Ia memakai kebaya ungu
Sanggul melati dan selop berhak tinggi
Di tangannya buku harian
Pena emas dan sehelai perangko
Ia mengajak Cut Nyak Dien semeja di pendapa
Dari belantara Cut Nyak mengirim aba-aba
Ia butuh senjata menikam serigala
Banda Aceh, 21 April 2006
BAIT-BAIT puisi berjudul ”Ketika Kartini Berkunjung ke Aceh” di atas ditulis oleh Deknong Kemalawati, seorang perempuan penyair dan guru Matematika kelahiran Meulaboh, ibu kota Kabupaten Aceh Barat. BI Purwantari
Puisi tersebut merupakan satu dari 97 puisi goresan 18 perempuan penyair Aceh yang diterbitkan oleh Lapena di dalam buku kumpulan puisi Lampion. Inilah buku pertama yang merangkum karya puisi para penyair perempuan Aceh dan diterbitkan oleh penerbit lokal Aceh pada 2007.
Di dalam kata pengantar buku ini, Sulaiman Tripa, seorang penyair Aceh, menulis bahwa semua penyair perempuan ini tak sedang membicarakan ”diri”. Mereka membicarakan lebih dari ”diri”. Ia menunjuk, salah satunya, pada puisi Kemalawati di atas. Di dalam puisi itu, meski disebut tentang kebaya, sanggul, dan selop berhak tinggi yang merupakan identitas perempuan, penyebutan ketiga barang tersebut sebenarnya hanyalah simbol bahwa yang sedang dibicarakan di dalam bait-bait lanjutannya adalah kerja para perempuan. Ungkapan Sulaiman Tripa itu menegaskan bahwa para perempuan Aceh yang sedang dibicarakan oleh para penyair tak pernah ketinggalan melibatkan diri secara aktif di dalam persoalan-persoalan di lingkungan sosial mereka.
Ungkapan ini tentu saja tak dapat disangkal kebenarannya. Sejarah Aceh telah merekam jejak panjang para perempuan perkasa yang memegang tampuk pimpinan kerajaan maupun medan pertempuran bersenjata. Dalam catatan A Hasjmi (1983), misalnya, diketahui pada abad ke-15 bertakhta Ratu Nihrasyiah Rawangsa Khadiyu di Kerajaan Samudra Pasai. Dua abad kemudian di Kerajaan Darussalam muncul Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin yang merupakan anak dari Sultan Iskandar Muda. Deretan nama berikutnya di puncak kekuasaan kerajaan adalah Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin, Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah, dan Sri Ratu Kamalat Syah yang bertakhta secara berturut-turut pada abad ke-17.
Tak hanya memimpin kerajaan, jejak perempuan Aceh juga ada di wilayah yang identik dengan kekuasaan laki-laki, yaitu medan perang. Panglima perempuan Laksamana Keumalahayati tercatat memimpin laskar Inong Bale (laskar janda) pada zaman Sultan Riayat Alaudin Sjah IV (1589-1604) untuk mengusir angkatan laut Belanda pimpinan Cornelis de Houtman. Pada masa pemerintahan Sultan Riayat Alaudin Sjah V (1604-1607) dibentuk pula Suke Kaway Istana (Resimen Pengawal Istana) yang terdiri atas prajurit perempuan pimpinan Laksamana Meurah Ganti dan Laksamana Muda Cut Meurah Inseuen. Disebutkan pula bahwa perempuan Aceh telah menjabat Uleebalang (kepala pemerintahan daerah), seperti Cut Asiah, Pocut Meuligoe, dan Cut Nyak Keureuto. Daftar nama ini masih bertambah panjang dengan adanya tradisi prajurit perempuan mengawal istana serta pemimpin perang melawan Belanda pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Teungku Fakinah adalah panglima perang sekaligus alim ulama kelahiran Lam Diran pada 1856. Tradisi ini dilanjutkan oleh generasi berikutnya, yaitu Tjut Nyak Dhien, Pocut Baren, Cut Meutia, Pocut Biheu, dan Cutpo Fatimah. Rekam jejak para perempuan Aceh menjadi petunjuk bahwa Aceh pernah mengalami masa yang memberikan ruang politik kepada warga perempuannya sama seperti kaum lelakinya.
Kebudayaan
Kini Aceh abad ke-21 yang diwarnai oleh politik pengaturan tubuh perempuan, tetap ada perempuan Aceh yang tak putus berkarya di bidang kebudayaan, sebuah wilayah yang konon menjadi indikator keadaban sebuah bangsa. Seperti Deknong Kemalawati. Karya-karya puisinya tidak saja menggambarkan, tetapi sekaligus juga menggugat getirnya kehidupan perempuan yang diposisikan sebagai obyek belaka. Di dalam puisi berjudul ”Yang Pergi Di Waktu Malam”, tergambar dengan jelas bagaimana Yuni Afrida, seorang gadis berusia 15 tahun, menjadi korban dalam tragedi Lhokseumawe pada 1999. Seperti banyak perempuan yang hidup di daerah konflik, mereka lebih sering menjadi bulan-bulanan tindak kekerasan yang dijadikan salah satu metode memenangi perang.
... ”aku hanya ingin kau tahu tentang perawan
yang disetubuhi peluru itu
telah pergi selamanya”
aku tersenyum pilu
kau semakin meradang
”begitu mudah memutuskan tali kehidupan
hingga wanita yang terkapar
diberondongi selengkangannya....
”Saya merasakan diperlakukan tidak adil sebagai perempuan, yang tidak ikut serta di dalam konflik, tidak berdosa, bahkan sudah tiarap saat kontak senjata berlangsung, tetapi selangkangan saya ditembus peluru hingga bersarang di dada seperti terjadi pada gadis itu,” papar Kemalawati mengenang lahirnya puisi tersebut.
Ketidakadilan terhadap perempuan menjadi tema di banyak puisi Kemalawati. Ketika merebak fenomena Nunukan, satu wilayah perbatasan dengan Malaysia di Kalimantan di mana banyak tenaga kerja Indonesia terpaksa bermukim, ia menulis puisi ”Nunukan dan Wajah Negeriku” dengan penggalan seperti ini,
.... aku menggugat demi cinta
Seorang ibu TKI yang harus merelakan bayinya
Seharga Rp 500 ribu berjalan terburu
Menutupi dadanya bernanah......
Menurut Kemalawati, ”saya tidak menyalahkan ibu TKI, tetapi juga tidak bisa menerima keadaan tersebut. Kenapa sampai seorang TKI yang ingin pulang ke kampungnya harus menjual anaknya sendiri? Berarti ada yang salah dengan negeri ini.” Larik puisi Kemalawati adalah representasi kegelisahan rakyat Aceh ketika kekerasan mengoyak kehidupan mereka selama pemberlakuan DOM (daerah operasi militer), saat gelombang maut menyapu ratusan ribu jiwa, atau peristiwa memilukan menimpa rakyat di belahan lain Indonesia.
Pun baris kalimat-kalimatnya tetap menawarkan optimisme memandang masa depan yang harus direbut. Seperti artikel-artikel pendek yang ditulis Kemalawati untuk media cetak, ia menawarkan cara pandang yang lain atas persoalan di masyarakat. Sebagai guru matematika, Kemalawati menemukan beberapa persoalan di dalam dunia pendidikan Aceh yang perlu mendapatkan perhatian. ”Ketika ada ribut-ribut soal ujian akhir nasional (UAN), saya perlu menulis tentang ketidakjujuran dunia pendidikan kita. Pernah juga saya menanggapi pernyataan Kepala Dinas Pendidikan yang mengatakan 60 persen guru di Aceh tidak layak mengajar. Hal apa pun yang saya tidak terima, saya upayakan untuk membahasnya. Mudah-mudahan bisa mengubah keadaan,” ujar salah satu pendiri penerbit Lapena ini.
Dari selaksa puisi, cerpen, maupun artikel goresan tangannya, telah melahirkan satu buku antologi puisi Surat Dari Negeri Tak Bertuan dalam bahasa Indonesia-Inggris dan diluncurkan di Malaysia berisi 85 puisi, satu novel Seulusoh, satu buku kumpulan artikel, selain banyak puisi karyanya yang diterbitkan bersama puisi para penyair Aceh lain. Seakan belum cukup dengan goresan tangannya sendiri, ibu guru yang juga penari ini terus menghidupi ruang-ruang kebudayaan di Aceh melalui 24 buku Lapena, berbagai acara sastra, mulai dari pembacaan puisi, diskusi sastra, lomba membaca dan menulis puisi, hingga pelatihan menulis untuk remaja dan kaum perempuan.
”Saya merasakan bahwa perempuan lebih banyak mengambil peran dalam menentukan kebijakan keluarga dan masyarakatnya. Walaupun para suami yang bekerja menafkahi keluarga, tetapi perempuan sendiri tidak pernah diam. Mereka mempunyai banyak inisiatif. Mengapa tidak dituliskan ide-ide mereka itu?” urainya lebih lanjut. Untuk itu, ia merancang pelatihan menulis bagi para istri pejabat. Menurut dia, ide-ide para istri sering kali ikut mewarnai kebijakan yang dibuat para pejabat.
(BI Purwantari/Litbang Kompas)
Sumber: Kompas, Jumat, 31 Juli 2009
No comments:
Post a Comment