-- Agus Sri Danardana
SAJAK “Karena Kalian Gunung, Kami Pun Menjelma Jadi Angin” dimuat dalam Fragmen Waktu: Sajak Pilihan Riau Pos 2010 (Yayasan Sagang, 2010:27-29). Sajak itu (terdiri atas 9 bait) didedikasikan untuk rakyat Riau yang terus berjuang. Secara tekstual, sajak itu dapat diduga merupakan pernyataan sikap perlawanan yang dilakukan kami/angin atas keberadaan kalian/gunung. Sikap perlawanan itu muncul karena kami/angin sudah benar-benar merasa jengkel, kesal, dan bahkan muak terhadap perilaku kalian/gunung. Deskripsi lengkap sajak itu, lebih kurang, sebagai berikut.
Sesungguhnya kami sudah cukup bersabar meskipun sudah lama mengetahui bahwa gunung telah mendatangkan kegelapan (bait 1). Kami pun sudah lama mengetahui bahwa gunung telah menghancurkan emporium (bait 2), memamerkan kegarangan dan kerakusan (bait 3), serta tidak dapat berlaku adil (bait 4). Untuk mendukung tuduhannya itu, kami memperlihatkan berbagai peristiwa pedih dan tragis yang terjadi: inilah negeri tak bergunung tapi bermarwah/sejak dulu jadi ladang perburuan/tiap waktu terus dikepung/dari perbukitan hingga lautan/dari butiran pasir hingga hutan/dari pertambangan hingga lahan/dari minyak hingga perniagaan/apa lagi kini yang tersisa?//dah lama tudung periuk tak dinyanyikan/dah habis kain buruk menghapus tangisan/dah lama pesan perih disampaikan/dah habis pula segala ucapan/dah lama janji ditaburkan/dah habis pula kesabaran (bait 5 dan 6). Hal itu dilakukan, di samping sebagai bukti kerakusan dan ketamakan gunung, juga dapat menjadi pelegal (argumentasi) langkah-langkah yang diambilnya.
Begitulah, setelah menjabarkan semuanya itu, kami pun menyampaikan niatnya: meminta segala punya (bait 7), dengan sebuah ancaman metaforis: karena kalian gunung/kami pun menjelma jadi angin/sebab angin dapat tiupkan awan/dan awan akan turunkan hujan/hanya hujan luluhkan kalian (bait 8). Sambil mengacungkan kepalan (tangan) dan mengeluarkan teriakan ancaman: jangan tunggu amuk kami, kami pun kembali membuat pernyataan pelegal bahwa semuanya itu dilakukan atas nama harga diri yang disemangati oleh dua pepatah: sekali layar dikembangkan/tak mungkin surut lagi dan esa hilang dua terbilang/tak ‘kan melayu hilang di bumi (bait 9).
Fakhrunnas dan Kondisi Sosial Budaya Riau
Menurut Kuntowijoyo (1987:127), ada tiga peranan sastrawan dalam menciptakan karya sastra, yaitu menanggapi realitas (mode of comprehension), berkomunikasi dengan realitas (mode of communication), dan menciptakan kembali realitas (mode of creation). Dengan demikian, mempelajari karya sastra akan sampai pada taraf pemahaman kondisi sosial budaya suatu masyarakat karena karya sastra berakar pada suatu lingkungan sosial dan geografis tertentu (Hoggart dalam Haridas, 1986:79). Lewat karya sastra, dapat diamati pantulan tata nilai budaya yang dianut masyarakat dan kondisi sosial budaya yang melahirkan karya sastra tersebut, yang pada gilirannya karya sastra menyodorkan sejumlah ide atau konsep-konsep mengenai manusia dan lingkungannya. Pendapat yang sama juga dilontarkan Grebstein (dalam Damono, 1978:4) bahwa karya sastra tidak akan dapat dipahami selengkap-lengkapnya jika dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan/peradaban yang menghasilkannya. Sastra harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya karena setiap karya sastra merupakan hasil dari pengaruh timbal balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural.
Atas dasar itu, dalam sajak “Karena Kalian Gunung, Kami Pun Menjelma Jadi Angin” (dan karya-karya Fakhrunnas lainnya) dapat diamati pantulan tata nilai, kondisi sosial budaya, serta gagasan-gagasan (ide) masyarakat Melayu (Riau). Fakhrunnas M.A. Jabbar (lahir di Tanjungbarulak, Kampar, 18 Januari 1959), sebagai pengarang dan putra Melayu (Riau) yang memiliki kepedulian tinggi atas keberadaan dan nasib puak Melayu, dengan demikian, dapat dipastikan tidak terbebas dari semua peristiwa dan perubahan kondisi sosial budaya yang terus terjadi dalam masyarakatnya itu.
Perihal keberadaan dan nasib orang Melayu (Riau) yang kalah dan terpinggirkan, sesungguhnya, bukanlah hal yang baru. Hampir semua sastrawan besar Riau (seperti Taufik Ikram Jamil, Rida K. Liamsi, Hang Kafrawi, Marhalim Zaini, Musa Ismail, M. Badri, dan Olyrinson) pernah dan bahkan sering menyuarakan hal itu dalam karya-karyanya. Begitu pula Fakhrunnas, sebagaimana telah dilansir oleh para pengamat, karya-karyanya banyak yang mempersoalkan hal itu.
Jika demikian, apa keistimewaan (pesona) sajak “Karena Kalian Gunung, Kami Pun Menjelma Jadi Angin”? Jawabannya akan diuraikan berikut ini.
Dalam salah satu tulisannya, “Sebatang Ceri di Serambi: Perlawanan Kultural Orang Melayu” (dalam Krisis Sastra Riau, 2007:189-198), Maman S Mahayana mengatakan bahwa agak berbeda dengan sastrawan Melayu sezamannya, dalam diri Fakhrunnas, kita tidak merasakan adanya semangat menggelegak suara perlawanan dalam menggugat dikotomi pusat-daerah. Ia tak hanyut pada ingatan kolektif tentang keagungan puak Melayu. Ia tak menggugat pemerintah pusat (Jakarta) yang mengambil bahasaanya (bahasa Melayu) dan menguras harta kekayaan alamnya. Ia lebih memusatkan diri pada perilaku dan cara berpikir puaknya yang tidak dapat melepaskan diri dari sikap budaya tradisional, berikut mitos-mitosnya. Hal yang sama ditunjukkan pula oleh Junaidi (Interpretasi Dunia Sastra, 2009:31—35). Dari salah satu tulisan Junaidi, “Derita Riau dalam Sajak Fakhrunnas”, itu dapat ditarik sebuah simpulan bahwa Fakhrunnas banyak membeberkan ketidakberdayaan orang Riau. Kalaupun terlihat ada usaha memprovokasi melawan kezaliman, provokasi itu disampaikan dengan sangat romantis.
Amatan Maman dan Junaidi itu tentu menjadi tidak benar jika diterapkan pada sajak “Karena Kalian Gunung, Kami Pun Menjelma Jadi Angin”. Fakhrunnas, melalui sajak itu, justru memperlihatkan semangat perlawanan yang luar bisa dalam menggugat kezaliman. Ia tidak hanya menggugat dengan teriakan, tetapi juga dengan ancaman (tindakan). Di sinilah mungkin letak salah satu keistimewaan sajak “Karena Kalian Gunung, Kami Pun Menjelma Jadi Angin”. Jika semua amatan itu benar, sajak itu sekaligus membuktikan bahwa Fakhrunnas telah berubah sikap dalam menanggapi dan berkomunikasi dengan realitas yang dihadapi masyarakatnya (Melayu Riau).
Keistimewaan lain yang dimiliki sajak “Karena Kalian Gunung, Kami Pun Menjelma Jadi Angin” adalah bentuknya. Di samping memperlihatkan tiga peranan Fakhrunnas dalam menciptakannya (yaitu menanggapi realitas (mode of comprehension), berkomunikasi dengan realitas (mode of communication), dan menciptakan kembali realitas (mode of creation), sajak “Karena Kalian Gunung, Kami Pun Menjelma Jadi Angin” juga memperlihatkan sebuah bangunan penuh simbol-simbol yang metaforis dan imajinatif.
Keterlibatan Fakhrunnas dalam menanggapi dan berkomunikasi dengan realitas yang dihadapi masyarakat Melayu (Riau) tereksplisitkan pada penggunaan kata ganti kami. Kata ganti orang pertama jamak itu sekaligus memperlihatkan keberpihakan Fakhrunnas. Ia secara tegas memosisikan dirinya di pihak orang-orang yang memberi dukungan kepada rakyat Riau yang terus berjuang melawan orang-orang yang disapa dengan kata ganti kalian.
Penggunaan simbol gunung (untuk kalian) dan angin (untuk kami) juga pantas mendapat perhatian. Tidak seperti biasanya (dalam kebanyakan karya sastra, gunung dan angin digunakan untuk melambangkan kemegahan/kewibawaan dan keenergisan/ kebersemangatan), gunung dan angin dalam sajak Fakhrunnas digunakan untuk melambangkan keangkuhan/kebebalan dan perlawanan/permusuhan. Dengan demikian, secara sederhana, judul sajak Fakhrunnas itu pun dapat dibaca: Karena kalian angkuh dan bebal, kami pun mengobarkan perlawanan dan permusuhan. Artinya, jika selama ini (melalui karya-karyanya) Fakhrunnas terkesan santun dan romantis, dalam sajak “Karena Kalian Gunung, Kami Pun Menjelma Jadi Angin” ia terlihat lebih bertenaga. Betulkah demikian? Wallahu alam bissawab.***
Agus Sri Danardana, Kepala Balai Bahasa Riau. Menulis esai dan kritik sastra di banyak media, dan telah dibukukan dalam beberapa buku. Tinggal di Pekanbaru
Sumber: Riau Pos, Minggu, 26 Desember 2010
No comments:
Post a Comment