Sunday, July 26, 2009

Kultur Lokal dan Bahasa Ibu

-- Ahmad Syubbanuddin Alwy

( 1 )

IDE-IDE lokalitas yang kerap diperbincangkan dalam konstruksi kebudayaan sekaligus dipersandingkan dengan kehadiran fenomena global, akan senantiasa membuka berbagai diskursus yang menjadi celah kesadaran "ruang publik". Pada beberapa sisi, membawa serta "ruang privat" di dalamnya merumuskan serangkaian gagasan yang memungkinkan unsur-unsur lokalitas mengalami penafsiran ulang --untuk kemudian dihadapkan kepada karakter dasar globalisme yang menyeruak masuk ke titik aktivitas kehidupan.

Kita tahu, dalam bingkai substantif ataupun jangkauan skala orientasinya sendiri, jelas sekali, keduanya berbeda. Bahkan mungkin "saling berseberangan", jika tidak tepat disebut saling bertentangan. Minimal pada konteks lokalitas dan globalisme, yang privat ataupun publik, sama-sama hendak meletakkan eksistensi dirinya kembali agar diterima secara terbuka lapisan massa, dan karena itu, melintasi proses apresiasi secara beramai-ramai dari kalangan masyarakat di belahan dunia mana pun tanpa kecuali.

Sejak awal abad ke-21, menjelang dimulainya hiruk pikuk era globalisasi yang bersemangat untuk "meretas" dan "meringkas" beragam kultur serta kompleksitas peradaban manusia ke dalam homogenitas selera perilaku sosial. Di republik ini --pada dasawarsa pertama hingga dua dasawarsa menjelang tahun 2000-- terasa sekali mendesak keinginan mayoritas masyarakat kita untuk mengganti gaya hidup (life style) yang dipasarkan projek besar globalisasi melalui provokasi media-media verbal serta produk-produk visual kapitalisme. Dengan menggunakan stigma global villages dan runtuhnya pusat-pusat kultural dari wilayah mainstream, nilai-nilai kultural yang tumbuh dalam susunan saraf subkultur lokalitas direduksi ke dalam "rengkuhan" kultur global. Diam-diam juga, perbedaan lapis masyarakat "yang kota" dan "yang desa", "yang agraris" dan "yang industrialis", "yang terbelakang" dan "yang berkembang", "yang arus bawah" dan "yang kelas menengah" itu, sibuk merumuskan diskursus tradisionalisme yang semula melukiskan tapal batas kultur lokal itu sendiri dengan simbol-simbol artifisial globalisasi.

Para pemikir dan futurolog dengan stigma global villages tersebut mencoba melepas sekat-sekat yang mengandaikan klaim semacam rumpun genius lokal (local genius) dari suatu ranah kebudayaan. Hampir di antara kita seperti sedang menyimpan raut gugup sisa kecemasan yang akut dari zaman pra-Indonesia dan riak modernisme, memasuki lorong panjang post-modernism yang penuh sindrom. Di sana-sini, ide-ide lokalitas dan konstruksi kebudayaan kita pun tampak berada pada sudut-sudut sunyi gemuruh peradaban dunia. Semuanya berlomba menghadirkan gemerlap ekspresi budaya instan, mass-culture, pop-art, teknologi komunikasi, atau pembocoran informasi yang berlangsung lewat internet dan radar parabola.

Pada konteks tradisi, kultur lokal yang menumbuhkan spesifikasi dalam fase-fase pertumbuhan dunia saat ini mengalami homogenisasi, penguniforman, unifikasi, dan generalisasi yang semakin menjelaskan ide-ide lokalitas seolah kehilangan daya- tahan atau bahkan teronggok beku menjadi "barang antik". Dalam jangkauan orientasi serta impian yang seluas-luasnya itu, globalisme maupun segala indikator dan faktor makna semantik yang dikandungnya dengan sebentuk persuasi telah menyisihkan yang lama sambil merayakan yang baru dari pesona kebudayaan.

Kita mungkin bisa menamakan spesifikasi dari penjuru wilayah kebudayaan dalam beragam subkultur yang melukiskan keseluruhan "identitas" dirinya sebagai kultur lokal. Dari sinilah, kita melihat bagaimana hamparan luas globalisme telah menerbitkan semacam kehendak untuk berposisi sejajar (egaliter). Akan tetapi, di lain pihak juga --jauh di luar dugaan sebelum gelombang globalisasi hadir di tengah-tengah arus masifikasi, di mana pun-- kesejajaran yang dipersepsikan sebagai tangga-tangga idealisme, cita-cita, harapan, dan segugusan masa-depan itu, telah menguraikan kecemasan tersendiri dalam perspektif budaya lokal yang menekankan aksentuasi "akar", "nalar", "tradisi", "prasasti", "lakon", "ikon", serta "kanon" dalam setting sosial, kearifan sosial, atau lebih spesifik lagi, kesalehan sosial dari khazanah masa lalu.

( 2 )

PROSES globalisasi yang begitu mudah kita nikmati melalui caranya yang lugas sekalipun, tanpa disadari, mengkooptasi apa-apa yang pernah dipandang adiluhung dalam berbagai pergumulan serbapraktis. Pemaknaan terhadap apa yang luhur dan kesantunan Timur, sedikit demi sedikit, mencair justru sesudah bersentuhan secara artifisial dengan produk-produk kapitalisme budaya global. Dengan secangkir sihir modernisme yang memabukkan, penetrasi budaya global ke hampir seluruh lini dari faset kehidupan sosial kita di sini dan kini, menyebabkan alur bangunan khazanah masa lalu itu terasa goyah. Sejumlah "monumen" yang selama bertahun-tahun dipertahankan menjadi totalitas dari keberagaman spirit kedaerahan (lokalitas), berangsur-angsur mendekati batas paling kritis, dan, memasuki medan pergulatan baru yang lebih kompleks.

Tampak sekali bagaimana spirit lokalitas kembali membangun "magisme" dan antusiasme seperti sayap baling-baling kincir angin, hampir lelah berputar pada poros waktu, pada penjelajahan ruang dan serangkaian peristiwa yang menderanya sejak kesadaran akan adanya peralihan pandangan dunia (world view) hingga sekarang. Secara faktual, bentuk-bentuk peralihan dan konteks perubahan sistem sosial kehidupan mayoritas masyarakat dalam mencermati fenomena kultural di atas, menemukan objektivitas masalahnya bukan saja terletak pada semua hal yang berasal dari kebijakan negara. Tetapi strategi "politik kebudayaan" pemerintah yang terkesan mematikan proses dialektika. Katakanlah, beberapa aspek antroposentrisme, format arsitektural, upacara-upacara ritual, ruas-ruas histori, gugusan arkeologis, pandangan teologis, gagasan ideologis, pemikiran ontologis, pluralisme kelompok etnis, perbatasan peta geografis, kebinekaan dialek atau idialek bahasa yang semuanya bertolak dari kultur lokal yang mengungkai berbagai siklus serta situs semasa kerajaan kita yang lungkrah serta, sekali lagi, goyah. Pada bagian lain, transformasi budaya kolonial yang semula turut mengidentifikasi benang merah terbentuknya republik ini, juga berada dalam pusaran waktu hampir punah.

Dalam penelusuran kajian budaya (post) kolonial --jika benar bangsa kita menjadi koloni Hindia-Belanda selama 3,5 abad, rentang perputaran waktu yang menandai ruang-ruang berbagai kelam peristiwa, bukan main, sangat panjang, berliku-liku, serta menyimpan bergulung-gulung kisah pedih itu, pada akhirnya kita kecewa. Kapasitas berbahasa Belanda bahkan pada kalangan masyarakat terdidik sendiri misalnya, tidak tampak menjadi bagian dari arus pergumulan intelektualitas dalam penjelajahan referensial teks-teks bahasa yang pernah datang sebagai bagian signifikan dari konstruksi warisan sejarah kolonial.

Bahasa yang dalam subjektivitas bentuk kreatifnya mencerahkan individu yang fasih memberi tafsir empiris dan kognisinya dalam teks-teks karya sastra-sebagaimana Al-Jazair melahirkan beberapa novel dengan menggunakan ekspresi daya bahasa kolonialnya yang demikian cemerlang --seperti dituliskan Albert Camus dalam novel La Peste (atau dalam konteks yang sama diperlihatkan sastrawan India Arundhati Roy dalam pleidoinya The Cost of Living maupun novelnya yang menggetarkan The God of Small Things, telah meneguhkan proses pencerapan tekstual luar biasa atas jejak bahasa kolonial. Begitu juga sastrawan Karibia, Derek Walcott, dengan epik sangat menyentuh tentang negeri dan masyarakatnya, Omeros. Kelak, bahasa dari belahan negeri lain yang pernah mencengkeram tanah airnya sebagai penjajah, menemukan titik simpul dalam karya-karya sastra.

Kecerdasan ekspresi melalui teks-teks kreatif yang memberi limpahan pencerahan seperti diekspresikan Camus (Prancis), Arundhati, dan Walcott (Inggris), semakin menegaskan adanya alur dan plot dari jejak (post) kolonial ketiga sastrawan negara itu. Dengan sendirinya, karya sastra telah menciptakan sintesis, antitesis, hipotesis, sekaligus dekonstruksi atas represivitas trauma kemanusiaan. Juga, memosisikan diri menjadi penanda silogisme sebagian personalitas kepedihan tema-tema yang berlangsung akibat kekerasan ekspansif budaya global terhadap dimensi moral kultur lokal --yang salah satu bentuknya paling halus menggunakan "propaganda" (ber)-bahasa.

( 3 )

DEMIKIAN krusialnya, elan maupun etos lokalitas sama sekali tidak menunjukkan kreativitas kerja kultural yang mampu mengeksplorasi kekayaan sumber daya alam negeri ini --seperti yang diperlihatkan melalui temuan-temuan teknologi mutakhir negara kolonial lain, Jepang. Ekspresi dalam kreativitas kerja kultural yang menjadi bentuk afirmatif negara matahari terbit itu sebaliknya merupakan suatu ikhtiar untuk keluar dari bentangan krisis sumber daya alam dan "pembebasan diri" akan adanya keterbatasan. Mungkin bangsa kita juga menjadi niscaya becermin pada Korea Selatan atau Singapura yang multidisiplin dalam merumuskan grand design birokrasi tata pemerintahan. Oleh karena itu, beberapa tahun lalu, seorang sosiolog, Prof. Syed Hussein Alatas menulis buku Mitos Pribumi Malas sebagai kritik terhadap situasi dan kondisi negara kita, karena tampak tidak mampu merepresentasikan gambaran adanya kekayaan tanah airnya sendiri yang berlimpah ruah sumber daya alam hingga kepingan cahaya berbagai budaya.

Maka, pertanyaan yang perlu dikemukakan dalam memahami relasi kultur lokal dan konteks globalisme yang telanjur mengarahkan nasionalisme kita pada momentum "serbakalah", adakah bangsa kita akan terus-menerus terpinggir dalam ritus globalisasi yang kini semakin mengepung? Adakah negara kita akan senantiasa menempuh "jalan panjang" dalam merefleksikan gagasan dari ide-ide kultur lokal? Dan, adakah pemerintah kita, tetap tidak bergeser untuk merumuskan kembali apa yang diandaikan banyak pihak sebagai "strategi kebudayaan" publiknya melampaui imajinasi masa depan?

Saya yakin, siapa pun tidak memiliki hak prerogratif penuh untuk menjawab pertanyaan itu, terlebih tanpa respons positif dari dalam policy pemerintah sendiri. Tetapi, lupakanlah dulu seluruh kegelisahan tentang globalisasi, kultur lokal, dan strategi kebudayaan negara kita. Pemberdayaan kultur lokal dan peneguhan kembali bahasa-bahasa ibu yang tersebar di pusat wilayah etnis, akan mengafirmasi diskursus kebangsaan dalam simpul besar genealogis negara juga. Dan, mungkin dari sanalah segalanya bermula. ***

* Ahmad Syubbanuddin Alwy, penyair, tinggal di Cirebon.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 26 Juli 2009

1 comment:

Te@mori said...

wah.. keren banget artikelnya.
kata-katanya pas dan sangat kritis, saya sangat setuju.

ingin rasanya bisa menulis seperti anda. terima kasih. tetap menulis ya :)