-- Bandung Mawardi
JAGAT ayah adalah jagat cerita. Sungging Raga menghadirkan itu dalam buku Ketenangan Merentang Kenangan (2010) untuk menarik pembaca pada kemuramam dan derita ayah. Antologi cerpen ini ini adalah antologi kekalahan ayah.
CERPEN bermazhab ayah seolah ingin menguak misteri dan keklisean manusia. Sungging Raga intensif menampilkan tokoh ayah sebagai acuan memerkarakan keluarga, politik, kota, atau dunia. Strategi penokohan ini menjadi kekuatan pencerita kendati kerap mengabaikan kelumrahan atau kelaziman dalam pengalaman pembaca.
Cerpen Sepatu Jahitan Ayah mirip biografi kekalahan dalam desah napas memelas. Tokoh ayah menikmati sengsara dan kesendirian dengan menjahit sepatu. Perceraian memberi luka. Peran sebagai si pencari nafkah tak sanggup memberi terang dalam lakon keluarga. Tokoh itu cuma tukang sol sepatu. Uang membuat malang. Kemiskinan dihabisi dengan ketidaksabaran si istri untuk menahankan kemiskinan. Si ayah mengenangkan keluarga pecah dengan menjahit sepatu setiap hari dalam kedukaan. Kisah ini memang menampilkan kekalahan ayah tapi mengingatkan pembaca tentang keberterimaan hidup.
Sungging Raga mungkin sengaja memprofilkan sosok ayah sebagai makhluk penderita. Kelelakian dan heroisme tak ada dalam diri ayah kendati mesti menjalankan peran sebagai suami dan ayah. Derita telah diterima sebagai takdir. Resistensi atas keterbatasan dan gugatan ekonomi tak membuat si ayah menjelma sebagai penantang hidup. Keberterimaan adalah jawaban untuk menjalani episode-episode derita hidup. Cerpen ini tanda seru untuk kekalahan ayah dalam keterbatasan diri dan siksa diri.
Profil ayah dalam cerpen-cerpen Sungging Raga adalah profil samar dan gelap. Cerpen Tiga Potongan Malam mengisahkan tokoh ayah dalam tumpukan duka. Si istri mati tertabrak mobil saat melarikan diri dari kejaran Satpol PP saat razia. Rumah alias gubuk derita pun hancur oleh penggusuran. Si bocah menjadi tinggal penghiburan. Bocah berusia lima tahun itu berkelana bersama si ayah di taman-taman kota untuk mencari pembaringan. Si ayah melawan duka dengan menceritakan tentang langit, bulan, bintang, dan planet. Si bocah ingin pulang dan menemui ibu. Bocah itu tak tahu segala peristiwa duka. Bocah itu memelas dalam kebutaan. Si ayah cuma bisa mengalirkan air mata dan menuntun si bocah untuk lekas menemukan “taman tidur” di malam dingin. Si ayah tak ingin memberi penjelasan pada si bocah atas tumpukan duka dan biografi kekalahan dalam menghadapi nasib sebagai manusia miskin.
Sosok ayah dalam cerpen ini seolah tabah tapi kalah. Hidup di kota melahirkan konsekuensi-konsekuensi besar. Kegagalan dalam memberi topangan ekonomi keluarga mengesahkan segala bentuk derita. Si ayah tak memiliki modal atau hasrat melawan represi hidup di kota. Agenda hidup seolah agenda untuk menerima kekurangan, pelecehan, peminggiran, dan pengusiran. Cerpen ini memprofilkan ayah sebagai makhluk kalah dan bersalah. Sungging Raga dalam cerpen ini telah memproklamiskan ayah sebagai takdir kekalahan.
Pembayangan ayah sebagai sosok pengasih tampil dalam cerpen Bulan Cerah. Si ayah dirindui oleh Naela. Gadis kecil ini pergi meninggalkan rumah dengan sekian pengharapan dan resah. Naela menginginkan ayah sebagai tumpuan dari kehangatan bermain, menonton televisi, atau bercengkerama. Rumah ditinggalkan dan bayangan ayah terusung dalam getir malam di sebuah kota. Gadis kecil tersesat di kota tanpa nama. Naela justru melunaskan rindu dan pengharapan dalam perhatian si lelaki kumal (gelandangan). Sosok ayah tergambarkan dalam nuansa berbeda. Lelaki kumal itu memberi sapaan lembut. Naela menghabiskan malam di sebuah gubuk dalam cengkeraman si lelaki kumal.
Jagat ayah dalam gelimang nostalgia dan derita tersuguhkan di cerpen Ketenangan Merentang Kenangan. Si tokoh ayah merasai ketuaan dalam antologi duka. Keringkihan dan kebutaan seolah menggenapi lakon buram kehidupan. Si ayah ini menjelang ajal dengan membuka tumpukan ingatan atas keluarga pada masa lalu. Anak-anak telah mengimbuhi derita karena mereka tak menghendaki hadir dalam kehidupan si ayah. Keterpisahan dan penelantaran membuat si ayah merasa diri sebagai manusia gagal. Kedurhakaan anak pun disadari sebagai kutukan atas kedurhakaan diri pada masa lalu. Karma diberlakukan untuk memberi siksa dan sadar.
Biografi kekalahan ayah mengental dalam cerpen Mutilasi Cinta Seorang Ibu. Ayah memerankan diri sebagai pusat keluarga. Agenda mengurus kebutuhan keseharian anak dalam rumah, menemani anak-anak belajar, bercerita pada malam hari, mengoordinasi tamasya anak-anak seolah misi suci dalam hidup. Si ayah mengalah dan pasrah dalam paket perintah si istri. Misi dijalankan dengan pengharapan ada kenikmatan dalam derita. Si istri melenggang ke arisan dalam puja dandanan. Si ayah dan anak-anak bertamasya ke pantai dengan setumpuk duka tersamarkan. Anak-anak kerap melontarkan ejekan tentang “kejahatan” ibu. Si ayah menampik tuduhan dengan membagi cerita tentang kasih ibu. Kematian menempatakan si ayah dalam kenangan usang dan kodrat hidup bersama anak-anak dengan menanggung rindu-dendam pada sosok ibu.
Cerpen Bulan Cerah, Ketenangan Merentang Kenangan, dan Mutilasi Cinta Seorang Ibu merupakan suguhan biografi kekalahan ayah. Kultur paternalistik justru surut oleh pelbagai bentuk kekalahan ayah. Otoritas sebagai “penguasa” rumah gagal diterjemahkan dengan aplikasi kelaziman. Jagat ayah justru menjadi limpahan ekspresi kealpaan peran dan kepasrahan atas nasib. Sungging Raga dalam cerpen-cerpen itu kentara memberi kabar tentang kebangkrutan definisi dan peran ayah. Kekalahan identik dengan ayah seolah tanpa terselesaikan dengan keajaiban atau revitalisasi peran diri. Begitu.
Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo
Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Desember 2010
No comments:
Post a Comment