Judul Buku : Energi Positif: Opini 100 Tokoh Mengenai Indonesia di Era SBY
Editor : Dr. Dino Patti Djalal
Penerbit : Red & White Publishing, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : 404 halaman
''The changes taking place in Indonesia today are among the most remarkable development in the Muslim world. The country's transition from authoritarianism has proved that as a democracy, Indonesia can be culturally vibrant and economically prosperous.''
KATA-KATA di atas mengawali tulisan Majalah Amerika Time untuk menandai masuknya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam 100 tokoh paling berpengaruh di dunia pada 2009. Tulisan itu dibuat Anwar Ibrahim, mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia,
Anwar melanjutkan komentarnya dengan mengatakan bahwa sejak menang Pilpres 2004, SBY berhasil membuat negerinya tetap maju meski dalam resesi global sekarang ini. Anwar juga mengingatkan tantangan-tantangan besar di depan. Kemiskinan masih merajalela di Indonesia, dan pemerintah harus terus melanjutkan perbaikan infrastrukturnya yang rusak.
''Businesses are confronted with a bewildering array of regulations, and the country pays a heavy price in corruption and bribery,'' tulis Anwar Ibrahim.
Atas penghargaan Time itu, editor buku ini, Dr Dino Patti Djalal, diutus SBY untuk mewakilinya memenuhi undangan Time Gala Dinner 2009 di New York, bersama putra SBY, Eddy Baskoro. Dalam acara di Lincoln Center pada 5 Mei 2009 itu, Dino berkumpul bersama tokoh-tokoh dunia pilihan Time itu, di antaranya Barack Obama, ekonom Paul Krugman, Evan Williams (penemu Twitter), musisi John Legend, dan lain-lain. Dino mengaku merasakan energi positif yang luar biasa dari tokoh-tokoh tersebut. Hal ini memberinya inspirasi untuk membuat buku ini, karena ia merasa masih banyak orang di negeri ini yang dililit energi negatif dan budaya sinisme.
Buku ini berisi opini 100 tokoh Indonesia, plus beberapa jurnalis dan akademisi luar negeri. Isinya memang puji-pujian alias sanjungan kepada SBY dari berbagai perspektif dan bidang. Di antara tokoh-tokoh itu adalah mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, Akbar Tandjung, Alwi Shihab, mantan Kapolri Da'i Bachtiar, Prof Dr Emil Salim, Gita Wirjawan (Presiden Direktur JP Morgan), budayawan Goenawan Mohamad, Ketua PWI Pusat Margiono, Dubes RI di Australia S. Wirjono, Wawali Surabaya Arif Afandi dan beberapa jurnalis luar negeri seperti Derwin Pereira dari Singapura, dan sejumlah akademisi termasuk Donald K. Emerson.
Mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, yang kini menjadi Dubes RI di Kerajaan Denmark, menilai SBY sebagai pemimpin yang selalu melindungi dan membela anak buah. SBY juga percaya penuh pada bawahannya. Selama menjadi Jaksa Agung, dirinya tidak pernah diintervensi SBY dalam arti negatif terhadap kasus-kasus yang ditangani kejaksaan. ''Seringkali malah SBY memberi semangat dan dorongan untuk bekerja keras,'' kata Abdul Rahman Saleh.
Gita Wirjawan, presiden direktur JP Morgan dan direktur Ancora International, tertarik pada potensi Indonesia di bawah SBY dengan menyebut kemungkinan negeri ini menjadi ''angsa hitam''. Ini adalah suatu istilah untuk suatu kejadian yang tidak pernah diprediksi sebelumnya. ''Sukses luar biasa Google adalah suatu ''angsa hitam'', seperti juga kejadian 11 September 2001 dan hancurnya pasar keuangan global. Dan Indonesia, bisa mengejutkan dunia secara positif menjadi ''angsa hitam''.''
Senada dengan Gita Wirjawan, budayawan Goenawan Mohamad mengatakan, jika terpilih lagi, kemungkinan SBY akan meninggalkan sebuah warisan yang tak kalah penting dari para pendiri republik: sebuah demokrasi, sebuah pemerintahan yang bersih (melalui reformasi birokrasi yang berani) dan sebuah negeri yang akan bisa meneruskan keadaan untuk sejahtera.
Figur Santun
Keberadaan Wawali Surabaya Arif Afandi dalam buku ini menarik, karena ia merupakan satu-satunya birokrat aktif yang ikut menyumbangkan tulisan. Dalam opininya, Arif tertarik mengemukakan bagaimana SBY telah menjadi personifikasi sopan santun dalam politik. Melejitkan suara yang mendukung Partai Demokrat akhir-akhir ini, menurut Arif, adalah berkat penampilan SBY.
Arif mengatakan, di mata masyarakat, SBY dianggap sebagai figur yang santun. Tidak pernah memaki orang. Malah sering dimaki-maki lawan politiknya. Tidak pernah menyerang orang. Tapi lebih sering dapat serangan bertubi-tubi dari berbagai pihak.
''Gaya berpolitik SBY yang santun ini seakan menjadi antitesis bagi periode kepemimpinan nasional sebelumnya yang serba gegap gempita,'' tulis Arif.
Dari tokoh luar negeri, Takashi Shiraisi, Wakil Presiden Nationale Graduate Institute, University of Tokyo, memuji SBY yang dinilai mampu bekerja sama dengan para profesional dan politisi.
Membaca buku ini memang dapat menimbulkan kebanggaan pada pimpinan nasional. Dan memang, tidak bisa dibantah bahwa SBY memiliki banyak keunggulan. Ketika lulus AKABRI pada 1973, ia memperoleh predikat lulusan terbaik. Saat menjadi pimpinan Pasukan Pengamat PBB di Bosnia pada 1990-an, ia juga banyak mendapat pujian.
Kelemahannya, buku ini nyaris tanpa kritik. Sepertinya SBY tidak memiliki kelemahan dan kekurangan. Kenyataannya, SBY sebagai manusia biasa tak luput dari salah dan khilaf, apa pun latar belakangnya. Buktinya, setelah ledakan bom di dua hotel mewah Jakarta belum lama ini, SBY tampak kurang terkontrol kata-katanya. Presiden tampak emosional, sehingga pernyataannya dinilai kontraproduktif. Seperti dikatakan pakar komunikasi Effendi Gazali, presiden saat itu sedang mengalami kesedihan dan pukulan yang mendalam. ''Presiden sedang sedih, marah, dan terpukul akibat teror bom tersebut,'' kata Effendi Gazali.
Kata-kata Derwin Pereira, jurnalis Singapura, barangkali penting diperhatikan. ''Untuk melihat warisan SBY, lihat kinerjanya lima tahun ke depan,'' katanya.
Sebuah pernyataan yang tepat.
Djoko Pitono, jurnalis dan editor buku
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 26 Juli 2009 ]
1 comment:
Kemenangan Partai Demokrat dalam Pileg (20%), dan kemenangan telak SBY-Boediono dalam Pilpres (60%)boleh jadi akan banyak mengubah gaya kepemimpinan SBY dalam waktu 5 tahun kedepan. Tidak lagi ragu ragu dalam menjawab dilemma. Tegas, tepat dan cepat. Profesional, bersih dan amanah.
Ini penting karena selain harus menjawab tantangan kontekstual, SBY-Boediono juga harus menanggulangi masalah fundamental atau residu yang terakumulasi sejak lama. Ketimpangan struktural, perangkap hedonisme, kerusakan alam dan kawasan, benalu korupsi, narkoba, kejahatan modern dan terorisme, beban ketergantungan (hutang), distorsi kedaulatan negara-bangsa, dan ancaman disintegrasi.
Kedepan, modus pencitraan semata tidak akan efektif menopang legitimasi kepemimpinan SBY. Ia harus lebih egaliter, lebih responsif, dan yang pasti harus makin dekat dengan kebijakan yang bersifat populis.
Post a Comment