Sunday, December 12, 2010

Prof. Dr. Muhammed Amin Sweeny (1938-2010): Perhatian terhadap Tradisi Lisan

-- Ajip Rosidi

WAKTU pagi-pagi tanggal 13 November 2010 saya mendapat sms yang memberitahukan bahwa Amin Sweeny meninggal, kaget benar saya. Karena tak pernah mendengar bahwa Amin sakit. Akan tetapi, maut memang bukan penyakit. Mula-mula tidak percaya sehingga saya menelefon Sdr. Ahmad Rivai di Jakarta yang saya minta agar menghubungi istrinya dan kalau memang berita itu benar, menyampaikan rasa dukacita saya kepada istrinya di rumahnya di Jatinegara. Tak lama kemudian, Sdr. Rivai memberitahukan bahwa dia sudah berada di rumah almarhum, tetapi jenazah dan istrinya belum datang. Amin Sweeney meninggal di rumahnya di Cibeureum dekat Cipayung. Amin memang pernah memberi tahu saya bahwa dia sedang membuat rumah di Cibeureum.

Tidak sampai dua minggu sebelumnya, Amin berbicara melalui telefon dengan saya. Dari suaranya dia sedang gembira karena katanya sedang menulis kata pengantar untuk buku terjemahan sajak -- sajak Taufiq Ismail ke dalam bahasa Inggris yang baru saja diselesaikannya. Dia telah menerjemahkan semua sajak Taufiq -- semuanya lebih dari seribu halaman!

Dia diminta oleh satu lembaga di Jatinangor agar berbicara tentang Tesaurus Bahasa Indonesia susunan Eko Endarmoko yang diplagiat oleh Pusat Bahasa menjadi Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia. Kepada pihak yang mengundangnya, dia menyatakan akan memenuhi permintaan itu asal saya juga diundang dan datang. Saya beri tahukan kepada Amin bahwa saya pernah mempunyai pengalaman buruk dengan orang yang mengundang itu dan karena saya tidak mau mengalami pengalaman buruk lagi, saya tidak mau datang. Amin bilang dia juga sebenarnya enggan datang karena tentang Tesaurus itu dia sudah menulis dalam "Horisononline", sehingga merasa tidak ada lagi yang hendak dia katakan.

Sejak beberapa lama dia memang mengasuh "Horisononline" yang sayang sekali saya sendiri tidak pernah mengikutinya karena saya gaptek untuk mengikuti internet. Saya terbiasa menghubungi orang, termasuk Amin Sweeny dengan surat, sedangkan Amin sudah lupa menggunakan amplop dan membeli dan menempelkan prangko. Saya tidak mempunyai alamat pos-el sehingga kalau mau menghubungi saya dia selalu menelefon kepada HP istri saya. Pada suatu kali dia menelefon menanyakan ke majalah apa harus mengirimkan tulisan tentang sastra yang cukup panjang. Jawab saya spontan, "Majalah Horison, satu-satunya majalah sastra di Indonesia."

Beberapa lama kemudian dia menelefon lagi mengatakan bahwa dia akan memimpin "Horisononline" dan ingin memuatkan tulisan saya dalam nomor perdananya. "Bukan tulisan baru juga tidak apa," katanya. Saya bilang kebetulan ada buku kumpulan karangan saya yang baru terbit dan akan saya kirimkan ke alamatnya, tolong pilih yang mana saja untuk dimuat dalam "Horisononline".

**

Saya pertama kali mengenal nama Amin Sweeny ketika menemukan judul buku karangannya tentang tradisi lisan yang berjudul "A Full Hearing: Orality and Literacy in the Malay World" terbitan U.C. Press Berkeley (1987) karena saya pernah tertarik terhadap tradisi lisan dan pernah merekam pantun Sunda beberapa tahun sebelumnya. Ketika itu saya tinggal di Jepang dan tidak melakukan perekaman pantun lagi. Meskipun demikian, perhatian terhadap segala sesuatu yang berbau tradisi lisan tetap hidup.

Sayang, saya tak pernah berhasil mendapat buku itu di toko buku baik di Jepang maupun di negara lain yang kebetulan saya kunjungi.

Dengan Amin saya bertemu pada suatu seminar di Kuala Lumpur, kalau tak salah mengenai Kebudayaan Melayu sekitar 1989. Akan tetapi, kami tak sempat berbicara leluasa karena saya bertemu dengan banyak kawan Melayu yang sudah lama tidak bersua. Sejak 1977 saya tidak pernah ke Kuala Lumpur dan kesempatan itu saya gunakan untuk bertemu dengan kawan-kawan yang sudah lama saya kenal.

Baru pada tahun 2002 saya bertemu lagi dengan Amin dalam seminar di Paris yang diselenggarakan oleh EFEO. Namun, hubungan kami menjadi dekat setelah saya kembali dari Jepang dan Amin tinggal di Jakarta. Atau lebih tepat lagi setelah buku autobiografi saya Hidup tanpa Ijazah terbit 2008. Ketika pada suatu kesempatan saya berkunjung ke kantor penerbit KPG, saya bertemu dengan Amin yang sedang mengurus penerbitan bukunya tentang autobiografi Abdullah bin Abdulkadir Munsyi.Pada waktu itulah Amin berkata kepada saya, "Otobiografi Pak Ajip itu sangat mengecewakan saya." Tentu saja saya menjadi terkejut mendengarnya.

"Mengapa?" tanya saya.

"Karena saya telah mempelajari banyak autobiografi yang ditulis dalam bahasa Melayu dan lainnya juga dan saya berkesimpulan bahwa orang menulis autobiografi itu selalu hendak menonjol-nonjolkan dirinya atau perbuatannya. Ingin dianggap dirinya hebat. Tetapi, dalam autobiografi Pak Ajip tidak ada bagian yang menonjol-nonjolkan diri sendiri atau hendak mengesankan bahwa Pak Ajip orang hebat. Sehingga pendapat saya menjadi keliru," jawabnya.

"Maaf kalau saya mengecewakan Pak Amin. Tetapi, tak ada maksud saya sama sekali untuk mengecewakan Pak Amin," kata saya. "Saya berpendapat bahwa autobiografi itu harus ditulis seperti yang sudah saya tulis. Dalam autobiografi penulisnya harus menggambarkan lingkungan sekelilingnya seperti yang dia lihat dan dia sendiri hanya bagian kecil dari masyarakatnya. Yang penting pembaca autobiografi itu kecuali harus dapat mengikuti perjalanan hidup si penulis, harus juga melihat gambaran masyarakat tempat penulisnya hidup sehingga dapat menangkap sepenggal zaman yang dialami si penulis sebagai bagian dari sejarah."

Mungkin karena saya mempunyai pendapat tentang autobiografi yang berbeda dengan pendapatnya sendiri, dia menyarankan atau paling tidak menyetujui kehendak penerbit KPG meminta saya agar sayalah yang berbicara pada waktu peluncuran buku Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi yang disunting oleh Amin Sweeny. Semuanya terdiri atas tiga jilid tebal-tebal. Itulah buku Amin pertama yang saya baca. Karena tebalnya, yang saya baca hanyalah pengantar Amin yang dimuat dalam setiap jilid. Seperti yang saya kemukakan pada kesempatan peluncuran buku itu (lihat "Amin Sweeny: Detektif Naskah-naskah Melayu", dimuat dalam buku saya Bahasa Indonesia Bahasa Kita edisi yang diperbarui, 2010), kata pengantar itu mengejutkan saya. Berlainan dengan pengantar yang biasa saya baca dalam buku-buku mengenai naskah yang ditulis baik oleh sarjana asing maupun sarjana Indonesia, pengantar Amin sangat kritis dan dia tidak ragu-ragu menggunakan kata-kata atau kalimat yang tajam. Akan tetapi, dia selalu menyertainya dengan argumentasi dan data yang tak dapat dibantah.

Saya kagum akan kekayaan erudisi dan visinya yang luas. Dia mengkritik para ahli bahasa dan naskah Melayu seperti Winstedt, Wilkinson, Overbeck, Hooykaas, Skinner dan banyak lagi yang selama ini dianggap sebagai dewa dalam pengkajian bahasa dan naskah Melayu, dengan menunjukkan kekeliruan-kekeliruan mereka terutama karena menganggap bahasa dan sastra Melayu dalam naskah-naskah itu sudah menjadi klasik, artinya dianggap sudah mati, padahal dalam masyarakat Melayu kini masih hidup dan digemari. Dalam buku-buku yang mereka tulis untuk para pelajar di Indonesia dan Malaya misalnya, mereka mempergunakan kacamata Barat sehingga orang Melayu dan Indonesia dididik agar melihat tradisinya sendiri melalui kacamata Barat. Celakanya para sarjana Indonesia secara membuta mengikuti sikap dan langkah-langkah mereka.

Pandangan demikian terhadap hasil karya para sarjana Barat, hanya mungkin karena Amin sejak muda hidup dalam masyarakat Melayu. Sebagai jebolan (drop out) dari SMA (high school) pada 1958 Amin sebagai wajib militer dari British Army dikirimkan ke Malaya untuk menumpas gerakan komunis. Di Malaya, Amin memilih bersama tentara Melayu sehingga dia dipindahkan dari Malaka ke Kluang. Di Kluang, Amin yang sudah berpangkat letnan, mengajar tentara Melayu bahasa Inggris. Dia sendiri mempelajari bahasa Melayu dan agama Islam. Tahun 1959 dia kembali ke London dan masuk Islam di masjid London dengan imam dari Pakistan.

Karena minat dan perhatiannya terhadap bahasa dan sastra Melayu kian besar, dia mengikuti kuliah di University of London. Pada 1967 dia tamat dengan gelar BA (first class honors) dalam Malay/Indonesian Studies di The Scool of Oriental and African Studies, dengan bahasa Arab klasik sebagai bidang studi kedua. Pada 1970 dia menyelesaikan disertasi tentang sastra Melayu untuk mencapai Ph.D. Dia pernah menjadi pensyarah dan Profesor Madya di Universiti Kebangsaan Malaysia (1970-1977). Kemudian menjadi penasihat prasiswazah, kemudian penasihat pascasarjana dan menjadi Ketua Department of South and Southeast Asian Studies (1986-1991), dan anggota Jawatankuasa Eksekutif Center for Southeast Asia Studies (1991-1998) di University of California, Berkeley, Amerika Serikat, sampai pensiun dan menjadi Profesor Emiritus pada 1998.

Amin Sweeny sempat menikah beberapa kali. Terakhir dengan Sastri Sunarti binti Yahya Bagindo alam, orang Minangkabau yang bekerja di Pusat Bahasa, Jakarta. Oleh karena itulah, dia pindah ke Indonesia dan ketika meninggal dia sedang memproses kewarganegaraannya untuk menjadi WNI. Selama ini dia menjadi warga negara Malaysia.

Sebagai sarjana, Amin termasuk produktif. Dia sempat menerbitkan belasan monograf dan buku, di antaranya Malay Shadow Puppets (London, 1972), The Ramayana and the Malay Shadow-Play (Kuala Lumpur, 1972), Studies in Malaysian Oral and Musical Tradition (bersama William P. Malm, Ann Arbor, 1974), An International Seminar on the Shadow Plays of Asia (bersama Goto Akira, Tokyo, 1976), Reputations Live On, an early Malay Autobiography (Berkeley, 1980), Authors and Audiences in Traditional Malay Literature (Berkeley, 1980), A Full Hearing Orality and Literacy in the Malay World (Berkeley, 1987), dan Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi (tiga jilid, Jakarta, 2005-2008).

Dari judul-judul itu tampak perhatian Amin yang besar terhadap tradisi lisan yang tentu saja tak dapat dipisahkan dari musik dan juga wayang. Sayang bahwa ketika saya menanggap wayang Cirebon di Jatiwangi (2008), Amin berhalangan datang, padahal dia ingin sekali menyaksikannya. Dengan meninggalnya Amin, kita kehilangan sarjana yang penuh dedikasi dan berwawasan luas serta bersikap melihat dari dalam terhadap karya-karya dan naskah-naskah Melayu. Karena dia sendiri lama hidup di tengah-tengah masyarakat

Melayu, dia meninggalkan kewarganegaraan Inggris menjadi warga negara Malaysia dan menjelang akhir hidupnya sedang berusaha menjadi warga negara Indonesia. ***

Ajip Rosidi
, budayawan

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 12 Desember 2010

No comments: