-- Beni Setia
SAMPAI dengan realisasi Temu Sastrawan MPU di Surabaya, 15-17 Oktober lalu, yang merupakan hajatan kerja sama antara 10 Disbudpar dari 10 provinsi-dari hanya 9-yang keenam. Secara kronologis acara pertama diselenggaralkan di Banten, lantas Bali, Jawa Barat, Lampung, dan (terakhir) di Jawa Tengah.
Acara Temu Sastrawan MPU itu sendiri merupakan realisasi dari MOU yang disepakati antara 10 gubernur, yang detailnya dimatangkan oleh kepala Disbudpar dan eselonnya dari masing-masing provinsi, yang realisasi kerjanya diserahkan ke biro BSF, Budaya, Seni dan Film.
Tak mengherankan bila rombongan duta Temu Sastrawan MPU dari masing-masing provinsi itu selalu melibatkan kalangan sastarawan dan birokrat yang satu saat akan ketiban sampur menjadi pelaksana acara saat provinsinya jadi tuan rumah event.
Untuk itu tiap sastrawan yang jadi duta provinsi mendapat embel-embel MPU-Mitra Praja Utama, di mana Mitra bersimakna rekanan, Praja bersimakna institusi birokrasi Pemda, dan Utama menyiratkan adanya kurasi pada si sastrawan.
Sekaligus tidak bisa bila yang datang itu hanya si sastrawan, karena yang paling utama itu: birokrat Pemda tahu persis realisasi acara dan sekaligus siap jadi pimpro event-sekaligus mengajukan proposal dana ke Rancangan APBD agar disepakati di APBD, dan tak kesulitan dana ketika merealisasi legal MOU di antara 10 kepala daerah dari 10 provinsi.
Adanya tuntutan tersirat itu, merupakan upaya mensicegat terjadinya semacam mispersepsi di tingkat kepala Disbudpar, terutama kalau yang dikirim sebagai birokrat ofisial itu bukan kepala biro BSF, tapi yang penjabat yang mewakili. Sehingga terjadi kekacauan realisasi event di sisi pendanaan.
Ketika apa yang telah disepakati di level gubernur harus dijabarkan menjadi Juklak dan Juknis di level kepala dinas, serta rinci dioperasionalkan kepala biro BSF. Yang pernah terjadi: kesepakatan tingkat gubernur, keengganan perancangan serta perencanaan di level kepala dinas, karena yang datang sebagai ofisial birokrat itu yang mewakili kepala biro sehingga masukannya diabaikan si kepala biro dan kepala dinas. Dan tragedi pelaksanaan event di Lampung dan Jawa Tengah dipicu oleh miskomunikasi di tataran ini.
MOU antar kepala daerah legal, penjabaran lemah, dan realisasi terbatas karenaitu dianggap beban anggaran tambahan-padahal pos tambahan anggaran itu mungkin dilakukan karena ada MOU di antara 10 gubernur, tinggal pengajuan di Ranancangan APBD dan melobi Dewan agar anggaran itu cair.
Acara itu bukan acara yang tiba-tiba ada tapi acara yang dananya bisa diusahakan legal di APBD, untuk itu dianut setrategi kepastian tuan rumah dipastikan di akhir acara terakhir, dan calon tuan rumah setelah penyelenggaraan di tahun depan direkomendasikan-tujuannya untuk mempersiapkan proposal anggaran di APBD. Itu yang paling pokok, karena biaya transportasi datang dan pulang sastrawan serta duta budaya yang lain dibebankan ke anggaran Disbudpar yang diwakili meski akomodasi dan transportasi lokal tanggung jawab tuan rumah.
Aura yang bersipat administrasi itu yang sebenarnya mem-back up dan sekaligus menelikung acara Temu Sastra MPU. Terutama ketika mengkurasi sastrawan yang jadi duta provinsi-dengan pembatasan kontingen, sekian yang sastrawan dan sekian si birokrat, sehingga terjadi kesulitan memilih lima sastrawan yang kreatif dan produktif dari sekian ratus sastrawan di provinsi subur sastrawan.
Kurasi untuk mensitentukan termin (sastrawan) Utama dari MPU itu sebenarnya tersigantung dari sastrawan yang selama ini telah menjadi (mitra) kurasi, meski kata akhir ada di birokrat Disbudpar-yang tidak ditunjang basis data sasatrawan, sehingga terjadi penggantian nama. Untuk itu kurator tuan rumah-counter part dari biaya akomodasi dan trasportasi lokal-bisa mengajukan sastrawan wakil provinsi kalau kurasi di Disbudpar setempat kesulitan.
Pilihan yang tidak sepenuhnya bebas, karena ada pagu dana bagi sastrawan yang dipilih-kecuali biaya si yang selebihnya itu ditanggung Disbudpar pengirim, bahkan buat menolak akomodasai dan memilih hotel sendiri seperti yang dilakukan DKI. Tapi Disbudpar lain kadang kesulitan dana sehingga hanya sanggup mengirim kontingen mini, kesulitan mencari sastrawan dan menyerahkan jatah sastrawan jatuh ke birokrat yang punya attitude sastra atau seni, atau terpaksa hanya mengirimkan birokrat.
Jadi tidak heran kalau di Temu Sastrawan MPU bersitemu dengan sastrawan plat merah, sekaligus si sastrawan plat merah seperti itu akan kesulitan mengkomunikasikan plot manajemensi pelaksanaan event ke kepala biro dan kepala dinas yang ketuban sampur merealisasi MOU antara kepala daerah. Terjadi keengganan mematangkan MOU.
Itu yang rasanya akan terjadi ketika DI Jogjakarta ketiban sampur menjadi tuan rumah-seiring bidang kebudayaan dari Disbudpa itu, yang jadi Dinas Parawisata dan Ekonomi, kembali ke lingkup Dinas Pendidikan-, dan ketidakjelasan pengampu akan membuat sejarah event di Lampung dan Jawa Tengah mungkin terulang saat birokrat ofisial yang dipilih itu lebih ber-attitude seniman dari pada ekonom/manajer.***
* Beni Setia, pengarang
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 12 November 2011
No comments:
Post a Comment