-- Willy Ediyanto
BAHASA Indonesia tidak mampu menjadi media pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir. Demikianlah kesan sekilas yang dapat kita tangkap dalam dunia pendidikan saat ini. Hal ini tampak dari termarginalkannya penggunaan bahasa Indonesia di sekolah-sekolah bertaraf internasional atau yang lebih akrab disebut SBI.
Di sekolah bertaraf internasional, dalam proses belajar mengajarnya digunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya, terutama pada empat mata pelajaran yang tercakup dalam kelompok hard science, yaitu Matematika, Fisika, Biologi, dan mata pelajaran Kimia.
Kemudian secara bertahap seiring meningkatnya kelas, pelajaran-pelajaran yang termasuk kelompok soft science pun akan memanfaatkan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya, kecuali pelajaran Bahasa Indonesia.
Pengelompokan mata pelajaran dengan istilah hard science dan soft science pun tidaklah terlalu tepat. Istilah yang lebih tepat barangkali adalah sains dan humaniora. Istilah yang selama ini jarang digunakan karena dalam dunia pendidikan di Indonesia lebih dikenal dengan kelompok IPA dan kelompok IPS.
Pengelompokan mata pelajaran menjadi hard science dan soft science itu sudah menunjukkan pembedaan yang mengklasifikasi mata pelajaran menjadi dua kelompok, yaitu mata pelajaran penting dan tidak penting. Kelompok hard science yang dianggap berasal dari dunia Barat dikembalikan ke kedudukan asalnya dan dianggap lebih tepat disampaikan dengan bahasa aslinya.
Tentu pandangan seperti ini keliru karena sains bersifat global. Sains dapat muncul dan berkembang di mana saja. Sejarah yang jujur bahkan menunjukkan bahwa sains pernah mengalami kejayaannya di dunia Timur yang tidak berbahasa Inggris pada saat dunia barat mengalami masa kegelapan. Tentunya hal itu sekaligus membuktikan bahwa sains dapat dikembangkan menggunakan bahasa apa pun.
Berbeda dengan sains yang justru dapat dikembangkan dengan bahasa apa pun, maka humaniora lebih bersifat lokal dan kaya dengan istilah-istilah lokal. Peralatan yang dikembangkan setiap bangsa berbeda bentuk dan pemanfaatannya sesuai perilaku dan kebutuhan hidupnya. Ilmu-ilmu sosial mengandung banyak istilah lokal yang kaya yang tidak bisa diterjemahkan begitu saja ke sebuah bahasa tanpa tercampuri dengan istilah lokal.
Untuk dijadikan contoh, kita tidak bisa begitu saja memberi arti pedang untuk kata samurai, keris, mandau, parang, badik, sundu, terapang, pasatimpo, piso surit, dan lain-lain. Padahal kita tahu bahwa semua itu adalah nama-nama senjata perang tradisional. Artinya, kalau kita mempelajari ilmu sosial yang berkaitan dengan sebuah budaya bangsa, tidak mungkin kita meninggalkan bahasa lokal yang melingkupi budaya itu.
Sekolah berstandar internasional dikhawatirkan tumbuh dengan kontroversi. Setidaknya, menurut sejumlah pengamat pendidikan, kontroversi itu muncul dengan digunakannya bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar setidak-tidaknya pada mata pelajaran Fisika, Biologi, Kimia, dan Matematika. Padahal selama ini kita sudah menyepakati bahkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 36 yang berbunyi "Bahasa negara ialah bahasa Indonesia", bahwa bahasa pengantar di lembaga pendidikan adalah bahasa Indonesia.
Ditinjau dari kedudukannya sebagai bahasa negara, maka bahasa Indonesia berfungsi sebagai: a. Bahasa negara yang resmi, b. Bahasa pengantar dalam lembaga-lembaga pendidikan, c. Alat komunikasi pada tingkat nasional, dan d. Media pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir (Bambang Marhiyanto).
Memang, pada tahun pertama, bahasa Inggris hanya digunakan pada empat mata pelajaran kelompok sains. Akan tetapi, secara bertahap semua mata pelajaran, kecuali pelajaran Bahasa Indonesia akan disampaikan menggunakan bahasa Inggris. Ini tentu saja dapat dikatakan sebagai pelanggaran pertama. Pelanggaran yang kedua adalah anggapan seolah-olah bahasa Indonesia tidak mampu menjadi media pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir.
Pihak yang terlalu bersemangat dengan bedirinya SBI akan mengatakan alasan bahwa SBI didirikan agar siswa lulusan SBI mampu bersaing di dunia internasional--sebuah alasan yang tidak sepenuhnya dapat diterima.
Untuk dapat menjadi berstandar internasional, tidak harus menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya. Tidak ada kaitan antara standar kemampuan penguasaan sains dengan kemampuan berbahasa Inggris. Hal ini tampak dari banyaknya buku-buku sains yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia, dan sains berkembang di berbagai penjuru dunia dengan tingkat yang berbeda-beda.
Yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas penguasaan sains adalah mendekatkan siswa dengan sains itu sendiri. Jika itu sudah terjadi, tanpa harus mampu berbahasa Inggris, seorang pelajar akan mampu bersaing dengan pelajar dari luar negeri.
Sedangkan untuk mampu berbahasa Inggris, yang harus dilakukan adalah mereformasi metode, teknik, dan pendekatan mengajar dan cara belajar bahasa Inggris di sekolah-sekolah Indonesia. Sampai kini tidak dapat diyakini bahwa setelah enam atau dua belas tahun belajar Bahasa Inggris di sekolah, seorang pelajar Indonesia kemudian akan mampu berbahasa Inggris jika metode, teknik, dan pendekatan mengajar masih sekadarnya.
Diperlukan kesungguhan membuat pelajar kita mampu berbahasa Inggris tanpa harus melanggar UUD 1945. Artinya, untuk mampu bersaing di tingkat internasional, tidak harus dengan membahasa-Inggriskan semua mata pelajaran. Akan tetapi buatlah siswa mampu berbahasa Inggris melalui mata pelajaran Bahasa Inggris. Kecuali di SBI pun guru-guru Bahasa Inggrisnya dianggap tidak mampu menjadikan anak didiknya mampu berbahasa Inggris. Apakah memang itu yang terjadi?
Mungkin akan lebih tepat jika dikatakan bahwa sekolah berstandar internasional menyiapkan para siswanya untuk dapat pindah ke sekolah di luar negeri atau agar dapat menerima pelajar asing. Namun yang paling tepat, untuk bisa pindah ke sekolah di luar negeri adalah dengan membuat siswa mampu berbahasa Inggris. Untuk mampu berbahasa Inggris, kita semua tentu tahu caranya adalah dengan mempelajari bahasa Inggris. Tentu tidak elok jika pemerintah menyediakan fasilitas bagus untuk anak-anak orang asing sedangkan anak-anak sendiri dibiarkan dengan fasilitas pendidikan yang memprihatinkan.
Kita semua terpana dengan begitu populernya Cinta Laura beberapa waktu yang lalu dan Manohara Pinot yang datang ke Indonesia dengan kemampuan berbahasa Indonesia yang hanya sekadarnya, tapi diterima oleh orang Indonesia. Tentu saja tidak jelek jika ada pelajar dari Sumatera, Kalimantan, atau Maluku yang fasih berbahasa Inggris. Tentu kita semua tidak ingin menyaksikan nasib bahasa Indonesia seperti nasib bahasa Melayu yang tidak berkembang di Malaysia. Tentu lebih baik jika pelajar Indonesia seperti pelajar Jepang, berkualitas internasional, tapi tetap menunjung tinggi bahasa nasionalnya.
* Willy Ediyanto, Penulis Buku Guru Menggugat Mutu Pendidikan, tinggal di Kotawaringin Barat, Kalteng
Sumber: Lampung Post, Jumat, 10 Juli 2009
No comments:
Post a Comment