak tua ini bekerja menjaga kolam kecil di sebuah hotel, tetapi jiwanya terpukul karena harus rela digantikan anaknya. Ia dipindahkan menjadi penjaga gerbang hotel. Namun, secara diam-diam sang bapak menyetujui anaknya dikirim ke militer untuk berperang sehingga sang bapak kembali bisa menjadi penjaga kolam, sebagai satu-satunya pegangan hidup sekaligus dunia kecilnya sebagai bekas juara renang. Namun, ketika mendengar anaknya terluka parah di medan perang, sang ayah menjemputnya dan membawanya ke sungai tempat mereka berlatih renang sebelum kemudian sang anak meninggal.

Muatan cerita di atas lalu menunjukkan bahwa sinema Indonesia akan jauh tertinggal pada masa depan, justru oleh sinema Timur Tengah dan Afrika. Hal ini terjadi karena sinema Indonesia kehilangan dirinya sendiri, yakni kisah-kisah kemanusiaannya dan tafsir bebas terhadap kehidupan. Sinema Indonesia telanjur menjadi alat propaganda berbagai aspek, baik itu aspek pasar maupun aspek agama.

Sinema Indonesia dalam DIFF kali ini diwakili oleh film dokumenter karya Rudy Haryanto, Prison and Paradise. Dokumenter ini terasa menarik karena mampu melakukan wawancara dengan tokoh-tokoh bom Bali secara terbuka, sekaligus kehidupan keluarga teroris beserta anak-anaknya. Yang sesungguhnya menghadapi warisan yang kompleks, yang bukan menjadi dosa mereka.

Oasis

Melihat karya-karya sutradara perempuan peraih penghargaan, terbaca peran sinema sebagai ruang ekspresi masa depan dunia perempuan Timur Tengah dan Afrika. Kamera terasa menjadi senjata baru. Ia bisa menjadi kesaksian realitas, tetapi bisa sebagai perlawanan maupun pilihan demokrasi atas dunia yang boleh dipilih dan digali.

Simak karya Zeinar Steir yang mengambil subyek tukang cukur tua yang sudah mencukur berbagai jenis profesi, jabatan, dan jenis manusia. Zeina mampu melahirkan sensitivitas jurnalistik yang humanis. Atau simak film dokumenter Zelal. Karya sutradara perempuan Mesir ini meraih penghargaan dokumenter terbaik juri kritik film. Film ini merekam penderita depresi mental di rumah sakit Mesir. Atau karya Sabine (Lebanon), peraih film pendek terbaik A Tuesday. Karya ini dengan unik dimulai dengan sosok perempuan tua yang memakai baju dan aksesori mahal keluar dari mal, dan ternyata tidak dengan membayar. Bisa diduga, selanjutnya adalah sebuah cermin yang bisa kita lihat dalam hidup sehari-hari di Indonesia.

DIFF lalu mengisyaratkan, di tengah pesta penutupan yang memberi penghargaan Life Achievement Award kepada aktor Sean Penn dan sutradara Souleymane Cisse dari Mali, perhelatan ini terasa tidak sekadar festival dan ajang penghargaan, tetapi sebuah oasis bagi ekosistem penciptaan dan kebebasan ekspresi diri sutradara perempuan untuk era 2011. Bagaimana dengan sinema dan festival film di Indonesia ?

Garin Nugroho, Juri Film Cerita Dubai International Film Festival

Sumber: Kompas, Minggu, 26 Desember 2010

Catatan Akhir Tahun: Menuju Indonesia.com

-- Bre Redana

BANYAK orang tidak percaya lagi kepada pemerintah. Apakah dengan demikian artinya pesimistis? Tidak. Negara, termasuk Indonesia, menuju ke suatu domain baru, berikut berbagai kemungkinan baru, yang lebih kurang bisa didefinisikan sebagai Indonesia.com.

Tahun 1960-an tidak hanya ditandai oleh counter culture dan ”zaman baru” alias new age. Bersamaan The Beatles menginvasi Amerika pada tahun 1964, Marshall McLuhan menerbitkan bukunya yang kini menjadi semacam relika kebudayaan: Understanding Media: The Extensions of Man. Di situ dikenal bahkan oleh yang tak pernah membaca buku McLuhan sekalipun serasa pernah membaca dan tahu frasa ini: the medium is the message. Medium itu sendirilah pesannya, bukan isi yang dikandung medium tersebut. Setiap medium baru, begitu menurut McLuhan, mengubah kita.

Waktu itu belum zaman internet. McLuhan menunjuk media elektrik abad ke-20 seperti telepon, radio, sinema, dan televisi. Teknologi-teknologi itu, kata McLuhan, menghancurkan tirani teks pada otak dan saraf kita. Ia ingin menyadarkan orang akan pergeseran yang dibawa teknologi-teknologi tadi terhadap teknologi sebelumnya, yakni teknologi Gutenberg alias mesin cetak.

Ihwal mesin cetak ini yang diteorikan oleh Benedict Anderson punya sumbangan dalam membentuk negara bangsa. Kapitalisme cetak, menurut Anderson, membikin kelompok-kelompok yang tidak pernah bertemu muka secara langsung mulai berpikir bahwa mereka adalah bagian dari Indonesia, India, Malaysia, dan seterusnya. Itu yang disebut Anderson sebagai imagined communities, ihwal lahirnya negara bangsa.

Dengan perkembangan teknologi informasi sekarang, bagaimana konsepsi negara bangsa itu ada pada diri seseorang? Adakah pergeseran? Jelas kapitalisme elektronik memiliki efek serupa, bahkan lebih kuat, tidak sebatas level negara bangsa. Pengalaman kolektif yang dibawa teknologi informasi memiliki efek transnasional, menembus batas-batas negara bangsa.

Ini sudah terbukti, bagaimana individu dari suatu negara bisa meluber karismanya ke mana-mana, melebihi negara individu yang bersangkutan. Contoh yang mudah diingat adalah Presiden AS Barack Obama. Masyarakat dari berbagai penjuru dunia memandangnya takjub. Dalam kunjungan singkat ke Indonesia beberapa waktu lalu, ia mengobarkan sesuatu yang telah lama redup pada bangsa ini, yakni semangat patriotisme dan nasionalisme. Orang boleh sinis menyebut dia semata-mata cakap bicara, tetapi nyatanya banyak yang tergerak nasionalismenya oleh pidato Obama. Kelebihan dan kedodorannya seorang pemimpin tak bisa lagi ditutup-tutupi pada zaman di mana informasi sangat terbuka seperti sekarang. Tidak zamannya lagi wong bodo ngaku pinter, orang lambat ngaku cekatan.

Platform baru

Mencoba membandingkan persepsi hidup berbangsa pada zaman negara bangsa seperti didefinisikan Anderson dan meledaknya serta makin personalnya teknologi informasi sekarang dengan iPhone dan BlackBerry, kira-kira bagaimana perbedaan bentuk dan dinamikanya. Tentang konsepsi negara bangsa yang dulu dibentuk oleh teks, bagaimana kalau kita pinjam istilah Geertz bahwa negara bangsa yang terbentuk oleh teks ini kita sebut bersifat ”skripturalistik”?

Sebagaimana sifat skripturalistiknya seperti dipakai Geertz ketika mendeskripsikan gerakan pemurnian Islam di Jawa pada akhir abad ke-19/awal abad ke-20, konsepsi negara bangsa yang ini sifatnya kaku. Dia pun dalam beberapa hal merupakan bagian dari politik identitas untuk melawan kolonialisme Barat.

Berbeda dari konsepsi kebersamaan yang dibentuk oleh teks dan oleh karena itu bersifat skripturalistik, dalam jejaring sosial lewat internet sekarang kesadaran itu dibentuk oleh visualisasi dunia maya. Visualisasi dunia maya, selain menghadirkan citra, tanda, gambar, menghadirkan pula teks. Hanya saja, pembacaan teks pada dunia internet sifatnya tidak linier seperti orang membaca buku atau koran. Melainkan, dalam istilah para penggagas studi-studi kebudayaan visual disebut bersifat hiper-teks. Teks itu berlapis-lapis, seperti dimungkinkan oleh teknologinya.

Penelitian-penelitian pada ranah itu membuktikan, masyarakat dari kebudayaan visual lebih dangkal daripada masyarakat yang dibesarkan oleh teks cetakan. Pembacaan lewat hiper-teks ternyata juga lebih lemah komprehensinya dibandingkan dengan pembacaan linier lewat teks cetak. Gejala pendangkalan bisa kita amati dalam kehidupan sehari-hari kita kini.

Sekadar mencoba memolakan, masyarakat pada era ini dibandingkan dengan era sebelumnya, selain lebih dangkal, juga lebih longgar, sebagai kebalikan dari formal. Identifikasi berikut merupakan pola-pola yang merupakan kebalikan dari pola-pola sebelumnya. Masyarakat sekarang lebih terbuka/transparan; egaliter; spontan; cepat; muda; dan seterusnya. Mereka itulah bagian dari Indonesia.com.

Dengan kekurangan dan kelebihannya, inilah masyarakat yang harus diantisipasi perkembangannya. Dalam hal ini, kelihatan kedodorannya institusi-institusi mapan, termasuk pemerintah untuk menangkap dinamika mereka. Ironi telah sering muncul. Pada saat krisis seperti tatkala terjadi bencana, pemerintah masih rapat, individu-individu masyarakat telah bergerak memberdayakan diri sendiri melakukan apa saja yang bisa dilakukan. Bersama kami bisa: tanpa perlu pemerintah. Ketika tenaga kerja Indonesia telantar di bandara internasional, para anggota DPR bersikap tidak tahu karena terbiasa dengan birokrasi. Pada saat itu masyarakat biasa turun tangan membantu mereka.

Spontanitas masyarakat itu bukan hasil rekayasa sosial secara besar-besaran oleh pemerintah, elite teknokrat, melainkan sebagai produk praktik kultural sehari-hari. Dari situlah terjadi transformasi sosial disebabkan meruyaknya teknologi baru sekarang. Kembali mengutip McLuhan, the medium is the message.

Segera, perubahan akan makin nyata ketika media menggulirkan platform baru: multimedia, multiplatform, multichannel.


Sumber: Kompas, Minggu, 26 Desember 2010