-- Joni Lis Efendi
MENYEBUT “Melayu” pada dasarnya kita membicarakan tentang suatu ras yang memiliki karakter dan ciri-ciri fisik yang khas, terutama bentuk tubuh dan berkulit sawo matang. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Melayu merupakan hasil pencampuran antara ras Mongolia yang berkulit kuning, Dravisa yang berkulit hitam, dan Arian yang berkulit putih. Dalam pengertian ini, semua orang yang berkulit coklat (sawo matang) di seluruh Nusantara bisa digolongkan sebagai ras Melayu. Masyarakat Indonesia yang sebagian besar berkulit sawo matang dapat dikelompokkan sebagai ras Melayu. Mereka tersebar di pulau-pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara. Oleh karena itu sering terdengar sebutan-sebutan Melayu Aceh, Melayu Riau, Melayu Batak, Melayu Bugis, Melayu Dayak, Melayu Ambon, dan sebagainya.
Melayu juga dapat diartikan sebagai suku bangsa. Oleh karena perkembangan sejarah dan perubahan politik, konsentrasi ras Melayu terbesar berada di negara-negara Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand dan Filipina. Dalam kesatuan bangsa di masing-masing negara, Melayu tidak dipandang sebagai ras tetapi sebagai sukubangsa. Populasi orang Melayu di gugusan kepulauan Asia Tenggara mencapai 500 juta jiwa. Sebuah populasi yang terbilang besar, yang seharusnya bisa menjadi garansi bagi eksistensi mereka terutama dalam pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa internasional.
Mengenai orang Melayu yang ada di Indonesia, diperkirakan mereka berasal dari daratan benua Asia mengikuti suatu gelombang migrasi yang berlangsung pertama kali pada sekitar 2500-1500 SM. Gelombang migrasi ini datang ke Indonesia sebagian melalui Semenanjung Melayu masuk ke Sumatera, Kalimantan, Jawa; dan lainnya melalui Filipina masuk ke Sulawesi. Para migran ini disebut kelompok Melayu Tua (Proto Melayu).
Gelombang migrasi berikutnya dari daratan Asia yang juga melalui Semenanjung Melayu dan Filipina disebut Melayu Muda (Deutero Melayu). Ini terjadi sekitar 300 SM. Sukubangsa yang termasuk Melayu Muda ini, antara lain orang Aceh, Tamiang, Melayu Deli, Melayu Riau, Minangkabau, Melayu Jambi, orang Penghulu, Melayu Bengkulu, Palembang, Melayu Pontianak, Melayu Belitong, Kutai, Berau, Minahasa, Bugis, Makassar, Bali, Sasak dan lain-lain. Beberapa suku bangsa lainnya yang juga masih mengidentifikasikan diri sebagai “orang Melayu”, adalah Melayu Biliton, Melayu Betawi, dan sebagainya.
Orang Melayu menetapkan identitas kemelayuannya dengan tiga ciri pokok, yaitu berbahasa Melayu, beradat-istiadat Melayu, dan beragama Islam. Melayu identik dengan Islam, menjadi orang Melayu berarti menjadi penganut Islam, dan menjadi Islam berarti sekaligus menjadi Melayu. Dan sebaliknya, keluar dari agama Islam berarti keluar dari Melayu dan keluar dari Melayu berarti keluar dari Islam. Slogan ini demikian mengakar di kalangan masyarakat Melayu, sehingga nilai-nilai yang diproduksi oleh Islam niscaya dengan sendirinya akan banyak melandasi perumusan nilai-nilai kehidupan dan perilaku masyarakat Melayu, tak terkecuali dalam mengekspresikan gagasan-gagasan tentang politik, ekonomi, dan kehidupan sosial kemasyarakatan sehari-hari.
Kembali ke judul tulisan ini, warna Melayu sangat terasa ketika membaca Negeri Anyaman (NA), buku kumpulan cerpen pilihan Riau Pos 2010. Penulis menemukan setidaknya ada 10 cerpen yang secara langsung mengambil ranah kreatif penulisannya berlatar Melayu. Penulis mendasarkan pengelompokkan ini dari ciri khas penulisan yang menyandingkan unsur-unsur Melayu di dalamnya, seperti penggunaan dialek Melayu, tokoh cerita orang Melayu, dan daerah serta tempat terjadinya peristiwa di ranah Melayu.
Dalam memudahkan pembacaannya, penulis mengurutkan ulasan secara sistematis dari cerpen pangkal sampai ujung. Karena masing-masing cerita memiliki kedalaman yang butuh “stamina” kata-kata untuk mengulitinya. Sehingga agak lebih bijaknya jika hanya mengupas topik sentral dari masing-masing cerpen tersebut lalu mengapungkannya sebuah bentuk dimensi dari salah satu aspek Melayu.
Pembacaan pertama terhadap cerpen “Kepala”, yang ditulis Ahmad Ijazi H. Cerpen ini dengan jelas menyuguhkan tentang akibat buruk mencuri. Orang Melayu, sangat berpantang mencuri. Apapun alasannya, mencuri tidak dibenarkan karena itu termasuk perbuatan dosa yang dilarang agama. Namun karena adanya kesempatan, Zulman (tokoh cerita) mencuri anting-anting emas. Muasal anting-anting emas yang dicurinya itu dari kepala seorang wanita terbungkus plastik yang teronggok di pintu rumahnya.
Awalnya Zulman takut dan panik membuka bungkusan yang berisi kepala itu. Tapi setelah ditelinya baik-baik, ada anting-anting emas yang berjuntai di telinga kepala itu. Tak perlu menunggu lama, Zulman mencopot anting-anting itu lalu memasukkannya ke dalam saku celana jins. Dia pun pergi ke ladang hendak menguburkan kepala wanita itu. Ketika dia sampai di rumah, orang-orang ramai mengerumuni rumahnya. Istrinya mendapati mayat tanpa kepala di kolong rumahnya. Polisi pun memeriksanya dan menemukan anting-anting emas dalam saku celananya. Zulman akhirnya ditangkap.
Setelah membaca cerpen ini, mencuri bukanlah tabiat orang Melayu dan itu adalah perbuatan yang tidak terpuji. “Tangan mencincang, bahu memikul,” adalah pepatah yang benar adanya. Konsekuensi dari perbuatan ini akan mencelakan diri si pelaku sendiri. Kejujuran adalah karakter mulia yang dimiliki oleh orang Melayu, yang sayangnya saat ini mulai mengalami pengikisan. Dalih mereka mencuri karena faktor kemiskinan untuk bakan anak bini tidak bisa dibenarkan dalam nilai-nilai Melayu.
Pembincangan mengenai asal-usul orang Melayu dapat kita jumpai dari cerpen “Kampung Anyaman” (KA) karya Benny Arnas. Cerpen ini merangkai cerita tentang orang-orang Melayu yang sangat suka menganyam. Bahkan, kelihaian menganyam seakan-akan mengalir saja dalam diri orang-orang Melayu, sama status mereka sebuah orang Melayu yang tidak bersusah memperjuangkannya, karena mereka sudah mendapat status orang Melayu sejak tangis pertama mereka pecah di dunia ini.
Sejatinya, kau tak tahu bagaimana kau demikian lihai melipat-kunci bilah, daun dan temali. Kau tak tahu dari mana datangnya kecakapan itu, layaknya tak tahu (atau memang tak pernah ingin tahu), bagaimana kau mengonggok di tanah ini (KA, hal. 15).
KA juga memaparkan tentang sejarah orang Melayu, yang kisah tentang mereka lebih mirip seperti dongeng. “Sejatinya, asal orang Melayu seperti asal orang-orang lain. Dari dongeng.” (KA, hal 18). Tentang silsilah orang Melayu dapat dibaca lebih lanjut dari halaman 19-20. Semua runtutan silsilah tentang orang Melayu memiliki keterikatan historis dan nilai-nilai Islam, yang mengantikan agama Hindu dan Budha yang dianut oleh generasi Melayu terdahulu. Perikatan ini mengalami kemunduran sejak penjajah memancangkan kukuh penjajahan di Nusantara, yang memisahkan Semenanjung Malaya dan Singgapura dengan Indonesia.
Saat membaca KA, kita menemukan adanya pergeseran nilai yang dianut oleh orang Melayu sekarang. Dalam pendangan orang Melayu, sangat berpantang istri durhaka kepada suaminya, “menjadi istri tak usah berlebihan tunduk pada laki (suami)” (KA hal. 16). Walau si istri menyadari bahwa untuk sampai ke surga, dia harus mendapat keridhaan suaminya, baik selagi hidup di dunia maupun setelah mati kelak. “Laki tetaplah imam kita untuk pergi ke taman langit” (KA hal. 16). Para istri tahu benar bahwa mereka harus taat kepada suami. Namun karena sifat merasa lebih hebat (baik dari penghasilan, ilmu, gelar, status keluarga, dll), sering melihat suaminya sebelah mata.
Membaca cerpen “Aku dan Istriku Terpaksa Membunuh” (AdITM), yang ditulis Eddy Akhmad RM, mengajak kita untuk merenung tentang hakikat sebuah pernikahan. Lazaminya sebuah pernikahan, yang tentunya kedua pasangan ingin sama-sama mengecap kebahagian dan kehangatan cinta. Namun tidak dengan suami istri ini yang hidup bersama dalam bayang-bayang masa lalu. Si istri selalu dihantui oleh ayahnya, yang lama meninggal sehingga tidak bisa merestui pernikahan mereka. Sedangkan suaminya, menikahinya tanpa restu ayahnya. Karena si ayah tidak suka bermenantu dengan seorang wanita yang tidak jelas asal usulnya.
Pengalaman pahit masa lalu itulah yang menyebabkan si istri takut hamil dan mempunyai anak. Dia tidak mau nanti anaknya itu tumbuh tidak normal, karena membayangkan suaminya akan bertabiat buruk seperti ayahnya. Namun dengan kesabaran dan ketulusan cinta, si suami akhirnya mampu meyakinkan istrinya bahwa dia sanggup menjadi ayah yang baik bagi anak mereka. Dalam kehidupan orang Melayu, pernikahan adalah sarana yang disahkan negara dan dihalalkan agama untuk mendapat keturunan. Namun tidak sedikit, para orang tua yang justru menelantarkan, menyiksa dan melecehkan anak-anaknya sendiri. Kekerasan fisik dan mental terhadap anak tidak bisa dibenarkan dalam nilai-nilai yang diyakini oleh orang Melayu. Tapi ini masih saja terjadi.
Cerpen “Burung Walet” yang ditulis Ellyan Katan, bercerita tentang kerinduan yang mendalam dari seorang anak rantau, Aslan, terhadap kampung halamannya. Pengalaman traumatik, pernah ditolak oleh ayah dari gadis pujaan hatinya, yang meragukan langkah kakinya untuk mengijak kembali tanah halaman rumahnya, yang sudah 7 tahun ditinggalkan. Deraan kerinduan itu dipersonifikasikan dengan kedatangan seekor burung walet yang acap menyinggahi kamar kosnya. Pergulatan batin tokoh Aslan adalah suatu yang alami berkecamuk dalam setiap anak rantau, yang rindu dengan kampung halamannya. Namun segores pengalaman tak sedap di kampung halaman terkadang menjadi karang yang menghalangi badan berbalik pulang. Pada akhirnya pertentangan batin itu justru menyebabkan dirinya gelisah dan terus didera perasaan rindu yang membuncah. Bagaimanapun, seorang anak Melayu perantauan pasti memiliki keinginan untuk kembali. Sama seperti elang yang terbang membubung tinggi di langit biru, suatu saat ia pasti ingin untuk kembali ke sarangnya.
Cerpen yang ditulis Fakhrunnas MA Jabbar, “Semokel”, adalah isu yang selalu aktual yang dihadapi oleh orang-orang Melayu, terkhusus yang ada dalam cerpen ini tentang Melayu Riau daratan. Isu tentang lingkungan hidup, terutama kerusakan hutan tidak bisa dipisahkan dari penduduk tempatan, yang halaman belakang rumah mereka adalah hutan belantara. Namun tidak kini, hutan-hutan perawan itu telah dijarah dan dibinasakan mesin-mesin chainsaw. Umang tokoh cerita adalah tetua kampung yang dulunya bekas semokel dan pembalak hutan. Semokel adalah penyelundupan tradisional lintas batas, yang menjual tual-tual kayu hasil balakan hutan dari Tanjung Kembar ke luar negeri, bahkan sampai ke Cina dan Jepang.
Namun tidak demikian setelah zaman berubah dan pemimpin di negeri ini berganti. Penebangan dan pembalakan liar merajalela. Hutan dibabat sampai punah ranah, lingkungan rusak dan dunia pun mengecam pembalakan liar di Tanjung Kembar. Sebagai tokoh mantan pembalak dan semokel, Umang dimintai keterangan, sempat ditahan seminggu lalu dipersidangkan. Walau akhirnya dia dibebaskan oleh hakim dari segala tuntutan hukum karena terbukti tidak bersalah. Namun dari lubuk hatinya, Umang menangis melihat hutan kampungnya habis dibalak.
Walaupun orang-orang Melayu pedalaman, seperti Umang, menebangi hutan tapi mereka tetap arif dengan tidak menebangi hutan larangan, yang mereka yakini berpenghuni (binatang langkah yang dilindungi) dan menjaga persediaan air, rotan, damar dan madu yang mendukung kehidupan orang-orang kampung. Semua itu, mereka lakukan demi makan anak istri. Sekarang orang menebang hutan bukan untuk segantang dua gantang beras, tapi untuk menumpuk-numpuk kekayaan, yang sampai tujuh keturunan tidak habis dimakan. Cerpen ini cukup berhasil memberi pencerahan dan penyadaran kepada kita, bahwa orang-orang kampung itu bukan biang keladi kerusakan hutan di Tanjung Kembar, semua itu ulah tauke pemilik modal di pusat sana.
Tabiat orang Melayu kalau keinginannya tidak terturuti adalah dengan merajuk. Inilah agaknya yang menjadi ide awal bagi Jafri Al Malay untuk menulis cerpen “Rajuk”. Diceritakan tentang sosok “aku”, yang waktu muda belia dulu suka merajuk kalau keinginannya tidak terpenuhi. Pernah ebah dan emak, melarangnya bergabung dengan grup Sandiwara Bangsawan. Namun karena kekerasan hatinya, akhirnya abah dan emak meluluskan keinginannya. Akhirnya si “aku” bergabung dengan grup Sandiwara Bengsawan dan sudah tidak terhitung kali mengadakan penampilan sandiwara. Sampai akhinya ia berhasil menjadi pemimpin grup tersebut dan imam (sutradara).
Setelah menginjak usia senja, gairah berkesenian si “aku” kembali menggelora ketika terbaca kabar di koran bahwa di kotanya sudah berdiri sebuah bangunan teater yang teramat megah. Keinginan kuatnya untuk kembali naik panggung mendapat pertentangan dari anak kandungnya, yang menganggapnya sudah terlalu tua untuk memainkan Sandiwara Bangsawan. Si “aku” kembali merajuk. Rajuknya kali ini tidak bisa diobati sampai dia benar-benar tampil di gedung seni pertunjukan yang megah itu. Dengan bantuan anak tetangganya, Iwan, si “aku” mendatangi gedung pertunjukan itu. Namun alangkah terkejutnya dia ketika mendapati gedung yang besar dan megah itu kosong melompong, tidak satu pun seniman yang dijumpainya di sana. Dengan memendam kekesalan, dia kembali pulang. Rajuknya kali ini tidak bisa terobati, malah berujung dengan kekecewaan.
Cerpen “Malam Tergelap” yang ditulis Mohd Amin MS, menyuguhkan tentang sebuah realita yang dihadapi orang-orang Melayu saat ini. Tokoh Kasan, menjadi gundah gulana karena ulah PLN yang lebih suka matinya ketimbang hidup. Padahal malam itu jadwalnya liga Inggris, dan dia sangat menggebu untuk melihat tim kesayangannya Manchester United (MU) berlaga. Tapi PLN mati sehingga teve di rumahnya tidak bisa menyala. Akhirnya dia putuskan untuk melihat ke rumah sahabatnya, yang kebetulan punya aki. Namun di tengah jalan, Kasan berpapasan dengan Pak RT, yang justru mengajaknya ke pos ronda. Dengan mencari kesempatan, akhirnya Kasan berhasil juga sampai ke rumah sahabatnya. Tapi sayangnya, pertandingan bola telah usai. Kasan sangat kecewa dan seketika itu sakit jantungnya kambuh, yang mengakhiri nyawanya.
Kemajuan zaman di satu sisi dapat menghadirkan kesenangan dan kenyamanan hidup. Namun justru melenakan mereka dari akar-akar budaya yang sudah mengakar generasi demi generasi di tengah-tengah kehidupan mereka. Tersebutlah ketika PLN masuk kampung mereka sejak 6 bulan lalu, orang-orang kampung itu seketika tahu tentang dunia luar, hiburan, Indonesian Idol, gosip-gosip artis, dan liga Inggris. Orang-orang kampung terkagum-kagum dengan benda ajaib kota bersegi itu yang menghadirkan dunia yang benar-benar baru bagi mereka. Bahkan, para istri di kampung itu mulai ikut-ikutan ngelunjak dan berani beradu mulut (sampai membentak) suami, menirukan apa yang mereka lihat dari tayangan sinetron Suami-suami Takut Istri. Cerpen ini menyuguhkan sesuatu perubahan tata nilai yang terjadi di tengah masyarakat Melayu saat ini. Sebuah teknik penyajian yang apik.
Cerpen “Orang Aneh: Menunggu Setitik Cahaya” yang ditulis Musa Ismail berkisah tentang tokoh yang lebih memilih menjaga kebersihan hatinya ketimbang mengotorinya dengan perkara-perkara dunia yang dalam pandangannya adalah sampah. Namun tidak dengan sahabatnya Sumarta yang selalu menunggu-nunggu kesempatan untuk bisa mendapatkan jabatan yang lebih tinggi. Tokoh si “aku” dicap aneh oleh rekan-rekan kerjanya karena menolak sebuah tawaran “basah” yang sangat menggiurkan. Alasan tokoh “aku” menolaknya karena tidak ingin mengotori hatinya.
Berbeda dengan Sumatra, yang walau sudah memiliki jabatan hebat di kantor” tetap saja mencari job luar dengan menjadi tim sukses salah seorang calon bupati yang ikut pilkada. Sumatra sangat lihai mengambil hati cabup itu, akhirnya dia mendapatkan apa yang diinginkannya setelah berhasil mengantarkan calon tersebut menang pilkada. Justru tokoh “aku” melihat kelakukan Sumarta itu yang aneh, yang mau menjadi penjilat demi mengejar kesenangan dunia yang hanya sesaat itu.
Sebuah ironi dihadirkan oleh Sobirin Zaini dalam cerpen “Akhir Riwayat Biola Tua”. Cerpen ini bertutur tentang tokoh “aku” yang berniat ingin belajar menggesek biola dengan Wak Sandung, lelaki tua pemain biola yang satu-satunya mereka hidup di kampungnya. Sudah sekian lama keinginan itu hanya terpendam dalam dadanya, inilah saatnya dia ingin belajar biola. Jauh-jauh dari kota tokoh “aku” menjumpai Wak Sandung untuk meluakka keinginannya itu. Namun hanya kekecewaan yang dia dapati setelah mengetahui dari mulut Wak Sandung sendiri bahwa biola satu-satunya itu telah dijualnya untuk membeli beras. Wak Sandung merasa biola itu tidak penting lagi dan tidak sanggup untuk membiayai kebutuhan hidupnya sehari-hari. Begitulah nasib para seniman dalam usia senjanya, dulu pernah ada tapi kini setelah renta tak dianggap lagi.
Zainul Ikhwan mengajak kita melihat sebuah realita yang terpampang jelas dalam cerpennya “Kubur Terendam”. Pembangunan tidak selamanya membawa kesejahteraan bagi penduduk di sekitarnya. Malah justru mendatangkan bencana. Sebut saja dalam cerpen ini tentang pembangunan waduk Kotohilang, yang nantinya bisa menggerakkan turbin pembangkit listri yang dapat mengalirkan 114MW listrik ke segenap penjuru pulau. Namun apa lacur, proyek pembangunan itu justru menenggelamkan 14 kampung termasuk kuburan emak si tokoh cerita. Orang-orang kampungnya diusir paksa ke daerah pemukiman baru di tepi hutan, tidak ada jalan, tidak ada penerangan listrik. Jejak kampungnya dulu, yang sudah ditenggelamkan air waduk kini menjadi objek wisata. Sebuah ironi dari sebuah kata yang bernama “pembangunan”.***
Joni Lis Efendi, penikmat sastra, penulis buku, mantan Ketua FLP Riau. Berdomisili di Pekanbaru.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 12 Desember 2010
No comments:
Post a Comment