-- Ingki Rinaldi
KAMIS (30/12), setahun KH Abdurrahman Wahid meninggal dunia. Sejak sehari sebelumnya, Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan, disesaki orang dari berbagai latar agama, budaya, dan sosial.
Pekerja tengah menata puluhan foto seputar kehidupan KH Abdurrahman Wahid di belakang patung karya Dolorosa Sinaga berjudul Wali Tertawa yang dipamerkan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (30/12). (KOMPAS/INGKI RINALDI)
Berbagai acara, seperti bursa buku dan makanan, diikuti pedagang, musabaqah marawis, nonton bareng final Piala Suzuki AFF 2010, seminar, doa antarumat beragama, tausyiyah, dan tahlilan diadakan dalam rangka peringatan wafat atau Haul Akbar Gus Dur Ke-1.
Penganut Sikh, Buddha, Baha’i, Sunda Wiwitan, Hindu, Katolik, Kristen, dan Konghucu berdoa bersama saudara-saudara Muslim mereka.
Refleksi atas kebebasan beragama kemudian diadakan dalam haul dengan tema ”Menapak Jejak Guru Bangsa”. Keprihatinan seputar kekerasan atas nama agama selama setahun terakhir menjadi topik bahasan utama.
Ratusan orang dengan membawa keluarga masing-masing mulai berdatangan ke pesantren itu. Mereka datang dari berbagai tempat, antara lain Jawa Timur dan warga negara Belanda yang menetap di Selandia Baru.
Mereka berbaur tanpa batas. Berbincang akrab tanpa sekat suku atau agama walau baru bertemu dan berkenalan di sana.
Orang-orang lalu fokus pada sosok Gus Dur. Persis pada tanggal 31 Desember tahun lalu, Gus Dur dikebumikan di pemakaman Tebuireng, Pondok Pesantren Tebuireng, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Dalam pemakaman dengan upacara militer setahun lalu itu, ribuan santri ikut berbaur bersama ribuan orang dari berbagai pemeluk agama, bangsa, dan golongan politik berbeda.
Kehilangan pembela
Selama setahun terakhir itu pula beragam kasus kekerasan atas nama agama yang meresahkan perjalanan bangsa semakin kerap terjadi.
Dan selama itu pula tidak ada satu pun tokoh bangsa yang berani tampil membela kepentingan kelompok minoritas yang teraniaya. Bangsa ini seperti kehilangan Gus Dur, sang penakluk yang membela keutuhan Indonesia.
Seorang sahabat Gus Dur, MM Billah, dalam sambutannya bahkan mengatakan, Gus Dur adalah sufi yang khusyuk. ”Tapi pada saat lain ia juga aktivis yang garang dan bergairah,” katanya.
Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuam Hukum Indonesia Alvon Kurnia Palma dan Ketua Bidang Pengembangan Sumber Daya Hukum Masyarakat Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Febi Yonesta dalam kesempatan berbeda mengatakan, kehilangan ini sangat terasa seperti saat tim advokasi kebebasan beragama mengajukan uji materi Pasal 156a KUHP tentang pasal penodaan agama yang dimandatkan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ke Mahkamah Konstitusi.
”Saat itu sudah ada seorang tokoh nasional bersedia menjadi saksi di pihak kita dan bertanda tangan. Tapi, pada saat sidang dia tidak datang. Alasannya tidak mood,” kata Febi.
Ny Sinta Nuriyah Wahid, istri Gus Dur, sehari sebelumnya mengatakan, hatinya sedih setiap kali menerima pengaduan kelompok masyarakat yang teraniaya atas nama agama. ”Saya tidak punya power seperti Bapak,” ujarnya.
Semakin penting
Oleh karena itu, Haul Akbar Gus Dur Ke-1 menjadi penting di tengah abainya penyelenggara negara terhadap beragam kasus kekerasan atas nama agama.
”Artinya besar banget. Karena tujuan dari bikin haul supaya masyarakat bisa diingatkan akan nilai-nilai yang ditinggalkan Bapak (Dus Dur),” kata Inayah Wulandari Wahid, putri bungsu Gus Dur.
Keluarga mendapuk Inayah menjadi ketua panitia acara tersebut. Boleh jadi, ia menjadi orang yang paling sibuk dalam perayaan ini.
Pendiri organisasi Positive Movement tahun 2006 yang mendorong anak muda berpikir positif untuk membangun bangsa itu mengungkapkan, ”Semua orang bilang, siapa nih yang gantiin Gus Dur. Ya, enggak ada dan enggak perlu juga.”
Menurut Inayah, yang sekarang perlu dilakukan adalah menyebarkan nilai-nilai yang diperjuangkan Gus Dur kepada sebanyak-banyaknya orang dari berbagai golongan.
”Karena memang tidak bisa dibebankan pada satu orang. Bahkan, mungkin Bapak sendirian pun tidak bisa,” ujarnya.
Tekad ini pula yang membuat putri tertua Gus Dur, Alissa Qotrunnada Wahid, mengumpulkan tulisan tentang Gus Dur lalu bersama penerbit Lembaga Kajian Islam dan Sosial menerbitkan 3.000 buku kecil. Buku saku tersebut menjadi semacam suvenir ”ilmu” bagi semua tamu.
Inayah yakin, generasi muda menjadi agen terbaik untuk menyebarkan pemahaman mengenai pluralisme di Indonesia.
”Kita (anak muda) yang pegang kuncinya. Ya, ayo, mari kita bekerja,” ajak Inayah.
Sumber: Kompas, Jumat, 31 Desember 2010
No comments:
Post a Comment