-- Rohadi Budi Widyatmoko
PHILIPPUS Pieter Roorda van Eysinga (1796-1856) adalah seorang perwira yang pada 1819 berlayar ke Hindia Belanda. Sebagai tentara, ia malah bekerja sebagai pegawai sipil di biro bahasa pribumi. Ia ditugaskan untuk menerjemahkan surat-menyurat yang dilakukan pemerintah dengan raja-raja pribumi. Perubahan besar dalam profesi meneer Roorda ini sebenarnya terjadi karena sebuah ”kecelakaan”.
”Kecelakaan” itu terjadi saat Roorda hendak pergi ke rumah ayahnya di Batavia. Namun, karena perbedaan bahasa, terjadilah semacam debat kecil dengan sang kusir tentang tujuan sang perwira. Alhasil, Roorda turun di tempat yang salah. Karena kejadian itulah Roorda kemudian bertekad untuk mempelajari bahasa Melayu yang tentu saja saat itu masih sulit karena belum ada ahli, lembaga studi, bahkan kamus yang tersusun rapi. Apa yang kemudian dilakukan Roorda pada kemudian hari tidaklah sesepele niat perwira itu, tapi juga menentukan bagaimana watak kolonialis begitu melekat dalam diri kita, bahkan hingga hari ini.
Kesempatan awal bagi Roorda untuk menjalankan niatnya itu adalah sebuah ”kecelakan” yang lain, yakni saat terjadinya wabah kolera di Batavia. Roorda pun bekerja sebagai perawat kala itu. Kerja yang juga dijadikan kesempatan baginya untuk mempelajari bahasa Melayu dari para pasiennya. Kesempatan itu mendapatkan ruang yang lebih leluasa ketika ia diangkat menjadi kepala departemen untuk urusan pribumi.
Dengan kekuasaannya, Roorda membuka kursus bahasa Melayu dan bahasa-bahasa Timur di salah satu ruang di Bataviaasch Genootschap. Sebuah ide yang kemudian berpengaruh besar, bahkan sampai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pun mengikuti kursus itu, khusus untuk mempelajari bahasa Arab.
Wajah bahasa kolonial
Dampak ikutan dari rintisan studi bahasa Melayu secara modern oleh Roorda di atas ternyata berjalan jauh dan menguat sepanjang usia kolonialisme Belanda di negeri ini. Bahasa dan pemahaman linguistik ini menciptakan wajah lain yang unik dari kolonialisme. Penjajahan kini tidak lagi hanya soal mengeruk sumber-sumber daya negeri jajahan, tetapi juga usaha-usaha untuk memasuki dan memengaruhi bangsa jajahannya lewat kebudayaan, bahasa setidaknya.
Buku Bianglala Sastra yang ditulis ulang oleh Dick Hartoko berdasarkan buku Oost Indische Spiegel karya Rob Nieuwenhuys menginformasikan, pada 1824, Roorda berhasil menerbitkan kamus Belanda-Melayu setebal 500 halaman yang kemudian disusul dengan terbitnya kamus Melayu-Belanda. Jasanya dalam bidang bahasa juga dibuktikan dengan penerbitan tata bahasa Jawa, 1828. Sejak saat itu, Roorda kian rajin membuat kajian tentang bahasa dan sastra Jawa karena ia dengan mudah mendapat suplai teks-teks Jawa, seperti babad, dari orang-orang di Solo yang menjadi sahabatnya.
Namun, di luar hasil-hasil positif itu, kita tidak bisa mengelak dari fakta historis dan politis, bagaimana bahasa mengambil peran penting dalam mengukuhkan kekuasaan kolonial. Bahasa telah dijadikan alat yang ampuh bagi pemerintah kolonial untuk melesakkan pikiran, tujuan, gagasan, hingga daya imajinasi, dari kultur penjajah kepada bangsa yang dijajahnya.
Karakter dari bahasa
Dari deretan sarjana bahasa di Belanda itu bisa kita sebut nama Roorda yang lain. Namun, yang ini adalah Taco Roorda (1801-1874), seorang guru besar bahasa-bahasa Timur dari Amsterdam. Roorda yang satu ini bisa disebut sebagai salah seorang perintis utama studi bahasa Jawa di Belanda. Ia menghasilkan buku Javaansche Grammatica, 1855 dan Javaansche-Nederlandsche Handwoordenboek, 1901.
Di sisi lain, ia juga menjadi penyempurna dari kekuatan kolonialisme Belanda dalam dimensi kebudayaannya, bahasa khususnya.
Pada abad XIX, masyarakat pribumi dikendalikan oleh kolonial agar tidak bebas untuk memiliki akses belajar bahasa Belanda ataupun menguasai pemikiran Barat. Namun sebaliknya, pemerintah kolonial justru mewajibkan pegawai Belanda yang ingin diangkat untuk menguasai dengan baik bahasa Melayu dan setidaknya satu bahasa daerah lain tempat ia berdinas.
Penetrasi kekuasaan melalui sisi mental, lewat senjata budaya dan bahasa ini, semestinya menjadi perhitungan utama kita, di samping sisi-sisi politis atau ekonomisnya.
Artinya, pengembangan negara dan jati diri bangsa tak bisa tidak mesti dilandasi oleh kesungguhan mengembangkan kapabilitas (masyarakat) kita dalam berbahasa. Matinya bahasa, karena misalnya dibunuh ide-ide dan daya hidupnya—seperti pada masa kolonial, dapat berakibat pada matinya kebudayaan, identitas, karakter, dan akhirnya bangsa itu sendiri. Maka, mulailah mempelajari dan mempraktikkan bahasa dengan ide-ide dan daya hidup kita sendiri. Ide dan daya hidup yang ternyata tengah sembunyi atau tertutup oleh politik bahasa kolonial yang masih berlangsung hingga hari ini.
Rohadi Budi Widyatmoko, Aktivis Komunitas Cething Ombo, Menetap di Tegalrayung, Boyolali
Sumber: Kompas, Sabtu, 18 Desember 2010
No comments:
Post a Comment