Jakarta, Kompas - Konservasi bangunan cagar budaya dengan cara dan landasan teori Barat kurang cocok diterapkan di Asia, termasuk Indonesia. Landasan konservasi serta karakter bangunan di negara-negara Barat berbeda dengan bangunan di Asia.
Hal tersebut terungkap dalam acara diskusi bulanan Badan Pelestari Pusaka Indonesia yang bertema ”Teori Konservasi”, Kamis (9/7).
Pembicara dalam diskusi tersebut, yaitu arsitek dari Universitas Kristen Petra, Surabaya, Timoticin Kwanda, mengatakan, konservasi untuk bangunan cagar budaya di Asia, termasuk Indonesia, sulit jika harus mengikuti cara atau teori Barat. Pendekatan konservasi Barat sangat menekankan sejarah dan otentitas sebesar-besarnya. Bangunan sebagai obyek menjadi yang utama. Hal itu tak lepas dari tradisi kekristenan dengan keberadaan berbagai relief-relief suci pada bangunan yang dipandang sakral sehingga otentitas menjadi sangat penting.
Sangat berbeda kondisinya di Asia. Bangunan cagar budaya di berbagai daerah di Indonesia, misalnya, terkait dengan nilai-nilai, tradisi, dan kearifan lokal masyarakat sekitarnya. Dengan demikian, konservasi tidak cukup hanya memandang bangunan sebagai obyek, tetapi justru yang lebih penting adalah masyarakat dengan nilai-nilainya sebagai subyek. Dia mencontohkan bangunan keraton yang ada di Indonesia, bentuk dan material merupakan bagian dari ekspresi nilai-nilai spiritualnya.
Selain itu, model bangunan di Asia dan termasuk banyak ditemukan di Indonesia adalah bangunan dengan model perakitan berbahan utama kayu. Di Jepang, misalnya, Kuil Ise Jinggu diganti seluruh bangunan setiap 20 tahun. Mereka membangun kembali dengan cara yang sama. Selain mengonservasi bangunan, mereka ingin melestarikan pengetahuan bertukang yang ada.
Tidak sebatas bangunan
Ke depannya, menurut Timoticin, upaya konservasi di Tanah Air perlu lebih melihat pada subyek dan tidak sebatas terfokus kepada bangunan. Otentitas dipandang sebagai hal yang dapat disepakati bersama. Dengan demikian, para pemangku kepentingan harus dilibatkan.
”Selama ini upaya konservasi menjadi proyek pemerintah. Dibuat rancangan dan dibangun dengan melibatkan arsitektur dan konsultan. Setelah itu selesai,” ujarnya.
Padahal saat mengonservasi bangunan, dapat pula sekaligus mengonservasi kearifan lokal masyarakatnya. Di Vietnam, misalnya, dalam proyek konservasi Banglamphu, kegeniusan lokal masyarakat membuat kerajinan emas, bermusik, dan bertukang dihidupkan kembali. Masyarakat dilatih kembali sehingga keahlian mereka terhadap kayu dikembangkan lagi. ”Ini juga bisa diterapkan di Indonesia. Ketika mengonservasi bangunan Jawa, misalnya, sekaligus dikembangkan kemampuan para ahli bangunan Jawa lokal sehingga teknologi, pengetahuan, dan filsafatnya tidak hilang,”ujarnya.
Upaya konservasi juga bisa dikaitkan dengan kegiatan ekonomi, seperti dimasukkan dalam agenda pariwisata. (INE)
Sumber: Kompas, Sabtu, 11 Juli 2009
No comments:
Post a Comment