Friday, July 31, 2009

Kebudayaan Harus Diurus Lebih Serius

[JAKARTA] Pemerintah harus memperhatikan persoalan ke-budayaan secara lebih serius, sehingga bangsa ini menjadi lebih beradab dan bermartabat. Pengabaian terhadap masalah kebudayaan telah membuat budaya korupsi merajalela.

Demikian rangkuman pendapat yang dihimpun SP, Kamis (30/7) dan Jumat (31/7) dari sejarawan Anhar Gonggong, sosiologi Hotman Siahaan, dan budayawan Mudji Sutrisno, serta sutradara dan budayawan, Garin Nugroho, terkait wacana pemisahan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Menurut Anhar, kebudayaan harus tetap dianggap penting dan diurus serius oleh pemerintahan mendatang. "Persoalannya sekarang bukan pada perlu atau tidaknya departemen kebudayaan dan pariwisata dipisah, tetapi sampai sejauh mana kebudayaan dianggap penting dan para pelakunya diberi ruang untuk bekerja," ujarnya.

Dalam struktur Departemen Kebudayaan dan Pariwisata memang terdapat penambahan satu direktorat jenderal, yakni Direktorat Jenderal Film, Seni, dan Nilai Budaya. Sebelumnya, hanya ada Direktorat Jenderal Sejarah dan Arkeologi. Namun sayangnya, masih banyak pejabat yang duduk di sana tidak mengerti betul tentang kebudayaan. "Ke depan, mutlak harus orang yang ngerti dan punya pengalaman tentang kebudayaan yang diberi tanggung jawab mengurus kebudayaan. Dan yang penting bukan koruptor," tegasnya.

Hotman Siahaan menyatakan kalau kebudayaan tidak diurus serius, tetap tak akan ada perubahan, apakah menjadi departemen tersendiri atau tetap digabung dengan pariwisata atau pendidikan. Sampai saat ini, pemerintah belum mengurus kebudayaan secara benar kebudayaan. Kebudayaan hanya didegradasi pada kesenian semata. Padahal aspek kebudayaan jauh lebih luas, seperti menyangkut nilai, martabat, etika, dan banyak aspek lainnya. "Kita tidak pernah serius membangun keindonesiaan sebagai strategi membangun kebudayaan nasional," katanya.

Sedangkan Mudji Sutrisno berpendapat jalan budaya memang harus diambil, terutama saat Indonesia mengalami krisis seperti sekarang ini. Sekarang terjadi ekonomisasi di semua segi kehidupan, bahkan politisasi mewarnai perjalanan kehidupan bangsa, seperti yang dirasakan saat pemilu.

Jalan budaya, lanjutnya, juga merupakan upaya untuk kembali ke alinea IV UUD 1945, yang menjamin penegakan demokrasi dan kepastian hukum, serta menghargai kemajemukan. Jalan budaya akan membuat bangsa ini lebih beradab dan bermartabat.

"Ranah-ranah kebudayaan harus direbut. Ruang-ruang publik tidak harus 'disita' dan kemudian berubah wujud menjadi pusat-pusat perbelanjaan, karena tantangan kita ke depan adalah globalisasi," katanya.

Strategi Budaya

Sementara itu, Garin Nugroho berpendapat, pemisahan kebudayaan dan pariwisata, seperti dicetuskan Forum Mufakat Kebudayaan, secara ide memang bagus. Kebudayaan selama ini hanya dipahami sebagai seni atau produk kesenian, bukan sebagai tata nilai dalam bertindak, berpikir, dan bekerja. Dengan adanya pemisahan, program-program dan alokasi dana menjadi lebih jelas.

Selama ini, pemerintah terkesan membuat program dan menjalankan proyek sendiri. Pada sisi lain, program-program masyarakat, seperti Karnaval Jember, pekan film independen di Yogyakarta, komunitas animasi, maupun galeri-galeri perorangan di berbagai kota di Indonesia, tumbuh dengan kekuatan sendiri. Ke depan, pemerintah harus lebih memberdayakan program-program yang selama ini tumbuh dan berkembang di masyarakat.

Garin lebih jauh melihat ketiadaan strategi budaya, baik strategi nilai-nilai maupun strategi produktivitas, karena tidak adanya peta kebudayaan, khususnya peta industri kreatif di masyarakat. "Banyak orang berkumpul dalam kegiatan-kegiatan kebudayaan, tetapi itu muncul sendiri, tanpa ada perhatian, apalagi pemberdayaan dari pemerintah. Kalaupun ada, sifatnya proyek, seremonial. Hilangnya strategi budaya itu, kemudian hanya memunculkan ke permukaan sekadar data ekonomi, angka-angka" katanya.

Dia justru mengusulkan pembentukan kementerian multikultur, seperti di Kanada. "Perlu ada transformasi tata nilai dan produktivitas menjadi nilai tradisi yang produktif," tuturnya.

Sebelumnya, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, menyatakan

pemisahan kebudayaan dan pariwisata, memang bukan usulan baru. Kebudayaan juga pernah berada satu payung dengan pendidikan dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. "Dulu anggarannya (kebudayaan, Red) memang kecil, tetapi sekarang berimbang dengan pariwisata. Itu menunjukkan kepedulian pemerintah," katanya beberapa waktu lalu.

Menurutnya, tidak perlu ada departemen kebudayaan, tetapi cukup anggarannya saja yang ditingkatkan. "Tidak perlu membentuk departemen baru, tetapi anggarannya ditingkatkan menjadi Rp 3 triliun. Tetapi, semua bergantung pada presiden terpilih," katanya. [M-17/A-18]

Sumber: Suara Pembaruan, Jumat, 31 Juli 2009

No comments: