-- Nofanolo Zagoto
JAKARTA – Di malam hari, sambil mengendap-endap, Rasus (Nyoman Oka Antara) mendekati jendela kamar Srintil (Prisia Nasution). Rasus memanggil Srintil pelan. Daun jendela pun terbuka dari dalam kamar.
Masih terbatasi jendela, Rasus menyerahkan bungkusan kain kumal berisi sebilah keris kecil kepada Srintil. "Dukuh Paruk punya ronggeng!" teriak si dukun ronggeng, Kertareja (Slamet Rahardjo), sambil mengacungkan tinggi-tinggi keris milik Srintil kepada seisi kampung di keesokan hari.
Itulah salah satu adegan film berjudul Sang Penari yang akan ditayangkan di bioskop mulai 10 November 2011 nanti.
Film yang disutradarai Ifa Isfansyah tersebut mengangkat kisah novel kepunyaan Ahmad Tohari yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk (1982). Film ini menuturkan kisah tentang kehidupan ronggeng di sebuah desa miskin bernama Dukuh Paruk, dengan latar waktu tahun 1960-an.
Dalam cerita novel yang dikemas Ifa menjadi sebuah film, sejak awal karakter Rasus dan Srintil digambarkan tumbuh bersama di Dukuh Paruk. Seiring berjalan waktu, di antara mereka pun tumbuh cinta. Namun karena kemampuan magis dan keinginan Srintil untuk menjadi seorang ronggeng, kisah cinta mereka justru terhalangi.
Sejak kelahirannya, Srintil memang dipercaya sebagai titisan ronggeng. Kegemaran Srintil menari ternyata juga diamati kakeknya, Sakarya (Landung Simatupang). Karena juga percaya, Sakum (Hedro Djarot) mau menambuhkan gendang lagi memainkan kesenian Tayub. Sampai kemudian kabar soal kemampuan Srintil sampai ke telinga Kertareja.
Srintil lantas mulai menjalani peran sebagai ronggeng. Inilah keinginannya sebagai wujud baktinya pada Dukuh Paruk, lantaran ingatan yang terus membekas di pikirannya atas peristiwa yang terjadi terhadap kedua orang tuanya. Di hadapannya, sewaktu Srintil kecil, mereka meninggal akibat tempe bongkrek buatan mereka sendiri yang sudah meracuni warga kampung.
Namun sebelum resmi menjadi ronggeng, dia harus melewati syarat dengan ”buka kelambu”. Proses itulah yang kemudian membuat Rasus menjauh karena tidak setuju jika Srintil akan menjadi "milik bersama" saat menjadi ronggeng.
Rasus pergi dari Dukuh Paruk dan kemudian bertemu dengan Sersan Binsar (Tio Pakusadewo) yang pada akhirnya membuka peluangnya untuk menjadi anggota tentara.
Memasuki latar waktu 1965 saat pergolakan komunis di Tanah Air, Dukuh Paruk juga digambarkan disusupi. Hal itu ditandai dengan munculnya Bakar (Lukman Sardi) di kampung. Dia berupaya memengaruhi warga Dukuh Paruk, yang diceritakan tidak bisa membaca, untuk menerima ideologi partainya. Itu terjadi sampai pada upaya mengubah tatanan adat terkait ronggeng.
Selepas tragedi politik yang terjadi tahun tersebut, Srintil dan sebagian besar warga Dukuh Paruk ditahan, karena dianggap juga ikut terlibat dalam pergolakan. Mengetahui Dukuh Paruk banyak yang ditangkap, Rasus berusaha minta izin pulang untuk mencari Srintil.
Hasil Interpretasi
Film ini juga menghadirkan para pemain pendukung seperti Teuku Rifnu Wikana serta Dewi Irawan. Selain itu, sang sutradara, Ifa, memilih tidak menuangkan secara utuh isi novel karya Tohari ke dalam bentuk visual. Dia yang sebelumnya menyutradarai Garuda di Dadaku tersebut memilih menginterpreasikan isi novel berdasarkan gayanya sendiri.
Dia berupaya menyajikannya dengan konteks kekinian, terutama menyangkut kisah cinta dua insan dalam novel itu. Ifa juga bisa menjauhkan gerakan penari ronggeng dari kesan yang erotis.
Setidaknya ada beberapa perbedaan yang terlihat dibandingkan isi novel. Salah satunya saat Ifa memilih memunculkan karakter Srintil yang masuk usia sekolah dasar saat kedua orang tuanya bunuh diri.
Sebenarnya pada isi novel, Srintil dikisahkan masih bayi dan sedang digendong ibunya, saat kedua orang tuanya meninggal karena memakan tempe bongkrek. Dia juga menampilkan akhir cerita yang berbeda dari cerita di novelnya.
"Sejak awal saya tidak mempermasalahkan seperti apa novel ini akan diinterpretasikan oleh mereka yang membuatkan filmnya," ujar Tohari. Sebetulnya film ini juga sempat dibuatkan filmnya dengan judul Darah dan Mahkota Ronggeng (1983). "Tujuan film ini bukanlah kelambu. Film terdahulu dibuat seperti itu. Sekarang roh novelnya terwakili," katanya.
Sang Penari menggambarkan keadaan Dukuh Paruk yang miskin karena mengalami masa paceklik. Diceritakan dalam novel, penduduknya pun untuk bisa makan nasi saja susah.
Lucunya, berbicara soal karakter, ini juga disadari penulis novel. Fisik pemain seperti Slamet (Kertareja) yang gemuk tidak cukup mewakili gambaran keadaan itu. Begitu pula dengan persoalan seragam seluruh tentara yang muncul dalam film. Semua tampak baru dan bersih.
Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 5 November 2011
No comments:
Post a Comment