Sunday, July 26, 2009

27 Tahun Teater Payung Hitam

JAGAT teater sedikitnya ikut membangun kebudayaan baru yang disebut Indonesia. Teater Indonesia, seni pertunjukan yang mampu menciptakan idiom teater baru, menggunakan bahasa Indonesia di depan penonton yang juga warga negara Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa teater Indonesia lahir dari suatu proses yang datang dari Barat walau seni pertunjukan ini bisa berdialog tentang berbagai fenomena dan persolan yang ada di Indonesia, seperti yang dirintis sejak Jim Lim, Teguh Karya, W.S. Rendra, Arifin C. Noor, Ikranegara, Suyatna Anirun, Putu Wijaya, Remy Silado, Riantiarno, Yessi Anwar, Benny Yohanes, hingga Rachman Sabur.

Keberadaan teater modern Indonesia sejak zaman penjajahan hingga kini, seperti tidak bisa terlepas dari wacana teater Barat. Walau sebenarnya banyak teater tradisional yang memiliki akar kebudayaan sendiri, namun tidak selalu dijadikan rujukan atau gaya dalam setiap pementasan teater modern. Ada beberapa kelompok teater yang berusaha melakukan adaptasi naskah, mencoba berangkat dari akar tradisi namun bentuk dan gaya tetap saja merujuk pada pola-pola teater Barat.

Seperti dikatakan dosen teater STSI Padangpanjang, Sahrul N., ketika memantau masalah multikulturalisme teater Indonesia di STSI Padangpanjang 2003, teater di Indonesia merupakan refleksi kebhinnekaan yang sangat besar. "Dalam rangkaian kesatuan pertumbuhan teater, unsur-unsur lama dan baru tumpang tindih, bercampur baur, atau kadang-kadang hadir berdampingan. Angka-angka tahun hanyalah merupakan pembagi perkiraan yang menandai adanya perkenalan ide-ide atau teknik baru tanpa perlu dijelaskan tentang lenyapnya kepercayaan-kepercayaan serta kebiasaan-kebiasaan sebelumnya. Untuk itu, perlu adanya pembaruan sudut pandang dalam mengamati teater sebagai seni pertunjukan di Indonesia. Tradisi dan modernitas hanyalah alat untuk mengukur jangkauan kreativitas seniman dalam melahirkan karya teater."

Juga dikatakan pengamat teater dari Sumatera Utara, D. Rifai Harahap, seni teater ikut membangun kebudayaan baru yang disebut Indonesia. Teater Indonesia, seni pertunjukan yang mampu menciptakan idiom teater baru dan menggunakan bahasa Indonesia di depan penonton yang juga Indonesia. Indonesia bukan Batak, bukan Jawa, bukan Bugis, Ambon, Manado, Banjar, Minang, dan Aceh. Teater Indonesia, seni pertunjukan yang bisa berdialog tentang berbagai persoalan yang ada di Indonesia.

Melihat kecenderungan yang selama ini terjadi dalam teater modern Indonesia, masih selalu persoalannya berkutat pada identitas, berkaitan dengan akar tradisi, yang masih mengandalkan naskah-naskah dari Barat, sepertinya tidak mungkin mencari tandingan naskah seperti karya William Shakespeare, Spokles, Antoni Arthud, Molier, J.P. Sartre, Albert Camus, dan banyak lagi. Teater hidup seperti teralienasi dari masyarakat, sehingga dampak kehidupan para awak teater semakin memprihatinkan.

Perkembangan kehidupan teater modern di Indonesia dapat dikatakan berjaya pada kisaran 1970-1990-an, dan setelah itu mengalami kemerosotan yang sangat signifikan dalam kuantitas pertunjukannya, bahkan banyak teater yang punya nama besar tidak lagi melakukan aktivitas pementasan. Walaupun demikian, masih ada beberapa kelompok teater yang tetap konsisten untuk selalu tampil walau dalam keadaan yang memprihatinkan dalam segi finansial.

Dalam kondisi yang memprihatinkan ini, berkaitan dengan ulang tahun Teater Payung Hitam (TPH) yang ke-27 yang akan diselenggarakan 1-5 Agustus 2009 di Kampus Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Jln.Buahbatu Bandung, TPH mencoba mengguar kembali berbagai fenomena dan persoalan terhadap teater Indonesia dalam tema "Memerdekakan Teater Indonesia". Setidaknya event ini akan dapat menumbuhkan ide-ide baru akan pertumbuhan kreativitas sekaligus membangun semangat teater di Indonesia.

**

BERKAITAN dengan 27 Tahun TPH , Yayasan Teater Payung Hitam yang merupakan organisasi nonprofit yang berkecimpung di dunia seni teater, mencoba merangkai acara dalam suatu event, tidak saja pertunjukan teater, juga peluncuran buku, diskusi, pameran, pemutaran film, hingga bazar. Hal ini dilaksanakan dalam bentuk keramaian agar suasana pemasyarakatan teater lebih terbangun kembali.

Sejak berdiri 1982, TPH telah memproduksi delapan puluh pertunjukan. Tema yang diangkatnya dapat dibagi ke dalam tiga fase. Fase pertama, mengangkat tema yang sangat universal dengan bentuk pertunjukan verbal. Fase kedua bertema sosial politik dengan bentuk pertunjukan nonverbal. Dan fase ketiga mengangkat tema sosial lingkungan dengan bentuk pertunjukan nonverbal. Pertunjukan-pertunjukannya telah dipentaskan di dalam dan di luar negeri.

Kegiatan peristiwa budaya yang dilakukanTPH sejak 2004 hingga sekarang lebih menyoroti fenomena lingkungan. Pemuliaan lingkungan yang diselenggarakan selama ini mengembangkan program kepedulian lingkungan melalui berbagai kegiatan, workshop lingkungan, seminar lingkungan, dan seni pertunjukan sebagai upaya menumbuhkembangkan kesadaran budaya konservatori terhadap lingkungan.

Peringatan 27 Tahun TPH akan mempertunjukkan teater karya sutradara Putu Wijaya "Merdeka (Ini Merdeka yang Lain)", karya Rachman Sabur "Puisi Tubuh yang Runtuh", karya Benny Johanes "Interupsi", karya Tony Broer "Tubuh Ruang Meja Merah Tumbuh Bunga Batu", dan karya instalasi Herry Dim "Instalasi Candu Dalam Ingatan", serta orasi budaya oleh budayawan Endo Suanda.

Di samping pertunjukan teater dan orasi, juga diselenggarakan peluncuran buku karya Joko Kurnain berjudul "Teater Payung Hitam - Dialektika Antara Realitas dan Identitas". Sementara dalam diskusi akan tampil Prof. Jakob Sumardjo, Halim H.D., Putu Wijaya, Herry Dim, dan Benny Johanes. (Diro Aritonang/"PR")

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 26 Juli 2009

No comments: