Friday, July 31, 2009

[Pustakaloka] Meneguhkan Peran Perempuan Aceh

Ia memakai kebaya ungu
Sanggul melati dan selop berhak tinggi
Di tangannya buku harian
Pena emas dan sehelai perangko
Ia mengajak Cut Nyak Dien semeja di pendapa
Dari belantara Cut Nyak mengirim aba-aba
Ia butuh senjata menikam serigala


Banda Aceh, 21 April 2006


BAIT-BAIT puisi berjudul ”Ketika Kartini Berkunjung ke Aceh” di atas ditulis oleh Deknong Kemalawati, seorang perempuan penyair dan guru Matematika kelahiran Meulaboh, ibu kota Kabupaten Aceh Barat. BI Purwantari

Puisi tersebut merupakan satu dari 97 puisi goresan 18 perempuan penyair Aceh yang diterbitkan oleh Lapena di dalam buku kumpulan puisi Lampion. Inilah buku pertama yang merangkum karya puisi para penyair perempuan Aceh dan diterbitkan oleh penerbit lokal Aceh pada 2007.

Di dalam kata pengantar buku ini, Sulaiman Tripa, seorang penyair Aceh, menulis bahwa semua penyair perempuan ini tak sedang membicarakan ”diri”. Mereka membicarakan lebih dari ”diri”. Ia menunjuk, salah satunya, pada puisi Kemalawati di atas. Di dalam puisi itu, meski disebut tentang kebaya, sanggul, dan selop berhak tinggi yang merupakan identitas perempuan, penyebutan ketiga barang tersebut sebenarnya hanyalah simbol bahwa yang sedang dibicarakan di dalam bait-bait lanjutannya adalah kerja para perempuan. Ungkapan Sulaiman Tripa itu menegaskan bahwa para perempuan Aceh yang sedang dibicarakan oleh para penyair tak pernah ketinggalan melibatkan diri secara aktif di dalam persoalan-persoalan di lingkungan sosial mereka.

Ungkapan ini tentu saja tak dapat disangkal kebenarannya. Sejarah Aceh telah merekam jejak panjang para perempuan perkasa yang memegang tampuk pimpinan kerajaan maupun medan pertempuran bersenjata. Dalam catatan A Hasjmi (1983), misalnya, diketahui pada abad ke-15 bertakhta Ratu Nihrasyiah Rawangsa Khadiyu di Kerajaan Samudra Pasai. Dua abad kemudian di Kerajaan Darussalam muncul Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin yang merupakan anak dari Sultan Iskandar Muda. Deretan nama berikutnya di puncak kekuasaan kerajaan adalah Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin, Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, dan Sri Ratu Kamalat Syah yang bertakhta secara berturut-turut pada abad ke-17.

Tak hanya memimpin kerajaan, jejak perempuan Aceh juga ada di wilayah yang identik dengan kekuasaan laki-laki, yaitu medan perang. Panglima perempuan Laksamana Keumalahayati tercatat memimpin laskar Inong Bale (laskar janda) pada zaman Sultan Riayat Alaudin Sjah IV (1589-1604) untuk mengusir angkatan laut Belanda pimpinan Cornelis de Houtman. Pada masa pemerintahan Sultan Riayat Alaudin Sjah V (1604-1607) dibentuk pula Suke Kaway Istana (Resimen Pengawal Istana) yang terdiri atas prajurit perempuan pimpinan Laksamana Meurah Ganti dan Laksamana Muda Cut Meurah Inseuen. Disebutkan pula bahwa perempuan Aceh telah menjabat Uleebalang (kepala pemerintahan daerah), seperti Cut Asiah, Pocut Meuligoe, dan Cut Nyak Keureuto. Daftar nama ini masih bertambah panjang dengan adanya tradisi prajurit perempuan mengawal istana serta pemimpin perang melawan Belanda pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Teungku Fakinah adalah panglima perang sekaligus alim ulama kelahiran Lam Diran pada 1856. Tradisi ini dilanjutkan oleh generasi berikutnya, yaitu Tjut Nyak Dhien, Pocut Baren, Cut Meutia, Pocut Biheu, dan Cutpo Fatimah. Rekam jejak para perempuan Aceh menjadi petunjuk bahwa Aceh pernah mengalami masa yang memberikan ruang politik kepada warga perempuannya sama seperti kaum lelakinya.

Kebudayaan

Kini Aceh abad ke-21 yang diwarnai oleh politik pengaturan tubuh perempuan, tetap ada perempuan Aceh yang tak putus berkarya di bidang kebudayaan, sebuah wilayah yang konon menjadi indikator keadaban sebuah bangsa. Seperti Deknong Kemalawati. Karya-karya puisinya tidak saja menggambarkan, tetapi sekaligus juga menggugat getirnya kehidupan perempuan yang diposisikan sebagai obyek belaka. Di dalam puisi berjudul ”Yang Pergi Di Waktu Malam”, tergambar dengan jelas bagaimana Yuni Afrida, seorang gadis berusia 15 tahun, menjadi korban dalam tragedi Lhokseumawe pada 1999. Seperti banyak perempuan yang hidup di daerah konflik, mereka lebih sering menjadi bulan-bulanan tindak kekerasan yang dijadikan salah satu metode memenangi perang.

... ”aku hanya ingin kau tahu tentang perawan

yang disetubuhi peluru itu

telah pergi selamanya”

aku tersenyum pilu

kau semakin meradang

”begitu mudah memutuskan tali kehidupan

hingga wanita yang terkapar

diberondongi selengkangannya....

”Saya merasakan diperlakukan tidak adil sebagai perempuan, yang tidak ikut serta di dalam konflik, tidak berdosa, bahkan sudah tiarap saat kontak senjata berlangsung, tetapi selangkangan saya ditembus peluru hingga bersarang di dada seperti terjadi pada gadis itu,” papar Kemalawati mengenang lahirnya puisi tersebut.

Ketidakadilan terhadap perempuan menjadi tema di banyak puisi Kemalawati. Ketika merebak fenomena Nunukan, satu wilayah perbatasan dengan Malaysia di Kalimantan di mana banyak tenaga kerja Indonesia terpaksa bermukim, ia menulis puisi ”Nunukan dan Wajah Negeriku” dengan penggalan seperti ini,

.... aku menggugat demi cinta

Seorang ibu TKI yang harus merelakan bayinya

Seharga Rp 500 ribu berjalan terburu

Menutupi dadanya bernanah......

Menurut Kemalawati, ”saya tidak menyalahkan ibu TKI, tetapi juga tidak bisa menerima keadaan tersebut. Kenapa sampai seorang TKI yang ingin pulang ke kampungnya harus menjual anaknya sendiri? Berarti ada yang salah dengan negeri ini.” Larik puisi Kemalawati adalah representasi kegelisahan rakyat Aceh ketika kekerasan mengoyak kehidupan mereka selama pemberlakuan DOM (daerah operasi militer), saat gelombang maut menyapu ratusan ribu jiwa, atau peristiwa memilukan menimpa rakyat di belahan lain Indonesia.

Pun baris kalimat-kalimatnya tetap menawarkan optimisme memandang masa depan yang harus direbut. Seperti artikel-artikel pendek yang ditulis Kemalawati untuk media cetak, ia menawarkan cara pandang yang lain atas persoalan di masyarakat. Sebagai guru matematika, Kemalawati menemukan beberapa persoalan di dalam dunia pendidikan Aceh yang perlu mendapatkan perhatian. ”Ketika ada ribut-ribut soal ujian akhir nasional (UAN), saya perlu menulis tentang ketidakjujuran dunia pendidikan kita. Pernah juga saya menanggapi pernyataan Kepala Dinas Pendidikan yang mengatakan 60 persen guru di Aceh tidak layak mengajar. Hal apa pun yang saya tidak terima, saya upayakan untuk membahasnya. Mudah-mudahan bisa mengubah keadaan,” ujar salah satu pendiri penerbit Lapena ini.

Dari selaksa puisi, cerpen, maupun artikel goresan tangannya, telah melahirkan satu buku antologi puisi Surat Dari Negeri Tak Bertuan dalam bahasa Indonesia-Inggris dan diluncurkan di Malaysia berisi 85 puisi, satu novel Seulusoh, satu buku kumpulan artikel, selain banyak puisi karyanya yang diterbitkan bersama puisi para penyair Aceh lain. Seakan belum cukup dengan goresan tangannya sendiri, ibu guru yang juga penari ini terus menghidupi ruang-ruang kebudayaan di Aceh melalui 24 buku Lapena, berbagai acara sastra, mulai dari pembacaan puisi, diskusi sastra, lomba membaca dan menulis puisi, hingga pelatihan menulis untuk remaja dan kaum perempuan.

”Saya merasakan bahwa perempuan lebih banyak mengambil peran dalam menentukan kebijakan keluarga dan masyarakatnya. Walaupun para suami yang bekerja menafkahi keluarga, tetapi perempuan sendiri tidak pernah diam. Mereka mempunyai banyak inisiatif. Mengapa tidak dituliskan ide-ide mereka itu?” urainya lebih lanjut. Untuk itu, ia merancang pelatihan menulis bagi para istri pejabat. Menurut dia, ide-ide para istri sering kali ikut mewarnai kebijakan yang dibuat para pejabat.

(BI Purwantari/Litbang Kompas)


Sumber: Kompas, Jumat, 31 Juli 2009

[Langkan] Pengembangan Kesenian Berbasis Tradisi

PENGEMBANGAN kesenian berbasis akar budaya dan tradisi dapat menjadi keunggulan. ”Jika tidak demikian, Indonesia akan selalu menjadi bayang-bayang bangsa lain,” ujar budayawan Ikranegara dalam orasi kebudayaannya di acara Pagelaran Senin Cinta Tanah Air yang diselenggarakan Universitas Mercu Buana, Kamis (30/7).

Lebih lanjut dia mengatakan, terdapat dua pendekatan, yakni pendekatan kreatif dan pendekatan akademis. Dalam pendekatan akademis, kesenian dimainkan seperti apa adanya atau berdasarkan pakem-pakemnya. Tujuannya, untuk melestarikan kebudayaan tersebut seperti apa adanya.

Adapun dengan pendekatan kreatif, kesenian tersebut terus berkembang walaupun tetap terlihat akar tradisinya. ”Wayang, misalnya, mengalami perubahan-perubahan. Pengembangan oleh Wali Songo, misalnya, ikut membuat warna berbeda. Repertoarnya terus bertambah. Ada wayang Pancasila sampai dengan wayang wahyu yang berlatar belakang kekristenan. Ada kreativitas yang berkembang walaupun tetap wayang,” ujarnya.

Keanekaragaman seni tradisi dan pengembangannya dengan menggunakan pendekatan kreatif dapat menjadi kekuatan dan modal yang besar. Pengembangan itu disertai dengan penghargaan dan penghormatan terhadap seni budaya lain. (INE)

Sumber: Kompas, Jumat, 31 Juli 2009

Kebudayaan Harus Diurus Lebih Serius

[JAKARTA] Pemerintah harus memperhatikan persoalan ke-budayaan secara lebih serius, sehingga bangsa ini menjadi lebih beradab dan bermartabat. Pengabaian terhadap masalah kebudayaan telah membuat budaya korupsi merajalela.

Demikian rangkuman pendapat yang dihimpun SP, Kamis (30/7) dan Jumat (31/7) dari sejarawan Anhar Gonggong, sosiologi Hotman Siahaan, dan budayawan Mudji Sutrisno, serta sutradara dan budayawan, Garin Nugroho, terkait wacana pemisahan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Menurut Anhar, kebudayaan harus tetap dianggap penting dan diurus serius oleh pemerintahan mendatang. "Persoalannya sekarang bukan pada perlu atau tidaknya departemen kebudayaan dan pariwisata dipisah, tetapi sampai sejauh mana kebudayaan dianggap penting dan para pelakunya diberi ruang untuk bekerja," ujarnya.

Dalam struktur Departemen Kebudayaan dan Pariwisata memang terdapat penambahan satu direktorat jenderal, yakni Direktorat Jenderal Film, Seni, dan Nilai Budaya. Sebelumnya, hanya ada Direktorat Jenderal Sejarah dan Arkeologi. Namun sayangnya, masih banyak pejabat yang duduk di sana tidak mengerti betul tentang kebudayaan. "Ke depan, mutlak harus orang yang ngerti dan punya pengalaman tentang kebudayaan yang diberi tanggung jawab mengurus kebudayaan. Dan yang penting bukan koruptor," tegasnya.

Hotman Siahaan menyatakan kalau kebudayaan tidak diurus serius, tetap tak akan ada perubahan, apakah menjadi departemen tersendiri atau tetap digabung dengan pariwisata atau pendidikan. Sampai saat ini, pemerintah belum mengurus kebudayaan secara benar kebudayaan. Kebudayaan hanya didegradasi pada kesenian semata. Padahal aspek kebudayaan jauh lebih luas, seperti menyangkut nilai, martabat, etika, dan banyak aspek lainnya. "Kita tidak pernah serius membangun keindonesiaan sebagai strategi membangun kebudayaan nasional," katanya.

Sedangkan Mudji Sutrisno berpendapat jalan budaya memang harus diambil, terutama saat Indonesia mengalami krisis seperti sekarang ini. Sekarang terjadi ekonomisasi di semua segi kehidupan, bahkan politisasi mewarnai perjalanan kehidupan bangsa, seperti yang dirasakan saat pemilu.

Jalan budaya, lanjutnya, juga merupakan upaya untuk kembali ke alinea IV UUD 1945, yang menjamin penegakan demokrasi dan kepastian hukum, serta menghargai kemajemukan. Jalan budaya akan membuat bangsa ini lebih beradab dan bermartabat.

"Ranah-ranah kebudayaan harus direbut. Ruang-ruang publik tidak harus 'disita' dan kemudian berubah wujud menjadi pusat-pusat perbelanjaan, karena tantangan kita ke depan adalah globalisasi," katanya.

Strategi Budaya

Sementara itu, Garin Nugroho berpendapat, pemisahan kebudayaan dan pariwisata, seperti dicetuskan Forum Mufakat Kebudayaan, secara ide memang bagus. Kebudayaan selama ini hanya dipahami sebagai seni atau produk kesenian, bukan sebagai tata nilai dalam bertindak, berpikir, dan bekerja. Dengan adanya pemisahan, program-program dan alokasi dana menjadi lebih jelas.

Selama ini, pemerintah terkesan membuat program dan menjalankan proyek sendiri. Pada sisi lain, program-program masyarakat, seperti Karnaval Jember, pekan film independen di Yogyakarta, komunitas animasi, maupun galeri-galeri perorangan di berbagai kota di Indonesia, tumbuh dengan kekuatan sendiri. Ke depan, pemerintah harus lebih memberdayakan program-program yang selama ini tumbuh dan berkembang di masyarakat.

Garin lebih jauh melihat ketiadaan strategi budaya, baik strategi nilai-nilai maupun strategi produktivitas, karena tidak adanya peta kebudayaan, khususnya peta industri kreatif di masyarakat. "Banyak orang berkumpul dalam kegiatan-kegiatan kebudayaan, tetapi itu muncul sendiri, tanpa ada perhatian, apalagi pemberdayaan dari pemerintah. Kalaupun ada, sifatnya proyek, seremonial. Hilangnya strategi budaya itu, kemudian hanya memunculkan ke permukaan sekadar data ekonomi, angka-angka" katanya.

Dia justru mengusulkan pembentukan kementerian multikultur, seperti di Kanada. "Perlu ada transformasi tata nilai dan produktivitas menjadi nilai tradisi yang produktif," tuturnya.

Sebelumnya, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, menyatakan

pemisahan kebudayaan dan pariwisata, memang bukan usulan baru. Kebudayaan juga pernah berada satu payung dengan pendidikan dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. "Dulu anggarannya (kebudayaan, Red) memang kecil, tetapi sekarang berimbang dengan pariwisata. Itu menunjukkan kepedulian pemerintah," katanya beberapa waktu lalu.

Menurutnya, tidak perlu ada departemen kebudayaan, tetapi cukup anggarannya saja yang ditingkatkan. "Tidak perlu membentuk departemen baru, tetapi anggarannya ditingkatkan menjadi Rp 3 triliun. Tetapi, semua bergantung pada presiden terpilih," katanya. [M-17/A-18]

Sumber: Suara Pembaruan, Jumat, 31 Juli 2009

Thursday, July 30, 2009

Kontroversi Iklan Sekolah Gratis

-- Rose Emmaria Tarigan*

SEJAK ditayangkan, iklan Sekolah Gratis, Pasti Bisa sudah menuai berbagai kritikan dari elemen masyarakat. Iklan ini sangat gencar menjelang pemilihan legislatif April 2009 dan menjelang Mei 2009. Pertanyaannya, mengapa tidak pada saat menjelang pendaftaran sekolah iklan tersebut ditayangkan? Itu akan lebih efektif untuk menjangkau masyarakat bawah yang menjadi sasaran.

Pesan iklan biasanya disesuaikan dengan karakteristik konsumen yang akan dijadikan sasaran. Dari isi iklan tersebut jelas bahwa sasarannya adalah masyarakat yang tidak mampu menyekolahkan anaknya atau masyarakat yang tingkat ekonominya lemah. Sekaitan dengan iklan tersebut, pemerintah sebagai pihak pengiklan, dalam hal ini Mendiknas, pasti menyadari betul kalau target atau sasaran jumlahnya cukup besar sehingga sangat potensial untuk dijadikan sebagai sasaran iklan alias kampanye terselubung. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2009, jumlah rakyat miskin di Indonesia mencapai 32,53 juta atau 14,15% dari total jumlah penduduk, 230 juta jiwa.

Selain isinya, gempuran iklan tersebut dari segi frekuensi dan intensitas juga cukup tinggi. Per hari terdapat kurang lebih delapan slot dan ditayangkan di 11 stasiun televisi nasional. Iklan prime time mencapai Rp 30-an juta per satu slot (30 detik). Bisa dibayangkan jumlah rupiahnya berkisar miliaran dalam seminggu beriklan dan belasan miliar bila dihitung per bulannya. Jadi, logikanya, akan sangat berdampak positif kalau dana yang besar ini digunakan untuk perbaikan sekolah-sekolah yang sudah tidak layak pakai. Juga untuk beasiswa bagi anak-anak yang tidak mampu. Rakyat akan spontan memberikan apresiasi yang tinggi dengan mendukung capres incumbent untuk melanjutkan pemerintahannya.

Pelayanan

Kegiatan komunikasi lewat iklan yang dilakukan pihak pemerintah sejatinya untuk menyampaikan informasi, sebagai salah satu bentuk pelayanan kepada rakyat. Sebagaimana fungsi iklan itu sendiri, yakni fungsi sosial untuk menggerakkan perilaku khalayak dan fungsi komunikasi, yakni memberikan penerangan dan informasi. Terlepas dari esensi iklan itu sendiri di mana pesannya wajib dikemas dengan menarik agar khalayak sasaran tertarik, pengiklan juga wajib mematuhi etika beriklan atau swakrama (self-regulation) yang sudah diserap oleh kebanyakan kode etik periklanan di mancanegara. Prinsip-prinsip ini, pertama, jujur, bertanggung jawab, dan tidak bertentangan dengan hukum negara. Kedua, sejalan dengan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat. Ketiga, mendorong persaingan, namun dengan cara-cara yang adil dan sehat.

Kenyataannya, ada ketidaksetujuan dari banyak kalangan dengan isi iklan khususnya kata "gratis" yang dianggap sebagai pesan yang penuh dengan kebohongan alias tidak jujur.

Apalagi, target atau sasaran iklan tersebut jelas adalah masyarakat yang tidak mampu dan diyakini tidak akan banyak tanya tentang detilnya iklan tersebut. Mereka tidak tahu kalau yang digratiskan itu hanyalah SPP, sedangkan masih banyak lagi pungutan lainnya yang berkaitan dengan kegiatan operasional sekolah dengan biaya yang relatif besar. Betapa ironisnya, pemerintah seakan-akan tidak mengenal, bahkan mungkin tidak memiliki empati terhadap kondisi rakyatnya.

Seperti apa yang diungkapkan oleh Mendiknas Bambang Sudibyo ketika diwawancarai oleh reporter Metro TV terkait dengan iklan Sekolah Gratis tersebut, pengertian gratis bukan menurut rakyat, tetapi menurut pemerintah. Ini menjadi gambaran pemerintah suka bermain-main dengan penderitaan rakyat. Pemerintah mudah bersilat lidah demi mempertahankan citranya. Dalam hal ini jelas, kalau pemerintah yang diwakili oleh Mendiknas tidak dapat mempertanggungjawabkan isi iklan tersebut.

Apa yang kemudian terlihat dalam realitasnya adalah bahwa terbukti banyak warga yang terpengaruh dengan isi iklan tersebut. Tidak sedikit dari mereka yang kemudian berpartisipasi dalam pemilu dan memilih kandidat yang diyakini akan menjadi penolong. Tetapi, pada saat pendaftaran sekolah dimulai semua menjadi kecewa dengan pilihannya. Janji yang manis tersebut hanya mimpi indah. Harapan mereka untuk bisa menyekolahkan anak di sekolah pemerintah dengan gratis

tinggal harapan. Ternyata, iklan yang menyatakan sekolah gratis tidak sesuai dengan kenyataan. Banyak orangtua terpaksa pulang dengan kecewa saat mendaftarkan anaknya.

Pelajaran

Kontroversi Iklan Sekolah Gratis, Pasti Bisa sebaiknya menjadi pelajaran penting, khususnya bagi pemerintah, agar jujur, berhati-hati, dan bijaksana dalam semua bentuk komunikasinya. Apalagi, sejauh ini pemerintah menyadari kalau iklan layanan masyarakat lebih banyak ditujukan kepada masyarakat bawah yang sumber informasinya terbatas. Terlebih ketika kegiatan komunikasi dilaksanakan pada momen-momen tertentu (pemilu) di mana sulit untuk memisahkan antara kepentingan rakyat, pemerintah, dan kelompok atau golongan. Sering harus ada yang menjadi korban. Dalam hal ini, rakyat kecil yang selalu menjadi korban. Iklan sekolah gratis ini telah membuat jutaan rakyat kecil tertipu. Ini disebabkan konten yang tidak menggunakan bahasa rakyat sehingga dapat membuat timbulnya kesalahan persepsi.

Membuat iklan yang efektif, biasanya, terikat pada prinsip-prinsip iklan yang dikenal dengan AIDA (attention, interest, desire, dan action). Kata "gratis" tentunya mejadi kata yang ampuh untuk menarik perhatian dan keinginan khalayak.

Bandingkan dengan iklan-iklan komersial lainnya, yang menggunakan kata-kata yang menarik dan mengusik perhatian. Maka iklan sekolah gratis menjadi sangat efektif bukan saja mempersuasi masyarakat, tetapi juga membentuk citra positif tentang pengiklan yang adalah pemerintah, yang berkuasa pada saat itu.

Seperti yang dikatakan Robert dalam bukunya The Nature of Communication Effects, "bahwa komunikasi tidak secara langsung menimbulkan perilaku tertentu, tetapi cenderung mempengaruhi cara kita mengorganisasikan citra kita tentang lingkungan dan citra inilah yang mempengaruhi cara kita berperilaku. Alter Lippman (1965) menyebutnya pictures in our head". Jadi, citra positif akan terbentuk dalam benak khalayak tentang si sumber iklan yang tidak lain adalah pemerintah yang diwakili oleh mendiknas. Wujud perilakunya, selain akan mendaftarkan anaknya bersekolah juga akan mencontreng siapa yang ada di balik iklan tersebut.

Inilah yang menjadi persoalan penting. Agar lembaga pemerintah bisa dipercaya, maka kemasan iklan layanan masyarakat atau bentuk komunikasi lainnya sebaiknya menggunakan bahasa rakyat, yakni bahasa yang apa adanya. Sehingga, rakyat tidak merasa dibohongi ketika pesan yang diyakininya ternyata tidak sama dengan sumbernya.

* Rose Emmaria Tarigan, Dosen UPH

Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 30 Juli 2009

Wednesday, July 29, 2009

Candi Boko Dijadikan Laboratorium Alam

Yogyakarta, Kompas - Situs Candi Keraton Ratu Boko di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, akan digunakan sebagai laboratorium alam dalam Olimpiade dan Jambore Kebumian Nasional. Kegiatan untuk pelajar sekolah lanjutan tingkat atas bertajuk ESTIJO 2nd tersebut diselenggarakan Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Yogyakarta, 11-14 Agustus. Posisi dan struktur batuan yang unik di candi bisa digunakan untuk menunjukkan kaitan antara ilmu Geologi dan budaya.

Dekan Fakultas Teknologi Mineral Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Yogyakarta, selaku penanggung jawab ESTIJO 2nd, Sari Bahagiarti mengatakan, Candi Boko sangat cocok digunakan untuk mengenalkan kaitan budaya dan ilmu kebumian kepada pelajar karena lokasinya yang strategis.

”Candi Boko menjadi contoh nyata bagi pelajar bahwa orang pada zaman dulu telah mempertimbangkan posisi, bentang alam, ataupun struktur batuan untuk mendirikan bangunan penting,” ujarnya, Selasa (28/7).

Candi Boko dibangun di ketinggian sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut. Dari morfologi ketinggian dan bentang alam yang datar di sekitarnya, posisi ini memungkinkan pemantauan ke segala arah. Batuan di candi yang dibangun sekitar abad VI itu juga berusia tua dan kuat sehingga cocok digunakan sebagai fondasi bangunan besar.

Ketua Pelaksana ESTIJO 2nd Kristianti mengatakan, tahun ini, jambore dan olimpiade kebumian mengambil tema ”Conserve Our Mineral and Energy Resources”. Kegiatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan kebumian di kalangan para pelajar. (IRE)

Sumber: Kompas, Rabu, 29 Juli 2009

Integrasikan Kebudayaan dan Pendidikan

Jakarta, Kompas - Pembangunan kebudayaan yang mampu membentuk karakter bangsa seharusnya diintegrasikan dalam pembangunan pendidikan nasional. Oleh karena itu, urusan kebudayaan perlu dimasukkan kembali dalam ranah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Usulan itu disampaikan Forum Rektor Indonesia di Jakarta, Selasa (28/7). Anggota Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia, Sofian Effendi, mengatakan roh dalam Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan pembangunan kebudayaan adalah bagian dari integral pendidikan. Namun, kebudayaan sekarang dipahami secara sempit sebagai hasil-hasil budaya yang bisa dipertontonkan untuk mendukung pariwisata.

”Kebudayaan itu seharusnya bisa menjadi pandangan hidup. Di situ bisa disampaikan cita-cita dan nilai luhur bangsa. Tugas pendidikan nasional untuk bisa membuat kebudayaan nasional itu tetap eksis dan berkembang,” kata Sofian.

Dalam kaitan dengan jabatan Menteri Pendidikan Nasional, Forum Rektor Indonesia meminta supaya pejabat yang dipilih memahami manajemen pendidikan. Presiden terpilih diminta menempatkan menteri yang berasal dari kalangan perguruan tinggi, bukan dari partai politik.

Pendidikan tinggi

Peningkatan pendidikan tinggi dinilai strategis untuk kemajuan pembangunan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan tinggi mesti didukung untuk memperkuat riset atau penelitian.

”Pendidikan tinggi yang mestinya kuat di bidang riset itu digabung saja dalam Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Ini untuk membuat kolaborasi perguruan tinggi dengan pengembangan riset murni ataupun terapan bisa maksimal dan berjalan baik,” kata Edy Suwandi Hamid, Ketua Forum Rektor Indonesia.

Sofian mengatakan bahwa pemanfaatan sumber daya alam perlu dilakukan dengan pendekatan ekonomi baru, yakni berbasis pengetahuan. Untuk itu, perlu penguasaan teknologi dan pengetahuan yang canggih.

”Pada zaman Bung Karno, penggabungan pendidikan tinggi ke ristek pernah terjadi. Upaya itu agar pengembangan ristek tidak setengah-setengah,” ujar Sofian. (ELN)

Sumber: Kompas, Rabu, 29 Juli 2009

[Nama & Peristiwa] Pidi Baiq: Album dan Buku Baru

SELAMA dua bulan ini seniman dan penulis asal Bandung, Pidi Baiq, disibukkan peluncuran album barunya bersama grup The Panas Dalam. Judulnya, Only Almarhum Ninja Can Stop My Tamborine. Ia juga akan mengeluarkan buku barunya, Drunken Marmut, Agustus 2009.

PIDI BAIQ (KOMPAS/HARRY SUSILO)

”Sebenarnya sudah lama saya mengerjakannya. Hanya peluncurannya yang hampir bersamaan. Soalnya, sudah dikejar-kejar produser dan penerbit,” katanya di sela-sela pameran forum seniman Outsiders! Ink bertajuk ”Drawing The God” di Kota Lama, Semarang, Jawa Tengah, Minggu (26/7).

Meski begitu, lelaki kelahiran Bandung, 8 Agustus 1972, ini tak ingin terlalu terlibat dalam promosi album dan bukunya itu.

”Promosi album saya serahkan kepada anggota band, sedangkan promosi buku kepada penerbit,” ujar Pidi, yang juga aktif melukis ini.

Album Only Almarhum Ninja Can Stop My Tamborine berisi 14 lagu. Ini adalah album kedua The Panas Dalam setelah Only Ninja Can Stop Me Now.

Adapun Drunken Marmut merupakan kelanjutan dari Drunken Monster (2008), Drunken Molen (2008), dan Drunken Mama (2009).

Selama dua hari di Semarang ia menyempatkan diri keliling kawasan Kota Lama dan memotret bangunannya.

”Ini buat dokumentasi, saya suka melihat bangunan-bangunan kuno,” katanya. (ILO)

Sumber: Kompas, Rabu, 29 Juli 2009

[Sosok] Fauzi, Berpantun Lewat Ronggeng Melayu

-- Andy Riza Hidayat

IA bukan satu-satunya pemantun Melayu, tetapi dialah generasi akhir pemantun. Ketika banyak kelompok seni ronggeng Melayu menghilangkan pantun, Datuk Ahmad Fauzi justru terus mempertahankannya.

Datuk Ahmad Fauzi (KOMPAS/ANDY RIZA HIDAYAT)

Tradisi seni pantun sudah berkembang di tanah Melayu berbilang abad. Belakangan orang Melayu krisis penerus. Padahal tradisi berpantun masih berkembang di acara adat di perkampungan sampai pemerintahan. Jadi segelintir pemantun yang tersisa kebanjiran permintaan.

Saking jarangnya generasi penerus, pemantun bisa main dari satu grup ronggeng ke grup lain. Tak terkecuali Fauzi, pemantun sekaligus pemain ronggeng Melayu. Ia bermain dengan siapa saja, dari lorong kampung sampai ke luar negeri.

Dia berpantun empat-delapan kali seminggu. Dia tampil dalam merisik (bertanya kepada mempelai lelaki ataupun perempuan dalam pernikahan tradisi Melayu), meminang, dan prosesi acara menyambut pengantin.

Di sejumlah kampung Melayu di Medan, Sumatera Utara, keberadaan telangkai (penghubung kedua pihak) pada pernikahan masih dibutuhkan. Sayang, keinginan masyarakat mempertahankan tradisi berpantun tidak sebanding dengan upaya mencetak pemantun baru.

”Tak banyak orang mengenal seni pantun. Saya khawatir, mereka malah tak kenal seni ronggeng. Saya ingin pantun tetap dikenal,” katanya.

Tanda krisis generasi pemantun sudah terjadi sejak 1980-an. Saat itu salah satu kelompok musik orkes Melayu, Al Wathan, yang dipimpin orangtua Fauzi, Datuk Abdurrahman, bubar. Kelompok musik orkes Melayu yang didirikan pada 1960-an itu sebelumnya menjadi langganan keluarga Kesultanan Deli di Medan.

Keluarganya masih mempunyai satu kelompok seni ronggeng, Ronggeng Melayu Cempaka Deli. Fauzi tak ingin kelompok ini bubar. Kelompok seni ini bertahan sampai kini, bersama empat kelompok seni ronggeng lain di Medan. Merekalah sisa seni ronggeng yang bertahan, setelah belasan lain bubar pada 1980-an.

Dari empat kelompok ronggeng itu, sebagian sudah menghilangkan seni berpantun sebagaimana lazimnya ronggeng. Pantun menjadi bagian awal atau akhir pertunjukan ronggeng Melayu.

Negara tetangga

Upaya Fauzi mempertahankan pantun Melayu tak berhenti di berbagai kampung di Medan. Ia kerap menghadiri pergelaran seni di negara tetangga, seperti akhir Mei lalu. Malam itu ia menyiapkan lawatan ke Malaysia, di sebuah hotel kecil di Jalan Sipiso-piso, Medan. Ia membawa bekal seadanya, yang diangkut becak motor (betor) dari rumahnya di kawasan Marelan.

”Besok kami mau main di Malaysia,” ujarnya.

Malam itu semua anggota seni Ronggeng Melayu Cempaka Deli bersiap tampil di ”The Festival of Melayu Serumpun Wedding Ceremony”. Di sini Fauzi menampilkan seni ronggeng lengkap dengan acara berbalas pantun. Sepekan kemudian ia mengabarkan dapat penghargaan sebagai peserta terbaik.

Misi budayanya berhasil, sesuatu yang sering dia dapatkan sejak tampil di acara serupa mulai 1993. Ia tampil di Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, dan Singapura.

Fauzi punya tip memenangi lomba berbalas pantun. ”Kuncinya satu, lihat isinya, jangan terkecoh pada sampiran. Pemantun biasanya memakai perumpamaan. Sampiran dalam pantun itu ibarat jebakan agar lawan tak bisa membalas.”

Seorang pemantun tak cukup bermodalkan kelihaian membaca isi bait-bait pantun. Dia harus mampu menyusun pantun secepat mungkin. Kemampuan ini bisa dilakukan setelah menguasai banyak perbendaharaan kata, lihai menyusun perumpamaan, dan mendalami seni budaya Melayu.

Untuk menghadiri perhelatan seni ronggeng di luar negeri, Fauzi tak selalu punya dana cukup. Bantuan dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Kota Medan tak bisa dipakai sebagai sandaran.

Bagaimanapun, jika ada undangan ke luar negeri, sebisa mungkin Fauzi berusaha tampil. Momen seperti ini, tambahnya, sayang dilewatkan hanya karena masalah dana. Dia bahagia karena mampu membawa misi budaya Nusantara.

Sejarah dan falsafah

Pantun merupakan seni tutur Nusantara. Seni ini berkembang di banyak kebudayaan di Indonesia. Setiap kebudayaan mempunyai sejarah perkembangan dan falsafahnya. Pantun Melayu awalnya berkembang di kalangan bangsawan. Penulis buku Pantun dan Petuah Melayu, Tengku Luckman Sinar, mengatakan, seni ini awalnya dipakai para pembesar kesultanan.

Perkembangan di lingkungan darah biru berlangsung pada abad ke-16 sampai abad ke-19. Pascaruntuhnya belasan kesultanan Melayu di pesisir timur Sumatera Utara pada 1946, pantun mulai masuk perkampungan. Semua orang bebas berpantun dalam kelompok seni yang mereka bentuk.

Seni pantun tak lepas dari pesan moral, kritik sosial, dan penghiburan. Luckman Sinar membagi pantun dalam 11 jenis, di antaranya pantun jenaka, percintaan, kias, adat, agama, nasihat, sampai teka-teki.

Adapun seni berbalas pantun awalnya hanya dilakukan pada pertunjukan ronggeng Melayu. Setiap permainan ronggeng diselingi berbalas pantun. Lantaran terbatasnya pemantun, kini ronggeng Melayu kerap tampil tanpa pantun. Krisis penerus pantun terjadi karena minimnya minat pemuda menyelami seni ini.

Pada tahun 2000-an kesadaran meneruskan seni pantun mulai muncul. Sejumlah lembaga nonpemerintah, seperti Majelis Adat Budaya Melayu Nusantara Indonesia, menggelar lomba berbalas pantun. Kegiatan serupa juga digelar lembaga lain. Dari acara ini muncul pemantun muda, seperti Sofyan, Aslim, serta Kori dari Medan dan sekitarnya.

Mereka belum terhimpun dalam wadah tempat bertukar pikiran dan mengasah kemampuan. ”Gejala munculnya pemantun muda itu hal positif. Kegairahan mereka perlu diapresiasi. Saya berharap ada wadah pembinaan buat pemantun. Kalaupun tak ada, kami berusaha bertemu dan berlatih bersama,” katanya.

Fauzi kerap mengajak pemantun muda, berusia kurang dari 30 tahun, tampil agar mempunyai pengalaman. Berkelana dalam dunia pantun, baginya, sungguh memuaskan jiwa. Sebagai anak Melayu, ia terpanggil melanjutkan tradisi berpantun.

Pada akhir perbincangan Fauzi berpantun setelah memejamkan mata beberapa detik. Layar terkatup kemudi dikepit//Darat dituju jauh berlabuh//Biar tertangkup bumi dan langit//Pantun Melayu teguh diasuh.

DATA DIRI
• Nama: Datuk Ahmad Fauzi (49) • Istri: Sugesti (44) • Anak: - Faiza Ahmad (19) - Mawaddah Isna (17) - Abdullah Halim Hafis (16) - Fauzan Azima (10) - Naseha Al Sakina (9) • Pekerjaan: - Dosen luar biasa Universitas Sumatera Utara, Jurusan Etnomusikologi - Memimpin kelompok seni Ronggeng Melayu Cempaka Deli • Pencapaian: - Juara III Lomba Berbalas Pantun se-Sumut, 1984 - Juara II Pantun Tingkat Nasional, 2007 - Juara II Lomba Pantun RRI, 2008 - Juara I Lomba Pantun Kelompok se-Sumut, 2008

Sumber: Kompas, Rabu, 29 Juli 2009

Tuesday, July 28, 2009

Industri Kreatif Berpotensi Mendunia

KEPRIHATINAN dan protes kepada pemerintah dilontarkan sejumlah pelaku dan pemerhati industri kreatif di bidang teknologi informasi dan komunikasi dalam negeri beberapa waktu lalu. Penyebabnya, di tengah upaya bangsa untuk membangun industri kreatif di bidang peranti lunak atau software, tender peranti lunak pendidikan sebesar Rp 15 miliar dinilai sangat ”berpihak” kepada peranti lunak buatan luar negeri.

”Keberpihakan yang dibutuhkan dari pemerintah itu bukan berarti memanjakan pelaku lokal. Tentu saja tetap secara profesional. Sebab, tanpa dukungan pemerintah, potensi tumbuhnya industri kreatif software pendidikan Indonesia tidak maksimal,” kata Hary Sudiyono, Koordinator Paguyuban Pengembang Software Edukasi Indonesia.

Jika ditelusuri, pengembangan peranti lunak pendidikan Indonesia sudah ada yang mendunia. Sebut saja PT Pesona Edukasi atau PesonaEdu, yang memproduksi peranti lunak pendidikan bidang sains dan matematika. Hasil karyanya sudah diekspor ke 23 negara. Untuk bisa menembus pasar internasional, peranti lunak Indonesia itu berhasil memenuhi akreditasi yang disyaratkan dinas pendidikan di sejumlah negara.

Penghargaan internasional juga banyak diraih perusahaan Indonesia. PesonaEdu, misalnya, menjadi perusahaan peranti lunak pendidikan yang pertama digandeng Microsoft untuk mengembangkan Multipoint Technology.

Selain itu, PT Smart Softindo International, perusahaan peranti lunak yang mengembangkan aplikasi sistem informasi di bidang edukasi, berhasil membangun kerja sama dengan NEC Asia dan mengembangkan NawaSchool yang sesuai dengan kurikulum dari Departemen Pendidikan Singapura. Aplikasi tersebut sudah diimplementasikan di empat sekolah di Singapura.

”Kami yakin, Indonesia mampu bersaing dalam pengembangan software pendidikan,” kata Hary.

Peluang bermain di industri kreatif digital setidaknya terbuka di bidang animasi film, computer games, dan peranti lunak pendidikan. Namun, bersaing di animasi film dan computer games cukup berat karena sudah ada sejumlah pemain raksasa yang mendunia.

Sebaliknya, peranti lunak pendidikan tidak ada yang dominan. Padahal, potensi pasarnya terbuka lebar. Saat ini, misalnya, ada sekitar 50 juta siswa SD-SMA di

sekitar 250.000 sekolah. Jika 20 persen saja dari jumlah sekolah tersebut memakai peranti lunak dengan belanja Rp 20 juta per tahun dan 5 persen dari total siswa membeli peranti lunak dengan belanja Rp 100.000 per tahun, berarti ada potensi belanja Rp 1,25 triliun per tahun.

Terus diminati

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga berpengaruh besar dalam pembelajaran, baik di rumah maupun di sekolah. Banyaknya produksi peranti lunak pendidikan yang bernuansa mendidik dan menghibur membuat orangtua mulai melirik media cakram sehingga media elektronik itu menjadi sumber belajar yang menyenangkan.

Manajer Cabang Edu-Game PT Maximize Informa Studio Indonesia Maytha Elven mengatakan, kreativitas menciptakan peranti lunak pendidikan yang interaktif, informatif, dan menghibur mampu dikembangkan anak-anak bangsa. ”Sumber daya manusia kita mampu bersaing,” kata Maytha.

Perusahaan yang memproduksi peranti lunak pendidikan untuk anak-anak itu sudah menghasilkan lebih dari 50 seri produk dan film animasi. Yang cukup populer adalah VCD Kartun Bobby Bola.

PT Akal Interaktif yang berpusat di Bandung mengeluarkan produk grafis, animasi, dan audio pendidikan yang menarik.

Pemanfaatan peranti lunak membantu siswa dan guru. PT Infiniti Reka Solusi, misalnya, mengembangkan peranti lunak pembelajaran Biologi SMU yang dinamakan Biolearn dan Biosoft sebagai mikroskop digital. (ELN)

Sumber: Kompas, Selasa, 28 Juli 2009

[Sosok] Hendro Setyanto dan Antusiasme kepada Astronomi

-- Cornelius Helmy H.

”...Sungguh menjadi saat puitis dalam kehidupan saya....” Itulah petikan isi surat yang diterima Hendro Setyanto dari seorang kepala sekolah di Pondok Pesantren An-Nuqoyyah, Madura, Jawa Timur, tahun 2007. Penulis surat itu merasakan kebesaran Tuhan setelah melihat tayangan simulasi film luar angkasa. Kekagumannya bertambah saat berkesempatan melihat bagian alam semesta lewat teropong.

Hendro Setyanto (KOMPAS/CORNELIUS HELMY H)

Hal serupa juga terjadi saat Hendro membawa peralatan teropong bintang ke Sekolah Dasar Merdeka, Lembang, Bandung, Jawa Barat. Tak hanya membawa teropong bintang, ia juga membawa panel surya, generator Van de Graf, hingga penakar nikotin. Hasilnya, para siswa SD yang mayoritas belum akrab dengan astronomi ini begitu antusias.

”Besarnya antusiasme masyarakat itu memberikan inspirasi dan semangat bagi saya untuk mengenalkan astronomi kepada semua orang” katanya.

Lulus dari Madrasah Aliyah Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Hendro tak bercita-cita menekuni dunia astronomi. Perkenalannya dengan astronomi tatkala membaca buku tentang berbagai jurusan di perguruan tinggi, salah satunya astronomi. Menurut dia, ilmu ini unik karena itulah kali pertama dia tahu. Bahkan ia tak tahu keberadaan Observatorium Bosscha.

”Saya tahu ilmu falak, dan saya tak tahu ilmu falak itu identik dengan astronomi. Saya makin tertantang karena ilmu ini unik,” katanya.

Ia memilih Jurusan Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB). Semakin banyak belajar tentang alam semesta, selalu membawa Hendro kepada rahasia yang membuat dia makin penasaran.

Tak hanya tertantang untuk terus belajar, hatinya pun semakin gundah. Namun, kali ini hubungannya lebih dengan orang di sekitarnya. ”Apakah orang lain, khususnya generasi muda, juga mengetahui keindahan alam semesta seperti saya?”

Setahun setelah menyelesaikan jenjang strata satu, tahun 2001, dan berbekal pengalaman memandu masyarakat di Observatorium Bosscha sejak 1998, Hendro memulai mimpinya memperkenalkan alam semesta kepada banyak orang. Ia membawa teleskop ke berbagai tempat, seperti sekolah dan masjid.

Keterlibatan anak-anak

Kegiatan Hendro tersebut lambat laun tersebar dari mulut ke mulut. ”Pengalaman itu membuka jalan, saya jadi bisa beraktivitas dengan sekolah lain, seperti TK Al Azhar Jakarta, SD Sukasari Tangerang, SD Madania Bogor, SD Santa Angela, juga SMP Internasional Darul Hikam Bandung” ceritanya.

Di sisi lain, kehadirannya di beberapa sekolah itu membuat dia gundah. Dalam hati kecil, Hendro bertanya, apakah siswa di daerah terpencil juga pernah meneropong dan mengetahui alam semesta sama seperti siswa sekolah yang dia kunjungi?

Maka, konsep observatorium keliling pun muncul. Secara garis besar, konsep ini mengenalkan aktivitas peneropongan ke berbagai tempat.

Hendro memutar otak untuk mewujudkan keinginannya. Ia berpikir, hal yang paling dibutuhkan adalah alat transportasi dan pembawa teropong apabila ingin mencapai berbagai daerah.

”Saat itu yang ada dalam pikiran saya adalah mobil. Tapi, saya tak punya mobil yang bisa membawa semuanya,” kata Hendro.

Kendala selanjutnya, ia tak punya cukup dana untuk membeli mobil. Dia lalu membuat proposal untuk mencari dukungan guna mewujudkan observatorium keliling.

Pada tahun 2008 berbekal tabungannya, Hendro membongkar mobil Hi-jet (1986) yang dibeli setahun sebelumnya. Kondisi mesin dan badan mobil jauh dari sempurna. Namun, nasib baik berpihak kepadanya. Seorang direktur perusahaan makanan tertarik dengan gagasannya untuk membawa teleskop ke berbagai sekolah, tak lama setelah ia membongkar mobilnya. Dana segar pun mengalir.

Daftar belanja lantas disusun. Badan mobil dirombak total untuk memberikan ruang lebih besar guna menyimpan teropong dan alat lain, seperti televisi 32 inci lengkap dengan perangkat suara. Mobil juga dilengkapi komputer yang tersambung jaringan GPRS/3G.

Teropong dia ganti dengan yang lebih canggih. Semula ia hanya memiliki Reflector 70 milimeter, 80 mm, dan Dobsonian 105 mm. Total harga untuk ketiga teropong itu Rp 5 juta. Sebagai gantinya, ia membeli antara lain Refractor 102 XLT tracking, Reflector 80 mm, dan APO 70 mm lengkap dengan aksesorinya seharga lebih dari Rp 30 juta.

”Sebagai pengantar bagi peneropong pemula, saya menggunakan simulasi pergerakan dan perjalanan luar angkasa melalui berbagai program astronomi” ungkapnya.

Dengan semua perlengkapan itu, ia yakin mimpinya akan terwujud. Dalam rangka Tahun Astronomi 2009, yang memperingati 400 tahun Teleskop Galileo, ia menargetkan mengunjungi 400 sekolah dengan bendera Indonesia Mobile Observatory.

”Jika tak ada halangan, perjalanan pertama diawali 17 Agustus 2009. Saya ingin memberikan kesempatan ini, gratis. Semua sekolah, khususnya yang minim fasilitas, bisa meminta tanpa harus mengeluarkan biaya,” kata Hendro, yang mendapat penghargaan dari Museum Rekor-Dunia Indonesia, pada 7 Mei 2007 sebagai Pengelola Observatorium Keliling Pertama di Indonesia.

Bagi masyarakat

Di tengah kesibukan mempersiapkan perjalanan, ia menekuni usaha jual-beli teropong sejak tahun 2007. Ia ingin membantu para pemula untuk mengenal astronomi. Ini dia buktikan dengan selalu ”rewel” kepada calon pembeli.

”Saya selalu menanyakan kebutuhannya. Jangan sampai pembeli pemula asal membeli, tetapi tak bisa menggunakannya. Ini salah satu hal yang kerap muncul saat pembeli hanya asal pilih,” katanya.

Hendro juga aktif sebagai anggota Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama dan menjadi bagian dari Tim Sistem Hisab Rukyat (SiHiru), yang merupakan kerja sama Departemen Komunikasi dan Informatika dengan Observatorium Bosscha-ITB.

Keikutsertaan itu didorong keinginan memberikan rekomendasi pelaksanaan rukyat terhadap data terbaru. Harapannya, hasil pelaksanaan rukyat dapat diterima, bukan semata secara syariah, melainkan juga ilmiah.

Ke depan, ia berharap masyarakat bisa menerapkan astronomi dalam berbagai segi kehidupan. Contohnya, astronomi yang akur dengan ilmu arsitektur. Ini sudah dia lakukan tatkala bersama timnya mengikuti lomba internasional bertema ”Perancangan Lanskap” di Nusa Dua, Bali. Area itu dirancang berdasarkan perhitungan gerak matahari. Pada tanggal tertentu, dalam rancangannya, akan diadakan kegiatan kesenian sesuai posisi dan fenomena matahari.

Bersama rekannya, Hendro juga membuat rancangan wisata khatulistiwa di Kota Pontianak (Kalimantan Barat) dan Mandah (Riau). Astronomi juga bisa menjadi ajang hiburan massal. Bersama kawan-kawan, ia menggagas kegiatan bertajuk Festival Gerhana di area Candi Prambanan, Jawa Tengah.

”Tujuan semua itu tak sekadar bersenang-senang. Astronomi bisa memberikan pengetahuan dan pendidikan baru yang berguna bagi kesejahteraan dan martabat bangsa” ujar Hendro.

Biodata

• Nama: Hendro Setyanto • Lahir: Semarang, 1 Oktober 1973 • Pekerjaan: Koordinator Kunjungan Publik Observatorium Bosscha-ITB • Pendidikan: - Sarjana Astronomi Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung, 1993-2000 - Magister Astronomi Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam ITB, 2003-2006 • Istri: Sri Wakhidah Rahayuningsih (33) • Anak: - Miwzala Aulia Wulandari (9) - Muhammad Fikry Zidandaru (5) - Latifa Aulia Putri (4)

Sumber: Kompas, Selasa, 28 Juli 2009

Monday, July 27, 2009

Landasan Kebudayaan Penting

Jakarta, Kompas - Penyelenggara negara perlu memperkokoh diri dengan kepribadian yang kuat berlandaskan dinamika kebudayaan dalam membuat pilihan-pilihan yang berpihak kepada rakyat dan kejayaan generasi mendatang serta menjadi contoh yang terbaik bagi rakyat yang dipimpinnya.

Demikian Maklumat Juli 2009 dari Mufakat Kebudayaan yang dibacakan Radhar Panca Dahana, salah satu penggagas Mufakat Kebudayaan, di Jakarta, Minggu (26/7).

Sejak digulirkannya acara debat capres dan cawapres dengan para budayawan dan seniman beberapa waktu lalu, persoalan pentingnya kebudayaan dalam politik, pemerintahan, atau cara kita berbangsa/bernegara kini mengisi perbincangan banyak kalangan. Namun, keramaian itu masih bersifat kasak-kusuk, belum menjadi fokus utama, apalagi oleh penyelenggara negara. Dalam 8 program utama pasangan Mega-Prabowo atau 15 prioritas utama kabinet SBY mendatang, satu pun tidak menyebut kata kebudayaan.

Semua itu memperlihatkan bagaimana kesadaran akan penting dan kuatnya peran kebudayaan dalam turut memecahkan berbagai masalah bahkan krisis belakangan ini masih sangat kecil.

Hiburan murahan

Kebudayaan masih saja dianggap sebagai hiburan murahan, bahkan mungkin gangguan bagi urusan politik dan ekonomi.

Dalam banyak hal, kesenian sebagai salah satu produk utama kebudayaan diposisikan hanya sebagai alat atau sumber eksploitasi kepentingan ideologi, politik, atau industri.

Oleh karena itu, para pelaku dan produsen kebudayaan, seperti seniman, budayawan, juga para entertainer, sebagai garda terdepan melakukan usaha untuk membuat kebudayaan tidak disepelekan dan dipinggirkan secara sembrono.

Karena itulah para seniman yang bergerak di bidang hiburan dalam beberapa bulan terakhir berkumpul dan berdiskusi, merenung, serta menyatukan visi dan gagasan.

Seniman-seniman tersebut antara lain adalah Sys Ns, Radhar Panca Dahana, Yockie Soeryo Prayogo, Erros Djarot, Ray Sahetapy, Embie C Noer, Alex Komang, Aspar Paturusi, Adi Kurdi, Yana Julio, Slank, Maya Hasan, Ratih Sang, Iwan Fals, dan Aning Katamsi.

Mereka memandang perlu untuk memperkuat daya pikir yang sehat dan jernih melawan masih kuatnya feodalisme dan mentalitas destruktif yang menciptakan kemalasan, peniruan, atau konflik sektarian. Perlu mengeksplorasi dan mendayagunakan khazanah tradisi dan kearifan lokal yang sudah dikembangkan ribuan tahun demi menegakkan kekuatan kultural, tidak hanya untuk mempertegas eksistensi diri dan memperkuat kemampuan integrasi diri, tetapi juga sebagai posisi tawar di dalam pergaulan dunia.

Berlandaskan hal tersebut, perlu dikoreksi kembali dasar-dasar materialisme yang melahirkan liberalisme dan pada akhirnya kapitalisme yang menjerat rakyat dalam krisis hingga runtuhnya sikap kebersamaan di hampir seluruh dimensi. Untuk itu, perlu menyiasati percepatan perubahan yang terjadi melalui globalisasi dan teknologi tinggi dengan disiplin, kerja keras, ketekunan, ketangguhan kompetitif, dan kerelaan berkorban.

”Pembangunan bangsa ini, baik sosial, politik, maupun ekonomi, tidak bertumpu pada kebudayaan sehingga kita merasa asing terhadap diri sendiri. Ini bukan kehendak kebudayaan yang dituju oleh pendiri Indonesia,” kata Erros Djarot. (LOK)

Sumber: Kompas, Senin, 27 Juli 2009

Tim Teliti Pusat Kota Kerajaan Singosari

Malang, Kompas - Tim Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional Departemen Kebudayaan dan Pariwisata melakukan penggalian situs Singosari di Desa Pagentan, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, untuk menemukan pusat kota Kerajaan Singosari, demi melengkapi data kepurbakalaan Indonesia sebagai negeri seribu kerajaan.

Tim Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional Departemen Kebudayaan dan Pariwisata melakukan penggalian situs Singosari di Desa Pagentan, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Minggu (26/7). Penggalian akan berlangsung selama 10 hari. (Kompas/Hendra A Setyawan)

Tim berjumlah delapan orang, terdiri atas tujuh orang dari Puslitbang Arkenas Jakarta dan seorang lagi dari Balai Arkeologi Yogyakarta. Mereka berada di Malang, 22 Juli-3 Agustus 2009.

Hingga Minggu (26/7), ditemukan struktur bata kuno, batuan candi, serpihan tembikar, serta keramik dari zaman Dinasti Tsung—melihat tekstur goresan yang rapi, halus, dan ringan. Temuan itu didapati pada kedalaman 110 sentimeter.

”Temuan-temuan itu menunjukkan, daerah selatan Candi Singosari ini tampaknya merupakan daerah hunian elite pada zaman Kerajaan Singosari. Bisa jadi tembikar dan keramik dari Dinasti Tsung (1213 Masehi) itu menjadi koleksi kaum elite era Singosari melalui perdagangan,” ujar anggota tim peneliti situs Singosari dari Puslitbang Arkenas bidang keramik, Eka Asih P Taim, di Malang.

Menurut Amelia, Ketua Tim Peneliti Situs Singosari Puslitbang Arkenas, dengan diperolehnya data, ”Idealnya kemudian adalah kami bisa mendekati pemerintah daerah untuk memberi pengertian bahwa di daerahnya ada situs sejarah sehingga kemudian mereka bisa memberi masukan atau pengertian kepada warganya agar minimal menjaga, menyimpan, dan menginformasikan jika mereka menemukan benda-benda tersebut,” ujarnya.

Saat ini dengan pesatnya perkembangan penduduk di Singosari, sejumlah benda-benda peninggalan purbakala rusak. Banyak bebatuan candi dan bata kuno yang dijadikan pagar, bagian jalan, atau untuk keperluan lainnya. (DIA)

Sumber: Kompas, Senin, 27 Juli 2009

Forum Mufakat Kebudayaan: Pisahkan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata

[JAKARTA] Sejumlah budayawan yang tergabung dalam forum Mufakat Kebudayaan, akan segera mengajukan petisi kepada Pemerintah terkait kekhawatiran mereka terhadap kondisi budaya tradisional dan kesenian Indone- sia yang ditandai dengan pendeklarasian Maklumat Juli 2009.

Sejumlah artis dan budayawan, antara lain Ray Sahetapy, Sudjiwo Tedjo, Sys Ns, Iwan Fals, Radhar Panca Dahana, dan Happy Salma mengangkat tangan mereka pada acara Mufakat Kebudayaan di Jakarta, Minggu (26/7). Para artis menyampaikan Maklumat Juli 2009 yang berisi tentang himbauan serta ajakan kepada pemerintah dan masyarakat untuk mendayagunakan khazanah tradisi serta kearifan lokal untuk menegakkan kekuatan-kultural budaya bangsa. (SP/Ignatius Liliek)

Dalam maklumat tersebut dinyatakan, dalam perkembangannya, politik dan pemerintah Indonesia atas produk dan kebijakannya, cenderung kurang memperhatikan dan malah semakin tidak menyentuh masalah budaya.

"Pada hasil kebijakan legislatif, mana pernah menghasilkan undang-undang budaya atau kesenian. Dana yang tercantum hanya Rp 500 miliar untuk kebudayaaan, termasuk arkeologi. Cuma 0,05 per mil. Karena itu, kami ingin kebudayaaan segera jadi landasan berpikir," papar pemrakarsa Maklumat Juli 2009, Radhar Panca Dahana di Jakarta, Minggu (26/7).

Maklumat tersebut awalnya merupakan hasil mufakat sembilan budayawan, yaitu Radhar Panca Dahana, Sys NS, Jockie Suryoprayogo, Eros Djarot, Ray Sahetapy, Embie C Noor, Alex Komang, Aspar Paturusi, dan Adi Kurdi. Langkah mereka tersebut kemudian turut didukung oleh sejumlah budayawan dan pelaku seni di Indonesia.

Bahkan, para budayawan dan pelaku seni yang turut hadir dalam pendeklarasian maklumat tersebut juga sependapat jika ada gagasan untuk memisahkan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata menjadi sektor yang berdiri sendiri.

"Kebudayaan itu kan cakupannya sangat luas sekali. Karena itu, ada baiknya memisahkan pariwisata dan kebudayaan dan menjadikan kedua sektor yang berdiri sendiri. Saat ini kebijakan dan landasan hukum menyangkut budaya masih sangat jauh dari yang kami harapkan," tegas Radhar.

Bahkan, menurut Radhar, pemenang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009, yakni pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, dalam 15 program unggulan yang diusungnya tidak tercantum satu pun yang berhubungan dengan kebudayaan. Padahal menurutnya, kebijakan publik dalam seluruh penggunaan mekanismenya harus didasarkan pada dinamika kebudayaan.

Seniman Soedjiwo Tedjo yang hadir dalam acara tersebut mengungkapkan pendapat yang sama. Menurutnya, sejauh ini kebudayaan masih dianggap sebagai hiburan murahan, bahkan gangguan bagi urusan politik dan ekonomi.

Dalam banyak hal, kesenian sebagai salah satu produk utama kebudayaan, diposisikan hanya sebagai alat atau sumber eksploitasi kepentingan ideologi, politik, atau industri. Feodalisme dan mentalitas destruktif yang menciptakan kemalasan, peniruan, atau konflik pun patut segera men-jadi bahan yang harus segera ditindaklanjuti.

"Perlu mengeksplorasi dan mendayagunakan khazanah tradisi dan kearifan lokal yang sudah dikembangkan ribuan tahun demi menegakkan kekuatan kultural, bukan hanya untuk mempertegas eksistensi diri dan memperkuat kemampuan integrasi diri, tapi juga sebagai posisi tawar dalam pergaulan dunia," ujar Eros Djarot.

Karena itu, materialisme yang melahirkan liberalisme dan pada akhirnya menciptakan kapitalisme yang menjerat rakyat dalam krisis, hingga meruntuhkan sikap kebersamaan di hampir seluruh lapisan kehidupan masyarakat. Percepatan perubahan yang terjadi melalui globalisasi dan teknologi tinggi dengan disiplin, kerja keras, ketekunan, ketangguhan kompetitif, dan kerelaan berkorban harus segera ditegakkan agar nantinya para penerus bangsa tidak merasa asing pada diri sendiri. [DDS/F-4]

Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 27 Juli 2009

Sunday, July 26, 2009

Sastra:Di Manakah Rumah Chairil Anwar di Medan

-- Damiri Mahmud*

CHAIRIL ANWAR lahir di Medan, 26 Juli 1922. Masa kecilnya sehingga dia dewasa dihabiskannya di Medan. Baru pada tahun 1941, atau menurut Keith Foulcher malah tahun 1942, dia pindah ke Jakarta mengikuti ibunya, Saleha, karena berpisah dengan ayahnya, Toeloes, seorang pamong praja Belanda. Ini berarti sebagian besar masa hidupnya dihabiskan Chairil di Medan.

Chairil telah berusia 20 tahun ketika pindah ke Jakarta, padahal sebagaimana diakuinya dalam suratnya kepada HB Jassin, dia telah menyatakan sikap berkeseniaannya ketika berumur 15 tahun! ”Aku berkesenian dengan sepenuh hati,” katanya. Ini berarti pilihan hidupnya itu secara mantap telah dia pancangkan ketika masih di Medan.

Ironisnya, kita tidak tahu dengan pasti di mana sebenarnya rumah Chairil di Medan. (Alm) Arief Husin Siregar pernah bilang kepada A Rahim Qahhar bahwa rumah Chairil berada di salah satu ”rumah gedong” di Jalan Gajah Mada, Medan Baru. Hal ini tampaknya sejalan dengan sebuah sajak Chairil berjudul ”Rumahku”.

Rumahku dari unggun timbun sajak

Kaca jernih dai luar segala nampak

Kulari dari gedong lebar halaman

Aku tersesat tak dapat jalan

(bait I & II)

Kita perhatikanlah larik ”Kulari dari gedong lebar halaman”. Sebuah rumah gedung dengan halamannya yang lebar pada masa Chairil hidup di Medan tahun dua puluhan tentulah bukan sembarang rumah. Artinya, rumah itu tentulah rumah orang berada. Pada waktu itu hanya bangsawan dan pegawai tinggi Belanda saja yang memiliki rumah yang bagus. Dan istilah yang dipakai Chairil untuk rumahnya bukan ”rumah batu” sebagaimana yang lazim dikatakan waktu itu. Tapi ”gedong”! Dan bukan ”gedung”. Pada masa itu hingga ke tahun lima puluhan, orang Medan tahu ”rumah gedong” menunjuk ke kompleks perumahan pamong praja Belanda di Jalan Gajah Mada itu.

Kemudian dalam sajaknya ”Perhitungan” Chairil mendeskripsikan ”rumah gedong”-nya itu dan mengapa ia lari dari sana.

Perhitungan

Banyak gores belum terputus saja

Satu rumah kecil putih dengan lampu merah muda caya

Langit bersih-cerah dan purnama raya...

Sudah itu tempatku tak tentu di mana.

Sekilap pandangan serupa dua klewang bergeseran

Sudah itu berlepasan dengan sedikit heran

Hambus kau aku tak perduli, ke Bandung, ke Sukabumi...!?

Kini aku meringkih dalam malam sunyi.

16 Maret 1943

”Satu rumah kecil putih” ini tentu menunjukkan kebagusannya. Apalagi dengan ”lampu merah muda caya”. Artinya rumah itu memakai penerangan dengan lampu listrik. Pada masa itu hal ini tentulah suatu kemewahan dan keistimewaan yang hanya terdapat pada rumah-rumah tertentu. Kebanyakan rumah orang Medan ketika itu hanyalah rumah papan atau tepas yang beratapkan nipah atau rumbia dengan penerangan lampu sentir atau paling banter lampu petromaks.

Tapi, di sisi lain, fenomena rumah Chairil yang eksklusif itu tidak sesuai atau bertolak belakang dengan keterangan seorang kawan dekatnya sesama masih kecil, bernama Sjamsulridwan. Katanya, ”Pantang dikalahkan itulah kira-kira kesimpulan yang saya dapatkan dari kehidupan masa kanak-kanak Chairil semenjak kecilnya hingga menginjak dewasa; baik pantang kalah dalam sesuatu persaingan maupun dalam hal mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan, hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.”

”Dan yang lebih menarik hati lagi, althans bagi kami yang mengenal kehidupan rumah tangga mereka, ialah cara hidup kedua suami isteri yang penuh percideraan rumah tangga itu. Kadang-kadang kita bertanya-tanya dalam hati: Bagaimanakah dua orang suami isteri dapat hidup demikian lamanya, bertahun-tahun dengan pertengkaran terus-menerus, boleh dikatakan tiada mengenal damai agak sejenakpun? Keduanya sama-sama galak, sama-sama keras hati, sama-sama tidak mau mengalah. Seolah-olah pertemuan besi dan api yang menimbulkannya. Ia merah percikan api melulu. Di tengah-tengah api percideraan dan pertengkaran begitulah Chairil Anwar hidup dan dibesarkan. Dapatlah kita rasakan, bagaimana pula pengaruh suasana kehidupan demikian terhadap jiwanya. Sedang di samping itu, dia sangat dimanjakan pula. Segala-galanya harus diadakan untuk Chairil, motor-motoran kanak-kanak, sepeda kanak-kanak dan apa lagi permainan atau kegemaran kanak-kanak, yang terbaik. Dan makanan. Bukanlah hal yang aneh untuk sebagai anak-anak menghabiskan seekor ayam goreng seorang diri saja.”

”Kalau Chairil berkelahi, maka bapaknya selalu membenarkan Chairil. Kalau perlu bapaknya juga ikut berkelahi. Memang, bapak Chairil juga punya sifat untuk bersikap ’akulah yang benar’, bukan saja terhadap orang lain, tetapi juga terhadap isterinya sendiri. Karena itulah, keadaan rumah tangga tidak harmonis.” (Arief Budiman, ”Chairil Anwar Sebuah Pertemuan”, Pustaka Jaya, 1976, hal 64-65).

Suasana tempat tinggal yang dilukiskan oleh kawan dekatnya ini tentulah jauh dari suasana ”rumah gedongan” yang eksklusif dan teratur itu. Situasi dan kondisinya lebih mirip kepada kampung rakyat yang padat dan campur baur antara kebanyakan orang miskin dengan sedikit orang berada. Di ”rumah gedong” tentulah fasilitas yang didapatkan Chairil berupa permainan mahal dan makanan enak adalah sesuatu yang lumrah dan sudah pada tempatnya, tidak harus mendapat perhatian atau kecemburuan sosial.

Namun, tentulah sulit diterima kalau di kompleks ”orang berpangkat” itu, kedua orangtuanya terus perang mulut, Chairil kerap membuat onar dan bapaknya pun ikut berkelahi membela anaknya. Fenomena seperti itu tentulah lebih cocok diperkampungan rakyat biasa.

Ada pernyataan seorang penyair, Aldian Aripin, dalam sebuah percakapan dengan saya. Katanya, di awal-awal tahun enam-puluhan, selalu diadakan peringatan tentang Chairil. Kalau mereka mengadakan acara, misalnya di Gedung Kesenian di bawah Titi Gantung (sekarang sudah lenyap dan tergusur), panitia selalu menjemput ibu Chairil yang tinggal di Jalan Singamangaraja di sekitar Mesjid Raya. Dengan demikian, ketika itu ibu Chairil masih hidup dan sudah ”balik kampung” kembali dari Jakarta.

Kalau benar ibu Chairil ketika balik ke Medan kembali menempati rumahnya yang lama, pernyataan Aldian Aripin sesuai dengan suasana yang dilukiskan oleh kawan dekat Chairil, Syamsulridwan, di atas. Di sekitar Mesjid Raya itu, yang disebut dengan Kota Maksum, memang banyak tinggal orang Minang. Jadi, di situlah Chairil Anwar lahir, dibesarkan dan dewasa.

Dan ketika membaca seluruh sajak Chairil yang hanya 70-an biji itu, kita merasa yakin Chairil sangat akrab dengan orang-orang Melayu yang campur baur di perkampungan itu, mengingat suasana diksi dan idiom sajak-sajaknya sangat kental dengan budaya Melayu. Misalnya larik ”Hambus kau aku tak perduli, ke Bandung ke Sukabumi...!?”, benar-benar khas idiom Melayu Medan. Bahkan hingga sekarang para pengkaji Chairil banyak yang tidak paham dengan kosakata ”hambus”, sehingga dalam versi lain sajak ”Perhitungan” itu diganti dengan ”hembus”. Misalnya dalam buku Derai-derai Cemara terbitan Horison, disebutkan, ”Hembus kau aku tak perduli, ke Bandung ke Sukabumi...!?”

Tapi Chairil tampaknya tak pernah menuliskan suasana rumah di lingkungan perkampungan ini. Dia hanya melukiskan rumah ”gedong lebar halaman” dengan ”lampu merah muda caya”, namun dia tidak betah di sana karena Chairil tidak cocok dengan ayahnya. Kedua mereka dia lukiskan ”serupa dua kelewang bergeseran”.

Saya mencoba menarik ”benang kusut” ini sebagai berikut. Chairil lahir dan dibesarkan di Medan di perkampungan sekitar Mesjid Raya itu. Karena pasangan Toeloes dan Saleha itu tak harmonis, mereka bercerai. Dan ayahnya Toeloes menikah lagi. Ibunya Saleha pindah ke Jakarta. Chairil ikut ayahnya menempati rumah pamong di ”gedong lebar halaman” itu. Karena Toeloes sangat mencintai Chairil, lagi pula dia adalah pegawai tinggi Belanda (di masa revolusi kemerdekaan dia menjadi bupati Indragiri), ayahnya memasukkan Chairil ke MULO di sekitar Jalan Abdullah Lubis.

Belakangan Chairil tidak cocok dengan ayahnya, lalu minggat ke Jakarta, menyusul ibunya, sebelum menamatkan MULO. Ayahnya menjemputnya, tapi Chairil menolak. Sehingga ayahnya yang temperamental itu berang lalu berteriak, ”Hambus kau aku tak perduli, ke Bandung ke Sukabumi...!?”

Sekarang dengan penelusuran yang belum tuntas ini, menjadi tugas kitalah untuk menyelidiki dengan pasti di manakah sebenarnya rumah kelahiran dan kediaman Chairil. Ironis kalau penyair legendaris sekaliber dia yang telah ditokoh oleh majalah Tempo sejajar Soekarno dan Sjahrir tak diketahui sejarah hidup dan tempat tinggalnya secara pasti.

* Damiri Mahmud, Penulis, Tinggal di Medan

Sumber: Kompas, Minggu, 26 Juli 2009

Ruang Publik: Seni Kontemporer dan Gaya Hidup

-- Bre Redana

SENI pada masa kini sebagian adalah urusan gaya hidup. Mencuatnya seni kontemporer jelas antara lain dikarenakan dukungan kolektor yang banyak duit, yang menjadikan karya seni tak lagi terpingit.

Lihatlah hotel Grand Candi di Semarang yang baru saja direnovasi dan akan mengadakan relaunch dalam waktu dekat, sebagai salah satu contoh. Mengikuti tren berkembangnya butik hotel—hotel dengan sentuhan khusus tak lagi dengan pendekatan massal—hotel ini ingin mencitrakan diri sebagai hotel galeri alias gallery hotel. Di hotel di daerah elite lama Semarang itu, karya-karya perupa yang sedang menjadi hot items saat ini terpampang sejak dari lobi, berbagai ruangan dari restoran, function room hingga ke kamar-kamar. Bagi sebagian orang Semarang yang mengenai seni kontemporer boleh jadi hanya dengar-dengar dari media massa, bisa melihat karya-karya seperti itu di ruang publik sekarang.

Pemilik hotel ini adalah Deddy Kusuma, kolektor terkemuka, yang pernah dilukis oleh perupa Ugo Untoro dalam gayanya yang khas, dandy, dengan judul ”The man who loves Roberto Cavalli” (sekadar informasi bagi yang kurang akrab dengan dunia konsumsi, Roberto Cavalli adalah merek fashion mahal). ”Ini usaha kami untuk mendidik masyarakat untuk mencintai seni, untuk tahu dan memahami seni Indonesia,” kata pengusaha yang tinggal di Jakarta ini. Di rumahnya di bilangan Pondok Indah, Deddy menyimpan ratusan karya seni terkemuka, yang sebagian baru saja dibukukan dalam judul Edge of Transference. Di kediamannya juga sering diselenggarakan perhelatan seni, berupa diskusi sambil pameran karya-karya koleksinya.

Ini apa

Akses publik terhadap karya seni kian terbuka. Ini tentu gejala tak terbayangkan taruhlah pada masa sekitar 20 tahun lalu. Waktu itu bahkan ada kekhawatiran, dengan berkembangnya kegiatan mengoleksi oleh sejumlah individu, karya-karya seni akan terpingit—terpisahkan dari publik. Sekarang kenyataannya, para kolektor terkemuka berlomba membuka ”museum”, menerbitkan buku koleksi, menampilkan karya-karya seni di ruang publik. Para pengusaha properti terkemuka menghadirkan berbagai art object di lahan usaha mereka.

Grand Candi hanya salah satu ruang publik, di mana edukasi publik mengenai karya seni kontemporer diam-diam berlangsung: tidak lewat bangku sekolah, tetapi lewat mekanisme konsumsi gaya hidup. Bagus juga, kalau mengingat sebagian besar pelanggan Grand Candi adalah pejabat. Biar pada pejabat tidak cuma mengerti golf dan para caddy, tetapi juga karya seni.

Memasuki lobi hotel ini, orang langsung menjumpai dua patung manusia setinggi lebih dari dua meter berwarna merah, karya seniman China, Chen Wenling.

Beberapa langkah kemudian, art object karya perupa lulusan Institute Saint Joseph Brussels Belgium, Redi Rahardian. Karya itu berupa bentuk masif semacam batu tergantung dan tersender pada palang-palang hitam. Dalam deretan ini ada lagi patung berupa orang digeret anjing, karya seniman China Lu Jia. Di sebelah karya Lu Jia patung karya Nyoman Nuarta, ”Borobudur”. Sementara di belakangnya lagi, karya Yani Maryani, ”Mother of Earth”.

Penataan

Itulah sebagian gambaran mengenai karya-karya trimatra yang digelar di hotel ini. Yang tak kalah banyak, terpampang di dinding sampai ke kamar-kamar adalah seni lukis, dari karya para perupa muda seperti Masriadi, Handiwirman, Gede Rata Yoga, Ngakan Made Ardana, sampai karya old master seperti Affandi dan S Sudjojono. Karya lukis dihadirkan dalam bentuk repro seukuran karya asli.

Menghadirkan karya seni dalam sebuah hotel seperti ini tentu menyimpan tantangan tersendiri. Tantangan itu antara lain berupa penataan, yang pasti berbeda problemnya dengan memajang karya-karya di galeri atau museum. Dalam beberapa hal, pihak hotel sudah cukup memperhitungkan, untuk kamar kelas Deluxe misalnya, yang menghiasi dinding adalah karya-karya pelukis muda. Meningkat ke Royal Suite, karya seniman seperti Sunaryo atau Astari. Lalu pada kamar istimewa Presidential Suite, begitu membuka pintu orang disambut lukisan potret diri Affandi. Di bagian kamar tidur ada lukisan gunung karya S Abdullah, berhadap-hadapan dengan karya Antonio Blanco.

Di luar itu, tampaknya masih perlu penataan ulang untuk beberapa art object. Ratusan patung karya seniman Putu Sutawijaya yang tergantung membentuk bulatan (judul instalasi ini ”Dancing in Full Moon”) di lobi, rasanya agak terlalu ketinggian. Dramatik karya itu sebagai art object menjadi agak berkurang karena sekilas terkesan menjadi semacam lampu kristal.

”Saya mau kok menurunkan, kalau pihak hotel meminta,” komentar Putu Sutawijaya. ”Sekalian nginap di situ, ha-ha-ha...”

Sumber: Kompas, Minggu, 26 Juli 2009

[Buku] Pesta Obama: Paradoks Indonesia

-- Jakob Sumardjo*

• Judul: Pesta Obama di Bali
• Penulis: Nurinwa Ki S Hendrowinoto
• Penerbit: Udayana University Press, Juli 2009
• Tebal: 170 halaman

NOVEL pendek Nurinwa Ki S Hendrowinoto, Pesta Obama di Bali (2009), mengingatkan peristiwa Manohara yang langsung dibikin sinetron mengikuti cara berpikir dunia pop. Mumpung masih menjadi pembicaraan, fakta dikemas dalam fiksi menunggangi sebuah kepopuleran. Bukan sesuatu yang jelek karena tujuannya adalah mendompleng penasaran publik demi bisnis.

Masalahnya adalah antara fakta dan fiksi. Novel jelas fiksi, imajinasi, pikiran tentang fakta kehidupan ini. Kejarannya adalah pemaknaan, penilaian, yang dapat membentuk sikap seseorang. Fiksi ujungnya yang terdalam adalah pandangan dunia penulisnya. Sebuah pandangan dunia yang otentik miliknya akan segera terangsang oleh peristiwa-peristiwa bersama, sehingga muncullah karya fiksinya, yang berarti pikirannya, imajinasinya, dunianya. Fiksi menjadi makna.

Pesta Obama di Bali mengisahkan penari Bali, Nyi Legong yang tidak mau mengenakan BH dan celana dalam sejak G-30 S-PKI tahun 1965 sebagai protes moral atas kebiadaban yang menimpa dirinya. Suaminya salah ciduk dan dia sendiri diperkosa oleh para penyidiknya. Sumpah getir yang dijalaninya ini tiba-tiba luluh ketika Obama terpilih menjadi presiden. Ia mau menari lagi dengan mengenakan kutang dan celana dalam. Namun, tariannya dalam pesta tersebut meningkat menjadi kesurupan dan terjadilah peristiwa memalukan yang mengakibatkan Nyi Legong dan mereka yang terlibat berurusan dengan polisi setempat. Semuanya berakhir happy end dengan perkawinan Nyi Legong dengan jenderal Amerika pincang yang membuat heboh pesta Obama tersebut.

Ambisius

Kisah sederhana ini dikembangkan oleh Nurinwa dalam opininya yang bernada kritik terhadap Indonesia, baik politik, budaya, sastra, bahkan menyinggung agama. Sebuah cakupan yang benar-benar ambisius dan memerlukan penguraian yang tidak sederhana. Namun, novel ini terlalu pendek buat ambisinya tersebut. Itulah sebabnya, ia merencanakan mengembangkannya menjadi sebuah trilogi novel seperti dimuat dalam iklan bukunya.

Setelah hampir 30 tahun Nurinwa tidak menulis novel (ada dua novelnya), kini dia mulai menulis lagi fiksi. Selama rentang waktu itu dia sibuk menulis peristiwa-peristiwa berupa biografi para jenderal dan mantan jenderal Orde Baru yang dikerjakan dalam semboyan ”lebih cepat lebih baik” ala Nurinwa. Cara kerja semacam inilah yang menuntun irama Nurinwa dalam menulis novel ini.

Mutu dan waktu, itulah soalnya. Mungkinkah dalam waktu hitungan bulan sebuah fiksi (pemikiran) dapat mengakar dalam, pada jantung peristiwanya? Bisa saja asal persiapan berupa obsesi pemikiran penulisnya telah lama terpendam. Peristiwa Obama hanyalah rangsangan bagi kreasinya.

Novel ini paradoks, cepat tapi mau dalam, pop tapi mau serius, humor tapi getir. Penulisnya menendang sana-sini ke segala arah peradaban Indonesia. Semuanya jelek. Jelek karena kita tidak otentik, suka meniru saja. Tidak berani memiliki dasar pemikiran sendiri. ”Saya juga pernah mendengar dari seorang intelektual yang pesimis katanya bangsa Indonesia sulit bisa menjadi bangsa besar meskipun kaya raya, karena bangsa ini belum pernah melahirkan filsuf” (hal 65).

Tidak percaya diri dalam berpikir otentik inilah yang menjadi dasar Indonesia ”tidak dibaca dunia”, menurut penulisnya. Seperti kisah dalam novel ini, manusia Indonesia menaruh harapan dirinya bukan pada presidennya sendiri, tetapi pada Presiden Amerika, Obama.

Ukuran pemikiran manusia Indonesia adalah pikiran global dunia. Hal yang benar di Amerika benar buat Indonesia. Sampai pada peristiwa G-30 S dihubungkan dengan Amerika (CIA). ”Pengakuan buku mantan anggota CIA yang menyebut seorang tokoh Indonesia agen CIA makin menguatkan bahwa Amerika punya peran dalam menggulingkan Bung Karno,” (hal 64). Indonesia tidak hidup dari dirinya sendiri, tetapi dari sikap dan tindakan bangsa lain.

Novel ini pada dasarnya sindiran terhadap mentalitas semacam itu seperti dilihat oleh penulisnya. Hampir segalanya tak bisa dibanggakan kalau tidak berani bangkit dengan otentitasnya sendiri. Itulah yang dikerjakan Boccacio di Italia, Chaucer di Inggris, dan Rabelais di Perancis, mengikuti pendapat Jean Couteau yang dilampirkan dalam buku ini.

Namun perbedaannya juga jelas dengan para raksasa satiris tersebut, mereka mengeksplorasi dan mengalami kebobrokan secara rinci dalam karya-karya cukup tebal. Nurinwa yang suka ngebut dalam berkarya ini, berhasil memunculkan bernas-bernas sendirian, meski kadang mengutip pendapat orang lain, yang masih perlu dipertanggungjawabkan dalam penggambaran-penggambaran yang lebih sistemik.

* Jakob Sumarjo, Pengamat Sastra

Sumber: Kompas, Minggu, 26 Juli 2009

Dari Sastra ke Rupa ke Sastra

-- Sjifa Amori

SENI rupa dan sastra bergulat mengemukakan pemaknaannya atas perang.

Perang menjadi titik perjalinan antara puisi, lukisan, dan instalasi dalam pameran Festival Salihara tahun ini. Pameran yang bertajuk Perang, Kata, dan Rupa ini memilih beberapa karya teks puisi dengan tema “perang” sebagai pusat perbincangannya. “Perang” ini akan dimulai dari pertempuran dalam makna sebenarnya hingga perang yang memuat pertikaian dengan diri sendiri. Seperti yang diutarakan penyair kenamaan Chairil Anwar dalam puisinya, Malam.

Mulai kelam

belum buntu malam

kami masih berjaga

–Thermopylae?-

- jagal tidak dikenal ? -

tapi nanti

sebelum siang membentang

kami sudah tenggelam hilang

(Zaman Baru, No. 11-12, 20-30 Agustus 1957)

Perupa Putu Sutawijaya mereinterpretasi puisi ini sebagai bentuk sisi peperangan Chairil melawan sisi gelap ke-preman-annya. Putu menganggap bahwa peperangan selalu terjadi pada diri setiap orang. Energi peperangan pribadi inilah yang diangkatnya dengan menggunakan idiom Chairil Anwar walaupun dengan lukisan potret yang tidak mirip.

“Saya menggeser peperangan dalam jiwa Chairil ke dalam karakter orang lain. Malam yang identik dengan segala sesuatu yang negatif, saya jadikan pondasi untuk eksplorasi membangun karakter preman ini. Makanya gaya merokoknya pun berbeda, lebih menunjukkan mata yang penuh perlawanan yang saya tambahkan coretan beberapa bait puisi Malam,” kata Putu dalam pembukaan pameran di Salihara, Kamis (16/7).

Pameran yang dibuka oleh calon wakil presiden Boediono ini memang dimaksudkan untuk mengungkap perang sebagai hal yang lebih luas dari sekadar pertikaian fisik, kecamuk senjata, dan kekacauan suasana, tapi juga beragam pernyataan dan ekspresi estetik dalam memperjuangkan kebebasan.

“Seni rupa tidak bisa mencegah perang, tetapi mungkin bisa mengubah pandangan kita tentang itu. Pameran di Galeri Salihara kali ini memilih tema perang bukan untuk merekam sebuah peperangan yang terjadi. Tema ini dipilih untuk melihat respons seni rupa terhadap sebuah keadaan dahsyat, namun sampai ke dalam hidup kita dengan perantara kata dan rupa,” kata penyair Sitok Srengenge yang karyanya juga ditafsirkan dalam pameran ini.

Pameran seni rupa Perang, Kata, dan Rupa menampilkan lukisan dan instalasi karya perupa Aminudin T H Siregar, Chandra Johan, Jopram, Jumaadi, Mujahidin Nurrahman, Putu Sutawijaya, R E Hartanto, Jompet Kuswidananto, Teguh Ostenrik, Ugo Untoro, Wayan Suja, Wilman Hermana, dan Yustoni Volunteero. Ketigabelas perupa ini akan menafsirkan puisi karya Acep Zamzam Noor, Agam Wispi, Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, Iswandi, Nirwan Dewanto, Rivai Apin, Sitok Srengenge, Subagyo Sastrowardoyo, Toto Sudarto Bachtiar, dan Triyanto Triwikromo.

Menyertakan sastra dalam memaknai perang adalah kekayaan dari pameran ini. Putu melihat pertautan antara bahasa seni dan rupa bukannya tanpa “pertikaian”. Malah perlu ada proses bergumul dalam batin agar kemudian muncul dalam bentuk karya lukisnya tersebut. “Perlu waktu untuk memvisualkannya karena tidak mudah membaca isi sebuah puisi,” kata Putu.

Hal ini sejalan dengan pemikiran Sitok yang ia lontarkan dalam pengantar pameran ini, “Memang kata, rupa, bahkan seluruh bentuk ekspresi karya, ternyata tak pernah cukup untuk mengusung secara utuh -seluruh kehendak dan pemahaman kita tentang yang nyata dan yang maya. Sebab itu dalam komunikasi selalu ada beda dan selisih faham, dalam interaksi bisa terjadi perang. Dengan itu kita dapat menemukan keasyikan sebuah karya seni.”

Pameran ini melingkupi aspek yang luas terkait tema perang. Perang dalam arti yang sebenarnya tentu juga dipertontonkan dalam lukisan dan instalasi yang kuat dengan unsur estetika visual. Sebut saja instalasi topi, genderang, dan boots perang prajurit yang tergantung seolah dipakai oleh tubuh yang tak kelihatan. Instalasi ini dilengkapi audio yang berbunyi secara otomatis memperdengarkan suara tabuhan siap perang dan derap langkah yang mengingatkan akan suasana perang yang “horor”. Suara-suara teror yang otomatis “menghidupkan” tulisan Acep Zamzam Noor pada dinding galeri:

Buat Padwa Tuqan

Semuanya belum juga menepi, tongkang-tongkang sepanjang kanal

Kapal-kapal sepanjang lautan, panser-panser sepanjang jalan

Sepanjang medan pertikaian. Dan abad-abad yang bergulir

Tahun-tahun yang mengalir, musim-musim yang anyir

Entah kapan berakhir. “Dilarang kencing di sini!” seekor anjing

Menyalak pada dunia. Langit nampak masih membara

Hujan bom di mana-mana. Terdengar tangis bayi

Jerit para pengungsi. Tak henti-henti-

Bukankah seratus hadiah Nobel telah diobral

Dan seribu perundingan digelar? Tapi di manakah

Perdamaian? Masih adakah perdamaian itu? Semuanya

Belum mau menepi, belum mau melabuhkan diri


Sebagaimana puisi Acep Zamzam Noor juga mengangkat realitas situasi perang, beberapa karya lukis juga berusaha mengungkapnya dalam pilihan artistik beragam. Misalnya karya perupa Mujahidin yang menggambarkan pesawat pengebom Hiroshima dan Nagasaki dalam visual yang ia katakan merupakan stimulasi bentuk dengan menghindari ilustrasi. Mujahidin membuat karyanya dengan terlebih dulu membuat sketsa.

“Saya tidak mereinterpretasi puisi, tapi seperti diingatkan oleh puisi Acep bahwa banyak orang berkoar menolak perang, tapi tetap dilakukan,” kata perupa asal ITB yang sudah sejak lama mengekplorasi tema militer dalam pencarian bentuk visual yang terus dikembangkannya. Untuk pameran itu, Mujahidin memamerkan karya yang salah satunya dijuduli Enola Gay.

Yustoni Volunteero juga banyak mengangkat soal perang sebagai pertempuran, hanya saja ia melibatkan sudut pandang yang lebih meluas. “Saya mengangkat masalah pertempuran dan reformasi bangsa ini. Dalam berkarya, saya sudah berperang dalam setiap sapuan kuasnya yang meluapkan semua perasaan saya mengenai apa yang saya maknai dari karya sastranya. Saya lalu membuat puisi kembali dari lukisan saya,” kata Yustoni yang menghabiskan satu bulan dalam membuat lukisannya untuk pameran ini.

Bisa jadi pameran yang akan berlangsung hingga 15 Agustus ini akan mengantarkan siapa pun yang datang untuk mendekati berbagai dimensi perang melalui media kata dan rupa. Termasuk untuk merenungi kembali peristiwa pengeboman di Hotel JW Marriott & The Ritz Carlton yang terjadi keesokan hari setelah pembukaan pameran ini. Seperti kata Acep, Nobel perdamaian sudah diumbar, sebagaimana perjanjian damai diselenggarakan, tapi mengapa perdamaian tak kunjung tiba.

Syifa Amori

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 26 Juli 2009

[Buku] Hati-hati, Pamali!

Judul: Pamali - Segerombolan Komik tentang Mitos dan Pantangan!
Pengarang: Norvan Pecandupagi
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Juni 2009
Tebal: 120 halaman

Penulis menampilkan semua hal berbau pamali ke dalam buku, lebih tepatnya komik, ini.

"JANGAN suka nongkrong di depan pintu, pamali, nanti susah dapat jodoh." Mungkin itu adalah salah satu pamali yang pernah Anda dengar dari orang tua zaman dulu. Para orang tua itu tetap ingin "mewariskan" banyak ke-pamalian-nya pada generasi muda masa kini. Tentu saja banyak reaksi atas tanggapan pamali yang didengarnya.

Seorang Norvan Pecandupagi berusaha menampilkan semua hal-hal berbau pamali itu ke dalam sebuah buku. Komik lebih tepatnya. Dan Ayu Utami, yang memberikan pengantar pada komik ini, menyebut komik ini sebagai "kamus pamali".

Apa itu pamali? Benar kata Ayu Utami, di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, memang tak ada kata pamali, yang ada adalah pemali.

pe·ma·li n pantangan; larangan (berdasarkan adat dan kebiasaan)

Akan tetapi, karena Norvan yang (memang dan menurut salah satu tokoh di komik ini) bernama asli Engkus Kusmiran adalah orang Sunda, dan kebetulan di Indonesia pamali lebih populer dibandingkan pemali, judul Pamali-lah yang dipilih Norvan untuk komik ini.

Nuansa Sunda memang sangat kental dalam komik ini, bukan pada gambar-gambarnya yang menggambarkan kesundaan, namun semua pamali diangkat dari budaya Sunda. Semua pamali dijelaskan lewat bahasa Sunda, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan dilanjutkan komentar-komentar miring seputar pamali yang dibahas.

Misalnya saja pada halaman…oh, ternyata komik ini tak memiliki angka penunjuk halaman. Simak saja: "Parawan ulah dahar dina coet, bisi meunangkeun aki-aki." Artinya: "Perawan jangan makan di cobek, nanti menikah dengan kakek-kakek." Weiits, seru juga nih. tapi kayaknya hari gini ini mitos udah jarang banget dipake. bukan berarti masyarakat sekarang ini pintar-pintar, melainkan hari gini emang udah susah nyari perawan. Parah, Udaah… Gak usah mempersoalkan kaum wanita atau pria yang salah. Ayo kita ngaca aja. Sama-sama…

Ha...ha...ha… membaca sentilan "hari gini emang susah nyari perawan" terasa lucu nan menohok perasaan orang tua karena kini sudah zamannya keperawanan anak gadisnya dipertanyakan. Kelucuan tak hanya sampai di situ, Norvan menampilkan dialog para tokoh di komiknya dengan kocak. Misalnya ketika tokoh Engkus menegur seorang gadis supaya tak makan pakai cobek, sang gadis malah menjawab, "Siapa yang makan dari cobek? Orang cobeknya gue makan juga!" sambil melahap cobek masuk ke mulutnya.

Atau ketika Ceu Entin melarang Engkus bersiul di malam hari, ditakutkan ada macan datang. Eeeeh… tak dinyana, yang datang malah grup dangdut Trio Macan yang terkenal goyang seksinya. Dan Engkus yang masih setengah terpana tak percaya hanya bisa bilang, "Thanx Ceu Entin!"

Dengan harga Rp35.000 yang tergolong mahal untuk ukuran komik, gambar kartun di komik ini tak bisa disebut rapi dan imut layaknya tokoh-tokoh pada komik manga Jepang, dan tak segagah tokoh komik hero ala Amerika, namun Norvan menutupi kekurangan itu dengan menonjolkan ekspresi wajah si tokoh yang "kalau marah keliatan marah", atau "kalau sedih terlihat benar-benar sedih", begitu hidup-lah gambarnya. Ditambah dengan "kekurangan" lain, hidung semua tokoh dibuat bercuping enam. Benar-benar jadi gambar yang aneh dan di luar kebiasaan para pembuat komik. Mengingatkan kita pada komik strip Benny & Mice (di Harian Kompas Minggu), namun dengan background (setting) yang lebih sepi.

Tak hanya penulis yang bercerita tentang kepamalian di komik ini, ada beberapa "curahan hati" masyarakat mengenai pamali yang ada di kehidupannya. Misalnya Ibu Empat Fatimah yang mendefinisikan pamali sebagai larangan atau pantangan, tapi ia tak tahu siapa yang memulainya karena pamali biasa diceritakan turun-temurun. Walau terdengar mengada-ada, pamali sebenarnya bermanfaat juga untuk mengajarkan tata krama dan kearifan perilaku.

Ibu Empat Fatimah pun menceritakan sebuah kisah tentang misteri kayu pemakaman. Kisahnya boleh dibilang ajaib dan penuh nuansa magis, dan akan membuat pembacanya merinding "percaya ngga percaya".

Mengingat komik ini minus gambar seronok dan sarat akan petuah lama serta "ajaran" yang hampir hilang di masyarakat, maka komik ini cocok dibaca semua kalangan, tua-muda dan pria-wanita. Cocok untuk dibaca di mana saja, kecuali di tempat ramai seperti di dalam kendaraan, bisa-bisa Anda disangka gila karena tertawa terpingkal-pingkal sendirian.

Dan pesan dari si pengarang yaitu: Anda pamali membaca buku ini sambil mengendarai motor, nanti bisa terjun ke jurang. Apalagi membaca komik ini di tempat gelap, nanti betis Anda katarak! (Erik Heldani)

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 26 Juli 2009

[Buku] Bergerak dari Prinsip Samurai Pengasih

Judul : The Compassionate Samurai, Menjadi Luar Biasa di Dunia yang Biasa
Penulis : Brian Klemmer
Penerjemah : Th. Dewi Wulansari
Penerbit : Gemilang (Kelompok Penerbit Alvabet)
Tebal : 275 halaman

Ungkapan “orang baik selesai belakangan” tak selalu benar. Samurai pengasih bisa mendapatkan apa pun dengan tetap menjadi orang baik

SERIAL manga Jepang berjudul Samurai X yang sempat jadi hits di dunia, tentu bisa jadi contoh sempurna sebuah pribadi ksatria Jepang ideal, seperti yang digambarkan Brian Klemmer dalam buku The Compassionate Samurai. Bukan cuma pandai mengendalikan hawa nafsu, Kenshin sang samurai yang jadi tokoh utama, juga hidup berdasarkan Bushido (jalan ksatria terkait ketaatan pada nilai-nilai keberanian, kehormatan, dan kesetiaan pribadi).

Mungkin agak sulit untuk menemukan nilai-nilai kemuliaan atau sifat pengasih pada sosok Samurai seperti yang diekspos lewat buku atau film. Selama ini Samurai digambarkan sebagai golongan kasta kastria Jepang yang melewatkan hidup dengan bertempur dan membunuhi musuh demi melindungi orang yang diabdikannya.

Di dalam buku inilah, Klemmer mengupas kualitas terbaik dari seorang samurai. Ia memperluas aspek bushido dengan membuat istilah samurai pengasih untuk merujuk pada seseorang yang memiliki nilai-nilai kuat, yang dapat mewujudkan apa pun, sekaligus mengabdikan seluruh hidupnya untuk melayani.

Lalu mengapa begitu penting untuk bisa mencapai banyak hal sambil tetap memberi manfaat pada manusia lainnya? Ini karena begitu orang begitu yakin bahwa “penjahat”-lah yang selalu menang dalam hidup (baik ekonomi, kekuasaan, maupun cinta). Seperti yang diungkapkannya dalam pengantar:

Ingatlah masa-masa ketika anda SMA. Siapa yang berkencan dengan gadis paling cantik? Bukankah seringkali para cowok brengsek yang paling sembrono dan tak tahu aturan? Sebaliknya, pemuda yang baik, sopan, dan penuh perhatian justru tak punya pacar. Tragisnya, banyak dari kita justru menerima mentah-mentah paradigma ini sebagai cara menjalani hidup dan bersikap.

Secara intuitif, menurut Klemmer. Manusia tak percaya bahwa individu pengasih dapat membuat perbedaan yang nyata. Ini merupakan persoalan global yang nyata; tidak hanya terjadi di Amerika Serikat. Inilah sebabnya mengapa korupsi merajalela di negara berkembang. Orang-orang egois dengan mentalitas instan “orang-makan orang” yang sudah jadi rutin tampaknya menikmati gaya hidup mewah.

Sepertinya nilai-nilai Samurai Pengasih yang diusung Jenderal Robert E. Lee (pemimpin Konfederasi Perang Saudara Amerika), Salahuddin Al-Ayyubi (Ksatria Muslim dalam Perang Salib abad ke-12), dan Nelson Mandela (aktivis anti-apartheid dan mantan presiden Afrika Selatan) telah luntur oleh “kepalsuan” pencapaian yang ditunjukkan “orang biasa”.

Dalam The Compassionate Samurai, penulis mendaftar 10 pedoman hidup samurai pengasih: komitmen, tanggung jawab, pribadi, kontribusi, fokus, kejujurab, kehormatan, kepercayaan, kelimpahan, keberanian, dan pengetahuan.

Samurai Pengasih mungkin merupakan satu dari sekian buku-buku yang bersifat memotivasi perbaikan karakter demi peningkatan kualitas hidup (jiwa dan raga) seseorang, tapi penulis mengemukakannya dengan cukup blak-blakan dan amat relevan. Pembaca secara spontan langsung terbawa pada proses bercermin dan kadang juga mencari pembanding dengan pribadi yang mengitari kehidupan sehari-hari.

Salah satu yang cukup menyentuh adalah ketika disadarkan bahwa sedikit sekali dari orang masa kini yang mau berkomitmen pada hal kecil sekalipun karena khawatir tak bisa menjaganya. Padahal, mereka memang tak pernah berniat punya komitmen karena butuh berbagai upaya keras yang hanya akan menyulitkan hidup. Ini, kemudian disebut Klemmer sebagai tindakan cari aman karena tak ingin kewajiban memegang janji lantas membatasi pilihan untuk melakukan hal yang diinginkan. Tanpa sekadar menyalahkan, penulis memberikan contoh nyata bahwa komitmen dan perjanjian yang jadi dasar dari suatu peraturan adalah satu-satunya media menuju kekebasan sejati. Menariknya, ia menganalogikannya dengan sangat variatif, mulai dari komitmen berkendaraan hingga bermain bola dengan tim di lapangan.

Penulis juga sangat piawai memilih contoh-contoh figur kenamaan yang berhasil melewati masa berat kehidupannya berkat ciri samurai pengasih mereka. Sebut saja ikon TV Oprah Winfrey yang menolak karakter “orang biasa” dengan menyalahkan orang lain, hidup, dan Tuhan atas apa yang menimpa dirinya semasa kecil (dilecehkan secara seksual oleh anggota keluarganya).

Alih-alih menutup diri dan mengutuk dunia, Oprah bangkit dan menjadikan dirinya sosok paling berpengaruh sepanjang masa. Dengan kemampuannya ini, Oprah memiliki posisi yang jauh lebih baik untuk mengungkap setiap penganiayaan terhadap anak-anak di Amerika. Bayangkan kalau Oprah tak mau bertanggung jawab membangun perannya membantu sesama yang mengalami nasib serupa dan cuma menempatkan dirinya sebagai korban, berarti dia juga telah membatasi kekuataannya guna menolong jutaan orang untuk mendapatkan kemerdekaan mareka.

Salah satu pembahasan penulis yang juga sangat kontekstual dengan masa kini adalah pandangan umum mengenai kekurangan daripada kelimpahan. Kebanyakan “orang biasa” memilih berlebih-lebihan dalam materi untuk menutupi kekurangannya. Pola pikir kekurangan dalam menjelma dalam berbagai cara berbeda yang membuat manusia takkan pernah bahagia dan terus menerus menumpuk segala sesuatu yang ia kira bisa memenuhi kekurangannya, termasuk uang yang tak pernah dinikmati bersama orang-orang yang dicintai saking sibuknya.

Pertanyaan penulis dalam membahas ke-10 karakter ini adalah, seberapa siapkan pembaca menjadi samurai pengasih, orang luar biasa di antara yang kebanyakan (biasa). Buku ini juga mempertanyakan bagaimana pembaca mau menjawab tantangan menjadikan hidupnya maksimal dan menguntungkan banyak orang lainnya serta menyediakan jawaban agar menjadi berani tepat di hadapan rasa takut demi menjadi manusia yang menjalani hidup yang utuh.

Syifa Amori

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 26 Juli 2009

Panggung Dinar Rahayu

-- Sapardi Djoko Damono*

KITA senantiasa berada pada saat ini dan di sini. Itulah "dunia" yang kita kenal. Masalah kita, dengan demikian, adalah bagian dari yang saat ini dan di sini, tak putusnya berubah, selalu menuju ke sesuatu tetapi hanya bisa sampai di sini, di saat ini. Kita merasa mengenal baik hal itu dan karenanya menganggapnya sebagal hal sehari-hari yang bisa saja tidak ada daya tariknya lagi. Karena tidak betah berada di "dunia" yang demikian itu, kita ingin melepaskan diri dan melesat ke suatu situasi yang membebaskan kita dari yang sehari-hari itu.

Dan kita pun menciptakan dongeng. Bermacam-macam jenisnya, dari yang rasanya masih sangat dekat dengan "dunia" kita sehingga kita merasa sudah mengenalnya sampai yang begitu jauh sehingga hanya bisa "dibaca" oleh sebagian kecil dari kita. Dan karena kita ini merupakan bagian dari proses kelahiran dan kematian, spektrum yang tak terbatas bentangannya tetapi yang tidak juga bisa lepas dari keadaan kita sebagai yang berada di sini di saat ini, masalah yang kita sodorkan dalam dongeng ternyata itu-itu juga. Yang menarik untuk dibicarakan adalah cara meracik dongeng itu.

Itulah yang perlu dibicarakan berkenaan dengan sejumlah cerita pendek yang dikumpulkan Dinar Rahayu dalam Lacrimosa. Kalaupun merasa tak usah memedulikan pesan yang ingin disampaikannya, kita tahu bahwa masalah yang ditulisnya adalah sejumlah titik dalam spektrum itu juga: cinta, kasih sayang, keterasingan, kesunyian, kebimbangan, ketidakpastian, dan maut. Semua itu bisa saja kita sebut dengan kata-kata berbeda tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Titik-titik spektrum itu merupakan bagian yang berproses dalam diri kita; kita merasa mengenalnya dengan baik, tentu dengan kadar yang bisa saja berbeda-beda. Itulah yang kita kenal sebagai yang "sehari-hari", yang "membelenggu", yang menyebabkan kita berusaha untuk menciptakan panggung lain nun di sana agar bisa memainkan kehidupan yang "tidak mungkin", yang tak bisa dicapai di sini dan saat ini.

Dalam buku yang menarik ini, Dinar telah menciptakan panggung yang tata busana, tata rias, dan berbagai properti lainnya sedemikian rupa sehingga memberi peluang bagi tokoh-tokoh yang diciptakannya untuk tampil sebagai makhluk "asing" di hadapan kita. Memang itulah pada dasarnya ciri dongeng: mengasingkan yang biasa. Dalam konsep ini, tokoh-tokoh Oedipus dan Kancil tidak ada bedanya. Mereka bermain di panggung yang tidak bisa kita capai, kita menjadi penonton yang membacanya, yang karenanya merasa telah terpenuhi hasratnya untuk lepas dari yang saat ini dan di sini. Lacrimosa, Igdrasil, Kasandra, Magainin dan yang lain-lain adalah tokoh-tokoh yang dimainkan oleh Dinar dengan cerdas di berbagai panggung yang memberi kesan bergeser-geser ke masa lampau dan masa depan.

Saya ambil contoh "Igdrasil" untuk membicarakan literary device "akal-akalan sastra" yang dipergunakannya. Katanya, nama itu dicongkelnya dari sebuah dongeng Skandinavia. Nah, Dinar telah melaksanakan tugas utama pencipta, yakni mencuri. Kenal atau tidak kenal nama itu sebelumnya, kita langsung dibawanya ke panggung Termagania yang dihuni oleh laki-laki yang ditakdirkan untuk hamil. Kita kenal konsep laki-laki dan juga pengertian kehamilan. Dan ketika di panggung dua konsep itu digabung, ia menjadi "asing" namun tetap bisa kita kenali seperti halnya Kancil yang bisa bicara dan Oedipus yang mengawini ibunya. Kita pun langsung bisa membayangkan laki-laki itu karena bentuknya "seperti kuda laut", meskipun dijelaskannya bahwa proses kehamilan itu sama sekali berbeda dengan yang kita kenal di kalangan manusia:

...pada bagian perutnya terdapat semacam kantung rahim, di bawahnya terdapat bukaan tempat sang istri menyimpan telur untuk ia buahi sesaat setelah mereka bersetubuh.

Lelaki hamil itu dibiarkannya hidup di sebuah "dunia" asing yang sedang mengalami masalah keamanan gara-gara perseteruan dengan suatu masyarakat lain yang dinamakan Drakonia. Ada pasukan perdamaian, ada pesawat terbang yang meledak, dan kapsul penyelamat yang bisa saja menggoda kita untuk membayangkan seri film Star Trek dan sebangsanya, ada radio, ada lorong bawah tanah yang disebut lorong musik, dan sebagainya. Melahirkan adalah konsep yang kita kenal, demikian juga musik --yang disebut terakhir itu justru merupakan alasan kenapa masyarakat itu mempunyai hubungan dengan bumi kita ini yang memiliki berbagai alat musik. Dan juga ada adegan penutup yang boleh saja mengharukan kita, yakni ketika sesaat sebelum dibunuh musuh, pemimpin Termagania itu melahirkan seorang bayi yang dinamakan Igdrasil, nama yang sama dengan si narator, yang berhasil diselamatkan dari planet asing itu dengan pesawat ke bumi. Igdrasil menyelamatkan Igdrasil, "membawa Igdrasil dalam pelukanku".

Pengantar yang ditulis Dinar menjelaskan proses penulisan cerita-cerita ini. Dongeng melahirkan dongeng, begitu seterusnya sehingga tumbuh hutan rimba dongeng yang meluas ke mana-mana. Musik, fiksi, film, dan mitologi merupakan sumber yang tersedia untuk dicuri atau dicontek karena lewat benda budaya tersebut kita bisa mengintip dunia yang ingin kita masuki, yang dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terjangkau, tidak akan terjalani. Dinar telah menciptakan dunia lain tempat ia mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar manusia yang dalam penghayatannya bisa disimpulkan dalam salah satu larik cerita yang menjadi judul buku ini, "Aku menjadi kehidupan satu-satunya di angkasa, entah di mana. Mengetahui ada kehidupan lain tapi tak dapat mengatakannya kepada siapa pun". Ia, entah di mana, berada di tahap akhir sebuah proses laboratorium "penciptaan", langsung menghadapi masalah komunikasi. Pada pembacaan saya, itulah wisdom yang mendasari cerita-ceritanya.

* Sapardi Djoko Damono, penyair

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 26 Juli 2009