-- Nelson Alwi
IWAN Simatupang, lengkapnya Iwan Martua Dongan Simatupang, merupakan bungsu dari lima bersaudara. Lahir di Sibolga, Sumatera Utara, pada 18 Januari 1928. Dan wafat di Jakarta 4 Agustus 1970.
Pendidikan Iwan di SMA Padang Sidempuan terhenti karena Agresi Belanda II (1948), lalu ia pun aktif sebagai Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP). Setamat HBS V/B Medan (1953) ia masuk Sekolah Kedokteran Surabaya, tidak tamat, lantaran berangkat ke Negeri Belanda.
Iwan mendalami Antropologi Budaya di Leiden (1956). Mengikuti Full Cource International Institute for Social Studies di Den Haag, dan Ecole d L’Eroupe (Brugge) di samping menekuni drama di Amsterdam (1957). Dan kemudian ia juga belajar Filsafat Barat pada Prof Jean Wahl di Sorbonne University (Paris, 1958) sambil bekerja sebagai sopir taksi dan pelayan restoran untuk menghidupi keluarganya.
Akhir 1958 Iwan kembali ke Tanah Air. Menetap sebentar di Cipanas, lantas pindah ke Bogor, menghuni Hotel Salak Kamar 52 —yang kemudian melegenda menjadi gelarnya: “Manusia Hotel Salak Kamar 52”. Secara berturut-turut ia pernah menjadi dosen di ATNI Bandung, bekerja di Pingkan Film Corporation, memimpin Zebra Film, menjadi wartawan dan sekaligus memimpin Warta Harian di Jakarta.
Pada mulanya Iwan Simatupang dikenal sebagai seorang esais yang kuat lagi berhasil mengintroduksi pemikirannya yang tajam, bernas lagi orisinal. Esai-esainya disinyalir membuat orang ternganga terbengong-bengong dan, dalam keadaan demikian orang cuma bilang: esai-esai Iwan lain daripada yang lain, unik!
Setelah itu dia juga menulis beberapa puisi, dan drama yang di antaranya terdapat lakon-lakon seperti Buah Delima dan Bulan Bujur Sangkar, Taman, Kaktus dan Kemerdekaan serta RT Nol, RW Nol. Dan sejak tahun 1959 ia pun mulai membuat cerita pendek, yang kemudian, sebanyak 15 buah, dikumpulkan dalam buku Tegak Lurus dengan Langit (Sinar Harapan, 1982).
Bagi Iwan mengarang cerpen tidak lebih daripada sebentuk “pemanasan” dalam rangka menggarap —hal yang sesungguhnya— novel. Dan novel dimaksud memang telah rampung, empat buah: Merahnya Merah (Gunung Agung, 1968) yang meraih Hadiah Seni untuk Sastra Tahun 1970 dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ziarah (Djambatan, 1969) yang memenangkan Hadiah Sastra ASEAN 1977 untuk jenis novel/prosa, Kering (Gunung Agung, 1972) dan Kooong (Pustaka Jaya, 1975).
Kehadiran cerpen apalagi novel Iwan membuat orang jadi semakin gregetan. Cerpen maupun novel itu mirip esai, tidak logis, irrasional, inkonvensional dan lain sebagainya. Maka muncullah buat pertama kali tanggapan tertulis dari Boen S. Oemarjati dalam majalah Sastra, yang pada prinsipnya (menurut Iwan dalam tanggapan balik atas Boen) menolak cerpen Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu.
Polemik Boen-Iwan ternyata berhasil menggugah sejumlah sastrawan untuk buka mulut. Tercatatlah pembicaraan serta resensi relatif panjang yang ditulis oleh HB Jassin (1963, 1968), Gayus Siagian (1963), Alfons Tarjadi (1969), Wing Karjo (1969), Umar Junus (1971), Henri Chambert-Loir (1971), dan Goenawan Mohamad (1972). Kecuali itu, berbagai kalangan menggelar seminar atau simposium di mana-mana dan di samping itu juga beredar sekian banyak artikel serta opini di berbagai media massa, menyoroti karya maupun kiprah Iwan.
“Tulisan-tulisan Iwan tidak sama dengan karya-karya mayoritas prosais Indonesia lainnya,” kata Satyagraha Hoerip. Konfliknya, maraton. Intens. Ke segala arah, termasuk terhadap dirinya sendiri. Dan ibarat seorang penyair, Iwan terasa benar bahwa ia senantiasa menimang kata-katanya, memilih kalimat-kalimatnya. Sehingga kata-kata dan kalimat-kalimat itu bukan hanya mendukung jalan cerita, akan tetapi juga mewarnai “keindahan” serta “filsafat” yang diusung cerita-ceritanya.
“Karya-karya Iwan berupa prosa (cerpen dan novel) lebih menampilkan suasana esai daripada sekadar bercerita,” tulis Abdul Hadi WM pula. Iwan jelas lain daripada cerpenis atau novelis lain. Dalam karya-karya Iwan kita dihadapkan pada masalah keberadaan hidup yang tak terpahami, tak punya alasan, terlempar begitu saja ke tengah kehidupan. Dan tema pokok lain yang menonjol dari Iwan adalah kegelandangan. Kegelandangan batin.
“Kalau ia simbol,” tambah Abdul Hadi, “maka itulah dunia kaum seniman dan intelektual. Cemooh, protes dan sinisme menonjol pula dan ini menggambarkan keadaan kita Indonesia dalam kemelut sosial maupun politik.”
“Mungkin secara naluriah, pemberontakan terhadap ajal adalah pemberontakan yang konyol,” ujar Korrie Layun Rampan. Namun di sinilah tercantum filsafat eksistensialisme yang dianut Iwan, yang secara matang direfleksikannya ke dalam bentuk karya sastra.
Pertanyaan tentang apa, bagaimana, mengapa, siapa, dari mana hendak ke mana dan sebagainya terhadap diri sendiri, dan makna keberadaan manusia di muka bumi dipertanyakan secara intensif sehingga tokoh-tokoh dalam karya-karya Iwan sampai pada kesadaran untuk berbuat nekat —seperti menggantung diri, menabrak kereta api dan lain sebagainya— untuk pemenuhan eksistensi. Sudut kreatif dari kesadaran ini membawa kita kepada interpretasi tentang kewajaran manusia untuk melakukan sesuatu dalam batas-batas kemampuannya.
“Komitmen Iwan dengan masalah sosial masyarakatnya cukup besar,” tukuk tambah Korrie, “dan sebenarnya itulah yang dikemukakannya dalam karya-karyanya yang avant-garde, yang mendahului zamannya.”
Sedangkan M Djufri menulis, “Iwan Simatupang merupakan novelis yang tangguh dalam perkembangan kesusastraan Indonesia mutakhir.” Pemakaian bahasanya begitu liat serta tak boros dengan kata-kata. Kata demi kata, kalimat demi kalimat dibangunnya secara bagus. Karakterisasi pola pelakunya juga begitu dominan dalam novel-novelnya. Dalam menggarap perwatakan pelaku, kecenderungan yang diamati Iwan Simatupang memang bukan hanya sekadar melengkapinya dengan nama-nama pelaku. Baginya nama-nama setiap pelaku dalam novelnya tidaklah begitu dipentingkan.
Sementara Farouk HT mengungkapkan bahwa karya-karya Iwan memang merupakan suatu gejala yang mengagetkan pembaca atau pencinta sastra, mengagetkan kehidupan sastra secara keseluruhan.
Dan kemudian ada pula yang berpendapat bahwa karya-karya Iwan bersifat “metafisis”, “roman batin”, novenu roman. Bahwa (karya) Iwan banyak dipengaruhi oleh karya-karya asing, sebagaimana disinyalir Dami N. Toda dalam Novel Baru Iwan Simatupang: “... terdapat kesan ada persamaan novel-novel Iwan dengan novel-novel kesadaran baru (the stream of conciousness novel), atau subyektif di Perancis....”
“Namun yang perlu dicatat adalah plotnya yang melompat-lompat, yang membuat cerita Iwan menjadi fragmentaris,” kata Yulia I Suryakusuma. “Ceritanya sendiri lebih merupakan suatu cerita dengan suatu alur yang pasti. Sangat abstrak, imajiner. Insiden-insiden yang digambarkan seringkali insiden-insiden cerita keadaan-keadaan yang absurd, dan tokoh-tokohnya merupakan tokoh yang kalau tidak gila, sangat aneh.”
Sementara menurut Iwan, masyarakatlah yang kudu gila, karena sudah terlalu banyak mengalami distorsi. Jadi tokoh-tokoh yang nampaknya gila itu tidak gila sebenarnya —sebenarnya kitalah yang tidak normal lagi. Tokoh-tokoh yang murni berhak mutlak-mutlakkan, karena tokoh-tokoh itu merupakan protipe atau penokohan suatu ide yang ideal.
Singkat kata, sebagian besar pencinta sastra, terutama kritikus sastra di negeri ini, mengakui bahwa karya-karya Iwan Simatupang selalu memperlihatkan trend baru yang memberi warna serta arti tersendiri bagi perkembangan sastra Indonesia. Ya, dalam berkarya Iwan telah berhasil menemukan satu bantuk baru yang lain daripada yang lain, baik dari segi tema, plot atau alur, penokohan (untuk cerpen dan novel) dan gaya bahasa untuk semua jenis karya sastra yang telah ditulis-nya.
Dan tulisan-tulisan Iwan, terutama esai, dipublikasikan melalui majalah dan koran terkemuka seperti Siasat, Konfrontasi, Zenith, Sastra, De Groene Amsterdammer, De Nieuwgier, Gajah Mada, Kompas, Sinar Harapan, Indonesia Raya, Warta Harian dan lain-lain. Selain itu, dia juga telah menulis setumpuk surat pribadi (kebanyakan kepada HB Jassin), sekian banyak makalah, laporan jurnalistik dan tajuk rencana. Dan secara tidak langsung, ia pun termasuk salah seorang korban politik PKI/Lekra, yang sejak awal sampai pertengahan tahun 1960-an gencar melakukan teror terhadap sastrawan-sastrawan kreatif Indonesia.
Nelson Alwi, peminat sastra, tinggal di Padang.
Sumber: Riau Pos, 27 November 2011
No comments:
Post a Comment