PADA usia 5 tahun, Jeihan yang tinggal bersama bibi dan pamannya jatuh dari tangga. Ia mengalami patah tulang leher. Sejak itu ia menderita sakit kepala dan epilepsi. Bahkan, belakangan ia mengalami mati suri.
”Orang-orang sudah menganggap saya mati. Tubuh saya sudah ditutupi kain batik,” tutur perupa kelahiran Surakarta, 26 September 1938, ini.
Ketika sudah siap dikuburkan, Jeihan malah seperti bangun dari tidur. Ia minta disediakan teh, gula aren, kain batik, dan kembang. Jeihan menganggap kejadian itulah awal dari pengembaraannya di dunia ”spiritual” kesenian. Namun, ia kemudian tetap membawa sakit kepalanya sampai kini. ”Saya hidup sebagai orang invalid,” katanya.
Namun, entah mengapa, mulai banyak orang yang meminta nasihat spiritual kepadanya. ”Saya dikelilingi orang-orang yang minta diberi nasihat, mirip dukunlah,” tutur dia.
Pada usia 70 tahun, setelah setahun lebih menjalani cuci darah akibat gagal ginjal, Jeihan memutuskan cangkok ginjal di Singapura. ”Hanya dalam dua minggu saya mendapatkan pendonor, seorang lelaki berusia 35 tahun dengan spesifikasi darah dan ginjal yang serupa. Dan, operasi cangkok ginjal berlangsung selama enam jam,” ujar Jeihan. Seperti biasa, ia bercerita berapi-api sehingga terkadang intonasi bicaranya tidak terlalu jelas.
Operasi cangkok ginjal itu tak kurang menghabiskan uang sekitar Rp 2 miliar. Kini sebagai perawatannya, Jeihan menghabiskan Rp 50 juta sebulan. Ia harus melakukan kontrol ke Singapura setiap tiga bulan sekali sepanjang hidupnya. Itulah sebabnya ia memutuskan membeli apartemen di negara kota itu. ”Tetapi sampai kini semua berjalan lancar, ada saja rezeki, buktinya lukisan saya masih dibeli orang sampai sekarang,” kata Jeihan.
Bahkan, dalam perhelatan pasar seni di ITB beberapa waktu lalu, tak kurang dari 11 lukisannya terjual. ”Itu test case pasar, ternyata lukisan saya masih laku,” tutur suami dari Sri Sunarsih (65).
Fase-fase hidupnya yang penuh dengan tragedi itu membuat Jeihan jadi manusia survive. ”Karena saya menggunakan daya mortalitas sebagai motivasi untuk bertahan. Karena saya tahu ada kematian, maka saya harus berbuat sebanyak-banyaknya dan dengan sebaik-baiknya pula,” kata Jeihan.
Filosofi kunci yang selalu dipegang Jeihan, karena tahu saat mati, maka kehidupan harus dirayakan secara baik dan bermanfaat bagi orang lain. (CAN)
Sumber: Kompas, Minggu, 19 Desember 2010
No comments:
Post a Comment