-- Dadang S. Anshori
SIAPA PUN pun, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, merasakan sulitnya berkomunikasi dengan masyarakat. Nyaris hampir setiap pernyataan Presiden, masyarakat mengkritisi, tidak jarang balik mengkritik Presiden. Bahkan dalam beberapa hal, masyarakat menasihati bagaimana seharusnya presiden berbicara di depan rakyatnya. Keberanian masyarakat itu bukan tanpa alasan. Reformasi telah mengubah cara berkomunikasi masyarakat kita, termasuk kepada para pemimpinnya. Kalau pada zaman Orde Baru untuk menyampaikan pertanyaan kepada presiden seorang petani dari sebuah desa hanya dapat membacakan pertanyaan pesanan, kini setiap orang secara bebas dapat menyampaikan keluh kesahnya kepada para pemimpinnya. Masyarakat pun menyampaikan kritik dengan simbol-simbol, seperti membawa binatang atau membuang ceceran sampah, seperti terjadi di depan Gedung Sate beberapa waktu lalu.
Sebelum kasus "monarki di Yogyakarta", masyarakat juga mengkritik pidato Presiden Yudhoyono yang dianggap banyak mengeluh. Masyarakat berpendapat, seorang presiden harus tegar dan tidak mudah mengeluh kepada masyarakat. Keluhan Presiden Yudhoyono tentang keamanan dirinya dari terorisme tidak disambut positif oleh masyarakat, bahkan dianggap hanya mementingkan keselamatan dirinya daripada keamanan rakyatnya. Demikian pula ketika Presiden Yudhoyono berpidato dengan mata berkaca-kaca. Tangisan Presiden tidak membuat rakyat Indonesia terenyuh, hanyut, atau bersimpati pada masalah yang dihadapinya dalam memimpin bangsa ini.
Jarak psikologis
Salah satu penyebab hilangnya simpati dan empati dalam berkomunikasi adalah jauhnya jarak psikologis antara komunikator dan komunikan. Kondisi psikologis yang jauh menyebabkan komunikasi berjalan tidak dalam satu kesepahaman makna. Dalam kasus tidak dipahaminya, makna dalam setiap pidato Presiden Yudhoyono menunjukkan bahwa secara psikolinguistik terdapat perbedaan kondisi yang tidak dapat dipersatukan dengan bahasa. Memang seharusnya seorang komunikator harus memahami kebutuhan komunikan agar tuturan (pidato) yang disampaikan diterima dengan baik.
Dalam bahasa yang sederhana, jarak psikologis diartikan sebagai beda rasa. Apa yang dirasakan masyarakat berbeda dengan apa yang dirasakan pemimpin. Kondisi sosial masyarakat tidak cukup tercium dan terendus secara benar oleh para pemimpin sehingga terjadi beda tampilan antara derita yang dialami masyarakat dengan perilaku elitis pejabat negara. Jarak psikologis ini terbangun bukan hanya karena kurang intensnya komunikasi atau miskomunikasi para pemimpin, tetapi komunikasi yang dilakukan pemimpin sudah kehilangan makna. Pidato dianggap sebagai bualan atau basa-basi yang tidak memiliki implikatur apa pun. Pidato ibarat kampanye yang penuh janji apalagi selalui diawali kata "akan" atau "rencana ke depan". Jarak psikologis ini makin jauh ketika tidak terjaga konsistensi antara apa yang dipidatokan kepada masyarakat dengan apa yang dilakukan pejabat negara. Rasanya, apa pun jurus pidato (tuturan) yang digunakan, rakyat hanya akan mengolok-olok, apabila pejabat negara tetap main "petak umpet"dengan penderitaan rakyat. Mana mungkin kepercayaan akan terbangun apabila di tengah derita masyarakat di pengungsian, pejabat negara memilih pergi ke luar negeri dengan alasan studi banding.
Jika demikian, apa yang hendak diajarkan kepada masyarakat melalui pidato-pidato tersebut? Padahal, dunia mereka sudah berbeda dengan dunia masyarakatnya. Dunia yang diametral yang tidak mungkin dipersatukan kecuali dengan hadirnya sikap yang ikhlas berkhidmat untuk kepentingan masyarakat dan mau mendengar nurani terdalam masyarakat. Dalam hal ini, pidato Presiden Yudhoyono seharusnya bukan tuturan verbal belaka, tetapi harus merupakan akumulasi dan representasi dari kondisi psikologis pemimpin dalam memahami setiap wujud kegelisahan rakyatnya.
Konteks
Reformasi juga telah mewujud pada kecerdasan masyarakat dalam memahami setiap tuturan pemimpinnya. Salah satunya dengan menghadirkan rujukan dan konteks dalam setiap memahami dan menafsirkan bentuk verbal para pemimpinnya. Konteks menjadi semacam bingkai atau kepala pada tuturan yang disampaikan. Sebuah tuturan yang digunakan manusia akan bermakna tepat ketika dihadirkan konteksnya. Tangisan seorang presiden dapat dipahami beragam makna, kecuali konteksnya dihadirkan. Apalagi konteks ini dilengkapi dengan gestur tubuh yang menguatkan wujud verbal. Jangan salah, setiap rakyat dapat melihat mimik muka pemimpinnya ketika berbicara di depan publik. Muka adalah bagian penting dari tubuh yang dapat dengan mudah dibaca publik. Muka kesal yang ditampilkan Presiden Yudhoyono pada pidato pembatalan berangkat ke Belanda beberapa waktu lalu menjadi bagian integral dari tafsir masyarakat tentang sikap Presiden terhadap demonstrasi RMS di Belanda. Anehnya, sekalipun Presiden menegaskan bahwa pembatalannya merupakan bagian dari cara dia menempatkan harga diri bangsa, masyarakat tidak lantas berterima dan memakluminya. Bahkan, pembatalan tersebut menjadi polemik panjang.
Dalam kasus "monarki di Yogyakarta" juga secara cerdas masyarakat menilai bahwa pidato tersebut tidak dapat dipisahkan dari konteksnya. Dalam hal ini, konteks pernyataan Presiden adalah RUU Keistimewaan Yogyakarta. Topik monarki dan demokrasi dapat dipahami secara umum, tetapi konteks akan membatasi keumuman topik tersebut. Ibarat orang menangis, konteks tak terlepas dari tangisan itu apakah dia menangis bersedih hati atau menangis gembira. Dengan demikian, apa pun istilah yang dipakai Presiden, konteksnya berkaitan dengan Yogyakarta. Inilah bagian dari kecerdasan masyarakat yang tidak demikian mudah memercayai setiap upaya klarifikasi.
Dalam kondisi masyarakat yang sangat kritis ini, yang diperlukan para pejabat adalah kecerdasan ekstra untuk memahami kondisi dan jarak psikologis antara dirinya dan rakyatnya. Kecerdasan harus ditunjukkan bukan dalam pengertian dia harus tampak cerdas di mata masyarakat, tetapi pemimpin harus mau berbicara dalam bahasa rakyatnya: berbicara dalam bahasa kaumnya. Kalau selama ini para pemimpin merasa sudah benar dan rakyat salah memahami, kesalahan tetap ada pada pemimpin karena dia tidak bicara dalam bahasa yang dipahami rakyatnya.
Kecerdasaran ekstra juga hendaknya dibarengi dengan kearifan untuk membaca secara jujur kehendak masyarakat. Kejujuran ini penting mengingat kepada rakyatlah para pemimpin itu berkhidmat. Kecerdasan yang demikian hanya lahir dari pemimpin yang nuraninya penuh dengan rakyat. Untuk itulah, rasanya kurang logis kalau rakyat diminta memahami bahasa para pemimpinnya.
Dadang S. Anshori, dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 12 Desember 2010
No comments:
Post a Comment